5 PEMBAHASAN
5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya
Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem lainnya
di dunia. Ekosistem terumbu karang menyediakan jasa dan pemenuhan kebutuhan bagi manusia seperti seafood, tempat rekreasi, perlindungan daerah pesisir,
pemandangan dan keuntungan lainnya. Lebih dari 100 negara yang mempunyai garis pantai dengan terumbu karang.
Di negara-negara tersebut, sedikitnya sepuluh juta orang menggantungkan hidupnya pada ekosistem terumbu karang
sebagai bagian dari kehidupan dan pemenuhan asupan protein mereka Salvat 1992 in Moberg Folke 1999. Sebagai contoh, Jennings Polunin 1996
menghitung bahwa terumbu karang dengan luasan 1 km
2
yang tumbuh secara aktif dapat mendukung lebih dari 300 orang jika tidak ada sumber protein lain yang
tersedia. Saat ini, ekosistem terumbu karang banyak yang mengalami kemunduran
serius Brown 1987; Richmond 1993; Wilkinson 1993; Bryant et al. 1998. Hal ini terutama terjadi pada lokasi terumbu karang yang berada dekat dekat di daerah
padat penduduk. Ekosistem tersebut mendapatkan pengaruh yang berasal dari aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, intensifikasi pertanian, dan muatan
sedimen serta nutrient dari daratan serta jenis polusi lainnya. Faktor lain yang berasal dari aktivitas manusia yang terkait terumbu karang adalah pemanfaatan
biota karang yang berlebihan, metode penangkapan ikan yang merusak, pariwisata yang tidak terkendali, penyakit baru, dan kemungkinan perubahan iklim global
Johannes 1975; Grigg Dollar 1990; Wilkinson Buddemeier 1994; Roberts 1995; Peters 1997; Moberg Folke 1999.
Kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mengalami tekanan yang besar yang diduga diakibatkan oleh aktivitas
manusia dan pencemaran minyak bumi. Persentase penutupan karang hidup mengalami penurunan serta tingginya persentase patahan karang di lokasi
pengamatan khususnya pada bagian barat Pulau Biawak pada kedalaman 10 m dan bagian utara Pulau Biawak pada kedalaman 3 m yang di atas 60 serta serta
lokasi lainnya yang berkisar antara 20-41, terkecuali lokasi pada bagian barat Pulau Biawak pada kedalaman 3 m dimana persentase patahan karangnya cukup
kecil yaitu 4. Penurunan persentase tutupan terumbu karang ini bisa terjadi, diduga dikarenakan cara penangkapan ikan yang merusak seperti racun dan
penggunaan bom, dimana berdasarkan wawancara dengan petugas penjaga mercusuar di Pulau Biawak, nelayan setempat dan laporan DKP 2003, nelayan
dari luar Indramayu sering menggunakan bom dan potassium sianida untuk mengambil ikan-ikan karang. Selain itu, penurunan kondisi terumbu karang juga
diduga akibat aktivitas penambatan jangkar oleh kapal nelayan, mengingat Pulau Biawak merupakan tempat singgah sementara nelayan setelah melakukan
penangkapan ikan, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dalam hal ini pengoperasian trawl, bubu, dan jaring di daerah sekitar terumbu karang,
serta terjadinya pencemaran minyak bumi yang menurut nelayan dan aktivis lingkungan setempat terjadi sampai tiga kali semenjak 2005.
Pilcher 2001 mengemukakan bahwa cara-cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan penggunaan racun memberikan dampak
kerusakan yang besar terhadap ekosistem terumbu karang. Bom seberat 1 kg dapat menyebabkan kerusakan dengan diameter 4-5 m. Daya ledak bom tidak hanya
menyebabkan ikan mati, namun juga menyebabkan kerusakan terumbu karang. Bekas pemboman dicirikan dengan terbentuknya kawah serta banyaknya patahan
karang serta batuan karang yang tidak pada tempatnya, jungkir balik sebagai akibat dari ledakan. Ledakan juga mengubah struktur tiga dimensi dari terumbu
karang dan area bekas ledakan tidak lagi dapat menyokong kehidupan, menyediakan makanan bagi hewan-hewan yang berasosiasi dan tempat
perlindungan. Begitu juga dengan penggunaan racun seperti sianida. Penggunaan racun sianida yang bertujuan untuk membius ikan karang dapat menghambat
pertumbuhan karang, menjadi pemicu timbulnya penyakit, menyebabkan pemutihan karang dan kematian bagi beberapa spesies karang.
Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti ghost fishing alat tangkap yang hanyut, dibuang akibat tersangkut atau pun penyebab
lainnnya, pengoperasian trawl dan jaring purse seine yang dioperasikan di daerah yang dekat atau berada di daerah terumbu karang. Pengoperasian trawl di sekitar
daerah terumbu karang dikarenakan daerah sekitar terumbu karang merupakan daerah yang berpotensi mempunyai jumlah ikan atau pun udang yang banyak,
yang akhirnya menyebabkan jaring tersangkut pada struktur terumbu karang yang menyebabkan karang patah atau pun rusak. Penggunaan rantai di dasar perairan
dengan tujuan untuk menyapu dasar perairan juga dapat merusak terumbu karang. Industri pengeboran minyak bumi juga menjadi sumber polusi. Minyak
bumi dan turunannya, pembuangan minyak yang berasal dari ballast kapal serta cairan kimia lainnya yang digunakan dalam industri pengeboran minyak
menyebabkan kerusakan yang luas pada ekosistem pesisir. Pengeboran minyak lepas pantai yang berada di daerah dimana terdapat terumbu karang dapat
menyebabkan hilangnya ekosistem tersebut. Tumpahan minyak dapat meningkatkan insiden kematian dari koloni terumbu karang, telur dan larva yang
terapung. Di Laut Merah, dimana telah terjadi lebih dari 20 kali peristiwa tumpahan minyak sepanjang pesisir pantai Mesir sejak tahun 1982, menyebabkan
kerusakan dan meracuni terumbu karang serta organisme lainnya. Getaran seismic pada saat ekplorasi minyak bumi juga merupakan ancaman bagi terumbu karang.
juga berakibat negatif terhadap ekosistem. Tumpahan minyak menghambat pertumbuhan kolonisasi karang, seperti yang terjadi di Gulf Aqaba pada tahun
1970 ketika karang Stylopora pistilata tidak dapat berkolonisasi akibat dari perairannya terkontaminasi tumpahan minyak. Pengaruh minyak tehadap individu
koloni karang bervariasi, mulai dari kematian jaringantissue, menghambat sistem reproduksi sampai hilangnya alga yang bersimbiosis dengan terumbu karang
pemutihan karang. Terkait dengan rencana pengelolaan pengembangan ekowisata di kawasan
Pulau Biawak dan sekitarnya, penurunan kondisi terumbu karang di kawasan tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap jumlah wisatawan yang akan
berkunjung serta daya dukung kawasan untuk menopang jumlah wisatawan. Nilai rekreasi terumbu, seperti ditunjukkan oleh pendapatan dari wisata
sangat besar Cesar 1996. Nilai pariwisata di Great Barrier Reef World Heritage Area
diperkirakan oleh Driml 1994 sebesar AUS 682.000.000 per tahun. Pada tahun 1990 pariwisata Karibia memperoleh US 8.900.000.000 dan
mempekerjakan lebih dari 350.000 orang Dixon et al. 1993 in Moberg Folke
1999. Pengelolaan kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya adalah suatu keharusan, terutama perlindungan terhadap ekosistemnya, apabila mau
dikembangakan sebagai kawasan ekowisata.
5.2 Komunitas Ikan Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan