Studies on Coral Reefs Condition and Reef Fishes Community at the Biawak Island and its Surrounding Marine Tourism and Conservation Area, Indramayu District, West Java Province

(1)

KAJIAN KONDISI TERUMBU KARANG DAN

KOMUNITAS IKAN KARANG DI KAWASAN KONSERVASI

DAN WISATA LAUT PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA,

KABUPATEN INDRAMAYU PROPINSI JAWA BARAT

HERI RASDIANA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Heri Rasdiana NRP. C252080434


(3)

HERI RASDIANA. Studies on Coral Reefs Condition and Reef Fishes Community at the Biawak Island and its Surrounding Marine Tourism and Conservation Area, Indramayu District, West Java Province. Under direction of M. MUKHLIS KAMAL and KIAGUS ABDUL AZIZ.

Marine Conservation area which is well protected will be ecologically gives positive impact on the abundance and biomass of target species and non-target fish in the area and the surrounding areas (Polunin et al. 1993). The declaration of Biawak Island and Surrounding Areas as a marine conservation area based on the Head of Indramayu District Government Decree number 556/Kep.528-Diskanla/2004 issued on April 7, 2004 on the establishment of Biawak Island and Surrounding Areas as a Marine Conservation Areas and Tourism, one of whose objectives is the protection of habitat and population, is expected to maintain the condition of ecosystems and provide a positive impact on marine resources both ecological, economic, and social. The purpose of this study was to examine the effect of the establishment those areas on coral reef and reef fish communities by studying condition percent cover of coral reef, reef fishes species diversity, abundance and fish biomass. Results showed that there are decrease number of coral reefs percent covers and the low biomass of fish in that the region.


(4)

HERI RASDIANA. Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan KIAGUS ABDUL AZIZ.

Penetapan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Bupati Indramayu nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut, yang salah satu tujuannya adalah perlindungan habitat dan populasi sumberdaya hayati, diharapkan dapat mempertahankan kondisi ekosistem dan memberikan dampak positif terhadap sumberdaya kelautan di wilayah perairan Indramayu baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 2004. Dalam kurun waktu lebih lima tahun ini, diharapkan penetapan Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya dapat memberikan manfaat yang besar dan memenuhi harapan-harapan di atas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terumbu karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya pasca penetapan sebagai kawasan konservasi dan struktur komunitas ikan karang (kepadatan dan biomassa ikan karang) di Pulau Biawak dan sekitarnya dengan mempelajari persentase tutupan karang, keragaman spesies, kelimpahan dan biomasa ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya pasca penetapan sebagai kawasan konservasi.

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dari pertengahan bulan Juli sampai dengan pertengahan bulan Agustus 2010 di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian, persentase tutupan terumbu karang serta jenis dan kepadatan ikan karang.

Kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mengalami tekanan yang besar yang diduga diakibatkan oleh aktivitas manusia dan pencemaran minyak bumi. Persentase penutupan karang hidup mengalami penurunan yang cukup besar, terutama tingginya persentase patahan karang di lokasi pengamatan. Penurunan persentase tutupan terumbu karang ini bisa terjadi, diduga dikarenakan cara penangkapan ikan yang merusak seperti bom dan penggunaan racun, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (dalam hal ini pengoperasian trawl, bubu, dan jaring di daerah sekitar terumbu karang), aktivitas labuh jangkar kapal serta terjadinya kebocoran minyak bumi.

Komunitas ikan karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki tingkat keanekaragaman berkisar antara sedang sampai dengan rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya cukup rentan terhadap perubahan lingkungan. Komunitas


(5)

Rendahnya kepadatan dan biomassa kelompok ikan target (ikan yang menjadi target penangkapan yang umumnya dari famili Serranidae, Lutjanidae, Scaridae, dan Siganidae) mengindikasikan bahwa kawasan tersebut telah mengalami tangkap lebih. Kerusakan ekosistem akibat penggunaan cara penangkapan yang merusak lingkungan dan pencemaran minyak juga diduga turut berperan terhadap rendahnya kepadatan dan biomassa ikan secara keseluruhan. Kondisi masih dapat pulih kembali bila tekanan yang menjadi penyebab kerusakan diperkecil.

Kata kunci: kawasan konservasi perairan, terumbu karang, kepadatan ikan, biomassa ikan


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(7)

KABUPATEN INDRAMAYU PROPINSI JAWA BARAT

H E R I R A S D I A N A

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

Propinsi Jawa Barat Nama mahasiswa : Heri Rasdiana

N I M : C 252 080 434

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui,

Diketahui,

Tanggal Ujian: 06 September 2010 Tanggal Lulus: 11 Oktober 2010 Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc

Ketua Komisi

Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc Anggota Komisi

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB


(10)

Puji syukur atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan oleh-Nya hingga penelitian dengan judul “Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat” dapat terselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar master of science pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir Mukhlis Kamal, M.Sc dan Ir. Kiagus Abdul Azis, M.Sc sebagai Dosen Pembimbing atas arahan dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan;

2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta seluruh staf;

3. Kementrian Kelautan dan Perikanan RI melalui Program COREMAP II yang telah mensponsori beasiswa pendidikan ini;

4. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu beserta staf atas keramahtamahan dan bantuannya;

5. Pak Tasid beserta keluarga atas peminjaman perahu, Jimmy, Luki, Andra, Ratih, yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan serta Leri dan Pak Sukendi yang telah bersama-sama melakukan penelitian di Pulau Biawak;

6. Teman-teman Program Studi SPL angkatan 2008 yang telah menjadi teman diskusi, memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;

7. Bapak, ibu, istri tercinta, serta seluruh keluarga atas doa dan dorongannya; 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah

ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Perbaikan dan penyempurnaan masih sangat diperlukan. Oleh karenanya saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan masyarakat umum yang membaca dan membutuhkan.

Bogor, September 2010


(11)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 14 Mei 1980 dari Bapak Karim Hidayat dan Ibu Iyah Solihah sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang diselesaikan pada tahun 2004. Penulis diterima menjadi CPNS Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2005 sebagai pelaksana pada Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan mengikuti Program Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) dengan bantuan dana dari COREMAP-World Bank.


(12)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.2 Tujuan Penelitian ... 5

1.3 Manfaat Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Terumbu Karang ... 6

2.2 Ikan Karang ... 9

2.3 Definisi Kawasan Konservasi Perairan ... 11

2.4 Fungsi Kawasan Konservasi Perairan ... 12

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 17

3.2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 17

3.2.2 Parameter Fisik Perairan ... 18

3.2.3 Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup dan Indeks Kematian Karang ... 19

3.2.4 Kepadatan dan Biomassa Ikan Karang ... 20

3.3 Analisis Data ... 22

3.3.1 Persentase Penutupan Terumbu Karang ... 22

3.3.2 Indeks Kematian Karang ... 22

3.3.3 Kepadatan Komunitas Ikan Karang ... 23

3.3.4 Biomassa Ikan Karang ... 24

3.3.5 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) ... 24

3.3.5 Indeks Keseragaman (E) ... 24

4 HASIL PENELITIAN ... 26

4.1 Kondisi Umum Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 26

4.2 Parameter Fisik Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 28

4.3 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 30

4.3.1 Persentase Tutupan Karang ... 30

4.3.2 Kekayaan Genus dan Kelimpahan Karang Keras ... 33

4.4 Komunitas Ikan Karang di Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 44

4.4.1 Kekayaan Jenis dan Indeks Keanekaragaman (H‘) dan Keseragaman (E) ... 44


(13)

xx

Halaman

5 PEMBAHASAN ... 51

5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya .. 51

5.2 Komunitas Ikan Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 54

5.3 Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 55

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1 Kesimpulan ... 58

6.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(14)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan ………... 16 2 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup ……… 22 3 Parameter fisik perairan Pulau Biawak dan sekitarnya

(hasil pengamatan) ……... 28 4 Persentase penutupan karang di Pulau Biawak dan

sekitarnya……… 31

5 Persentase penutupan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya

tahun 2003... 32 6 Jumlah genus tiap famili hasil pengamatan di P. Biawak dan

sekitarnya……… 34

7 Ringkasan komnitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya,


(15)

xxiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta lokasi penelitian ... 17

2 Sketsa metode pengambilan data persentase tutupan karang hidup dan ikan karang ... 20

3 Persentase tutupan karang hidup berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan karang di bagian barat Pulau Biawak ... 36

4 Jumlah individu masing-masing genus di bagian barat Pulau Biawak ... 37

5 Persentase tutupan karang hidup berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan karang di bagian selatan Pulau Biawak ... 38

6 Jumlah individu masing-masing genus di bagian selatan Pulau Biawak ... 39

7 Persentase tutupan karang hidup berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan karang di bagian utara Pulau Biawak ... 39

