3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dari pertengahan bulan Juli sampai dengan pertengahan bulan Agustus 2010 di Kawasan Konservasi dan
Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Pemilihan objek penelitian dilakukan dengan sengaja berdasarkan tujuan
dari penelitian, dimana lokasi penelitian merupakan lokasi yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan.
Lokasi titik pengamatan ditentukan berdasarkan keterwakilan lokasi dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan penelitian sebelumnya yang
memiliki kesamaan data. Pengamatan dilakukan pada waktu siang hari dari pukul 09.00-16.00 yang dibagi menjadi 5 stasiun pengamatan yang terdiri dari 3 stasiun
pengamatan di Pulau Biawak, 1 stasiun pengamatan di Pulau Gosong, dan 1 stasiun pengamatan di Pulau Candikian. Lokasi stasiun pengamatan disajikan
pada tabel 1. Tabel 1 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan
Lokasi Pengamatan Nama Lokasi
Koordinat 1
Bagian Barat Pulau Biawak 05˚5543.38 LS
108˚2214.3 BT 2
Bagian Selatan Pulau Biawak 05˚5616.9 LS
108˚2254.5 BT 3
Bagian Utara Pulau Biawak 05˚5527.3 LS
108˚2252.5 BT 4 Pulau
Candikian 05˚4819.5 LS
108˚2534.2 BT 5 Pulau
Gosong 05˚5149.9 LS
108˚2322.4 BT Sebagai acuan dalam menentukan lokasi titik pengamatan, digunakan peta
dasar Indonesia untuk wilayah Jawa-Pantai Utara Tanjung Priok hingga Cirebon lembar II nomor 79 dengan skala 1:200 000 yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro-
Oseanografi tahun 2003. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian, parameter fisik perairan, persentase tutupan terumbu karang serta
komunitas ikan karang. Adapun jenis dan metode pengambilan data adalah sebagai berikut:
3.2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian, dilakukan pengambilan data secara langsung yaitu dengan cara pengamatan langsung dengan
melakukan wawancarai terhadap responden yang dianggap mewakili dan Gambar 1 Peta lokasi penelitian
digambar ulang dari peta dasar Indonesia no.79 Dinas Hidro Oseanografi 2003.
memiliki akses baik langsung atau tidak langsung terhadap wilayah studi yakni Pulau Biawak dan sekitarnya. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja
dengan dasar pertimbangan bahwa orang-orang yang dipilih mengetahui kondisi Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya.
Wawancara dilakukan terhadap 15 orang nelayan yang merupakan penduduk di Desa Brondong dan Pabean Udik yang kesehariannya melakukan
aktivitas penangkapan di Pulau Biawak dan sekitarnya, petugas penjaga mercusuar dari Dinas Perhubungan yang kesehariannya bertugas di Pulau Biawak,
serta Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu beserta stafnya, Staf Dinas Kehutanan Kabupaten Indramayu dan Kepala Bappeda Kabupaten
Indramayu. Wawancara dilakukan untuk mengetahui aktivitas yang terdapat di Pulau Biawak dan sekitarnya serta kegiatan dan rencana pengelolaan di Kawasan
tersebut.
3.2.2 Parameter Fisik Perairan
Parameter fisik perairan sangat berpengaruh terhadap kondisi perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekologi yang terjadi di kawasan
tersebut. Selain melalui pengamatan secara langsung di lokasi penelitian, data parameter fisik perairan juga diperoleh dari sumber pustaka. Adapun pengukuran
yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1 Kedalaman
Pengukuran kedalaman perairan dilakukan dengan menggunakan tali pengukur dan membaca angka yang ditunjukkan oleh konsul pada alat
SCUBA 2 Kecepatan arus dan suhu permukaan
Kecepan arus dan suhu pada masing-masing stasiun diukur dengan menggunakan flowacth. Flowatch merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur arus permukaan dan suhu perairan. Flowatch dilengkapi dengan tongkat yang ujungnya terdapat baling-baling kemudi untuk mengukur arus.
Bagian tersebut ditenggelamkan pada perairan sedalam ± 1 m. Flowatch dilengkapi juga dengan layar digital, dimana pada layar tersebut tertera besar
arus serta suhu perairan.
3 Kecerahan Kecerahan diukur dengan menggunakan seichi disk dengan diameter
berukuran 20 cm. 4 Salinitas
Pengukuran salinitas perairan perairan dilakukan dengan menggunakan alat
refraktometer dengan kisaran 0-100
o oo
. 3.2.3
Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup dan Indeks Kematian Karang
Sebelum melakukan pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan pengamatan pendahuluan dengan mengamati daerah yang akan dijadikan lokasi
pengambilan data. Pengamat melakukan snorkeling, mengitari daerah sekitar, untuk melihat gambaran secara umum bagaimana kondisi terumbu karang di
daerah tersebut. Setelah diperoleh gambaran secara umum bagaimana kondisi tutupan terumbu karang di daerah tersebut, kemudian dilakukan pengambilan data
secara lebih rinci dengan metode transek garis menyinggung dengan melakukan
penyelaman menggunakan alat SCUBA Self Contain Underwater Breathinf Apparatus
yang terdiri dari BCD, regulator, weight belt, tabung udara dilengkapi dengan wet suit, masker, snorkel, fins, jam tangan water resistant dan console.
Lokasi pengambilan data terlebih dahulu posisinya dicatat dengan membaca koordinat yang ditunjukkan oleh Global Positioning System.
Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman 3 dan 10 m, masing-masing kedalaman diletakkan 3 transek yang merupakan ulangan dengan ukuran panjang
20 m dengan jarak antar transek 5 m yang terletak pada satu garis sepanjang 70 m sejajar pantai Gambar 2. Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan dengan
menggunakan metode transek garis menyinggung TGM dengan memodifikasi penjelasan McIntyre 1953, Mundy 1990, dan English et al. 1994.
Pada penelitian ini, transek berupa pita berskala roll meter dengan panjang 0-100 m diletakkan pada hamparan terumbu karang. Pada saat proses
peletakan pita berskala, penyelam sebisa mungkin meletakkan pita berskala dengan mengikuti kontur kedalaman. Perpotongan masing-masing individu
kategori bentuk tumbuh terumbu karang dijumlahkan dan dinyatakan sebagai fraksi dari panjang total transek persentase tutupan. Pengamatan dilakukan
dengan mencatat bentuk pertumbuhan karang dan substrat yang berada di bawah garis transek dengan ketelitian dalam ukuran sentimeter.
Bentuk pertumbuhan karang hidup dikategorikan menurut kategori pertumbuhan berdasarkan penjelasan English et al. 1994, yaitu: Acropora
Branching ACB, Acropora Encrusting ACE, Acropora Submassive ACS, Acropora Digitate ACD, Acropora Tabulate ACT, Coral Branching CB,
Coral Encrusting CE, Coral Foliose CF, Coral Massive CM, Coral Submassive CS, Mushroom CMR, Milepora CME, Heliopora CHL, Soft
Coral SC, Sponges SP, Zoanthids ZO, Others OT, Dead Coral with Algae DCA, Sand S, Rubble R.
3.2.4 Kepadatan dan Biomassa Ikan Karang
Pengambilan data ikan karang menggunakan metode sensus visual bawah air dengan melakukan pencatatan ikan yang nampak di dalam daerah transek.
Posisi transek ini sama dengan posisi garis transek pada pengamatan tutupan terumbu karang. Ikan karang yang diambil datanya untuk dicatat adalah ikan-ikan
Gambar 2 Sketsa metode pengambilan data persentase tutupan karang dan ikan karang
yang berada di wilayah transek pada saat pengambilan data dilakukan. Ikan-ikan yang ditemui dicatat serta diperkirakan panjangnya dan dimasukkan ke dalam
selang kelas panjang ikan dengan panjang kelas 5 cm. Sensus dilakukan dengan radius pandang 2,5 m di sebelah kiri dan 2,5 m di sebelah kanan garis transek
yang telah letakkan 3 buah dari 0-20 m, 25-45 m, dan 50-70 m. Jenis dan kepadatan individu ikan karang diamati pada setiap transek. Identifikasi jenis ikan
karang mengacu kepada buku petunjuk bergambar Allen 2000 dan Kuiter 1992.
Metode visual sensus ikan bawah air, telah banyak digunakan untuk memperkirakan ukuran populasi ikan di terumbu karang Russell 1977, tetapi
perkiraan tersebut, dipengaruhi oleh bias. Bias utama yang dapat mempengaruhi sensus visual ikan adalah perbedaan penglihatan antara penyelam yang berbeda,
jarak pandangvisibilitas bawah air, tingkah laku ikan dan keragaman habitat. Bias ini terutama akan mempengaruhi estimasi kepadatan ikan dan ukuran ikan karena
pergerakan dari hewan-hewan ini, tetapi seharusnya tidak sangat mempengaruhi estimasi tanaman dan kepadatan invertebrata yang bergerak lambat termasuk
kerang, lobster karang dan landak laut Barrett Buxton 2002. Watson et al. 2003 menyatakan bahwa sebagai suatu ukuran relatif dari kelimpahan ikan,
metode visual sensus ikan, bias bisa diabaikan jika bias tetap konstan. Jika bias tidak tetap konstan, bagaimanapun, perkiraan visual tidak akan konsisten. Metode
ini tetap digunakan karena memiliki beberapa keunggulan, terutama karena tidak merusak dan relatif cepat dalam pelaksanaannya. Potensi masalah bias perlu
dievaluasi. Hal ini terutama relevan jika metode visual sensus bawah air digunakan untuk tujuan dalam penilaian stok.
Graham et al. 2004 menyatakan bahwa bias yang terjadi pada saat penyelam melakukan estimasi panjang ikan rata-rata 7 lebih besar dari ukuran
panjang ikan sebenarnya. Penyelam memiliki kecenderungan untuk membuat estimasi panjang yang akurat bila ikan yang diamati berjarak 300 mm dari
penyelam. Untuk ikan yang berukuran 175 mm, bias yang terjadi sebesar 20 dan untuk ikan yang berukuran panjang 400 mm, bias yang terjadi sekitar 10.
Perbedaan bias ini terjadi bergantung kepada spesies ikan, lokasi dan kedalaman. Presisi dari estimasi panjang, yang mengindikasikan standar deviasi, juga
bervariasi sejalan dengan ukuran ikan, dengan nilai berkisar antara 13 untuk ikan dengan ukuran panjang 200 mm sampai 8 untuk ikan dengan ukuran
panjang 400 mm.
3.3 Analisa Data
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa berdasarkan jenisnya. Adapun analisa tersebut dijelaskan sebagai berikut:
3.3.1 Persentase Penutupan Terumbu Karang
Persentase penutupan digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang pada suatu lingkungan. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase
penutupan English et al. 1994 yaitu:
Persentase tutupan karang
= Panjang total kategori bentuk pertumbuhan karang
x 100 Panjang transek
Untuk menilai kondisi tutupan karang, digunakan kategori berdasarkan publikasi oleh Gomez et al. 1994 dimana untuk persentase tutupan karang
hidup sebagai berikut Tabel 2: Tabel 2 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup
Persentase tutupan Kategori
0 – 24,9 :
Buruk 25 – 49,9
: Sedang
50 – 74,9 :
Baik 75 – 100
: Sangat baik
3.3.2 Indeks Kematian Karang
Penilaian suatu kondisi atau kesehatan dari ekosistem terumbu karang tidak hanya berpatokan pada persentase penutupan karang, karena bisa saja terjadi
dua daerah memiliki persentase penutupan karang hidupnya sama namun mempunyai tingkat kerusakan yang berbeda. Tingkat kerusakan ini terkait dengan
besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio kematian karang dapat diketahui melalui indeks kematian karang melalui perhitungan Gomez et
al. 1994:
hidup karang
mati karang
Penutupan mati
karang Penutupan
+ =
IM
Nilai indeks mortalitasindeks kematian IM yang mendekati nol menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup.
Sedangkan nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati.
3.3.3 Kepadatan Komunitas Ikan Karang
Kepadatan komunitas ikan karang adalah jumlah biota ikan karang yang ditemukan pada suatu lokasi pengamatan per satuan luas transek pengamatan.
Kepadatan komunitas terpilih dapat dihitung dengan rumus: A
ni Xi
= dengan: Xi = kepadatan ikan ke-i individukoloni per meter persegi; ni = jumlah
total ikan pada stasiun pengamatan ke-i; A = luas transek pengamatan. Komunitas ikan karang yang teramati dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok utama English et al. 1997 yaitu:
a. Ikan-Ikan Target adalah ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk
dikomsumsi. Ikan ini menjadikan terumbu karang sebagai daerah pemijahan dan sarangdaerah asuhan. Contoh ikan-ikan ini adalah famili Serranidae
Ikan kerapu, Lutjanidae Ikan kakap, Lethiridae Ikan lencam, Caesionidae Ikan ekor kuning, Siganidae Ikan Baronang, Acanturidae
Ikan Pakol, Scarridae Ikan Kakatua, Nemipteridae Ikan Kurisi. b.
