Hubungan Ketepatan Dosis dan Lama Pemberian Antibiotik dengan Lama Perawatan pada Pasien Anak dengan Gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik Medan

(1)

HUBUNGAN KETEPATAN DOSIS DAN LAMA PEMBERIAN ANTIBIOTIK DENGAN LAMA PERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN GASTROENTERITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

OLEH:

KHAMISAH BINTI GHAZALI 100100386

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

HUBUNGAN KETEPATAN DOSIS DAN LAMA PEMBERIAN ANTIBIOTIK DENGAN LAMA PERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN GASTROENTERITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

OLEH:

KHAMISAH BINTI GHAZALI 100100386

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

(4)

ABSTRAK

Di negara berkembang, gastroenteritis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyebab dari morbiditas dan mortalitas di kalangan anak setiap tahun. Walaupun gastroenteritis biasanya dapat sembuh sendiri, penggunaan antibiotik diperlukan dalam pengobatan gastroenteritis yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional bukan sahaja dapat menimbulkan resistensi malah dapat meningkatkan biaya dan durasi perawatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain crossectional berdasarkan catatan rekam medis pasien.

Dari 97 sampel, sebanyak 62.9% mendapat antibiotik dengan dosis yang tidak tepat. Didapatkan rata-rata durasi lama pemberian antibiotik ialah 5 hari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan (p = 0,031).


(5)

ABSTRACT

Gastroenteritis is associated with morbidity and mortality of several millions children in developing countries each year. Even though Gastroenteritis is usually self-limiting, sometimes antibiotics are needed when the causative organisms are bacteria. Irrational antibiotic usage not only will increase the development of resistance but also increase the healthcare cost and increase the length of hospitalization.

The aim of this study is to find the relationship between accuracy of dosage and duration of antibiotic with length of hospitalization in pediatric gastroenteritis at RSUP Haji Adam Malik Medan. The method used in this study is analytic descriptive with cross-sectional design based on patient medical records.

The result shows that 62.9% of patients get inaccurate dosage of antibiotics. The average length of hospitalization in this study is 5 days. From this study, it shows that there is significant relationship between dosage accuracy and duration of antibiotic with length of hospitalization in gastroenteritis pediatric patient (p = 0,031).

Key words: Antibiotic, dosage, duration of usage, length of hospitalization, gastroenteritis


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti diberikan kesempatan untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul ”Hubungan Ketepatan Dosis dan Lama Pemberian Antibiotik dengan Lama Perawatan pada Pasien Anak dengan Gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik Medan” tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada keluarga peneliti yang telah memberikan motivasi dan masukan dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Dalam penulisan karya tulis ini, peneliti telah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Sake Juli Martina, Sp. FK, selaku dosen pembimbing karya tulis ilmiah atas kesabaran dan waktu yang diberikannya untuk membimbing peneliti sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. dr. Soekimin, Sp. PA dan dr. Ilham, Sp. PD selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti dalam membuat karya tulis ilmiah ini menjadi lebih baik.

3. Kedua orang tua peneliti yang tidak pernah putus asa memberi semangat dan motivasi.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan.

5. Teman-teman kelompok satu bimbingan, Sutrisno, teman-teman peneliti terutama Suhaila Mohd Amirrudin, dan teman yang lainnya yang telah memberikan saran dan bantuan kepada peneliti selama penyusunan karya tulis.


(7)

6. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada peneliti.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan karya tulis ini karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peneliti. Oleh sebab itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi kualitas karya tulis ini. Akhir kata, peneliti berharap agar Karya Tulis Ilmiah ini memberi manfaat kepada semua orang.

Medan, 7 Januari 2014 Penulis

Khamisah Binti Ghazali 100100386


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak... ii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel dan Daftar Gambar ... viii

Daftar Singkatan ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Gastroenteritis ... 4

2.1.1. Definisi ... 4

2.1.2. Etiologi ... 4

2.1.3. Gejala klinis ... 5

2.1.4 Diagnosis... 6

2.1.5. Penatalaksanaan ... 6

2.2 Antibiotik ... 9

2.2.1. Definisi ... 9

2.2.2. Prinsip Penggunaan Antibiotik ... 9

2.2.3. Penggunaan Antibiotik Pada Anak ... 10

2.2.4. Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Pada Penggunaan Antibiotik Pada Anak... 11

2.2.5. Penghitungan Dosis Obat Pada Anak ... 25

2.2.6. Lama Pemberian Antibiotik ... 27

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 30

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 30

3.2. Definisi Operasional Penelitian ... 30

3.3. Hipotesis ... 31

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 32

4.1. Jenis Penelitian ... 32

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 32

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 32

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 34


(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36

5.2 Deskripsi Karakteristik Individu ... 36

5.3 Hasil Analisa Statistik ... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kelompok

Umur...11

Tabel 2.2 Antibiotik Aminoglikosida: Kadar Puncak dan

Terendah...14

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Penderita Gastroenteritis Anak

Berdasarkan Kelompok Umur...37

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pasien Gastroenteritis Anak Berdasarkan Jenis Kelamin...37

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Antibiotik yang digunakan pada Pasien Gastroenteritis Anak yang dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik...38

Tabel 5.4 Distribusi Lama Rawat Inap Pasien Gastroenteritis Anak di

RS Adam Malik...40

Tabel 5.5 Distribusi Durasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien

Gastroenteritis Anak di RS Adam Malik...42

Tabel 5.6 Keadaan Pasien Saat Pulang ...43

Tabel 5.7 Ketepatan Dosis Antibiotika pada Pasien Anak dengan

Gastroentritis di Bagian Anak RS Adam Malik Medan...43

Tabel 5.8 Hubungan Ketepatan Dosis dengan Lama Perawatan...44

Tabel 5.9 Hubungan Lama Pemberian Antibiotik dengan Lama

Perawatan...44 Tabel 5.10 Hubungan Ketepatan Dosis dengan Keadaan Pasien Saat


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran Interaksi Antara Pasien, Patogen dan

Antibiotik...10

Gambar 2.2 Parameter Farmakokinetik dan Farmakodinamik yang Menentukan Efek Suatu Antibiotik...20

Gambar 2.3 Indeks Terapeutik Mengukur batas Keamanan Dari Suatu

Obat...21

Gambar 2.4 (A) Obat dengan Indeks Terapeutik Rendah...22


(12)

DAFTAR SINGKATAN

AST Antibiotic Susceptibility Test

AUC area under curve

CDC Centers for Disease Control

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia ED Effective Dose

INRUD International Network Rational use of Drug

KHM Kadar Hambat Minimum

LD Loading Dose

LPT Luas permukaan tubuh

MEC Minimal Effective Concentration Menkes RI Menteri Kesehatan Republik Indonesia PAE Postantibiotic effect

TI Therapeutic index

WHO World Health Organization SPC Summary of Product Charateristics


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Izin penelitian dari Fakultas Kedokteran USU

Lampiran 3 Persetujuan Komisi Etik


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Gastroenteritis atau penyakit diare adalah penyakit yang terjadi akibat adanya peradangan pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi (Cakrawardi et. al,2009). Penyakit ini ditandai dengan gejalanya terutama diare, muntah atau keduanya dan dapat juga disertai dengan demam, nyeri abdomen dan anoreksia (Elliott J. E., 2007). Secara global, setiap tahun diperkirakan dua juta kasus gastroenteritis yang terjadi di kalangan anak berumur kurang dari lima tahun. Walaupun penyakit ini seharusnya dapat diturunkan dengan pencegahan, namun penyakit ini tetap menyerang anak terutamanya yang berumur kurang dari dua tahun. Selain menyebabkan jumlah kematian yang tinggi di kalangan anak, penyakit gastroenteritis juga menimbulkan beban kepada ibu bapa dari segi biaya pengobatan dan waktu. Penyakit ini terutama disebabkan oleh makanan dan minuman yang terkontaminasi akibat akses kebersihan yang buruk (Howidi et. al, 2012).

Gastroenteritis atau penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan (Depkes) dari tahun 2000 sehingga tahun 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 incidence rate penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), studi mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahawa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian karena diare perlu tatalaksana yang cepat dan tepat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,2011).


(15)

Biasanya gastroenteritis dapat pulih sendiri tanpa terapi. Penatalaksanaan kasus gastroenteritis mempunyai tujuan mengembalikan cairan yang hilang akibat diare. Kegagalan dalam pengobatan gastroenteritis dapat menyebabkan infeksi berulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya resistensi. Untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut, WHO telah merekomendasikan pengobatan gastroenteritis berdasarkan penyebabnya. Terapi antibiotik diindikasikan untuk gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal ini karena antibiotik merupakan obat andalan untuk terapi infeksi bakteri. Namun, ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik adalah sangat penting agar tidak terjadi resistensi bakteri dan infeksi berulang (Cakrawardi et. al, 2009). Resistensi antibiotik di kalangan bakteri enterik dapat menimbulkan implikasi buruk karena dapat mengancam nyawa dan menyebabkan penyakit yang lebih serius (A Elmanama et al., 2013).

Sebuah studi di Makassar pada tahun 2009 pernah meneliti tentang pola penggunaan antibiotik pada pasien anak dengan gastroenteritis, namun belum ada lagi penelitian yang meneliti tentang hubungan antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik.

1.2. Rumusan masalah

Apakah ada hubungan antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

1.3. Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan Utama

Mengetahui hubungan ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik, Medan


(16)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui ketepatan dosis antibiotik pada anak dengan gastroenteritis. 2. Mengetahui lama pemberian antibiotik pada anak dengan gastroenteritis. 3. Mengetahui hubungan ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik

dengan lama perawatan pada anak dengan gastroenteritis. 1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada golongan yang berikut:

1.4.1. Penulis

Sebagai sarana pembelajaran dalam rangka penerapan ilmu pengetahuan yang telah diterima selama kuliah di Fakultas Kedokteran USU.