8 Jumlah individu masing-masing genus di bagian utara Pulau Biawak ... 40

9 Persentase tutupan karang hidup berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan karang di Pulau Candikian ... 41

10 Jumlah individu masing-masing genus di Pulau Candikian ... 41

11 Persentase tutupan karang hidup berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan karang di Pulau Gosong ... 42

12 Jumlah individu masing-masing genus di Pulau Gosong ... 43

13 Kepadatan ikan hasil pengamatan di Pulau Biawak dan sekitanya ... 46

14 Biomassa ikan hasil pengamatan di Pulau Biawak dan sekitanya ... 46

15 Kepadatan kelompok ikan di Pulau Biawak dan sekitanya ... 48

16 Biomassa kelompok ikan di Pulau Biawak dan sekitanya ... 48

17 Gambaran biomassa ikan antara Kawasan Konservasi Karimun Jawa (Ardiwijaya et al. 2008) dan Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan Sekitarnya ... 49


(16)

xxv

Halaman

1

Kehadiran individu ikan saat pengamatan ... 65

2

Kepadatan dan biomassa ikan ... 75


(17)

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington 1984; Munro & Williams 1985; Clark et al. 1989; Spurgeon 1992). Keanekaragaman terumbu karang memiliki potensi yang besar baik secara ekonomis maupun ekologis. Ekosistem terumbu karang dihuni oleh beranekaragam biota baik hewan maupun tumbuhan laut. Keanekaragaman terumbu karang dengan warna-warni dari berbagai jenis karang merupakan hal yang menarik yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan dan tumbuhan karang. Peran ekologis yang dimainkan terumbu karang adalah sebagai daerah penyedia makanan, daerah asuhan, daerah pertumbuhan dan daerah perlindungan bagi biota-biota lain yang berasosiasi dengan terumbu karang.

Telah banyak kajian ilmiah mengenai upaya untuk melindungi dan mengelola sumberdaya terumbu karang melalui penetapan suatu kawasan konservasi (Bohnsack 1990; Polunin 1990; Roberts & Polunin 1991; Rowley 1994). Terdapat berbagai aktivitas pada area kawasan konservasi dan area sekitarnya selain upaya perlindungan itu sendiri, diantaranya pariwisata serta kegiatan perikanan. Sangatlah penting untuk menyeimbangkan berbagai aktivitas yang terdapat di suatu kawasan konservasi dan memecahkan konflik yang mungkin timbul antara upaya konservasi dan ekploitasi sumberdaya untuk menjaga menjaga pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (Stoddart 1984).

Peningkatan jumlah luasan kawasan konservasi di seluruh dunia saat ini berkembang pesat, sebesar 5,2% dalam dua dekade terakhir, yang telah dideklarasikan dengan berbagai tujuan. Sekitar 2,2 juta km2 yang sebanding dengan 0,6% luas perairan laut dunia telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Kawasan konservasi dikampanyekan ke seluruh dunia sebagai cara yang optimal dalam melindungi ekosistem perairan (Martinez 2008). Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal sebagai berikut terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih


(18)

cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan indukan ikan; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran individu stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan rekrutan hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah kawasan konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (PISCO 2002).

Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa kawasan konservasi perairan, dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang terdapat di dalamnya, menyebabkan peningkatan biomassa ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami (Roberts & Hawkins 2000).

Indramayu merupakan kabupaten di Pantai Utara Jawa Barat yang memiliki luas daratan ±204.000 ha dengan garis pantai sepanjang 114 km.. Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak pada 107o52’-108o36’ Bujur Timur dan 6o15’-6o40’ Lintang Selatan. Wilayah pesisir Indramayu mencakup 12 kecamatan dari 31 kecamatan yang terdapat di Indramayu dengan 32 desa pesisir dan memiliki gugusan pulau-pulau kecil yaitu: Pulau Biawak, Pulau Gosong, dan Pulau Candikian.

Sebagai wilayah yang berada di pesisir pantai, Indramayu merupakan salah satu kabupaten penghasil ikan. Produksi ikan laut segar selama tahun 2008 mencapai 80.685 ton. Menurut data kependudukan tahun 2007, masyarakat pesisir Indramayu yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya pesisir dan laut berjumlah 34.830 orang nelayan, 17.226 orang petambak, 1.307 orang pengolah ikan tradisional dan 718 bakul ikan, serta sejumlah pemanfaat langsung sumberdaya pesisir Indramayu, antara lain: pengobor kepiting, pencari rebon/bahan terasi, pemilik bagan/rumpon (Indramayu dalam angka 2008).

Kegiatan perikanan merupakan tulang punggung kegiatan yang ada di Pesisir Kabupaten Indramayu sebab sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Daerah penangkapan ikan Indramayu terutama berada di perairan sekitar Pulau Biawak, namun demikian nelayan Indramayu juga banyak yang menangkap ikan sampai ke perairan di sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Alat tangkap yang umum digunakan nelayan Indramayu untuk


(19)

memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan diantaranya adalah payang, lampara, dogol, pukat pantai, pukat cincin, jaring klitik, trammel net, pancing, sero, jala, bagan, bubu dan jaring ingsan. Sedangkan alat tangkap untuk menangkap jenis-jenis ikan karang atau ikan yang berasosiasi dengan perairan karang diantaranya adalah pancing, bubu dan jaring ingsang.

Selain sektor perikanan, daerah Indramayu juga merupakan salah satu daerah penghasil migas di Indonesia. Bukan hanya itu, bahkan seluruh kegiatan sektor migas dari hulu sampai hilir ada di Indramayu. Di sektor hulu, di Indramayu terdapat beberapa lapangan yang cukup dikenal di industri migas, antara lain lapangan Jatibarang dan lapangan Cemara. Tingginya aktivitas industri dan ekonomi di wilayah Kabupaten Indramayu, disamping memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian masyarakat, juga memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairan. Ditemukannya gumpalan hitam yang kemungkinan merupakan minyak mentah terbawa arus, menepi di kepulauan Biawak dan sekitarnya. Gumpalan tersebut menepi dan terdampar di terumbu karang, mangrove serta pantai pasir (Harian Umum Pikiran Rakyat 19 Mei 2005). Pemerintah Kabupaten Indramayu telah melakukan upaya-upaya dalam rangka menekan laju degradasi lingkungan yang terjadi, salah satunya dengan menetapkan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi.

Keputusan Bupati Indramayu nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut antara lain memutuskan dan menetapkan hal-hal sebagai berikut:

1 Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut 2 Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan Sekitarnya (KWL

Pulau Biawak dan Sekitarnya) mengemban visi konservasi dan misi pelestarian, pendidikan dan ekonomi

3 Penataan Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan Sekitarnya dibagi menjadi dua zona dengan kategori sebagai berikut:

- Internal Zone yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi sumberdaya hayati


(20)

- External Zone yang merupakan perlindungan dan pemanfaatan wisata 4 Menugaskan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu untuk

mempersiapkan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi dan Wisata laut Pulau Biawak dan Sekitarnya dan mengkoordinasikan serta mensosialisasikan dengan pihak terkait.

Kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya mempunyai fungsi utama sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna serta pemanfaatan yang lestari. Kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, budidaya dan wisata bahari. Selain fungsi diatas, kawasan perairan kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengembangan ekonomi produktif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pemanfaatan yang ramah lingkungan dan lestari.

Penetapan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi diharapkan dapat mempertahankan kondisi lingkungan dan memberikan dampak positif terhadap sumberdaya kelautan di wilayah perairan Indramayu baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi tutupan terumbu karang serta komunitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya dengan mempelajari keragaman spesies, kelimpahan dan biomasa ikan dan struktur komunitas di Pulau Biawak dan sekitarnya pasca penetapan sebagai kawasan konservasi.

1.2 Perumusan Masalah

Lokasi Pulau Biawak dan sekitarnya berada di kawasan pesisir pantai utara jawa, yang merupakan wilayah dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya yang tinggi, dimulai dari kondisi perikanan tangkap yang mengalami tangkap lebih, alih fungsi hutan mangrove untuk dijadikan kawasan tambak di sepanjang pesisir pantai utara jawa, serta pencemaran yang berasal dari industri pengeboran minyak lepas pantai maupun industri hulu dan hilir yang terdapat di daratan utama pulau jawa, yang dapat memberikan dampak yang negatif terhadap kondisi lingkungan pesisir kawasan pulau biawak dan sekitarnya.