Ikan-Ikan Indikator adalah ikan-ikan khas yang mendiami daerah terumbu
karang dan menjadi indikator kesuburan ekositem terumbu karang di daerah tersebut. Contoh ikan ini adalah Famili Chaetodontidae Ikan kepe-kepe.
c. Ikan-Ikan Mayor adalah jenis-jenis ikan yang meliputi semua ikan yang
tidak termasuk di kedua kelompok di atas dan umumnya belum banyak diketahui peranannya selain dalam rantai makanan di alam. Ikan ini
umumnya terdapat dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan sebagai ikan hias air laut Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae,
Labridae, Apogonidae dan lain sebagainya.
3.3.4 Biomassa Ikan Karang
Biomassa ikan dicari dengan mengkonversi estimasi panjang individu ikan hasil pengamatan visual, ke dalam berat. Rumus yang digunakan adalah:
, dimana sehingga:
dengan: B
i
= biomassa ikan ke-i kg; = berat rata-rata ikan ke-i kg;
n
i
=jumlah individu ikan ke-i; a
i
dan b
i
= konstanta hubungan panjang berat ikan; = titik tengah panjang kelas ikan ke-i cm. Konstanta hubungan panjang berat
ikan berdasarkan Froese Pauly 2010; Kulbicki et al. 1993. Pertumbuhan ikan untuk tiap-tiap spesies mempunyai perbedaan untuk tiap-tiap lokasi. Asumsi
yang digunakan dalam penelitian ini, bahwa pertumbuhan ikan mengikuti kaidah pada konstanta hubungan panjang-berat ikan berdasarkan publikasi tersebut.
3.3.5 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener H’
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap
spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, semakin beragam komunitasnya.
Indeks keanekaragaman H ’ yang umum digunakan adalah indeks
Shannon-Wiener yang sesuai untuk komunitas acak dalam skala luas yang total jumlah spesiesnya diketahui Ludwig Reynolds 1988, dengan rumus:
∑
=
− =
s i
pi pi
H
1
ln dengan H
’ = indeks keanekaragaman; s = jumlah taksa ikan karang; pi = proporsi jumlah individu pada spesies ikan.
3.3.6 Indeks Keseragaman E
Indeks keseragaman E digunakan untuk melihat keseimbangan komunitas ikan karang, dengan cara mengukur besarnya keserupaan dari total
individu antarspesies dalam komunitas. Semakin merata penyebaran individu antarspesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat.
Rumus yang digunakan adalah Ludwig Reynolds 1988: maks
H H
E =
dengan: H maks = indeks keragaman maksimum = In s
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya
Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, secara geografis meliputi Pulau Biawak yang terletak pada posisi 05
o
56’022’’LS dan 108
o
22’015’’ BT, Pulau Gosong yang terletak pada posisi 5
o
52’076”LS dan 108
o
24’337’’ dan Pulau Candakian yang terletak 5
o
48’089”LS dan 108
o
24’487’’
yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Pabean Ilir Kecamatan Kota Indramayu
. Berdasarkan management plan KKLD tahun 2005, luas total KKLD Kabupaten Indramayu ±15.540 Ha, yang terdiri dari luas wilayah perairan ±
14.798 Ha dan luas daratan ±742 Ha Pulau Biawak ± 130 Ha, Pulau Gosong ±312 Ha dan Pulau Candikian ±300 Ha.
Pulau Biawak terletak di lepas pantai Laut Jawa, ±40 km di sebelah Utara Kabupaten Indramayu, berdasarkan hasil survey lapangan DKP 2003, keadaan
topografinya datar, beberapa bagian pulau yang ditumbuhi mangrove tergenang air laut terutama pada saat pasang naik. Tinggi dari permukaan laut 0-2 m. Pulau
ini memiliki areal litoral yang luas, jarak dari pantai ke tubir pantai rata-rata 150 m, sedangkan di bagian barat dan barat laut sampai 300 m yang terdiri dari batu-
batu karang mati dan hancuran karang. Pulau Gosong berbentuk cincin akibat pengerukan yang dilakukan oleh Pertamina Balongan Exor I untuk penimbunan
wilayah pantai di kawasan industri pada awal tahun 1990-an. Di pulau ini dapat dijumpai hanya beberapa vegetasi tumbuhan.. Pulau Candikian terletak sekitar 14
km arah timur laut Pulau Biawak seluas ±97 ha. Di Pulau Biawak tidak terdapat perkampungan, yang bermukim hanya
petugas penjaga mercusuar dari Direktorat Jendral Perhubungan Laut. Kondisi pulau yang jaraknya relatif jauh dari daratan Indramayu Pulau Jawa menjadikan
pulau ini jarang dikunjungi terkecuali nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan pulau tersebut, sedangkan pada Pulau
Gosong dan Pulau Candikian sama sekali tidak ada manusia yang menghuni. Kedua pulau tersebut dikunjungi hanya untuk menangkap ikan. Pulau Biawak
dan Pulau Gosong dijadikan tempat berlabuh bagi para nelayan ketika mereka terkena badai sehingga mereka dapat terhindar dari arus gelombang yang tinggi.
