Sarana dan Prasarana Deskripsi Lokasi Penelitian
47
Engkau pelik menusuk ingin Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi Menunggu seorang diri
Lalu waktu
– bukan giliranku Matahari
– bukan kawanku Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua
orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi
positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu,
ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah
Tuhan aku lirik yang selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.
Pada bait pertama, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa aku lirik merasakan bahwa ia tidak bisa menghindar dari kekasihnya, Tuhannya.
Walaupun cinta itu sampai habis terkikis oleh masa dan hilang terbang ke tempat yang antah-berantah, aku lirik tetap tidak bisa melepaskan diri dari
kekasihnya. Pulang kembali aku padamu, kata aku lirik dalam salah satu baris puisinya. Bahkan untuk menguatkan keteguhan cinta kekasih aku lirik
tersebut, Amir Hamzah menambahkan Seperti dahulu. Ini menandakan bahwa memang cinta yang diberikan oleh kekasih aku lirik tidak dapat
berubah. Dan itu tetap dirasakan aku lirik ketika ia melakoni “pulang kembali” tersebut.
Pada bait kedua, aku lirik memperlihatkan bagaimana ketulusan cinta kasih yang diberikan kekasihnya pada dirinya. Cinta yang diberikan
kekasihnya diibaratkan sebagai kandil kemerlap dan pelita jendela di malam gelap yang selalu sabar dan setia menanti kedatangan aku lirik dari perginya
yang lama.
48
Namun, pada bait ketiga, aku lirik tetap tidak mau mepedulikan kekasihnya itu. Sebagai seorang manusia, ia juga membutuhkan rasa cinta
yang berbentuk rindu rupa. Sedangkan kekasihnya ini adalah sesuatu yang tidak nampak.
Pada bait keempat, aku lirik menumpahkan penasarannya itu dan bertanya, Di mana engkau rupa tiada suara sayup hanya kata merangkai
hati. Pada bait ini mengekspresikan cinta kepada Tuhan, oleh karena itu maka mata manusia tidak mampu melihatnya. Sehingga rupa pun menjadi
tiada. Tetapi bisikan kata-kata selalu dirasakan aku lirik merangkai hatinya untuk meyakini bahwa ia memang tengah mencintai kekasihnya dan kasih
itu berbalas. Pada bait kelima, aku lirik menjelaskan bahwa kekasihnya itu telah
menjadi terbakar api cemburu oleh kelakuan aku lirik, yaitu ketika aku lirik meningglkan kekasihnya, sebelum
ia melakoni “pulang kembali”nya. Hal ini, menurut aku lirik, mengakibatkan sang kekasih menjadi ganas. Aku lirik
melihat bahwa kekasihnya hanya ingin cintanya tak berbagi ke lain hati. Kekasih aku lirik ingin memiliki aku lirik sepenuhnya. Kata mangsa ini
menandakan pemaksaan kekasihnya tersebut. Bait keenam menunjukkan kepasrahan aku lirik karena telah
“dimangsa” oleh “cakar” kekasihnya. Ia menjadi nanar dan gila sasar. Tak tahu hendak ke mana. Ia telah buta arah. Dalam bahasa Sasak, biasa
dikatakan kebebeng. Karena, biar bagaimanapun, ia menyadari bahwa ia akan berulang kembali lagi kepada kekasihnya. ditandaskan lagi, cinta
yang diberikan kekasihnya diibaratkan Serupa dara di balik tirai yang seakan-akan pelik menusuk ingin, benar-benar membuat penasaran dan ingin
tahu. Pada bait terakhir merupakan puncak pertemuan aku lirik dengan
kekasihnya. ternyata aku lirik mendapatkan bahwa kasih yang diberikan kekasihnya itu sunyi. Sepi, karena ia hanya menunggu seorang diri. Itu
dirasakan aku lirik setelah waktu bukan lagi menjadi haknya. Dan matahari