(21)

Penetapan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi diharapkan dapat melindungi seluruh struktur komunitas dan habitat alami dari ekosistem dengan segenap keanekaragamannya. Kegiatan yang telah dilakukan di kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya adalah survei potensi kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya pada tahun 2003, pembangunan sarana dan sarana pendukung seperti pusat informasi dan pos jaga, dokumen rencana pengelolaan kawasan pada tahun 2005 serta naskah akademik pengelolaan kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya pada tahun 2006. Sampai saat ini, ketersediaan informasi ilmiah serta data baseline mengenai kondisi kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya pasca penetapan sebagai kawasan konservasi sangatlah kurang. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian mengenai kondisi tutupan terumbu karang dan komunitas ikan karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak yang berguna untuk menambah informasi terkini kondisi Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya serta pengelolaan sumberdaya ke depannya.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk:

a Mengetahui kondisi persentase tutupan terumbu karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya pasca penetapan sebagai kawasan konservasi;

b Mengetahui struktur komunitas ikan karang (kepadatan dan biomassa ikan karang) di Pulau Biawak dan sekitarnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a Mengetahui gambaran mengenai kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya;

b Memberikan bahan masukan bagi pengelola kawasan dalam strategi pengelolaan kawasan ke depan.


(22)

2.1 Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3). Terumbu karang terdiri atas binatang

karang (coral) sebagai organisme atau komponen dari ekosistem dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993). Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).

Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi terumbu maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis sedangkan karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu dan merupakan kelompok yang tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yang terdapat di jaringan polip binatang karang dan dapat melakukan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat dengan struktur dan bentuk bangunannya yang khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. (Nybakken 1997).

Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu, untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32°C, kedalaman air kurang dari 50 meter, salinitas air laut 30-36 ‰, laju sedimentasi relatif rendah dengan perairan yang


(23)

relatif jernih, pergerakan air/arus yang cukup, perairan yang bebas dari pencemaran, dan substrat yang keras. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. Karang tidak bisa hidup di air tawar atau muara (Nybakken 1997).

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti: a) beraneka ragam avertebrata, berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut; b) beraneka ragam ikan terutama 50–70% ikan karnivora, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; c) reptil seperti ular laut dan penyu laut; d) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001).

Suharsono (1984) menyatakan bahwa perbedaan tempat hidup, kondisi lingkungan serta kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi morfologi karang. Masing-masing jenis karang penyusun terumbu mempunyai respon yang spesifik terhadap lingkungannya. Faktor yang paling berpengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dan komposisi genetiknya menurut Wood (1997) adalah kedalaman, kuat arus dan gelombang.

Dilihat dari proses geologis terbentuknya terumbu karang dan hubungannya dengan daratan, maka terumbu karang dibagi ke dalam tiga tipe yaitu terumbu karang cincin (atoll), terumbu karang penghalang (barrier reefs), dan terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang tepi adalah tipe yang paling banyak terdapat di Indonesia. Terumbu karang tipe ini berada di tepi pantai yang jaraknya kurang dari 100 meter ke arah laut sedangkan terumbu karang cincin (atol) biasanya terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah jauh dari daratan. Contoh terumbu karang penghalang terdapat di negara Australia yaitu Great Barrier Reefs. Contoh terumbu karang cincin dapat dilihat seperti di Takabonerate, Sulawesi Selatan. Pembentukan terumbu karang cincin ini memerlukan waktu beratus-ratus tahun. Pada tipe habitat yang berbeda, sebaran terumbu karang yang ada hampir sama, namun dengan adanya perbedaan tipe habitat tersebut menyebabkan timbulnya jenis karang yang lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya, tergantung tipe habitat yang ditempati (Nybakken 1997).


(24)

Terumbu karang memiliki spesies yang amat beragam, dan sebagian besar dari spesies tersebut bernilai ekonomi tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri dari berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis. Jenis biota yang berasosiasi merupakan kelompok biota yang khas menghuni daerah terumbu karang, dan beberapa di antaranya jarang bahkan tidak ditemui di ekosistem yang lain. Keberadaan biota asosiasi sebagai bagian dari keanekaragaman hayati sumberdaya memiliki nilai tersendiri dalam kompleksitas sistem ekologis sebuah ekosistem. Peran dan fungsi biota asosiasi dalam ekosistem terumbu karang tidak saja secara ekologis, namun juga penting secara ekonomis dimana beberapa dari biota tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi. Beberapa jenis organisme laut yang umumnya berasosiasi di ekosistem terumbu karang antara lain: sponge, hydra, ubur-ubur, alga/rumput laut, anemon laut, karang lunak, moluska, crustasea, ekinodermata, reptilia laut (penyu, ular laut, dan lain-lain), dan ikan karang (Nybakken 1997).

Terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia sebagai tempat pariwisata, tempat menangkap ikan, pelindung pantai alami, dan tempat keanekaragaman hayati. Fungsi-fungsi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang diantaranya adalah fungsi perikanan dimana habitat terumbu karang merupakan tempat ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Rata-rata hasil tangkapan ikan di daerah terumbu karang di Filipina adalah 15,6 ton/km2/tahun. Namun jumlah ini sangat bervariasi mulai dari 3 ton/km2/tahun sampai dengan 37 ton/km2/tahun (White & Cruz-Trinidad 1998).

Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Cesar (1996) memperkirakan bahwa


(25)

daerah terumbu karang yang masih asli dengan daerah perlindungan lautnya (marine sanctuary) dapat menghasilkan $24.000/km2/tahun apabila penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa daerah perlindungan laut di atasnya dapat menghasilkan $12.000/km2/tahun jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang yang rusak akibat penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif lainnya (seperti penambangan karang, perusakan dengan jangkar, dan lain-lain) menghasilkan jauh lebih sedikit keuntungan ekonomi. Kawasan terumbu karang yang sudah rusak atau hancur 50% hanya akan menghasilkan $6.000/km2/tahun, dan daerah yang 75% rusak menghasilkan hanya sekitar $2.000/km2/tahun. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih oleh cukup banyak nelayan maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam.

Terumbu karang juga mempunyai nilai lain selain nilai ekonomi termasuk keuntungan ekonomi dari kemungkinan pengembangan pariwisata, perlindungan garis pantai, dan keanekaragaman hayati. Di Filipina diperkirakan bahwa 1 km2 terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara $15.000-$45.000 dari perikanan secara berkelanjutan, $2.000-$20.000 dari keuntungan pariwisata, dan keuntungan ekonomi sekitar $5.000-$25.000 dari perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan total keuntungan/pendapatan potensial antara $32.000-$113.000/km2/tahun (White & Cruz-Trinidad 1998).

Berdasarkan laporan hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 7% yang berada dalam kondisi sangat baik, 24% berada dalam kondisi baik, 29% dalam kondisi sedang dan 40% dalam kondisi buruk (Suharsono 1998). Diperkirakan terumbu karang akan berkurang sekitar 70% dalam waktu 40 tahun jika pengelolaannya tidak segera dilakukan.

2.2 Ikan Karang

Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki memiliki jumlah ikan karang terkaya di dunia. Allen (1991) menyatakan bahwa terdapat 123 spesies yang termasuk famili Pomacentridae, yang sekarang diperbarui sebanyak


(26)

152 spesies yang merupakan total tertinggi di dunia. Allen et al. (1998) mencatat sebanyak 87 spesies ikan bidadari (Pomacanthidae) dan kupu-kupu (Chaetodontidae) yang terdapat di Indonesia, yang juga merupakan jumlah tertinggi dunia.

Komunitas ikan merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah banyak dan menyolok. Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu karang. Salah satu sebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat terumbu yang terdiri dari karang, daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda yang melintasi karang (Nybakken 1997). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (English et al. 1994).

Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya relatif mudah dijangkau. Jenis substrat yang biasanya dijadikan habitat antara lain karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Berdasarkan tingkah lakunya, ikan karang ada yang hidup secara individu atau ditemukan menyendiri contohnya ikan lepu ayam (Pterois sp.), mengelompok 3-10 ekor contohnya ikan kambuna (Platax sp.), dan dalam bentuk gerombolan contohnya ikan ekor kuning (Caesio sp.). Kelompok ikan karang terdiri dari: a) jenis ikan yang hidup menetap di karang; b) ikan yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya; c) jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil, dan pada saat dewasa beruaya keluar terumbu (Nybakken 1997).

Selain kecenderungan tersebut, ikan karang juga mempunyai sifat teritorial, mereka akan menentukan wilayah kekuasaannya sehingga jika mereka diusik oleh penyelam, beberapa saat kemudian akan datang kembali ke wilayah tersebut. Contohnya pada jenis ikan betok laut (Pomacentrus sp.), ikan giru (Amphiprion sp.) dan ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.). Sedangkan yang bersifat


(27)

migratori atau senantiasa berpindah ekosistem antara lain ikan hiu (Carcharinus sp.) (Nybakken 1997).

Sekitar 30 sampai 100 spesies dari beberapa famili ikan karang yang banyak mendominasi, diantaranya adalah Pomacentridae (ikan betok laut), Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), Acanthuridae (ikan pakol), Scaridae (ikan kakatua), Apogonidae (ikan serinding), Gobiidae (ikan gobi) dan Serranidae (ikan kerapu). Umumnya ikan-ikan karang ini mudah ditandai dari warna, corak dan struktur badannya yang berbeda, sehingga memudahkan dalam pengamatan jenis dan tingkah laku ikan-ikan karang.

Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Gazin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan. Oleh karenanya jumlah individu, jumlah spesies dan komposisi jenisnya dipengaruhi oleh kondisi setempat. Telah banyak penelitian yang membuktikan adanya korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikan-ikannya. Oleh karena itu pengamatan ikan karang ini senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan bentuk pertumbuhan terumbu karang.

2.3 Definisi Kawasan Konservasi Perairan

The International Union for Conservation of Nature (IUCN) mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu areal di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ditetapkan dengan aturan hukum atau cara-cara lain yang efektif utuk dilindungi sebagian maupun keseluruhan tutupan alamnya. IUCN mengelompokan kawasan dilindungi terdiri


(28)

atas 6 kategori yaitu: (1) Strict nature reserve/wildernes area; (2) National park; (3) Natural monument; (4) Habitat/species management area; (5) Protected landscape/seascape; dan (6) Managed resources protected area. Upaya konservasi ini telah dirumuskan oleh IUCN dengan mengeluarkan “World Conservation Strategy” tahun 1980 dalam bentuk 3 (tiga) strategi utama yaitu: (1) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; (2) melindungi keanekaragaman genetik; dan (3) pemanfaatan spesies dan ekosistem berkelanjutan (Kelleher & Kenchington 1992).

Kawasan konservasi perairan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah kawasan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Jenis kawasan konservasi perairan menurut Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Taman Nasional Perairan didefinisikan sebagai kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya. Taman Wisata Perairan didefinisikan sebagai kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

2.4 Fungsi Kawasan Konservasi Perairan

Penetapan kawasan konservasi haruslah diartikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Salm et al. (2000) mengatakan bahwa pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya pesisir mensyaratkan sebagian wilayah tersebut dipertahankan kondisinya


(29)

sealamiah mungkin. Penetapan kawasan konservasi perairan dimaksudkan untuk mengamankan habitat kritis untuk produksi ikan, melestarikan sumberdaya genetis, menjaga keindahan alam dan warisan alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan berkelanjutan mengharuskan adanya pemanfaatan yang bijaksana dan pengelolaan yang menggunakan pendekatan kehati-hatian terhadap sumberdaya dan ekosistemnya, sehingga tidak merugikan hak generasi yang akan datang.

Terdapat 3 (tiga) tujuan utama yang ingin diraih dalam penetapan sebuah kawasan konservasi: (i) perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, (ii) pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, dan (iii) pengembangan non extractive uses dari suatu kawasan konservasi (ekoturism dan aktivitas rekreasional lainnya). Dalam banyak kasus, kombinasi ketiganya merupakan hal yang termasuk dalam pertimbangan dalam penetapan suatu kawasan konservasi. Beberapa objektif tersebut saling melengkapi, sementara dalam banyak kasus lain, saling berkompetisi antara satu dengan yang lainnya, yang didalamnya melibatkan konflik kepentingan dari beberapa pemangku kepentingan.

Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi perairan memiliki dua fungsi ekologi, yaitu: (1) limpahan ikan dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan. (2) ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan. Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi laut memberikan manfaat tidak langsung berikut: (1) melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial, dan (2) memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial (Robert & Polunin 1993).

Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran dari individu stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan rekrutan hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan


(30)

konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah Kawasan Konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (PISCO 2002). Peran kawasan konservasi perairan adalah melalui: (1) ekspor telur dan larva ke luar wilayah kawasan konservasi perairan yang menjadi wilayah penangkapan ikan bagi nelayan; (2) penyedia kelompok rekrutan ikan; (3) penambahan stok yang siap ambil di dalam wilayah penangkapan. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat adalah peningkatan hasil tangkapan nelayan di luar kawasan konservasi beberapa waktu setelah dilakukan penerapan kawasan konservasi perairan secara konsisten. Seberapa jauh efektivitas Kawasan Konservasi Perairan mampu memenuhi fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya, model, bentuk maupun posisi/letak wilayahnya, khususnya ukuran zona/wilayah yang dijadikan daerah perlindungan (no take area) dibandingkan dengan zona pemanfaatan (penangkapan).

Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa kawasan konservasi perairan, dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang substansial di dalamnya, menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami (Roberts & Hawkins 2000). Roberts & Hawkins (2000) melaporkan bahwa sebuah jejaring terdiri dari 5 kawasan konservasi perairan yang berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40 sampai 90%, sementara kawasan konservasi perairan di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970-an.

Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins 2000): (1) limpahan penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, (2) ekspor telur dan/atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah


(31)

hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan.


(32)

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dari pertengahan bulan Juli sampai dengan pertengahan bulan Agustus 2010 di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Pemilihan objek penelitian dilakukan dengan sengaja berdasarkan tujuan dari penelitian, dimana lokasi penelitian merupakan lokasi yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan.

Lokasi titik pengamatan ditentukan berdasarkan keterwakilan lokasi dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan data. Pengamatan dilakukan pada waktu siang hari dari pukul 09.00-16.00 yang dibagi menjadi 5 stasiun pengamatan yang terdiri dari 3 stasiun pengamatan di Pulau Biawak, 1 stasiun pengamatan di Pulau Gosong, dan 1 stasiun pengamatan di Pulau Candikian. Lokasi stasiun pengamatan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan

Lokasi Pengamatan Nama Lokasi Koordinat

1 Bagian Barat Pulau Biawak '05˚55'43.38'' LS '108˚22'14.3'' BT 2 Bagian Selatan Pulau Biawak 05˚56'16.9'' LS

'108˚22'54.5'' BT 3 Bagian Utara Pulau Biawak 05˚55'27.3'' LS

108˚22'52.5'' BT

4 Pulau Candikian 05˚48'19.5'' LS

108˚25'34.2'' BT

5 Pulau Gosong 05˚51'49.9'' LS

108˚23'22.4'' BT

Sebagai acuan dalam menentukan lokasi titik pengamatan, digunakan peta dasar Indonesia untuk wilayah Jawa-Pantai Utara (Tanjung Priok hingga Cirebon) lembar II nomor 79 dengan skala 1:200 000 yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi tahun 2003. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(33)

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian, parameter fisik perairan, persentase tutupan terumbu karang serta komunitas ikan karang. Adapun jenis dan metode pengambilan data adalah sebagai berikut:

3.2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian, dilakukan pengambilan data secara langsung yaitu dengan cara pengamatan langsung dengan melakukan wawancarai terhadap responden yang dianggap mewakili dan

Gambar 1 Peta lokasi penelitian


(34)

memiliki akses baik langsung atau tidak langsung terhadap wilayah studi yakni Pulau Biawak dan sekitarnya. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja dengan dasar pertimbangan bahwa orang-orang yang dipilih mengetahui kondisi Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya.

Wawancara dilakukan terhadap 15 orang nelayan yang merupakan penduduk di Desa Brondong dan Pabean Udik yang kesehariannya melakukan aktivitas penangkapan di Pulau Biawak dan sekitarnya, petugas penjaga mercusuar dari Dinas Perhubungan yang kesehariannya bertugas di Pulau Biawak, serta Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu beserta stafnya, Staf Dinas Kehutanan Kabupaten Indramayu dan Kepala Bappeda Kabupaten Indramayu. Wawancara dilakukan untuk mengetahui aktivitas yang terdapat di Pulau Biawak dan sekitarnya serta kegiatan dan rencana pengelolaan di Kawasan tersebut.

3.2.2 Parameter Fisik Perairan

Parameter fisik perairan sangat berpengaruh terhadap kondisi perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekologi yang terjadi di kawasan tersebut. Selain melalui pengamatan secara langsung di lokasi penelitian, data parameter fisik perairan juga diperoleh dari sumber pustaka. Adapun pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1 Kedalaman

Pengukuran kedalaman perairan dilakukan dengan menggunakan tali pengukur dan membaca angka yang ditunjukkan oleh konsul pada alat SCUBA

2 Kecepatan arus dan suhu permukaan

Kecepan arus dan suhu pada masing-masing stasiun diukur dengan menggunakan flowacth. Flowatch merupakan alat yang digunakan untuk mengukur arus permukaan dan suhu perairan. Flowatch dilengkapi dengan tongkat yang ujungnya terdapat baling-baling kemudi untuk mengukur arus. Bagian tersebut ditenggelamkan pada perairan sedalam ± 1 m. Flowatch dilengkapi juga dengan layar digital, dimana pada layar tersebut tertera besar arus serta suhu perairan.


(35)

3 Kecerahan

Kecerahan diukur dengan menggunakan seichi disk dengan diameter berukuran 20 cm.

4 Salinitas

Pengukuran salinitas perairan perairan dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer dengan kisaran 0-100 o/oo.

3.2.3 Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup dan Indeks Kematian Karang

Sebelum melakukan pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan pengamatan pendahuluan dengan mengamati daerah yang akan dijadikan lokasi pengambilan data. Pengamat melakukan snorkeling, mengitari daerah sekitar, untuk melihat gambaran secara umum bagaimana kondisi terumbu karang di daerah tersebut. Setelah diperoleh gambaran secara umum bagaimana kondisi tutupan terumbu karang di daerah tersebut, kemudian dilakukan pengambilan data secara lebih rinci dengan metode transek garis menyinggung dengan melakukan penyelaman menggunakan alat SCUBA (Self Contain Underwater Breathinf Apparatus) yang terdiri dari BCD, regulator, weight belt, tabung udara dilengkapi dengan wet suit, masker, snorkel, fins, jam tangan water resistant dan console. Lokasi pengambilan data terlebih dahulu posisinya dicatat dengan membaca koordinat yang ditunjukkan oleh Global Positioning System.

Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman 3 dan 10 m, masing-masing kedalaman diletakkan 3 transek yang merupakan ulangan dengan ukuran panjang 20 m dengan jarak antar transek 5 m yang terletak pada satu garis sepanjang 70 m sejajar pantai (Gambar 2). Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode transek garis menyinggung (TGM) dengan memodifikasi penjelasan McIntyre 1953, Mundy 1990, dan English et al. 1994.


(36)

Pada penelitian ini, transek berupa pita berskala (roll meter) dengan panjang 0-100 m diletakkan pada hamparan terumbu karang. Pada saat proses peletakan pita berskala, penyelam sebisa mungkin meletakkan pita berskala dengan mengikuti kontur kedalaman. Perpotongan masing-masing individu kategori bentuk tumbuh terumbu karang dijumlahkan dan dinyatakan sebagai fraksi dari panjang total transek (persentase tutupan). Pengamatan dilakukan dengan mencatat bentuk pertumbuhan karang dan substrat yang berada di bawah garis transek dengan ketelitian dalam ukuran sentimeter.

Bentuk pertumbuhan karang hidup dikategorikan menurut kategori pertumbuhan berdasarkan penjelasan English et al. (1994), yaitu: Acropora Branching (ACB), Acropora Encrusting (ACE), Acropora Submassive (ACS), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS), Mushroom (CMR), Milepora (CME), Heliopora (CHL), Soft Coral (SC), Sponges (SP), Zoanthids (ZO), Others (OT), Dead Coral with Algae (DCA), Sand (S), Rubble (R).

3.2.4 Kepadatan dan Biomassa Ikan Karang

Pengambilan data ikan karang menggunakan metode sensus visual bawah air dengan melakukan pencatatan ikan yang nampak di dalam daerah transek. Posisi transek ini sama dengan posisi garis transek pada pengamatan tutupan terumbu karang. Ikan karang yang diambil datanya untuk dicatat adalah ikan-ikan

Gambar 2 Sketsa metode pengambilan data persentase tutupan karang dan ikan karang


(37)

yang berada di wilayah transek pada saat pengambilan data dilakukan. Ikan-ikan yang ditemui dicatat serta diperkirakan panjangnya dan dimasukkan ke dalam selang kelas panjang ikan dengan panjang kelas 5 cm. Sensus dilakukan dengan radius pandang 2,5 m di sebelah kiri dan 2,5 m di sebelah kanan garis transek yang telah letakkan 3 buah dari 0-20 m, 25-45 m, dan 50-70 m. Jenis dan kepadatan individu ikan karang diamati pada setiap transek. Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada buku petunjuk bergambar Allen (2000) dan Kuiter (1992).

Metode visual sensus ikan bawah air, telah banyak digunakan untuk memperkirakan ukuran populasi ikan di terumbu karang (Russell 1977), tetapi perkiraan tersebut, dipengaruhi oleh bias. Bias utama yang dapat mempengaruhi sensus visual ikan adalah perbedaan penglihatan antara penyelam yang berbeda, jarak pandang/visibilitas bawah air, tingkah laku ikan dan keragaman habitat. Bias ini terutama akan mempengaruhi estimasi kepadatan ikan dan ukuran ikan karena pergerakan dari hewan-hewan ini, tetapi seharusnya tidak sangat mempengaruhi estimasi tanaman dan kepadatan invertebrata yang bergerak lambat (termasuk kerang, lobster karang dan landak laut) (Barrett & Buxton 2002). Watson et al. (2003) menyatakan bahwa sebagai suatu ukuran relatif dari kelimpahan ikan, metode visual sensus ikan, bias bisa diabaikan jika bias tetap konstan. Jika bias tidak tetap konstan, bagaimanapun, perkiraan visual tidak akan konsisten. Metode ini tetap digunakan karena memiliki beberapa keunggulan, terutama karena tidak merusak dan relatif cepat dalam pelaksanaannya. Potensi masalah bias perlu dievaluasi. Hal ini terutama relevan jika metode visual sensus bawah air digunakan untuk tujuan dalam penilaian stok.

Graham et al. (2004) menyatakan bahwa bias yang terjadi pada saat penyelam melakukan estimasi panjang ikan rata-rata 7% lebih besar dari ukuran panjang ikan sebenarnya. Penyelam memiliki kecenderungan untuk membuat estimasi panjang yang akurat bila ikan yang diamati berjarak 300 mm dari penyelam. Untuk ikan yang berukuran 175 mm, bias yang terjadi sebesar 20% dan untuk ikan yang berukuran panjang 400 mm, bias yang terjadi sekitar 10%. Perbedaan bias ini terjadi bergantung kepada spesies ikan, lokasi dan kedalaman. Presisi dari estimasi panjang, yang mengindikasikan standar deviasi, juga


(38)

bervariasi sejalan dengan ukuran ikan, dengan nilai berkisar antara 13% untuk ikan dengan ukuran panjang 200 mm sampai 8% untuk ikan dengan ukuran panjang 400 mm.

3.3 Analisa Data

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa berdasarkan jenisnya. Adapun analisa tersebut dijelaskan sebagai berikut:

3.3.1 Persentase Penutupan Terumbu Karang

Persentase penutupan digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang pada suatu lingkungan. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase penutupan (English et al. 1994) yaitu:

Persentase tutupan karang =

Panjang total kategori bentuk pertumbuhan karang

x 100% Panjang transek

Untuk menilai kondisi tutupan karang, digunakan kategori berdasarkan publikasi oleh Gomez et al. (1994) dimana untuk persentase tutupan karang hidup sebagai berikut (Tabel 2):

Tabel 2 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup Persentase tutupan Kategori

0 – 24,9 % : Buruk

25 – 49,9 % : Sedang

50 – 74,9 % : Baik

75 – 100 % : Sangat baik

3.3.2 Indeks Kematian Karang

Penilaian suatu kondisi atau kesehatan dari ekosistem terumbu karang tidak hanya berpatokan pada persentase penutupan karang, karena bisa saja terjadi dua daerah memiliki persentase penutupan karang hidupnya sama namun mempunyai tingkat kerusakan yang berbeda. Tingkat kerusakan ini terkait dengan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio kematian karang dapat diketahui melalui indeks kematian karang melalui perhitungan (Gomez et al. 1994): hidup) karang mati (karang Penutupan % mati karang Penutupan % + = IM


(39)

Nilai indeks mortalitas/indeks kematian (IM) yang mendekati nol menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup. Sedangkan nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati.

3.3.3 Kepadatan Komunitas Ikan Karang

Kepadatan komunitas ikan karang adalah jumlah biota ikan karang yang ditemukan pada suatu lokasi pengamatan per satuan luas transek pengamatan. Kepadatan komunitas terpilih dapat dihitung dengan rumus:

A ni Xi=

dengan: Xi = kepadatan ikan ke-i (individu/koloni per meter persegi); ni = jumlah total ikan pada stasiun pengamatan ke-i; A = luas transek pengamatan.

Komunitas ikan karang yang teramati dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama (English et al. 1997) yaitu:

a. Ikan-Ikan Target adalah ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk dikomsumsi. Ikan ini menjadikan terumbu karang sebagai daerah pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Contoh ikan-ikan ini adalah famili Serranidae (Ikan kerapu), Lutjanidae (Ikan kakap), Lethiridae (Ikan lencam), Caesionidae (Ikan ekor kuning), Siganidae (Ikan Baronang), Acanturidae (Ikan Pakol), Scarridae (Ikan Kakatua), Nemipteridae (Ikan Kurisi).

b. Ikan-Ikan Indikator adalah ikan-ikan khas yang mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekositem terumbu karang di daerah tersebut. Contoh ikan ini adalah Famili Chaetodontidae (Ikan kepe-kepe). c. Ikan-Ikan Mayor adalah jenis-jenis ikan yang meliputi semua ikan yang

tidak termasuk di kedua kelompok di atas dan umumnya belum banyak diketahui peranannya selain dalam rantai makanan di alam. Ikan ini umumnya terdapat dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan sebagai ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dan lain sebagainya).


(40)

3.3.4 Biomassa Ikan Karang

Biomassa ikan dicari dengan mengkonversi estimasi panjang individu ikan hasil pengamatan visual, ke dalam berat. Rumus yang digunakan adalah:

, dimana sehingga:

dengan: Bi = biomassa ikan ke-i (kg); = berat rata-rata ikan ke-i (kg);

ni=jumlah individu ikan ke-i; ai dan bi= konstanta hubungan panjang berat ikan;

= titik tengah panjang kelas ikan ke-i (cm). Konstanta hubungan panjang berat ikan berdasarkan Froese & Pauly (2010); Kulbicki et al. (1993). Pertumbuhan ikan untuk tiap-tiap spesies mempunyai perbedaan untuk tiap-tiap lokasi. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini, bahwa pertumbuhan ikan mengikuti kaidah pada konstanta hubungan panjang-berat ikan berdasarkan publikasi tersebut.

3.3.5 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, semakin beragam komunitasnya.

Indeks keanekaragaman (H’) yang umum digunakan adalah indeks Shannon-Wiener yang sesuai untuk komunitas acak dalam skala luas yang total jumlah spesiesnya diketahui (Ludwig & Reynolds 1988), dengan rumus:

= −

= s

i

pi pi H

1

) ln ( '

dengan H’ = indeks keanekaragaman; s = jumlah taksa ikan karang; pi = proporsi jumlah individu pada spesies ikan.

3.3.6 Indeks Keseragaman (E)

Indeks keseragaman (E) digunakan untuk melihat keseimbangan komunitas ikan karang, dengan cara mengukur besarnya keserupaan dari total individu antarspesies dalam komunitas. Semakin merata penyebaran individu antarspesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat.


(41)

Rumus yang digunakan adalah (Ludwig & Reynolds 1988):

maks H

H E

' ' =


(42)

4.1Kondisi Umum Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, secara geografis meliputi Pulau Biawak yang terletak pada posisi 05o56’022’’LS dan 108o22’015’’ BT, Pulau Gosong yang terletak pada posisi 5o52’076”LS dan 108o24’337’’ dan Pulau Candakian yang terletak 5o48’089”LS dan 108o24’487’’ yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Pabean Ilir Kecamatan Kota Indramayu. Berdasarkan management plan KKLD tahun 2005, luas total KKLD Kabupaten Indramayu ±15.540 Ha, yang terdiri dari luas wilayah perairan ± 14.798 Ha dan luas daratan ±742 Ha (Pulau Biawak ± 130 Ha, Pulau Gosong ±312 Ha dan Pulau Candikian ±300 Ha).

Pulau Biawak terletak di lepas pantai Laut Jawa, ±40 km di sebelah Utara Kabupaten Indramayu, berdasarkan hasil survey lapangan DKP (2003), keadaan topografinya datar, beberapa bagian pulau yang ditumbuhi mangrove tergenang air laut terutama pada saat pasang naik. Tinggi dari permukaan laut 0-2 m. Pulau ini memiliki areal litoral yang luas, jarak dari pantai ke tubir pantai rata-rata 150 m, sedangkan di bagian barat dan barat laut sampai 300 m yang terdiri dari batu-batu karang mati dan hancuran karang. Pulau Gosong berbentuk cincin akibat pengerukan yang dilakukan oleh Pertamina Balongan (Exor I) untuk penimbunan wilayah pantai di kawasan industri pada awal tahun 1990-an. Di pulau ini dapat dijumpai hanya beberapa vegetasi tumbuhan.. Pulau Candikian terletak sekitar 14 km arah timur laut Pulau Biawak seluas ±97 ha.

Di Pulau Biawak tidak terdapat perkampungan, yang bermukim hanya petugas penjaga mercusuar dari Direktorat Jendral Perhubungan Laut. Kondisi pulau yang jaraknya relatif jauh dari daratan Indramayu (Pulau Jawa) menjadikan pulau ini jarang dikunjungi terkecuali nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan pulau tersebut, sedangkan pada Pulau Gosong dan Pulau Candikian sama sekali tidak ada manusia yang menghuni. Kedua pulau tersebut dikunjungi hanya untuk menangkap ikan. Pulau Biawak dan Pulau Gosong dijadikan tempat berlabuh bagi para nelayan ketika mereka terkena badai sehingga mereka dapat terhindar dari arus gelombang yang tinggi.


(43)

Musim barat berlangsung akhir bulan November sampai akhir bulan Februari. Pada musim ini angin kencang disertai arus yang kuat bergerak dari barat ke timur disertai hujan yang cukup deras. Akibat arus yang kuat, kejernihan menjadi berkurang. Kecepatan arus dapat mencapai 4–5 knot per jam sedangkan ketinggian gelombang laut dapat mencapai 2 meter. Musim timur berlangsung akhir bulan Mei sampai akhir bulan Agustus. Pada musim ini angin bertiup kencang bergerak ke arah barat demikian juga arus yang ada. Hujan jarang turun dan kejernihan air laut bertambah. Di antara kedua musim tersebut diselingi oleh musim peralihan (pancaroba), kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang (DKP 2003).

Kelembaban udara rata-rata mencapai 80% dengan suhu berkisar 23-32 oC dan suhu rata-rata 30oc perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu besar. Curah hujan di sekitar perairan kabupaten indramayu bervariasi dengan nilai rata-rata per tahun sebesar 1.621 mm. Curah hujan bulanan antara 100 mm-400 mm pada musim barat 50-100 mm pada musim timur (DKP 2003).

Perairan Pulau Biawak memiliki karakteristik pasang surut campuran cenderung diurnal dengan range pasang surut sampai 80 cm. Pola pasang yang terjadi adalah tipe diurnal, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang surut, dengan fluktuasi berkisar 1-2 meter dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama. Jenis pasut tersebut merupakan tipe umum jenis pasut di perairan Laut Jawa (DKP 2003).

Gelombang laut di perairan Pulau Biawak memiliki spesifikasi tinggi dan arah jalarnya dipengaruhi oleh angin, sedangkan tinggi gelombang bervariasi antara 0,5-1 meter. Ketinggian gelombang pada saat musim angin barat dapat mencapai 2-3 meter. Rata-rata kecepatan arus tergolong lemah kecuali pada daerah di antara pulau, akibat massa air melewati bagian yang relatif sempit. Arah arus di Pulau Biawak dan sekitarnya secara umum didominasi dari arah timur laut sampai tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa pola arus permukaan di perairan tersebut diakibatkan oleh pola angin yang terjadi, sebagaimana sifat fisis arus permukaan di perairan Laut Jawa pada umumnya. Arus di ketiga pulau tersebut cukup tinggi pada waktu angin barat dan timur, sedangkan arusnya dapat


(44)

mencapai 5-10 meter/detik, dan perubahan pasang surut sekitar 1,5 sampai 2 meter menurut musim (DKP 2003).

Kawasan perairan Pulau Biawak dan sekitarnya merupakan perairan yang menjadi daerah penangkapan ikan bagi nelayan indramayu. Kapal yang biasa beroperasi di daerah tersebut adalah kapal-kapal yang berukuran kurang dari 10 GT. Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan tahun 2009, jumlah kapal yang berukuran kurang dari 10 GT di Kabupaten Indramayu berjumlah 4.944 buah. Dari hasil wawancara dengan nelayan setempat, mereka biasanya melakukan operasi penangkapan ikan di perairan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya pada bulan 9 sampai dengan bulan 11, atau pada saat perairan tenang dengan lama operasi penangkapan ikan berkisar antara 1 sampai 6 hari, tergantung perbekalan yang dibawa. Alat tangkap yang dioperasikan oleh para nelayan tersebut diantaranya: pukat/jaring arad, jaring udang, dan bubu. Hasil tangkapan nelayan antara lain: udang, rajungan, ikan kakap, ikan ekor kuning, kerapu dan ikan-ikan lainnya yang terdapat di perairan tersebut. Berdasarkan penuturan nelayan setempat, hasil tangkapan mengalami tren penurunan bila dibandingkan dengan 10 tahun ke belakang.

4.2Parameter Fisik Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya

Hasil pengukuran kondisi perairan Pulau Biawak dan sekitarnya yang diamati pada saat penelitian pada lima stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Parameter fisik perairan Pulau Biawak dan sekitarnya (hasil pengamatan)

Lokasi Koordinat Waktu

Pengamatan

Salinitas Suhu Kecepatan

Arus Kecerahan

(‰) (˚C) (m/det) (%)

Bagian Barat Pulau Biawak

05˚55'43.38'' S

10.40 33 26 0 95

108˚22'14.3'' E Bagian

Selatan Pulau Biawak

05˚56'16.9'' S

15.00 28 26 0,167 85

108˚22'54.5'' E Bagian Utara

Pulau Biawak

05˚55'27.3'' S

15.00 30 28 0,167 90

108˚22'52.5'' E Pulau

Candikian

05˚48'19.5'' S

12.00 30 29 0,167 85

108˚25'34.2'' E

Pulau Gosong 05˚51'49.9'' S 09.46 31 29 0,167 80

108˚23'22.4'' E

Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung kehidupan flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia


(45)

dan biologi. Sifat fisika yang penting antara lain adalah suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus dan kedalaman.

Suhu dan salinitas secara berturut-turut pada saat pengamatan berkisar antara 26-29ºC dan antara 28-33o/oo. Kecerahan memperihatkan distribusi

horizontal antara 80-90% serta kecepatan arus antara 0-0,167 m/det. Variasi salinitas horizontal maupun vertikal pada perairan Pulau Biawak relatif kecil. Data kisaran salinitas rata-rata umumnya berkisar 30 ppm - 33 ppm.

Suhu suatu badan air di pengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran air serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya, algae dari filum Clorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35oC dan 20-30oC. Filum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Chlorophyta dan diatom (Haslam 1995 in Hefni Effendi 2003). Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Haslam 1995 in Effendi 2003). Selain itu suhu

juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga mengakibatkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003).

Pada perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1998 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua


(46)

karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan promil (o/oo). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5 o/oo,

perairan payau antara 0,5-30 o/oo, dan perairan laut 30-40 o/oo. Pada perairan

hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40-80 o/oo. Pada perairan

pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003).

Kecerahan perairan didapatkan dari perbandingan antara kedalaman Secchi disk dengan kedalaman perairan di kali 100 %. Berdasarkan pengamatan di Pulau Biawak memiliki tingkat kecerahan yang berbeda-beda antar lokasi antara 85-95%.

Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi 2003).

Tingkat kedalaman perairan laut di pulau biawak dan sekitarnya berdasarkan peta dasar yang diterbitkan Dinas Hidro Oseonografi (2002) yaitu 36 meter sampai dengan 50 meter di bawah permukaan laut. Sedangkan kedalaman laut di sekitar pulau antara 36 meter hingga 46 meter di bawah permukaan laut. Daerah yang paling dalam terdapat pada bagian tengah perairan selat antara Pulau Biawak dengan Pulau Gosong dan Pulau Gosong dengan Pulau Candikian dengan kisaran kedalaman 50 meter di bawah permukaan laut, pada daerah ini arus air laut yang ada sangat deras.

4.3Kondisi Terumbu Karang di Pulau Biawak dan Sekitarnya 4.3.1 Persentase Tutupan Karang

Hasil pengamatan di lapangan, tipe terumbu di Pulau Biawak dan sekitarnya merupakan terumbu karang tepi. Persentase penutupan karang di kelima stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.


(1)

71

4 Pulau Cendikian Caesionidae Caesio cuning - - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - 3 4 Pulau Cendikian Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 3 - 3 3 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 11 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Chromis atripectoralis - 7 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 7 4 Pulau Cendikian Labridae Hemigymnus melapterus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Ambliglyphidodon curacao - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3 4 Pulau Cendikian Nemipteridae Scolopsis bilineatus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Nemipteridae Scolopsis lineatus - - - - - 4 - - - - - - - - - - - - - - - 4 4 Pulau Cendikian Labridae Labroides dimidiatus - 11 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 11 4 Pulau Cendikian Labridae Thalassoma lunare 2 - - - 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6 4 Pulau Cendikian Labridae Cheilinus fasciatus - - - - - - - - 2 - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Chromis analis 9 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 9 4 Pulau Cendikian Scaridae Scarus viridifucatus - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Serranidae Ephinephelus hexagonatus - - - 1 - 1 1 1 - - - - - - - - - - - - - - - - 4 4 Pulau Cendikian Haemulidae Plectorhinchus chaetodonoides - - - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - 1 4 Pulau Cendikian Scaridae Scarus ghobban - - - 1 2 - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6 4 Pulau Cendikian Labridae Halichoeres melanurus - - - 1 - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Chaetodontidae Chaetodontoplus mesoleucus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Labridae Gomphosus varius - - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Neoglyphidodon bonang - 10 - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 12 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Neopomacentrus cyanomos 1 - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Plectroglyphidodon lacrymatus - - - 1 - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Pomacentrus smithi - 13 61 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 74 4 Pulau Cendikian Scaridae Scarus rivulatus - - - 4 - 3 - 1 1 - - - - - - - - - - - - - - - - 9 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Pomacentrus sextriatus - - - - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - 1 4 Pulau Cendikian

10

Pomacentridae Chromis cyanea - 9 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 9 4 Pulau Cendikian Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 43 22 52 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 117


(2)

72

4 Pulau Cendikian Caesionidae Caesio cuning - - - - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus - 1 4 2 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 8

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Chromis atripectoralis 69 39 2 - - 6 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 116

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Dischistodus prosopotaenia - - - 1 - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Labridae Hemigymnus melapterus - - - 1 1 - 1 - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - 4

4 Pulau Cendikian Labridae Bodianus mesothorax - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Ambliglyphidodon curacao - 14 60 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 74

4 Pulau Cendikian Labridae Labroides dimidiatus - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Chromis analis 6 19 35 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 60

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Chromis notata 3 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6

4 Pulau Cendikian Pomacanthidae Centopyge nox - - - - - - 1 - 1 - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Scaridae Scarus viridifucatus - - - - - - - - 3 - - 2 - - - - - - - - - 5

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Amphiprion clarkii - - - 3 - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6

4 Pulau Cendikian Serranidae Ephinephelus hexagonatus - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Serranidae Cephalopholis argus - - - - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Labridae Halichoeres prosopeion - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Lutjanidae Lutjanus lunulatus - - - - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - 2

4 Pulau Cendikian Scaridae Bolbometopon muricatum - - - - - - - - - - - - - 3 - - 3

4 Pulau Cendikian Pomacentridae Pomacentrus smithi 367 210 86 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 663

4 Pulau Cendikian Labridae Thalassoma lunare 2 - 2 - - 7 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 11

4 Pulau Cendikian Labridae Cheilinus fasciatus - - - - 2 - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - 4

5 Pulau Gosong 3 Pomacentridae Chromis cyanea 6 4 3 3 6 - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 24

5 Pulau Gosong Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 15 126 103 28 26 5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 303

5 Pulau Gosong Pomacentridae Abudefduf sexfasciatus - - 6 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6

5 Pulau Gosong Caesionidae Caesio cuning - - - 6 - 8 - 9 5 - - 5 - - - 33


(3)

73

5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis atripectoralis - - 6 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6 5 Pulau Gosong Pomacentridae Dischistodus prosopotaenia - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 5 Pulau Gosong Labridae Hemigymnus melapterus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 5 Pulau Gosong Pomacentridae Ambliglyphidodon curacao - - 2 - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 5 5 Pulau Gosong Pomacentridae Ambliglyphidodon leucogaster - - 3 1 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 5 5 Pulau Gosong Nemipteridae Scolopsis bilineatus - - - 2 - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 4 5 Pulau Gosong Nemipteridae Scolopsis trilineatus - - - - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - 3 5 Pulau Gosong Labridae Labroides dimidiatus - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3 5 Pulau Gosong Labridae Thalassoma lunare - - - 3 2 5 - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - 12 5 Pulau Gosong Labridae Cheilinus fasciatus - - - 2 2 1 - - 1 3 2 - - 1 - - - - - - - - - - - 12 5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis analis 6 2 7 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 15 5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis ternatensis - 96 16 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 112 5 Pulau Gosong Pomacentridae Pomacentrus burroughi 5 17 4 - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 28 5 Pulau Gosong Labridae Halichoeres trimaculatus - - - 1 - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3 5 Pulau Gosong Pomacentridae Neoglyphidodon bonang - - 2 - - 8 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 5 Pulau Gosong Pomacentridae Chrysiptera cyanea - 2 - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 5 5 Pulau Gosong Scaridae Scarus rivulatus - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 5 Pulau Gosong Labridae Halichoeres purpuracens - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 5 Pulau Gosong Serranidae Cephalopholis argus - - - - 2 - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - 3 5 Pulau Gosong Serranidae Cephalopolis boenak - - - - - - 1 1 - - - - - - - - - - - - - 2 5 Pulau Gosong Labridae Diproctacanthus xanthurus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 5 Pulau Gosong

10

Pomacentridae Chromis cyanea 6 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 6 5 Pulau Gosong Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 65 9 52 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 126 5 Pulau Gosong Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 4 - 3 - 7 - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 16 5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis atripectoralis - 39 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 39 5 Pulau Gosong Pomacentridae Dischistodus prosopotaenia - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2


(4)

74

5 Pulau Gosong Labridae Hemigymnus melapterus 4 - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - 5

5 Pulau Gosong Pomacentridae Ambliglyphidodon curacao 4 - 12 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 16

5 Pulau Gosong Pomacentridae Ambliglyphidodon leucogaster 3 - 2 - 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 9

5 Pulau Gosong Nemipteridae Scolopsis bilineatus - - - 1 - 2 1 - 3 - - - - - - - - - - - - - - - 7

5 Pulau Gosong Pomacentridae Amphiprion ocelaris - - 3 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3

5 Pulau Gosong Labridae Labroides dimidiatus 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Labridae Thalassoma lunare - - - 2 2 2 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 8

5 Pulau Gosong Labridae Cheilinus fasciatus - - - 1 - 1 - - 2 - - - - - - - - - - - - 4

5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis analis 6 2 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 12

5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis ternatensis 27 57 96 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 180

5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis notata 2 - 1 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 5

5 Pulau Gosong Labridae Epibulus insidator - - - - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Labridae Halichoeres trimaculatus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Scaridae Chlorurus sordidus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Pomacentridae Neoglyphidodon melas 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Pomacentridae Chromis taeniometopon - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Pomacentridae Chrysiptera cyanea - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Scaridae Chlorurus bleekeri - - - - - - - - 3 - - - - - - - - - - - - 3

5 Pulau Gosong Serranidae Ephinephelus fasciatus - - - 1 - - - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - 3

5 Pulau Gosong Holocentridae Sargocentron rubrum - - - - - - - - 2 - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Lutjanidae Lutjanus gibbus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Scaridae Scarus viridifucatus - - - 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - 2

5 Pulau Gosong Labridae Diproctacanthus xanthurus 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2


(5)

75

Lampiran 2 Kepadatan dan biomassa ikan

Lokasi Kedalaman Kelompok

Famili

Kepadatan

(ind/ha)

SD

(±)

Biomassa

(kg/ha)

SD

(±)

Bagian

Barat

Pulau

Biawak

3 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 17,300.0 458.3

61.6

29.2

Labridae 533.3

288.7

12.6

27.4

Nemipteridae 200.0 288.7 26.7 27.4

Ikan Target

Serranidae 133.3 57.7 2.7 4.6

Lethrinidae 66.7 115.5 3.2 5.5

Caesionidae 133.3 152.8 3.4 3.1

Scaridae 66.7

115.5

14.2

24.7

Labridae 66.7

57.7

24.1

20.9

Ikan Indikator

Chaetodontidae 200.0 173.2

0.8

0.7

10 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 14,733.3 5,398.5

8.7

3.2

Labridae 1,033.3

152.8 8.2 3.1

Monacanthidae 66.7 57.7

0.8

0.7

Nemipteridae 233.3 251.7 4.7

8.2

Ikan Target

Serranidae 333.3 288.7 5.4 5.1

Caesionidae 100.0 100.0 6.2 6.2

Scaridae 366.7

57.7

20.3

17.8

Labridae 66.7

115.5

11.4

19.7

Ikan Indikator

Chaetodontidae 166.7

57.7

0.6

0.6

Bagian

Selatan

Pulau

Biawak

3 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 9,433.3 5,430.8 69.5

28.0

Labridae 566.7

404.1

17.0

22.6

Pomachantidae 133.3 152.8

3.9

3.6

Holocentridae 233.3 404.1 34.2 59.3

Scorpaenidae 33.3 57.7 31.8 55.1

Nemipteridae 166.7 208.2 7.0

8.7

Ikan Target

Caesionidae 900.0 435.9 55.4 26.8

Scaridae 33.3

57.7

41.0

71.0

Siganidae 1,066.7

1,847.5

99.5 172.3

Ikan Indikator

Chaetodontidae 133.3 115.5

4.0

5.1

10 m

Ikan Mayor

Pomaentridae 11,266.7 2,836.1 50.9

15.9

Labridae 333.3

321.5

3.0 2.1

Pomachantidae 66.7 57.7 21.8 18.9

Muraenidae 33.3 57.7 1.9 3.3

Ikan Target

Caesionidae 266.7 152.8 6.2 0.1

Scaridae 100.0

100.0

43.9

43.9

Serranidae 66.7 115.5

12.2

21.2

Ikan Indikator

Chaetodontidae 100.0 100.0

1.2

1.2

Bagian

Utara

Pulau

Biawak

3 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 3,766.7 305.5

18.1

7.2

Labridae 500.0

264.6

4.5 5.8

Holocentridae 133.3 230.9 47.7 82.6

Mullidae 166.7

208.2

47.7

70.6

Nemipteridae 166.7 288.7 45.0 78.0

Ikan Target

Lutjanidae 66.7

115.5

11.8

20.4

Scaridae 266.7

251.7

3.6 4.0

Serranidae 133.3 230.9 11.6 20.1

Caesionidae 533.3 923.8 32.8 56.8


(6)

76

10 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 7,400.0 3,983.7 14.7

18.4

Labridae 600.0

529.2

3.1 2.8

Ephipidae 133.3

115.5

44.0

44.8

Pomachantidae 66.7 57.7

0.8

0.7

Nemipteridae 200.0 200.0 19.0 26.0

Ikan Target

Scaridae

266.7

378.6

43.8

43.8

Serranidae 133.3 152.8 4.3 6.5

Labridae 133.3

57.7 5.0 2.0

Ikan Indikator

Chaetodontidae 266.7 208.2

5.1

6.1

Pulau

Candikian

3 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 5,500.0 2,088.1 8.0

5.2

Labridae 766.7

832.7

8.3 10.4

Haelumidae 33.3 57.7 22.6 39.2

Nemipteridae 200.0 346.4 16.8 29.0

Ikan Target

Caesionidae 100.0 173.2 16.9 29.2

Scaridae 566.7

351.2

17.4

16.9

Serranidae 133.3 57.7 6.8 3.8

Labridae 66.7

115.5

11.4

19.7

Ikan Indikator

Chaetodontidae 433.3 321.5

2.8

3.0

10 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 35,100.0 12,425.4 33.3

16.0

Labridae 866.7

802.1

26.4

25.1

Pomachantidae 66.7 57.7 12.9 11.2

Ikan Target

Caesionidae 66.7 115.5 23.9 41.4

Scaridae 166.7

251.7

353.6

386.7

Serranidae 133.3 230.9 17.4 30.1

Lutjanidae 66.7

115.5

13.7

23.8

Ikan Indikator

Chaetodontidae 266.7 115.5

1.2

1.1

Pulau

Gosong

3 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 17,366.7 10,851.0 40.7

10.5

Labridae 800.0

529.2

10.3 6.9

Nemipteridae 233.3 57.7 15.5 18.5

Ikan Target

Scaridae 66.7

115.5

0.02

0.0

Serranidae 166.7 152.8 18.3 18.1

Caesionidae 1,100.0 624.5 277.0 321.3

Labridae 400.0

173.2

76.0

66.7

Ikan Indikator

Chaetodontidae 300.0 100.0

3.5

1.2

10 m

Ikan Mayor

Pomacentridae 13,466.7 3,066.5 11.7

7.7

Labridae 700.0

700.0

33.5

33.8

Holocentridae 66.7 115.5 9.8 16.9

Nemipteridae 233.3 251.7 20.4 22.7

Ikan Target

Scaridae 233.3

208.2

46.7

49.2

Serranidae 100.0 173.2 15.0 26.0

Lutjanidae 166.7

288.7

14.4 24.9

Labridae 133.3

152.8

35.5

47.5