1.4.2. Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai data ilmiah untuk bahan pembelajaran mengenai ketepatan dosis antibiotik dan lama pemberiannya pada anak.

1.4.3. Institusi Kesehatan

Dapat digunakan sebagai data ilmiah bagi RSUP Hj Adam Malik, Medan untuk meningkatkan kualitas tenaga medis dalam pemberian antibiotik yang tepat pada anak dan sebagai acuan untuk penggunaan antibiotik yang lebih rasional.

1.4.4. Penelitian

Dapat digunakan sebagai sumber data dan acuan dalam penelitian selanjutnya yang terkait dengan rasionalitas penggunaan antibiotik.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisi

Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi dari membran mukosa saluran pencernaan yaitu di lambung, usus halus dan usus besar. Gastroenteritis ditandai dengan gejala utamanya yaitu diare, muntah, mual dan kadang disertai demam dan nyeri abdomen (Beers H. et. al, 2003). Sekiranya tidak ditangani segera dapat mengakibatkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan kematian terutamanya pada anak. Kebanyakan kasus gastroenteritis bersifat infeksius, namun dapat juga terjadi akibat konsumsi obat-obatan dan bahan-bahan toksik seperti plumbum (Marcdante J. et. al, 2011). Penularan gastroenteritis dapat melalui rute fekal-oral dari orang ke orang atau melalui air dan makanan yang terkontaminasi (Cecily Lynn Betz & Linda A. Sowden, ).

2.1.2. Etiologi

Gastroenteritis dapat disebabkan oleh banyak hal seperti virus, bakteri, parasit, obat-obatan, alergi makanan dan bahan toksik. Namun, yang paling sering menjadi penyebab adalah virus dan bakteri. Mikroorganisme penyebab gastroenteritis dapat ditularkan dengan pelbagai cara seperti penularan dari orang ke orang dan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Kemampuan suatu organisme untuk menginfeksi berkait rapat dengan cara penyebaran, kemampuan untuk berkolonisasi di saluran pencernaan dan jumlah minimal dari organisme yang dapat menimbulkan penyakit (Marcdante J. et. al, 2011).

Kebanyakan kasus gastroenteritis pada anak di seluruh dunia adalah disebabkan oleh infeksi virus (Kasper L. et. al, 2005). Di negara berkembang, 30-40% dari semua penyakit diare disebabkan oleh virus terutamanya Rotavirus dan Norovirus (Ji Hye Kim & Sung Hee Oh, 2003). Rotavirus dapat menimbulkan endemik sehingga infeksi virus ini mengakibatkan angka kesakitan dan kematian


(18)

yang tinggi di kalangan anak yang berusia di bawah lima tahun. Setiap tahun di seluruh dunia diperkirakan lebih 500 ribu kematian dan 2.4 juta kasus gastroenteriris akibat Rotavirus yang dirawat inap. Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis yang menimbulkan diare disertai dehidrasi terutamanya pada anak yang berumur antara tiga hingga 15 bulan (Kasper L. et. al, 2005).

Bakteri merupakan penyebab gastroenteritis kedua terbanyak setelah virus. Infeksi bakteri dapat menyebabkan diare inflamasi dan non-inflamasi. Infeksi bakteri yang menyebabkan diare inflamasi adalah seperti Campylobacter jejuni, Salmonella sp., Shigella sp., enteroinvasive atau enterohemoragik E. coli dan Yersinia enterolitica. Diare non-inflamasi biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Vibrio cholera, enteropathogenic atau enterotoxigenic E. coli (South-paul E. et. al, 2004).

Selain virus dan bakteri, parasit juga dapat menyebabkan gastroenteritis. Antaranya ialah Giardia dan Cryptosporidium (South-paul E. et. al, 2004)

2.1.3. Gejala klinis

Umumnya, gejala yang timbul adalah dalam bentuk kombinasi dari muntah, diare, nyeri abdomen, demam dan kurang nafsu makan. Namun, gejala utama dari gastroenteritis adalah diare dengan atau tanpa muntah yang dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam, letargi dan nyeri abdomen (Merck manuals,2003).

Gastroenteritis yang disebabkan oleh virus biasanya ditandai dengan feses yang encer tanpa darah atau lendir, muntah dan dehirasi yang lebih menonjol. Diare dapat menetap sehingga lima sampai tujuh hari manakala demam dan muntah dapat berlarutan sehingga dua atau tiga hari walaupun hanya demam ringan (Marcdante J. et. al, 2011).


(19)

2.1.4. Diagnosis

Penyakit gastroenteritis pada kebanyakan anak biasanya berlaku dalam masa yang singkat dan membaik apabila dehidrasi teratasi. Hal ini menyebabkan jarang dilakukan pemeriksaan atau tes diagnostik khusus untuk mencari penyebab dari gastroenteritis (South-paul E. et. al, 2004). Namun, pemeriksaan laboratorium atau kultur untuk bakteri dan parasit tetap harus dilakukan apabila gejala seperti demam, tinja berdarah dan diare menetap sampai satu minggu atau lebih. Adanya leukosit pada tinja menunjukkan adanya infeksi inflamasi. Pada anak yang terlihat dehidrasi, evaluasi awal pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan urinalisis dilakukan pada anak dengan diare sedang sampai berat sebagai indikator hidrasi terutama pada anak yang dirawat inap dan mendapat terapi cairan (Marcdante J. et. al, 2011). 2.1.5 Penatalaksanaan

Hal utama yang perlu ditangani pada pasien gastroenteritis adalah dehidrasi. Kebanyakan kasus gastroenteritis yang menyebabkan kematian adalah disebabkan hidrasi yang tidak ditangani secepatnya (Burkhart M., 1999). Menurut Kementerian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2011), tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui lima langkah tuntaskan diare (LINTAS Diare) telah dilaksanakan sebagai satu strategi dalam pengendalian penyakit diare. Lima langkah tuntaskan diare termasuklah pemberian oralit, pemberian obat zinc, pemberian air susu ibu (ASI) / makanan, pemberian antibiotika hanya atas indikasi dan pemberian nasehat.

1. Pemberian oralit

Menurut American Academy Pediatrics (AAP) (B. Clair Eliason, Lewan B. Richard,1998), pemberian cepat cairan rehidrasi dalam empat sampai enam jam dengan elektrolit glukosa oral direkomendasikan untuk mencegah terjadinya dehidrasi diikuti dengan pemberian susu cair. Cairan oralit yang diberikan adalah oralit dengan osmolaritas rendah yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Bila penderita tidak dapat minum oralit secara oral, harus segera dibawa ke saran


(20)

kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus (Kemenkes RI, 2011). Penatalaksanaan diare dengan pemberian oralit perlu didasarkan pada derajat dehidrasi penderita. Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:

a) Diare tanpa dehidrasi

b) Diare dehidrasi ringan/ sedang c) Diare dengan dehidrasi berat 2. Pemberian obat zinc

Zinc merupakan mikronutrien yang penting dalam tubuh. Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada tiga bulan berikutnya (Black, 2003). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahawa zinc mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat, 1998 dan Soenarto, 2007). Berdasarkan ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat menaglami diare.

Dosis pemberian zinc pada balita:

- umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari - umur > 6 bulan 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet dalam satu sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes, 2011). 3. Pemberian ASI / makanan

Pemberian makan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia enam


(21)

bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makananan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama dua minggu untuk membantu pemulihan berat badan (Kemenkes, 2011).

4. Pemberian antibiotika

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebahagian besar karena shigellosis), suspek kolera. (Eliason Claire & Lewan B, 1998)

Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebahagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia) (CDC,2003).

5. Pemberian nasehat

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat tentang:

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah.

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan / minum sedikit, timbul demam, tinja berdarah dan tidak membaik dalam tiga hari (Kemenkes, 2011).


(22)

2.2. Antibiotik 2.2.1. Definisi

Istilah antimikroba, antibiotik, dan anti-infeksi mencakup berbagai macam agen farmasi seperti obat antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiparasit. Antara berbagai agen tersebut, agen antibakteri adalah yang paling banyak digunakan (Leekha, 2011). Penggunaan pertama dari antibiotik pada 1940-an telah mengubah perawatan medis secara dramatis. Hal ini karena, penggunaan antibiotik dikatakan dapat mengurangi penyakit dan kematian akibat penyakit menular (CDC, 2011).

Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik bukan merupakan “obat peyembuh” penyakit infeksi, tetapi hanyalah obat yang dapat menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari suatu penyakit infeksi. (Ganiswara, 1995)

2.2.2. Prinsip Penggunaan Antibiotik

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap obat yang diresepkan pada pasien haruslah memenuhi kriteria obat yang rasional. Kriteria penggunaan obat yang rasional menurut International Network Rational use of Drug, 1999 (INRUD) adalah :

a. Tepat indikasi b. Tepat obat

c. Tepat dosis, durasi dan cara pemberian d. Tepat pasien

e. Tepat informasi pada pasien f. Tepat evaluasi atau monitoring

Penggunaan antimikroba yang tepat membutuhkan pemahaman tentang karakteristik obat, faktor tuan rumah dan patogen, yang semuanya berdampak pada pemilihan agen antibiotik dan dosisnya.


(23)

Gambar 2.1. Gambaran interaksi antara pasien, patogen dan antibiotik. Sumber: (McKinnon, 2004)

Pertimbangan penting ketika meresepkan terapi antimikroba adalah karakteristik dari bakteri termasuk mendapatkan diagnosis infeksi yang akurat, pola kerentanan terhadap antibiotik, dan kemungkinan konsekuensi bakteri resisten. Karakteristik pasien harus dipertimbangkan termasuk faktor yang mempengaruhi interaksi antara pasien dan infeksi, seperti faktor komorbid dan status kekebalan yang mendasari, serta faktor spesifik pada pasien seperti fungsi organ dan berat badan, yang akan mempengaruhi farmakokinetik dari antibiotik. Terakhir, pertimbangan untuk pemilihan antibiotik termasuk aktivitas antibakteri, kemanjuran klinis, keamanan dan potensi interaksi obat. yang akan mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat antimikroba (McKinnon, 2004).

2.2.3 Penggunaan antibiotik pada anak

Antibiotik adalah antara obat yang paling umum diresepkan pada anak dari berbagai kelompok usia dan merupakan obat yang sebagian besar diresepkan di pelayanan kesehatan primer. Dalam memilih antibiotik untuk pasien anak, diperlukan pemahaman farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang akan digunakan (Ekin-Daukes et al, 2003).


(24)

Terdapat beberapa dasar perbedaan anak dengan orang dewasa pada penggunaan antibiotik (Sumarmo dkk, 2010). Anak-anak lebih sensitif terhadap obat yang diberikan berbanding dengan orang dewasa karena berat badan, kondisi fisik, sistem dan metabolisme tubuh yang belum matang (Ogden & Falharty, 2012).

Terdapat penelitian yang menunjukkan kesilapan dalam pemberian dosis obat pada anak, dua sampai sepuluh kali lebih besar berbanding dosis yang direkomendasikan (Lack et al, 1997). Tabel 2.1 menunjukkan 19.2% dari jumlah keseluruhan anak dalam penelitian tersebut diberikan antibiotik dalam dosis yang rendah dan 2.2% mendapat antibiotik yang melebihi dosis yang direkomendasikan.

Age band (years)

No. Low dose %

Rate No. High dose %

Rate Total no. of antibiotics

0-4 1154 11.8 25.7 243 2.5 5.4 9767

5-11 1604 19.9 22.5 111 1.4 1.6 8055

12-16 1827 30.0 34.9 19 0.3 0.4 6089

Total 4582 19.2 27.1 373 1.6 2.2 23911

Tabel 2.1 penggunaan antibiotik berdasarkan kelompok umur (Ekin-Daukes et al, 2003)

2.2.4 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotik pada anak

Penyesuaian dosis pediatrik dapat ditentukan oleh perbedaan farmakokinetik, farmakodinamik, penyakit atau kombinasi dari faktor-faktor ini. Farmakokinetik obat pada anak mungkin berbeda dari orang dewasa karena beberapa alasan antaranya variabilitas usia, komposisi tubuh, fungsi hati dan ginjal dan pematangan sistem enzimatik (Cella et al., 2010). Oleh karena itu, pendekatan dosis yang berbeda mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa konsentrasi antibiotik memenuhi target farmakokinetik atau farmakodinamik (PK/PD) yang memungkinkan keberhasilan klinis dan sekaligus menentukan dosis


(25)

yang paling tepat untuk neonatus, bayi, anak-anak dan remaja (Johnson, 2005). Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik seperti waktu paruh, konsentrasi puncak, waktu penetrasi konsentrasi antibiotik di atas konsentrasi hambat minimum (KHM) dan tingkat postantibiotic effect (PAE) juga harus dipertimbangkan dalam penggunaan antibiotik (Haug, 2011). Menurut Sumarmo dkk, antara faktor yang menentukan keberhasilan pengobatan adalah dosis obat harus cukup tinggi dan efektif terhadap mikroorganisme, tetapi konsentrasi di dalam plasma dan jaringan tubuh harus tetap lebih rendah dari dosis toksik.

1. Faktor Farmakokinetik

Efek suatu antimikroba, baik khasiat antimikrobanya maupun efek reaksi tubuh hospes sangat ditentukan oleh kadar obat (dan metabolitnya yang aktif/toksik) di biofase tempat kerjanya. Kadar tersebut sangat ditentukan oleh faktor farmakokinetik (absorpsi, distribusi, ikatan dengan makro-molekul, biotransformasi dan ekskresi) (Putra, 2008).

Pemberian antimikroba untuk anak memerlukan pertimbangan klinis yang seksama karena karakteristik farmakokinetik pada anak berbeda dengan orang dewasa. Kepatuhan makan obat (compliance) dan jenis penyakit infeksi juga merupakan faktor yang menonjol pada subpopulasi anak (Setiabudy & Istiantoro., 2003). Beberapa faktor pada pasien bayi dan anak yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu penyerapan, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat (Putra, 2008).

a. Absorpsi

Penyerapan obat pada bayi dan anak mengikut prinsip-prinsip umum yang sama seperti pada orang dewasa. Faktor unik yang mempengaruhi penyerapan obat termasuklah aliran darah ke lokasi administrasi, yang ditentukan oleh status fisiologis bayi atau anak, cara pemberian obat-obatan (secara oral, intramuskular, dan intravena) dan fungsi saluran cerna (Katzung, 2009).

Pada neonatus dan orang dewasa, proses absorbsi setelah pemberian obat secara intramuskular (i.m.) atau subkutan tergantung pada laju aliran darah ke bahagian yang disuntikkan. Terdapat beberapa kondisi fisiologis yang dapat


(26)

mengurangi aliran darah ke daerah ini seperti syok kardiovaskular, vasokonstriksi akibat agen simpatomimetik dan gagal jantung (Katzung, 2009).

Pemberian obat secara intramuskular juga tidak selamanya menjamin bahwa absorpsi yang cepat dan lengkap akan terjadi pada pasien anak. Pada beberapa penyakit, misalnya penurunan curah jantung, respiratory distress syndrome, dan gangguan sirkulasi darah, terlihat bahwa aliran darah ke otot berkurang. Pada penyakit-penyakit yang disertai dengan demam berat, misalnya sindrom nefrotik dan kwashiorkor, bioavailabilitas obat yang diberikan secara i.m. juga akan berkurang. Pada neonatus, aliran darah ke otot sangat bervariasi sebelum mencapai usia 2-3 minggu. (Setiabudy & Istiantoro., 2003)

Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada daya absorbsi obat adalah pH lambung, daya pengosongan lambung, dan luas permukaan saluran gastrointestinal (Sumarmo dkk, 2010). Kemampuan bayi untuk memproduksi asam lambung lebih rendah daripada orang dewasa, karena itu penisilin oral yang mudah dirusak oleh asam lambung diserap lebih lengkap pada pasien kelornpok usia ini. Setelah usia 3 tahun, eksresi asam lambung per kilogram berat badan sama dengan ekskresi pada dewasa. Seperti yang terjadi pada pasien dewasa, penyerapan beberapa antimikroba (misalnya rifampisin, isioniazid, penisilin berspektrun sempit) terhambat bila diberikan bersama dengan makanan (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi dan konsentrasi plasma tertinggi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin satu sampai tiga jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Kadar puncak terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dianggap toksik seperti aminoglikosida (Tabel 2.2). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi (Kee, 1996).


(27)

Tabel 2.2. Antibiotik Aminoglikosida: Kadar Puncak dan terendah (Sumber: Kee, 1996).

b. Distribusi

Volume distribusi obat dipengaruhi oleh komposisi tubuh. Neonatus memiliki persentase lebih tinggi dari berat tubuhnya dalam bentuk air (70-75%) daripada orang dewasa (50-60%). Sementara itu, volume cairan ekstraselular pada neonatus adalah 40% dari berat badan dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya memiliki 20% (Katzung, 2009). Distribusi antimikroba juga berbeda pada populasi anak itu sendiri, dari neonatus sehingga remaja (Bradley et al., 2010). Oleh karena sebagian besar obat-obat yang digunakan dalam bidang pediatri adalah obat yang larut dalam air, maka volume distribusi obat yang larut dalam air menjadi lebih besar pada neonatus dan bayi prematur. Akibatnya diperlukan dosis muatan atau dosis pembebanan (loading dose) yang lebih besar pada kelompok usia ini (Setiabudy & Istiantoro, 2003).

Dosis pembebanan diberikan untuk mendapatkan efek yang cepat dan besar dari suatu obat untuk mencapai minimum effective concentration (MEC) (Kee, 1996). Pada penyakit tertentu, terjadi perubahan pada permeabilitas dari endotel di mikrovaskular yang berakibat kepada perubahan pada komposisi air di bahagian ekstraselular. Hal ini akan menyebabkan pertambahan volume distribusi seterusnya memerlukan dosis pembebanan yang lebih besar. Untuk obat yang efeknya berdasarkan concentration-dependent killing, diperlukan dosis pembebanan yang lebih besar untuk mencapai efek bakterisidal yang maksimal. Contohnya, pemberian aminoglikosida dengan dosis awal yang besar telah terbukti dapat mengurangkan mortalitas (Mckenzie, 2011). Setelah dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari (Kee, 1996).


(28)

Faktor utama yang menentukan distribusi obat adalah pengikatan obat pada protein plasma. Albumin merupakan protein plasma dengan kapasitas pengikatan terbesar. Secara umum, pengikatan protein terhadap obat kurang pada anak. Hal ini telah terlihat dengan obat ampisilin. Peningkatan konsentrasi obat yang tidak terikat dengan protein plasma dapat mengakibatkan efek obat yang lebih besar atau toksisitas meskipun konsentrasi plasma normal atau bahkan rendah dari jumlah obat (Katzung, 2009).

Pada anak dengan penyakit hati yang berat dan mengalami sindrom nefrotik, pemberian antimikroba perlu dipantau karena kadar protein plasmanya yang rendah. Kadar protein yang kurang tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bila terjadi interaksi obat. Contoh klasik untuk ini ialah pemberian sulfonamid dapat menggeser bilirubin dari ikatannya dengan protein darah dan mengakibatkan timbulnya kernicterus (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

Pemantauan kadar obat di dalam darah adalah suatu teknik yang digunakan klinisi untuk mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah bertujuan untuk membantu meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita (Elly Usman, 2007).

Interaksi antibiotik-bakteri biasanya terjadi pada tingkat jaringan. Dengan demikian, cara pemberian obat yang dapat meningkatkan penetrasi antibiotik ke dalam jaringan sangat penting dalam memprediksi respons terapi suatu obat. Konsentrasi antibiotik yang signifikan diperlukan di lokasi infeksi karena konsentrasi serum tidak selalu mencerminkan konsentrasi jaringan (Aziz et al, 2012). Dosis suatu antimikroba seringkali tergantung dari tempat infeksi, walaupun kuman penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh pneumokokus jauh lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran nafas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama (Ganiswara, 1995).


(29)

Tidak semua bagian tubuh dapat ditembus dengan mudah oleh antimikroba. Kemampuan antimikroba menembus sawar darah otak merupakan hal yang penting diperhatikan dalam penatalaksanaan meningitis bakterial. Antimikroba dapat dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan kemampuannya menembus sawar darah-otak. Kelompok pertama ialah antimikroba yang dapat menembus sawar darah otak dengan baik tanpa tergantung dari ada atau tidaknya radang. Yang termasuk ini ialah kloramfenikol serta kombinasi sulfonamid dan trimetoprim. Kelompok yang kedua ialah antimikroba yang hanya dapat menembus sawar darah otak dengan baik bila terjadi radang pada selaput otak. Antimikroba yang termasuk golongan ini ialah golongan penisilin, golongan sefalosporin generasi ketiga, rifampisin, dan vankomisin. Kelompok yang ketiga ialah antimikroba yang sulit menembus sawar darah otak dengan atau tanpa radang. Antimikroba yang termasuk kelompok ini ialah aminoglikosida, klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

c. Metabolisme

Proses metabolisme mempengaruhi waktu paruh suatu obat (Kee, 1996). Kebanyakan obat dimetabolisme di hati, memiliki kadar clearance yang lambat, dan waktu paruh yang panjang (Setiabudy & Istiantoro., 2003). Contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat yang dimetabolisme (Kee, 1996). Pemberian obat untuk kelompok usia ini perlu diberi perhatian, terutamanya obat yang diberikan untuk jangka waktu yang lama (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

Kemampuan untuk memetabolisme obat pada anak masih kurang, jika pemberian dosis obat dan interval dosis tidak dilakukan dengan tepat, maka akan terjadi efek samping yang tidak diinginkan pada anak (Setiabudy & Istiantoro., 2003). Lama kerja suatu obat tergantung dari waktu paruhnya, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t1/2 = 2 jam), diberikan beberapa kali sehari (McKenzie, 2011). Manakala obat-obat dengan waktu paruh panjang seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika suatu obat dengan


(30)

waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat (Kee, 1996).

d. Eksresi atau eliminasi

Secara umumnya, metabolisme dan ekskresi obat oleh ginjal masih belum sempurna pada neonatus. Tetapi, kemampuan metabolisme dan ekskresi obat pada anak besar lebih sempurna dan hampir sama dengan orang dewasa. Walaupun demikian, pada beberapa penyakit, fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemberian obat antimikroba tertentu (Sumarmo dkk, 2010). Hal ini amat penting karena anak dengan disfungsi organ tidak dapat mengeliminasi obat antimikroba dengan efektif sepertimana pada anak dengan organ yang normal. Contohnya, farmakokinetik vankomisin pada anak dengan gagal ginjal akan berbeda daripada anak dengan ginjal yang normal (Bradley et al., 2010).

Makin prematur seorang bayi, makin rendah kemampuan ginjalnya untuk mengekskresi obat sehingga makin panjang pula masa paruh eliminasi obat (Setiabudy & Istiantoro., 2003). Kadar eliminasi diekspresikan melalui waktu paruh suatu obat di dalam serum yang dikenal sebagai kadar konsentrasi plasma terendah. Apabila suatu obat diberikan, interval dosis biasanya dikira tiga hingga empat kali dari waktu paruh obat. Hal ini membolehkan konsentrasi obat dapat dipertahankan agar tetap berada di atas KHM. Kebanyakan antimikroba seperti beta-laktam, aminoglikosida, tetrasiklin, dan sulfonamid diekskresi melaui ginjal dengan cara filtrasi glomerulus atau sekresi tubular. Obat antibiotik seperti aminoglikosida, tetrasiklin, florokuinolon dan vankomisin diekskresikan terutamanya dengan cara filtrasi glomerulus. Dengan cara ini, hanya obat yang tidak berikatan dengan protein plasma yang akan diekskresikan seterusnya dapat menyebabkan waktu paruh obat dalam serum lebih panjang. Obat antibiotik lain seperti eritromisin, klindamisin, rifampin, nafsilin diekskresikan melalui hati dan obat doksisiklin pula diekskresikan melaui tinja (Hessen & Kaye, 2004).


(31)

2. Faktor farmakodinamik

Farmakodinamik (PD) membahas tentang hubungan antara kadar antibiotik di dalam tubuh dan efek antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter farmakokinetik sahaja. Namun, ternyata farmakodinamik obat juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting (Levison, 2004). Pada abad resistensi antibiotik yang terus meningkat ini, faktor farmakodinamik obat bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang lebih optimal untuk melawan atau mencegah resistensi (Menkes RI, 2011).

Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah paparan antibiotik (Menkes RI, 2011).

Setelah suatu mikroorganisme patogen diidentifikasi, langkah berikutnya yang dilakukan adalah uji kerentanan antimikroba (AST). Uji kerentanan antimikroba mengukur kemampuan organisme tertentu untuk tumbuh dalam keadaan adanya obat secara in vitro dan data dilaporkan dalam bentuk konsentrasi hambat minimum (KHM) yang menjadi ukuran utama aktivitas antibiotik (Leekha, 2011). KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM adalah indikator baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan apa-apa tentang perjalana waktu aktivitas antibiotik (Menkes RI, 2011).

Berdasarkan kriteria dari Clinical and Laboratory Standards Institute, kadar hambat minimal diinterpretasikan sebagai “susceptibility”, “resistant” atau “intermediate” dan disebut sebagai breakpoints. “Susceptible” menunjukkan bahwa isolasi organisme yang mungkin akan dihambat oleh konsentrasi agen antimikroba yang tertentu yang biasanya dicapai ketika dosis direkomendasikan untuk suatu lokasi infeksi tertentu. Breakpoints biasanya ditentukan oleh tahap


(32)

obat yang dapat dicapai dalam serum dan bukan konsentrasi obat di lokasi infeksi (Leekha, 2011).

Kadar hambat minimal bagi setiap antibiotik terhadapa bakteri yang susceptible adalah berbeza antara satu dengan yang lain. Antibiotik tertentu (misalnya INH dan eritromisin) aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi kadar hambat minimal (KHM), sebaliknya dosis rendah antibiotik kelompok bakterisid dapat bersifat bakteriostatik atau tidak bekerja sama sekali (Ganiswarna, 1995).

Terdapat dua faktor penentu utama dalam membunuh bakteri yaitu konsentrasi dan waktu antimikroba tetap berada di dalam plasma. Setelah pemberian suatu dosis dari antibiotik, daerah di bawah kurva konsentrasi serum (AUC) menunjukkan berapa tinggi konsentrasi dan berapa lama tingkat antibiotik berada tetap berada pada tahap melebihi sasaran KHM selama satu interval dosis. Pada dasarnya, AUC secara tidak langsung mengukur dua faktor utama untuk mengeradikasi bakteri dan menunjukkan jumlah paparan dari organisme terhadap antibiotik selama satu interval dosis (Quintiliani, 2008).

a. Time-Dependent Killing:

Untuk antibiotik tertentu, efek aktivitasnya bergantung kepada masa atau konsentrasi suatu obat berada pada lokasi pengikatan. Misalnya, antibiotik seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin, carbapenem, monobactam), klindamisin, makrolida (eritromisin, clarithromycin), oxazolidinones (linezolid), dapat menjadi efektif apabila obat dapat berikatan dengan mikroorganisme dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, antibiotik ini disebut sebagai antibiotik yang efek aktivitasnya tergantung pada waktu. Untuk obat ini, parameter farmakodinamik yang dapat digunakan adalah konsentrasi di serum tetap melebihi kadar hambat minimal (KHM) selama interval pemberian dosis (T>KHM) (Quintiliani, 2008). Contohnya, dosis tinggi dari penisilin dan sefalosporin tidak mengeliminasi bakteri lebih dari dosis sederhana. Penisilin memiliki waktu paruh yang singkat,


(33)

obat tersebut sering diberikan, sebaiknya empat kali per hari, sehingga konsentrasi berada di atas MIC lebih dari 50% dari waktu. (Haug,2011)

b. Concentration-dependent killing:

Kelas antibiotik yang lain, seperti aminoglikosida dan florokuinolon, memiliki konsentrasi yang tinggi pada lokasi pengikatan seterusnya dapat mengeradikasi mikroorganisme dan karenanya, obat ini dianggap sebagai obat yang efeknya bergantung pada konsentrasi. Untuk agen yang tergantung konsentrasi, parameter farmakodinamik yang dapat digunakan adalah rasio puncak / KHM (Gambar 2.2.). Obat yang tergantung konsentrasi memerlukan dosis awal yang tinggi untuk mencapai efek terapi yang maksimal yaitu ketika konsentrasi adalah > 10 kali di atas KHM untuk suatu organisme di tempat infeksi (Craig, 1993). Efek dari aminoglikosida dan florokuinolon tergantung pada konsentrasi puncak, yaitu dosis yang lebih tinggi (dalam batas tertentu) menghilangkan bakteri lebih baik dari dosis rendah. Florokuinolon memiliki waktu paruh yang panjang dan dapat diberikan dua kali sehari. Aminoglikosida mempunyai waktu paruh yang panjang dan efek pasca antibiotik yang lama khususnya terhadap batang gram negatif dan dapat diberikan dalam dosis sekali sehari (Quintiliani, 2008).

Gambar 2.2 Parameter farmakokinetik/farmakodinamik yang menentukan efek suatu antibiotik (Sumber: McKinnon, 2004).


(34)

Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan sejauh mana optimalisasi keseimbangan antara efek terapeutik yang diinginkan dengan efek samping atau efek toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. (Usman, 2007)

Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal (mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya. (Kee, 1996)

TI=LD50 ED50

Gambar 2.3. Indeks terapeutik mengukur batas keamanan dari suatu obat, yaitu rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif dan dosis letal. (Sumber: Diadaptasi dari Songer dan Matejski; Nursing Pharmacology, 2/E, Philadelphia, JB Lippincott, hal 37, 1991.)


(35)

Obat-obat dengan indeks terapeutik yang rendah mempunyai batas

keamanan yang sempit (Gambar 2.4. (A)). Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis letal. Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik (Gambar 2.4. (B)). Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi. Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan) dan efek toksiknya. Jika batas terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagian obat yang berikatan dengan protein maupun yang tidak (Kee, 1996).

3. Faktor pasien

Penentuan dosis antimikroba tertentu adalah untuk penderita tertentu pula, ada kalanya perlu dipertimbangkan faktor-faktor khusus. Hal ini terutama berhubungan dengan keadaan fungsi organ tubuh hospes, khususnya ginjal sebagai organ untuk ekskresi, dan hepar sebagai organ biotransformasi serta ekskresi. Toksisitas Karbenisilin ada hubungannya dengan dosis. Untuk penderita

Gambar 2.4. (A) Obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit, dan efek obat harus dipantau dengan ketat.

(B) Obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan kurang menimbulkan risiko toksisitas (Sumber: Diadaptasi dari Songer dan Matejski; Nursing Pharmacology, 2/E, Philadelphia, JB Lippincott, hal 37, 1991).


(36)

dengan gangguan fungsi ginjal, dosis kabenisillin perlu diturunkan. Ekskresi tetrasiklin, terutama terjadi melalui ginjal, dengan adanya gangguan fungsi ginjal, jenis tetrasiklin (kecuali doksisiklin) merupakan kontraindikasi karena bersifat nefrotoksik. Kalaupun diberikan tetrasiklin, dosisnya perlu dikurangi untuk menghindari tercapainya kadar toksik di dalam darah (Putra, 2008).

Pepatah anak bukanlah orang dewasa kecil tidak hanya berlaku untuk pemilihan obat dan dosis yang sesuai untuk digunakan pada anak tetapi juga berlaku untuk kerentanan mereka terhadap reaksi obat yang merugikan (Johnson, 2005). Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping, baik yang diingini maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepatpun, efek samping dapat terjadi. Efek toksik suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma. Tetapi untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang sempit, seperti antibiotika aminoglikosida, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Untuk menghindari efek toksik, adalah perlu mengetahui waktu paruh, persentase pengikatan dengan protein, efek samping normal dan batas terapeutik suatu obat (Kee, 1996). Efek samping akibat penggunaan antibiotik dapat dikelompokkan kepada empat yaitu reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes.

a. Reaksi Alergi

Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes, terjadinya tidak tergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Prognosis reaksi seringkali sukar diramalkan walaupun didasarkan ata riwayat reaksi alergi pasien. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu kembali, ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin.


(37)

b. Reaksi idiosinkrasi

Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD.

c. Reaksi toksik

Antibiotik umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek toksik pada hospes dapat ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Contohnya, golongan tetrasiklin dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik terutamanya pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.

Di samping faktor jenis obat, berbagai faktor lain dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya reaksi toksik, antara lain fungsi organ atau sistem tertentu sehubungan dengan biotransformasi dan ekskresi obat.

d. Perubahan biologik dan metabolik

Pada tubuh hospes yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat populasi mikroflora normal yang penting untuk sistem pertahanan tubuh. Dalam keadaan yang seimbang, populasi mikroflora tersebut tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antibiotik terutama yang berspektrum lebar, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumah populasinya dapat menjadi patogen. Hal ini dapat terjadi di beberapa bagian tubuh seperti di saluran cerna, saluran nafas, dan kulit. Contoh, meningkatnya insidensi strain toksik dari Clostridium difficile yang menyebabkan lebih tinggi angka kematian dan perlu dirawat inap lebih lama (Ganiswarna, 1995).

Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu antibiotik. Antara faktor terjadinya superinfeksi adalah akibat penggunaan antibiotik yang berspektrum lebar, khususnya tetrasiklin dan penggunaan antibiotik yang terlalu lama. Makin lebar spektrum suatu antibiotik, maka makin


(38)

besar kemungkinan suatu jenis mikroflora tertentu menjadi dominan (Ganiswarna, 1995).

Selain menimbulkan perubahan biologik, antibiotik juga dapat menimbulkan gangguan nutrisi atau metabolik, umpamanya gangguan absorpsi zat makanan oleh neomisin.

4. Resistensi bakteri terhadap antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik (Ganiswarna, 1995). Penggunaan antibiotik yang berlebihan atau kurang pada anak dapat berdampak kepada timbulnya resistensi bakteri (Togoobaatar, 2010). Penggunaan meluas antibiotik dengan dosis rendah mungkin dapat meningkatkan potensi terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba seterusnya memperpanjang durasi perawatan (Nigel, 2003).

2.2.5. Penghitungan dosis obat pada anak

Sebagian besar obat di pasaran awalnya dikembangkan untuk orang dewasa dan pemilihan dosis didasarkan pada keseimbangan yang optimal antara efikasi klinis dan keamanan (Johnson, 2005). Normalisasi dosis dewasa menurut umur, berat badan atau kovariat demografis lain tanpa bukti awal tentang bagaimana faktor-faktor ini berkontribusi pada perbedaan dalam pajanan obat dapat menyebabkan penggunaan dosis pediatrik yang tidak aman (Ekins-Daukes et al, 2003). Namun, pertimbangan etika, praktis dan bahkan ekonomi telah menyebabkan efektivitas evaluasi dan keamanan obat pada anak harus didasarkan pada ekstrapolasi empiris dari uji klinis pada orang dewasa. Dengan demikian, skala empiris dari orang dewasa kepada anak-anak terus menjadi metode utama untuk pemilihan dosis pada anak-anak, dengan penyesuaian untuk berat badan sebagai pendekatan yang paling umum digunakan. (Cella et al, 2010) Dua metode yang aman digunakan adalah metode berdasarkan berat badan dan luas permukaan tubuh (LPT, atau m2) (Lack, 1997). Dosis anak-anak dapat ditentukan dari dosis dewasa dengan menggunakan peraturan luas permukaan tubuh (Ogden &


(39)

Fluharty, 2011). Metode yang lebih lama dalam penghitungan dosis anak adalah rumus Fried dan rumus Young, yang berdasarkan umur anak, dan rumus Clark yang berdasarkan berat badan anak (Kee, 1996).

a. Dosis berdasarkan berat badan

Penghitungan dosis obat anak adalah penting untuk memastikan bahawa anak mendapat dosis yang tepat dalam batas terapeutik yang disetujui. Salah satu metode pemberian dosis yang aman adalah metode berdasarkan berat badan (kg) (Kee, 1996). Pemberian dosis berdasarkan berat badan harus mempertimbangkan faktor obesitas. Hal ini karena, obesitas dapat menyebabkan konsentrasi dosis standard yang diberikan tidak adekuat (Haug, 2011). Selain itu, obesitas juga dapat menyebabkan perubahan fisiologis termasuk peningkatan massa otot dan jaringan adiposa. Keadaan ini dapat mempengaruhi distribusi, metabolisme dan juga clearance dari suatu obat. Pada pasien obesitas juga terjadi peningkatan dari protein plasma yang boleh menyebabkan komposisi obat yang tidak terikat kepada protein berkurang, seterusnya efek obat turut berkurang (Grace, 2012).

b. Dosis berdasarkan umur

Proses pemberian dosis pada anak menjadi sulit apabila terdapat variasi dosis untuk umur yang berbeda. Contohnya, menurut Summary of Product Charateristics, (SPC) merekomendasikan berbeda usia di mana peningkatan dosis harus terjadi. Misalnya, peningkatan dosis yang signifikan untuk Amoxycillin terjadi pada usia 10 tahun, sementara fenoksimetilpenisilin langkah peningkatan direkomendasikan pada 1 dan 6 tahun. (Ekin-Daukes et al, 2003)

Metode lain untuk penyesuaian dosis berdasarkan usia yaitu anak dibagi menjadi subkategori (prematur bayi baru lahir, bayi cukup bulan, bayi, balita, anak-anak dan remaja) dan dosis yang dipilih sesuai dengan usia anak. Metode ini tidak memperhitungkan perubahan karena pertumbuhan perkembangan yang terjadi dalam setiap kelompok usia. Meskipun kapasitas metabolisme hepatik dari seorang anak berusia 5 tahun benar-benar berbeda dari neonatus, pendekatan ini gagal dalam menggambarkan kematangan metabolisme antara anak umur satu dan enam bulan. Di sisi lain, mungkin tidak ada perbedaan dalam metabolisme obat di antara remaja dan orang dewasa. (Cella et al., 2010)


(40)

c. Dosis berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT)

Takaran dosis dari orang dewasa juga dapat dilakukan dengan normalisasi berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT), dengan asumsi bahwa proses metabolisme pada manusia adalah konstan bila diekspresikan sebagai fungsi dari LPT. Namun, beberapa kelemahan membatasi penerapan metode ini yaitu kesulitan dalam menghitung LPT (karena kompleksitas dan ketidaktelitian dari rumus yang dapat digunakan) dan kecenderungan untuk overdosis neonatus dan bayi. Ada juga sedikit pembenaran untuk LPT dari perspektif farmakokinetik: perubahan parameter farmakokinetik seluruh populasi anak tidak berubah secara proporsional dengan LPT, karena LPT tidak mendeskripsikan fungsi metabolik (misalnya skala dengan LPT tidak dapat memprediksi kurangnya enzim saat lahir, menyebabkan overdosis neonatus) (Lack, 1997).

2.2.6. Lama Pemberian antibiotik

Kepekaan kuman terhadap antimikroba tertentu tidak menjamin efektivitas klinis suatu pengobatan. Terdapat faktor lain yang dapat menjadi penyebab kegagalan terapi, salah satunya adalah durasi pemberian obat yang kurang. Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk tiap jenis infeksi perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan (Ganiswarna, 1995). Pada umumnya para ahli lebih cenderung melakukan individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapainya respons klinik yang memuaskan (Esposito, 2012) .

Lama pemberian antimikroba merupakan salah satu dari faktor penting dalam mencapai penyembuhan infeksi dan pencegahan relaps (Paul, 2006). Waktu yang diperlukan untuk mencapai kedua tujuan ini sangat bervariasi. Ada infeksi yang dapat disembuhkan dengan pemberian antimikroba beberapa hari sahaja dan adapula infeksi yang memerlukan terapi yang lama, misalnya pada pengobatan tuberkulosis paru. Variasi lama terapi ini dipengaruhi oleh: (Imam, 2008)


(41)

b. Lokasi infeksi yang cukup untuk menghambat atau mematikan mikroba tersebut.

c. Potensi daya antimikroba yang ditentukan dengan nilai kadar hambat minimal (KHM) dan Kadar Bakterisida Minimal (KBM).

d. Frekuensi terjadinya resistensi terhadap antimikroba.

Pemberian antimikroba dalam jangka waktu yang pendek tetapi efektif mungkin dapat mengurangkan kadar efek samping (Esposito, 2012). Dalam pemberian antibiotik, perlu difikirkan efek samping suatu obat jika diberikan dalam jangka waktu yang lama. Contohnya dalam penggunaan obat antimikroba jenis aminoglikosida, terdapat dua jenis toksisitas yang dapat disebabkan oleh pemakaian obat tersebut yaitu nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Oleh itu, pemberian obat aminoglikosida perlu diberikan dalam jangka masa yang singkat agar tidak terjadi efek toksisitas yang berkepanjangan (McKenzie, 2011).

Lama pemberian antimikroba juga bergantung kepada jenis antimikroba yang diberikan. Misalnya pada tonsillo-pharyngitis, durasi pengobatan selama 10 hari dengan penisilin merupakan terapi pilihan, tetapi ada penelitian yang menunjukkan penggunaan obat cephalosporin dan azithromycin dapat memberikan efek yang lebih baik dalam hal eradikasi bakteri dengan durasi yang lebih singkat yaitu tiga hari (Esposito, 2012)

Selain itu, lama pemberian juga bergantung kepada jenis penyebab infeksi yang dialami pasien. Untuk infeksi tertentu seperti infeksi bakterimia oleh Staphylococcus aureus dan Enterococcal endokarditis, terbukti memerlukan durasi pengobatan yang lama untuk mencegah terjadinya relaps. Menurut Moussaoui et al. (2006), durasi pengobatan selama tiga hari adalah mencukupi bagi community-acquired pneumonia tanpa komplikasi berbanding durasi pengobatan sekarang yang memerlukan pengobatan selama tujuh hingga 10 hari. Pada pasien dengan infeksi hospitalized-acquired pneumonia dan ventilator-acquired pneumonia, kebanyakan pasien menerima pengobatan dalam waktu 10-14 hari, tetapi bagi pasien yang mengalami infeksi oleh organisme non-fermentasi laktosa seperti Pseudomonas aeruginosa, durasi pengobatan adalah lebih lama yaitu 14-21 hari (Esposito, 2012).


(42)

Durasi optimal pengobatan tidak hanya berbeda pada setiap individu, melainkan berbeda antara orang dewasa dan anak (Esposito, 2012). Contohnya pada pengobatan bakterial sinusitis akut (BSA). Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA), lama pemberian terapi antibiotik untuk sinusitis akut bakterial adalah lima hingga tujuh hari pada orang dewasa dan lebih lama pada anak-anak yaitu 10-14 hari (Chow et al., 2012). Namun, hal ini tidak terjadi pada semua jenis infeksi, karena terdapat penelitian menyatakan durasi pengobatan untuk community-acquired pneumonia pada anak dan orang dewasa tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Esposito, 2012).

Menurut Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotika yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011, lama pemberian antibiotik berdasarkan efikasi klinis untuk eradikasi mikroba atau sesuai protokol terapi untuk penyakit tertentu, adalah sebagai berikut:

 Sebagian besar infeksi seperti Pneumonia, Septikemia: 5 – 7 hari  Cystitis : 3 hari

Streptococcal pharingitis : 10 hari  Endokarditis : 2 – 6 minggu  Pyelonephritis : 2 minggu

 Osteomyelitis : beberapa minggu/bulan  Septic arthritis : 2-6 minggu

 Lung abscess : 4-6 minggu  Liver abscess : 1-4 bulan


(43)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

3.2. Definisi Operasional

1. Antibiotik adalah obat antimikroba yang digunakan untuk eradikasi mikroorganisme penyebab pada pasien anak dengan gastroenteritis. 2. Ketepatan dosis adalah jumlah atau takaran tertentu dari suatu obat yang memberikan efek terapi terhadap suatu penyakit atau gejala sakit.

Pasien anak yang didiagnosa gastroenteritis

Pemberian terapi antibiotik

 Ketepatan dosis  Lama

pemberian


(44)

Kategori:

 Tepat dosis : bila dosis antibiotik sesuai dengan pedoman pengobatan.

 Tidak tepat dosis : bila dosis antibiotik tidak sesuai dengan pedoman

pengobatan.

3.Lama pemberian adalah rentang waktu pasien anak menggunakan antibiotik untuk pengobatan gastroenteritis karena bakteri berdasarkan pedoman pengobatan.

4. Lama perawatan berdasarkan rentang waktu mulai pasien masuk sampai keluar dari RSUP Haji Adam Malik Medan.

5. Anak adalah individu yang berumur satu tahun sampai 14 tahun menurut klasifikasi bagian rekam medik RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3 Hipotesis

Adanya hubungan antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan.


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional (studi potong lintang) untuk menilai hubungan antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama rawatan pada anak dengan gastroenteritis yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dengan mengambil data rekam medis mulai dari tanggal 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012. Waktu pengambilan data direncanakan dari September sampai Oktober 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien anak dengan gastroenteritis. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien anak dengan gastroenteritis yang mendapat terapi antibiotik dan dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode consecutive sampling, yaitu pemilihan sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Hidayat, 2011). Sampel penelitian diperoleh dengan melakukan skrining atau penyeleksian terhadap seluruh rekam medis mulai dari tanggal 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 yang memenuhi kriteria pemilihan inklusi dan eksklusi.


(46)

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel penelitian ini adalah: a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi penelitian ini antara lain: 1.Pasien anak berumur 1-14 tahun.

2. Pasien anak dengan gastroenteritis yang mendapat terapi antibiotik dan dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

3. Rekam medis yang dapat dibaca dengan jelas dan memuat diagnosis gastroenteritis.

4. Rekam medis yang memuat obat, dosis obat yang diberikan dan durasi rawat inap.

b. Kriteria Eksklusi

1.Pasien yang rekam mediknya tidak lengkap.

2.Pasien anak berumur kurang dari satu tahun dan lebih dari 14 tahun. 3.Pasien anak yang tidak mendapat terapi antibiotik.

Besar sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus berikut (Madiyono et al.)

Keterangan : zα = deviat baku normal untuk a n = jumlah/besar sampel

P = proporsi gastroenteritis pada anak Q = 1-P

d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ditetapkan)

(1.96)2. (0.5)(0.5) = 97 orang (0.5)2

n = zα2.PQ d2


(47)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode retrospektif yaitu dengan cara mengambil data penderita anak dengan gastroenteritis dari catatan rekam medis RSUP HAM Medan dari 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2012. Data variabel yang dicatat adalah umur, jenis kelamin, berat badan, dosis, durasi dan jenis antibiotik, tanggal masuk dan keluar rumah sakit, status pasien keluar rumah sakit dan penggunaan tablet zinc. Data yang terkumpul kemudiannya ditabulasi secara manual, dilakukan analisis deskriptif, disajikan dalam tabel dan dilakukan uji hipotesis.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (Wahyuni, 2007):

1. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. 2. Coding

Data yang telah dikumpul dan dikoreksikan ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode secara manual sebelum diolah dengan komputer.

3. Entry

Memasukkan data ke dalam program komputer. 4. Cleaningdata

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

5. Saving

Penyimpanan data untuk siap dianalisis. 6. Analisa Data

Hasil pengolahan data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) dan disajikan dalam bentuk tabel.


(48)

Untuk mengetahui hubungan ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis di RSUP H. Adam Malik Medan dari tanggal 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012, maka langkah-langkah yang dilakukan peneliti antara lain:

1. Menghitung jumlah pasien yang menjadi sampel penelitian,

2. Mengelompokkan obat antibiotik yang diberikan berdasarkan ketepatan dosis dan lama pemberian,

3. Mencatat durasi rawat inap,

4. Mengamati dan menilai ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik yang diberikan,

5. Menghubungkan ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan,

6. Membuat tabel distribusi frekuensi, tabel uji korelasi dan chi square dari data yang diperoleh,


(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, yang merupakan rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No.17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No.547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga rumah sakit pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, sehingga ia merupakan rumah sakit rujukan yang mempunyai fasilitas dan dokter ahli yang lengkap bagi propinsi Sumatera Utara.

5.2. Deskripsi Karakteristik Individu

Pada penelitian ini, sebanyak 97 sampel telah diperoleh dari data rekam medik di RSUP Haji Adam Malik Medan. Sampel terdiri daripada pasien anak yang didiagnosa dengan gastroenteritis dan mendapat terapi antibiotik yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan. Karakteristik yang diamati pada sampel penelitian meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, jenis dan dosis antibiotik, durasi penggunaan antibiotik, tanggal keluar dan masuk rumah sakit, dan keadaan penderita pada waktu pulang.


(50)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Penderita Gastroenteritis Anak Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Jumlah (orang) Persentase (%)

1 - 4 tahun 77 79.4

5 - 9 tahun 14 14.4

10 - 14 tahun 6 6.2

Total 97 100.0

Berdasarkan tabel 5.1, persentase terbesar kejadian gastroenteritis pada anak adalah pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebesar 38.1% sedangkan yang paling sedikit pada kelompok umur 10-14 tahun (6.2%).

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pasien Gastroenteritis Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.2, persentase terbesar pasien anak yang menderita gastroenteritis adalah laki-laki, yaitu sebanyak 63 orang (64.9%).

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki 63 64.9

Perempuan 34 35.1


(51)

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Antibiotik yang digunakan pada Pasien Gastroenteritis Anak yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum

Haji Adam Malik

No. Jenis Antibiotik Jumlah Persentase (%)

1 cefotaxime 18 18.6

2 ampicillin+cefotaxime 11 11.3

3 cotrimoxazole 10 10.3

4 ceftriaxone 9 9.3

5 ampicillin+gentamycin 6 6.2

6 ampicillin 5 5.2

7 cefotaxime+cotrimoxazole 5 5.2

8 ampicillin+ceftriaxone 5 5.2

9 amoxicillin 3 3.1

10 cefadroxyl 3 3.1

11 cefotaxime+ceftriaxone 3 3.1

12 metronidazole 2 2.1

13 ampicillin+chloramphenicol 2 2.1

14 cefotaxime+ampicillin+cotrimoxazole 2 2.1

15 albendazole 1 1.0

16 ceftazidime 1 1.0

17 ampicillin+cotrimoxazole 1 1.0

18 amoxicillin+ceftriaxone 1 1.0

19 cefotaxime+cefadroxyl 1 1.0

20 cefotaxime+gentamycin 1 1.0

21 ceftriaxone+cotrimoxazole 1 1.0


(52)

23 ceftriaxone+miconazole 1 1.0

24 cotrimoxazole+amoxicillin 1 1.0

25 cotrimoxazole+miconazole 1 1.0

26 ceftazidine+amikasin+ceftriaxone 1 1.0

27 ceftriaxone+ampicillin+gentamycin 1 1.0

28 cotrimoxazole+cefotaxime+albendazole 1 1.0

29 cotrimoxazole+gentamycin+ceftriaxone 1 1.0

Total 97 100.0

Berdasarkan tabel 5.3, penggunaan antibiotik Cefotaxime merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yaitu sebanyak 18.6 % (18 orang). Tabel 5.4 Distribusi Lama Rawat Inap Pasien Gastroenteritis Anak di

RS Adam Malik

Berdasarkan tabel 5.4, durasi rawat inap pasien anak dengan gastroenteritis di RS Adam Malik yang paling banyak adalah 3 hari dengan rata-rata lama

rawatan 8 hari.

Tabel 5.5 Distribusi Durasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Gastroenteritis Anak di RS Adam Malik

Variabel Mean Median Minimum-maksimum

Lama Rawatan 8.76 6.00 1- 49

Variabel Mean Median Minimum-Maksimum

Lama Pemberian Antibiotik


(53)

Berdasarkan tabel 5.5, didapatkan rata-rata durasi penggunaan antibiotik yang pada pasien anak dengan gastroenteritis adalah 5 hari. Lama pemberian antibiotik yang paling singkat adalah 1 hari sedangkan durasi maksimal penggunaan

antibiotik adalah 28 hari.

Tabel 5.6 Keadaan pasien saat pulang

Berdasarkan tabel 5.6, keadaan pasien saat pulang sebahagian besar belum dalam kondisi sembuh (51.5 %).

Tabel 5.7 Ketepatan Dosis Antibiotika pada Pasien Anak dengan Gastroentritis di Bagian Anak RS Adam Malik Medan

Ketepatan Dosis Jumlah Persentase (%)

tepat 36 37.1

tidak tepat 61 62.9

Total 97 100.0

Berdasarkan tabel 5.7, sebanyak 36 sampel mendapat terapi antibiotik yang tepat sedangkan 61 sampel mendapat terapi antibiotik yang tidak tepat.

Kondisi pasien saat pulang  Jumlah  Persentase (%) 

sembuh  47  48.5 

tidak sembuh  50  51.5 


(54)

Tabel 5.8 Hubungan Ketepatan Dosis dengan Lama Perawatan

LAMA RAWATAN

Total < 14 hari (tdk lama) > 14 hari (lama)

Ketepatan dosis

tepat 31 5 36

tidak tepat

11 61

Total 81 16 97

Berdasarkan tabel 5.8, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan dosis dan lama rawatan (p = 0,600)

Tabel 5.9 Hubungan Lama Pemberian Antibiotik dengan Lama Perawatan

Kelompok

Lama Perawatan (hari)

Total < 14 hari

(tidak lama)

> 14 hari (lama) Lama

Pemberian (hari)

< 7 hari 60 3 63

> 7 hari 13 34

Total 81 16 97

Berdasarkan tabel 5.9, terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemberian obat dengan lama perawatan (p = 0,0001).


(55)

Tabel 5.10 Hubungan Ketepatan Dosis dan Lama Pemberian Antibitiotik dengan Lama Perawatan

Karakteristik

Lama Rawatan

Total < 14 hari

(tdk lama)

> 14 hari (lama)

Ketepatan dosis, durasi pemberian

tepat dosis, < 7 hari 24 2 26

tepat dosis, > 7 hari 7 3 10

tidak tepat dosis, < 7 hari 42 4 46 tidak tepat dosis, > 7 hari 8 7 15

Total 81 16 97

Berdasarkan tabel 5.10, terdapat hubungan yang bermakna antara

ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada anak dengan gastroenteritis (p = 0.031).

5.3 Hasil Analisa Statistik

Pada penelitian ini, pasien anak dengan gastroenteritis yang mendapatkan antibiotik lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai dengan data Kementerian Kesehatan RI bahwa penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan. Namun di berbagai penelitian sebelumnya belum ditemukan hubungan antara jenis kelamin dan penyakit gastroenteritis.

Dari 97 pasien yang diteliti ditemukan kejadian gastroenteritis terbanyak pada kelompok umur 1 hingga 4 tahun yaitu sebanyak 77 orang, diikuti kelompok umur 5 hingga 9 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 yang mendapatkan bahwa prevalensi diare atau gastroenteritis yang tertinggi adalah pada anak balita (1-4 tahun). Hal ini mungkin disebabkan oleh anak pada


(56)

kelompok umur tersebut mulai aktif bermain di luar rumah dan berisiko terkena pelbagai infeksi, termasuklah gastroenteritis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNPAD (2008), didapatkan bahwa dari 1100 resep yang diteliti, sebesar 64,82% meresepkan antibiotik terutama golongan cephalosporin untuk terapi gastroenteritis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah cefotaxime, yang merupakan golongan cephalosporin yaitu sebanyak 18 kasus, diikuti dengan penggunaan antibiotik kombinasi ampicillin dan cefotaxime sebanyak 11 kasus..Pilihan utama antimikroba berdasarkan educated guess pada gastroenteritis tergantung pada mikroba penyebabnya. Infeksi Shigella dapat diobati dengan kotrimoksazol, florokuinolon, dan ampisilin. Vibrio cholera diobati dengan tetrasiklin dan kotrimoksazol. Entamuba histolytica dengan metronidazol. Campylobacter jejuni dengan eritromisin, florokuinolon dan tetrasiklin (Cakrawardi et al., 2009).

Ketepatan dosis yang digunakan dalam penelitian ini dilihat dari segi dosis dan frekuensi pemberian antibiotik berdasarkan sumber textbook serta pedoman penggunaan antibiotik dari WHO. Neonatus dan anak memerlukan pertimbangan khusus dalam perhitungan dosis obat karena perbedaan usia secara fisiologis akan merubah farmakokinetika banyak obat. Penghitungan dan pemberian dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak (Katzung, 2009). Ditinjau dari segi ketepatan pemberian dosis obat antibiotik, didapat 61 dari 97 sampel (62.9%) mendapat dosis yang tidak tepat sedangkan 36 sampel (37.1%) mendapatkan dosis yang tepat. Jika selama terapi terdapat terapi salah satu antibiotik yang dosis penggunaannya tidak tepat maka terapi antibiotik diasumsikan tidak tepat dosis. Ketidaktepatan dosis juga berlaku mungkin karena adanya pengelompokkan dosis berdasarkan kelompok umur tertentu. Ataupun dapat disebabkan adanya perbedaan referensi yang digunakan antara peneliti dengan praktisi medis di lapangan (Meyta, 2012). Pemberian dosis antibiotik yang tidak tepat, tidak hanya berisiko menyebabkan kegagalan terapi tapi dapat juga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.


(57)

Lama pemberian merupakan durasi penderita mendapat antibiotik. Lama pemberian antibiotik yang optimal tidak selalu diketahui, karena bergantung pada tingkat keparahan dan jenis infeksi yang terjadi. Pada penelitian ini, persentase penderita paling banyak adalah pada lama pemberian 1-5 hari yaitu seramai 54 orang (55.7%). Hal ini disebabkan karena secara umum terapi dapat dihentikan tiga hari setelah gejala infeksi hilang (Aslam M dkk, 2003). Terdapat 38 orang (39.2%) diberikan antibiotik selama 1-3 hari, padahal durasi pemberian antibiotik yang terlalu singkat dapat menimbulkan resistensi bakteri dan memungkinkan kumatnya infeksi. Sesuai dengan standar penanganan medis, pemberian antibiotik biasanya berlangsung selama 5-10 hari, namun pemberian antibiotik yang singkat tersebut kemungkinan disebabkan karena pasien sudah tidak membutuhkan perawatan intensif sehingga pengobatan dengan antibiotik dapat diteruskan di rumah (Cakrawardi et al., 2009).

Lama perawatan merupakan lamanya penderita mendapatkan perawatan di rumah sakit yang ditentukan berdasarkan lama hari mulai pasien masuk sampai dengan keluar dari rumah sakit. Lama perawatan digolongkan menjadi hari rawat kurang dari 14 hari dan hari rawat lebih dari/sama dengan 14 hari. Batasan tersebut ditentukan atas dasar kejadian Gastroenteritis yang disebabkan oleh bakteri biasanya terjadi dalam jangka masa 7-14 hari. Berdasarkan tabel 5.4, didapatkan sebagian besar lama perawatan adalah kurang dari 8 hari yaitu seramai 65 orang (67%). Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan umum pasien yang dianggap sudah membaik, dan dapat berobat jalan atau pulang atas permintaan orang tua pasien.

Pada penelitian ini didapatkan nilai p = 0,600 dan nilai korelasi Spearman sebesar 0,054 (CI= 95%, 1,53-1,73) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ketepatan dosis antibiotik dengan lama perawatan. Hal ini menunjukkan bahwa dosis yang tepat belum tentu dapat memperpendek masa rawatan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi klinis dan penyakit penyerta yang dialami oleh pasien. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa penyakit penyerta yang terjadi bersamaan dengan diare antara lain


(58)

infeksi saluran nafas, infeksi susunan saraf pusat, infeksi saluran kemih dan infeksi sistemik lain, kurang gizi, penyakit jantung dan penyakit ginjal Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman pada tahun 2011.

Lama penggunaan antibiotik pada umumnya 3-5 hari. Pada penelitian ini, didapatkan nilai p = 0,0001 dengan nilai korelasi Spearman sebesar 0,918 (CI = 95%, 5,80-8,86) yang menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan. Lama terapi optimal antibiotik tidak selalu diketahui, karena bergantung pada tingkat keparahan dan jenis infeksi yang terjadi (Emma Surahman et al., 2008).

Hubungan antara ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan gastroenteritis dianalisis menggunakan uji korelasi non-parametrik Spearman. Dari uji tersebut, didapatkan hasil bahwa ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik berkorelasi positif dengan lama perawatan dengan nilai koefisien korelasi,r = 0,219 dan nilai batas kemaknaan p = 0,031.

Pada penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan antara lain tidak tersedianya sampel dalam jumlah yang banyak. Hal ini diasumsikan lebih banyak penderita gastroenteritis yang mengunjungi puskesmas atau praktek persendirian yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Selain itu, terbatasnya data mengenai hasil pemeriksaan laboratorium pada kebanyakan pasien anak menyebabkan peneliti tidak dapat memastikan penyebab dari gastroenteritis yang berlaku pada sampel penelitian.


(59)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pemberian dosis obat antibiotik yang tidak tepat pada pasien anak dengan Gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik Medan dijumpai pada 62.9% pasien.

2. Rata-rata lama pemberian obat antibiotik pada pasien anak dengan Gastroenteritis adalah 5 hari.

3. Tidak terdapat hubungan antara ketepatan dosis dan lama perawatan. 4. Terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemberian antibiotik

dengan lama perawatan.

5. Terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan dosis dan lama pemberian dengan lama perawatan.

6.2. Saran

1. Pihak RSUP H. Adam Malik Medan harus mengevaluasi penggunaan antibiotik oleh tenaga medis di rumah sakit agar pemberian obat antibiotik mengikut pedoman yang telah ditetapkan.

2. Perlu adanya pelatihan dan pengawasan yang berkelanjutan untuk meningkatkan rasionalisasi penggunaan antibiotik.

3. Peneliti lain dapat melakukan penelitian yang sama di departemen lain di RSUP Haji Adam Malik Medan serta di beberapa institusi kesehatan untuk mengetahui rasionalisasi penggunaan antibiotik oleh para klinisi di tempat tersebut.


(60)

DAFTAR PUSTAKA Bibliography

A El-Manama et al., 2002. Antibiotic resistance of bacteria wit community-acquired urinary tract infections in the southern area of the Gaza Strip. Journal of chemotherapy. 14 (3), 259-264.

Aziz, M. H. A. et al., 2012. Continuous infusion vs. bolus dosing: implications for beta-lactam antibiotics. Edizioni Minerva Medica, 78(1), pp. 94-104. Ball, P. et al., 2002. Antibiotic therapy of community respiratory tract infections:

strategies for optimal outcomes and minimized resistance emergence. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, Volume 49, pp. 31-40.

Barber, N. & Pritchard, D., 2003. Dose estimation for children. Br J Clin Pharmacol, Issue 56, pp. 489-493.

Beers et. al., 2004. The Merck Manual of Medical Information 2nd ed. USA : Merck & Co.

Bijnen, E. M. v. et al., 2011. The appropriateness of prescribing antibiotics in the community in Europe: study design. BMC Infectious Diseases , Volume 11, p. 293.

Bradley, J. S., Garonzik, S. M., Forrest, A. & Bhavnani, S. M., 2010. Pharmacokinetics, Pharmacodynamics, and Monte Carlo Simulation:Selecting the Best Antimicrobial Dose to Treat an Infection. The Pediatric Infectious Disease Journal, Issue 29, pp. 1043-1046.

Brooks, G. F. et al., 2010. Medical microbiology. 25th ed. USA: The McGraw-Hill Companies.


(61)

Bueno, S. & Stull, T., 2009. Antibacterial agents in pediatrics. Available at:

http://d.yimg.com/kq/groups/18310505/144502028/name/Infectious.

[Accessed April 2013].

Cakrawardi et al., 2009, Pola penggunaan antibiotik pada gastroenteritis

berdampak diare akut pada pasien anak rawat inap di badan layanan umum rumah sakit dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2009, Majalah Farmasi dan Farmakologi, Volume 15 (2), hlm. 69-72. 

Cella, M., Knibbe, C., Danhof, M. & Pasqua, O. D., 2009. What is the right dose for children?. British Journal of Clinical Pharmacology, 4(70), pp. 597-603.

Centers For Disease Control, 2011. About Antimicrobial Resistance: A Brief Overview. Available from: http://www.cdc.gov/drug resistance/about.html

[Accessed 12 April 2013].

Chow, A., MS, B. & I, B., 2012. IDSA clinical practice guideline for acute bacterial rhinosinusitis in children and adults. Clin Infect Dis, Volume 54, pp. 72-112.

Craig, W., 1993. Pharmacodynamics of antimicrobial agents as a basis for determining dosage regimens. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis., 12(1), pp. 6-8.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.

Available from:

http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1309243343_YANFAR.PC%20INFEK

SI_1.pdf [Accessed 29 April 2013].

Don, M., Valent, F., Canciani, M. & Korppi, M., 2010. Prediction of delayed recovery from pediatric community-acquired pneumonia. Italian Journal Of Pediatrics, Issue 36, p. 51.


(62)

Elliott E. J., 2007. Acute gastroenteritis in children. BMJ, Issue 334 (7583) : 35–

40. 

Ekins-Daukes, S. et al., 2003. Antibiotic prescribing for children. Too much and too little? Retrospective observational study in primary care. Br J Clin Pharmacol, Issue 56, pp. 92-95.

Esposito, S., Esposito, I. & Leone, S., 2012. Considerations of antibiotic therapy duration in community- and hospital-acquired bacterial infections. J Antimicrob Chemother, Issue 67, pp. 2570-2575.

European Commission, 2009. Staff working paper of the services of the Commission on antimicrobial resistance. Available from:

http://ec.europa.eu/food/food/biosafety/salmonella/antimicrobial_resistanc

e.pdf [Accessed 29 Maret 2013].

Febiana, T., 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. p. 70. Ganiswarna, S., 1995. Farmakologi Dan Terapi. 4th ed. Jakarta: FKUI.

Geli, P., Laxminarayan, R., Dunne, M. & Smith, D. L., 2012. ‘‘One-Size-Fits-All’’? Optimizing Treatment Duration for. 7(1).

Goldmann, L. & Ausiello, D., 2007. Introduction to Microbial Disease: Host- pathogen Interactions. In: W. M. Scheld, ed. Cecil Medicine. Philadelphia: Saunders.

Grace, E., 2012. Altered vancomycin pharmacokinetics in obese and morbidly obese patients: what we have learned over the past 30 years. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, pp. 1-6.

Hadi, et al., 2008. Survey of antibiotic use of individual visiting public healthcare

facilities inIndonesia. Available at:

https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/13821/03.pdf;jsessi oni [Accessed April 2013].


(1)

   


(2)

   


(3)

   


(4)

   


(5)

   


(6)