Musim barat berlangsung akhir bulan November sampai akhir bulan Februari. Pada musim ini angin kencang disertai arus yang kuat bergerak dari
barat ke timur disertai hujan yang cukup deras. Akibat arus yang kuat, kejernihan menjadi berkurang. Kecepatan arus dapat mencapai 4–5 knot per jam sedangkan
ketinggian gelombang laut dapat mencapai 2 meter. Musim timur berlangsung akhir bulan Mei sampai akhir bulan Agustus. Pada musim ini angin bertiup
kencang bergerak ke arah barat demikian juga arus yang ada. Hujan jarang turun dan kejernihan air laut bertambah. Di antara kedua musim tersebut diselingi oleh
musim peralihan pancaroba, kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang DKP 2003.
Kelembaban udara rata-rata mencapai 80 dengan suhu berkisar 23-32
o
C dan suhu rata-rata 30
o
c perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu besar. Curah hujan di sekitar perairan kabupaten indramayu bervariasi dengan nilai rata-
rata per tahun sebesar 1.621 mm. Curah hujan bulanan antara 100 mm-400 mm pada musim barat 50-100 mm pada musim timur DKP 2003.
Perairan Pulau Biawak memiliki karakteristik pasang surut campuran cenderung diurnal dengan range pasang surut sampai 80 cm. Pola pasang yang
terjadi adalah tipe diurnal, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang surut, dengan fluktuasi berkisar 1-2 meter dan mencapai puncaknya pada
saat bulan purnama. Jenis pasut tersebut merupakan tipe umum jenis pasut di perairan Laut Jawa DKP 2003.
Gelombang laut di perairan Pulau Biawak memiliki spesifikasi tinggi dan arah jalarnya dipengaruhi oleh angin, sedangkan tinggi gelombang bervariasi
antara 0,5-1 meter. Ketinggian gelombang pada saat musim angin barat dapat mencapai 2-3 meter. Rata-rata kecepatan arus tergolong lemah kecuali pada
daerah di antara pulau, akibat massa air melewati bagian yang relatif sempit. Arah arus di Pulau Biawak dan sekitarnya secara umum didominasi dari arah
timur laut sampai tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa pola arus permukaan di perairan tersebut diakibatkan oleh pola angin yang terjadi, sebagaimana sifat fisis
arus permukaan di perairan Laut Jawa pada umumnya. Arus di ketiga pulau tersebut cukup tinggi pada waktu angin barat dan timur, sedangkan arusnya dapat
mencapai 5-10 meterdetik, dan perubahan pasang surut sekitar 1,5 sampai 2 meter menurut musim DKP 2003.
Kawasan perairan Pulau Biawak dan sekitarnya merupakan perairan yang menjadi daerah penangkapan ikan bagi nelayan indramayu. Kapal yang biasa
beroperasi di daerah tersebut adalah kapal-kapal yang berukuran kurang dari 10 GT. Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan tahun 2009, jumlah kapal
yang berukuran kurang dari 10 GT di Kabupaten Indramayu berjumlah 4.944 buah. Dari hasil wawancara dengan nelayan setempat, mereka biasanya
melakukan operasi penangkapan ikan di perairan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya pada bulan 9 sampai dengan bulan 11, atau pada saat perairan tenang
dengan lama operasi penangkapan ikan berkisar antara 1 sampai 6 hari, tergantung perbekalan yang dibawa. Alat tangkap yang dioperasikan oleh para nelayan
tersebut diantaranya: pukatjaring arad, jaring udang, dan bubu. Hasil tangkapan nelayan antara lain: udang, rajungan, ikan kakap, ikan ekor kuning, kerapu dan
ikan-ikan lainnya yang terdapat di perairan tersebut. Berdasarkan penuturan nelayan setempat, hasil tangkapan mengalami tren penurunan bila dibandingkan
dengan 10 tahun ke belakang.
4.2 Parameter Fisik Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya