Tinjauan Kota Surakarta

2.6. Tinjauan Kota Surakarta

2.6.1. Tinjauan Administratif Kota Surakarta

Surakarta Dalam Angka tahun 2008 menyebutkan bahwa luas wilayah administratif Kota Surakarta sekitar 4406 Ha yang terbagi atas lima wilayah kecamatan (Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar kliwon, Kecamatan Jebres, dan Kecamatan Banjarsari) dan 51 wilayah kelurahan. Kota Surakarta berbatasan dengan beberapa wilayah administrasi (lihat Gambar 3.1), yaitu berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar di sebelah timur, Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah barat.Luas kawasan yang telah terbangun mencapai 88,47 %. Sementara itu, yang belum terbangun kurang lebih 11,53 % di bagian utara dan barat kota. Keterbatasan lahan di Kota Surakarta menyebabkan terjadinya perluasan wilayah Kota Surakarta menuju ke arah wilayah administratif tetangga seperti Karanganyar dan Sukoharjo. Berdasarkan studi dari tim Proyek Pengembangan Kota Terpadu, luas wilayah perkotaan Surakarta saat ini telah mencapai sekitar 11000-12000 Ha atau berkembang menjadi hampir tiga kali lipat dari luas wilayah semula. Luas wilayah administratif Kota Surakarta tersebut meliputi wilayah administratif Kota Dati II Surakarta seluas 4406 Ha, sebagian Dati II Sukoharjo

commit to user

Kecamatan Mojolaban) seluas 3168 Ha, dan sebagian Dati II Karanganyar (Kecamatan Jaten dan Kecamatan Colomadu) seluas 1143

Ha.

2.6.2. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Surakarta

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2 tahun 1987 menyebutkan bahwa rencana pemanfaatan ruang kota mencakup arahan pemanfaatan ruang yang menggambarkan lokasi intensitas tiap penggunaan untuk kegiatan primer dan sekunder yang ada di dalam kota sampai akhir tahun perencanaan. Jadi, pengaturan lokasi dan luas lahan dirinci dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk kegiatan primer maupun sekunder. Rencana pemanfaatan ruang Kota Surakarta ditunjukkan pada tabel dan peta di bawah ini.

Gambar 2.7. Peta Kota Surakarta

Sumber: http://www.surakarta.go.id Diakses 1 Juni 2011 Pukul 12.00 WIB

commit to user

SWP Lokasi

A B C D E F G H Jumlah

(%)

I 20 10 70 100

Pucangsawit II

10 5

5 10 10 60 100

Mangkunegaran, Balaikota,

Kawasan Komersial

Keraton, Kawasan Komersial

IV

5 15 5 10 65 100

Sriwedari, Balekambang, Manahan

V 15 5

10 70 100

Sondakan, Laweyan

Sumber, Banyuanyar VIII

10 5 10 25 5

55 100

Taman Jurug, UNS, Kawasan Komersial

Kebijakan pemerintah dalam perencanaan Kota Surakarta diwujudkan melalui visi perencanaan kota, yaitu mewujudkan Surakarta

Gambar 2.8. Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta

Keterangan :

A. Pariwisata

B. Kebudayaan C. Olah Raga D. Industri

E. Pendidikan F. Perdagangan G. Pusat Administrasi/Perkantoran H. Perumahan

Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta

commit to user

arsitektur kota. Penekanan aspek kultural ditempuh dengan cara melestarikan kebudayaan Surakarta beserta pranata-pranata sosial budaya sebagai identitas komunal, sedangkan penekanan pada aspek arsitektur kota ditempuh dengan cara menciptakan Kota Surakarta yang dapat mencerminkan sebagai kota yang masih mempunyai karismatik dan berbudaya lokal yang dapat dijadikan sebagai trademark kota.

2.6.3. Tinjauan Pariwisata Budaya Kota Surakarta

Koentjaraningrat (1995:329) menyebut Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa yang menjadi induk dari daerah-daerah kejawen lainnya, yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Kediri. Begitu juga dengan Kuncoro (1997) dalam seminarnya berjudul “Sejarah dan Peninggalan dalam Membentuk Identitas Kota Surakarta” yang menyebutkan bahwa Kota Surakarta telah lama dinobatkan sebagai “Kota Pusat Budaya Jawa Tengah” karena Surakarta

Gambar 2.9. Peta Pariwisata Kota Surakarta

Sumber: www.wisatasolo.com Diakses 1 Agustus 2011 Pukul 20.30 WIB

commit to user

budaya Jawa Tengah. Selain itu, Surakarta juga mendapat julukan sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata Jawa Tengah“ bagi para pengunjung dari luar Jawa Tengah yang datang melalui Bandara Adisumarmo.

Potensi-potensi seni dan budaya yang dimiliki Surakarta antara lain seni pertunjukan tradisional, upacara-upacara tradisi yang masih dijalankan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari maupun oleh masyarakat bangsawan (keraton), event-event budaya, dan peninggalan bangunan-bangunan bersejarah dengan berbagai ragam arsitektur, antara lain arsitektur Jawa, Indis, dan kolonial Belanda (lihat gambar 7). Bangunan-bangunan bersejarah yang dapat dijadikan sebagai objek pariwisata budaya antara lain Puro Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Taman Balekambang, Lojigandrung, Taman Sriwedari, Monumen Pers, Pasar Klewer, Pasar Gede, dan lain-lain. Keberagaman seni dan budaya tersebut mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Hal ini terlihat dengan banyaknya wisatawan, baik wisatawan domestic maupun wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Surakarta untuk mengenal, mempelajari, dan berapresiasi terhadap seni dan budaya setempat. Data dari Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Surakarta tahun 2003-2010 menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke Kota Surakarta mengalami peningkatan setiap tahun (lihat Tabel 4, Grafik 1, dan Tabel 5).

commit to user

No

Tahun

Wisatawan Mancanegara

Wisatawan

Domestic

Jumlah total

Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta

Tabel 2. 4. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke Obyek Wisata

di Kota Surakarta

Diagram 2.1. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kota Surakarta Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta

Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta

commit to user

Berbagai bentuk kesenian tradisional Jawa termasuk di dalamnya seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah masih berkembang di Surakarta. Nuansa budaya Jawa tersebut masih terasa sangat kental dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Keadaan tersebut berkaitan dengan realita historis bahwa beberapa abad yang lalu Surakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Dinasti Mataram di tanah Jawa (di samping Kasultanan Yogyakarta). Itulah sebabnya hingga saat ini Surakarta masih menjadi salah satu pusat pengembangan budaya Jawa. Sejumlah potensi seni pertunjukan tradisional yang berkembang di Surakarta dapat menjadi salah satu peluang dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata sehingga diharapkan kepariwisataan di daerah Surakarta dapat menjadi wajah wisata budaya di Jawa Tengah.

a. Sejarah dan Kondisi Seni Tari Tradisional di Surakarta Di bawah ini adalah uraian tentang seni tari di Surakarta yang dikutip dari buku berjudul “Standar Kompetensi Tari Yogyakarta Surakarta Bali” karya Widyastutiningrum dan Prabowo (2003:21-24).

Pada awalnya seni tari gaya Surakarta berkembang di Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Keduanya memiliki warna, corak, kualitas, dan gaya yang berbeda. Namun, yang banyak dikenal masyarakat luas sebagai tari gaya Surakarta adalah tari gaya Kasunanan yang awalnya hanya berkembang di lingkungan keraton. Sejak Paku Buwana X lengser pada tahun 1939, tari gaya Surakarta (gaya

commit to user

batas lingkungan tertentu. Perkembangan tari gaya Surakarta (gaya Kasunanan) tersebut dimotori oleh abdi dalem langentaya, antara lain Wira Bratana, Atmohutaya, Wignyohambeksa, Sindu Hardiman, Atmakesawa, Pamarditaya, Harta Sukalewa, dan lain-lain. Oleh karena itu, muncul aliran gaya tari seperti aliran Wirabratanan, aliran Sindu Hardiman, aliran Wignyahambeksan, aliran Kusumakesawan, dan sebagainya. Sejak tahun 1950-an tari gaya Surakarta semakin berkembang di luar keraton yang didukung dengan berdirinya Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR) Surakarta dan Himpunan Budaya Surakarta (HBS) yang dipelopori oleh empu tari dari Kasunanan dan Mangkunegaran. HBS dimotori oleh K.R.T. Kusumakesawa, R. Ng. Wignyahambeksa, R.M. Susena, Pamarditaya, Prawirareja , dan S. Ngaliman.

Tari gaya Surakarta berkembang sangat pesat setelah dilakukan penggalian tari dan upaya pengembangan tari gaya Surakarta oleh Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Upaya pengembangan tari gaya Surakarta dilakukan dengan berbagai cara seperti pemadatan, perubahan, dan penggarapan bentuk. Hasil pengembangan tersebut melahirkan tari gaya Sasanamulya dengan bentuk yang lebih dinamik pada tahun 1980-an. Kemudian, tari gaya Sasanamulya berkembang menjadi tari gaya Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta yang mendominasi tari di Surakarta. Dalam perkembangannya tari gaya Surakarta diwarnai oleh tari gaya Mangkunegaran yang banyak digubah

commit to user

Koncar dan Gambyong Pareanom. Saat ini tari gaya Surakarta banyak mendapatkan pengaruh dan banyak mengalami perubahan sehingga semakin kaya dan cenderung sulit untuk dibedakan antara tari gaya Kasunanan dan gaya Mangkunegaran.

Pelestarian tari gaya Surakarta telah dilakukan melalui beberapa lembaga pendidikan di Surakarta baik yang bersifat formal maupun informal. Lembaga pendidikan formal yang bergerak di bidang tari antara lain sebagai berikut.

1) Sekolah Menengah Kejuruan VIII (dahulu KOKAR).

SMK VIII menekankan pembelajarannya pada bidang seni karawitan , musik, pedalangan, dan tari. Pembelajaran seni tari difokuskan pada tari gaya Surakarta, namun para siswa juga mendapat pembelajaran tari daerah lain seperti tari Bali, tari Sunda dan tari Yogyakarta.

2) Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta

STSI Surakarta merupakan perkembangan dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang berdiri sejak tahun 1964. Saat ini Jurusan Seni Tari lebih diminati daripada jurusan lain. Hal itu terlihat dari jumlah mahasiswa Jurusan Seni Tari yang lebih banyak daripada jurusan lainnya. Mata kuliah tari gaya Surakarta merupakan mata kuliah mayor dan wajib.

Berbeda dengan lembaga pendidikan formal, lembaga pendidikan informal memiliki jumlah yang lebih banyak di Kota

commit to user

pernah tumbuh dan berkembang di Surakarta. Adapun sanggar-sanggar tari tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Sanggar Tari Yayasan Kembang Setaman

Sanggar tari ini didirikan oleh Suhartini Sri Hastanto pada tahun 1993 di Kentingan, Surakarta. Pada mulanya kegiatan latihan berpusat di Kentingan, Surakarta, kemudian berkembang di Tegalsari, Karanganyar dan di Kelurahan Mojosongo. Kini kegiatannya hanya dilakukan di Tegalsari, Karanganyar. Sanggar ini diketuai oleh Nanik Sri Prihatini, S.Kar., M.Si. dengan 8 orang pelatih dan 60 orang siswa (semua alumni STSI Surakarta). Materi tari yang diajarkan adalah tari gaya Surakarta.

2) Sanggar Tari Metta Budaya

Sanggar Tari Metta Budaya didirikan oleh sekelompok alumni STSI Surakarta pada tahun 1989. Pada mulanya sanggar ini bertempat di Prangwedanan, Mangkunegaran, namun sekarang telah pindah di Joglo Sri Wedari Surakarta. Sanggar ini diketuai oleh Joko Naryato, S. Sen. dengan 10 orang pelatih dan 466 orang siswa (semua alumni STSI Surakarta). Materi tari yang diajarkan adalah tari gaya Surakarta.

3) Sanggar Tari Soerya Sumirat

Sanggar ini didirikan pada tahun 1992 oleh GPH Herwasta Kusuma di Prangwedanan, Mangkunegaran dengan Ketua Pelaksana Harian Th. Sri Kurniati, S.Sen. Siswa yang belajar tari di sanggar ini berjumlah 330 orang yang terdiri dari siswa TK, SD, SLTP, SLTA, dan

commit to user

STSI Surakarta. Latihan dilakukan dua kali seminggu selama dua jam dan evaluasi dilakukan setiap empat bulan. Dana didapat dari donatur dan iuran siswa.

4) Sanggar Tari Sarotomo

Sanggar ini didirikan pada tahun 1983 oleh Mujiono, S. Kar. Kegiatan di sanggar ini meliputi seni tari, karawitan, dan pedalangan. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 68 orang dengan 7 orang pelatih (semua alumni STSI Surakarta). Selain materi tari gaya Surakarta juga sering diberikan materi dolanan anak-anak. Dana didapat dari iuran siswa.

5) Sanggar Tari Semarak Candra Kirana

Sanggar ini didirikan pada tanggal 31 Juli 1998 oleh Dra. Irawati Kusumosari dan Wahyu Santoso Prabowo, S. Kar, M.S. di Jalan Supomo no.7, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 140 orang dengan 3 orang pelatih (semua alumni STSI Surakarta). Sumber dana didapat dari iuran siswa.

6) Sanggar Tari Pawiyatan Budaya Keraton Surakarta.

Sanggar ini didirikan pada tahun 1930 dan sempat mengalami penurunan aktivitas pada tahun 1972 karena para empu-nya meninggal dunia. Pada tahun 1996 sanggar ini diaktifkan lagi oleh G. R. A. Koes Murtiyah. Pada tahun 1998 kegiatannya dipusatkan di Bangsal Smarakata Konservatori Keraton Kasunanan Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 125 orang dengan 5 orang pelatih.

commit to user

Keraton Surakarta. Materi tari yang diajarkan adalah tari gaya Surakarta, termasuk Tari Bedaya dan Srimpi.

7) Sanggar Tari Sang Rama

Sanggar tari ini didirikan oleh Sidik Suradi, S.Sen. di Jalan kahuripan No. 27, Sumber, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 43 orang dengan 4 orang pelatih (lulusan dan mahasiswa STSI Surakarta). Kegiatan latihannya dilakukan dua kali seminggu dan evaluasi dilakuksan setiap empat bulan. Materi tarinya menekankan pada tari gaya Surakarta.

8) Sanggar Tari Among Beksa

Sanggar ini didirikan oleh Nanik Sri Sumantri, S.Kar., M.Hum. pada tahun 1996 di Kentingan Jebres. Pada mulanya latihan dilakukan di S.D. Bulukantil Kentingan, kemudian pindah ke lingkungan gereja Purbawardayan, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 40 orang dengan 3 orang pelatih (alumni STSI Surakarta).

9) Sanggar Tari Eka Santi Budaya

Sanggar ini didirikan pada tahun 1996 di Radio Siaran Niaga PTPN Rasitania, Surakarta dan dikelola oleh manager Radio PTPN Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 122 orang dengan 4 orang pelatih (alumni ASTI Yogyakarta). Materi tari yang diberikan adalah tari gaya Surakarta dan tari daerah lain (Bali, Sunda ). Sumber dana didapat dari iuran para siswa.

commit to user

Sanggar tari ini didirikan pada tahun 1972 di Gedung Gajah Surakarta. Sebagian besar siswanya adalah keturunan Cina namun mereka mempelajari tari gaya Surakarta dan terkadang tari kreasi baru. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 50 orang dengan 3 orang pelatih. Dana untuk membiayai sanggar ini didapat dari donatur dan iuran siswa.

11) Sanggar Tari Arena Langen Budaya

Sanggar tari ini didirikan oleh S. Witoyo pada tahun 1985 di Kampung Sidomukti, Laweyan, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 54 orang dengan 4 orang pelatih (alumni SMKI dan STSI Surakarta). Materi tari yang diberikan ialah tari gaya Surakarta. Sumber dana didapat dari iuran para siswa.

12) Sanggar Tari Pagutri

Sanggar tari ini didirikan di Jalan Panjatian No. 9 Surakarta oleh sekelompok guru-guru tari Sekolah Dasar di Surakarta pada tahun 1995 dan diketuai oleh S. Priyadi. Tujuan didirikan sanggar tari adalah untuk untuk menampung minat dan bakat anak-anak yang menonjol dalam bidang tari. Anak-anak tersebut dibina secara intensif untuk mengikuti lomba tari. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 15 orang dengan 4 orang pelatih (alumni SMKI dan STSI Surakarta). Latihan dilakukan di SD Balapan, Surakarta, dengan iuran Rp. 1000 setiap kali latihan.

commit to user

Sanggar ini didirikan oleh sekelompok guru tari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Surakarta dan diketuai oleh Retno Lesnarning. Sanggar ini digunakan untuk latihan siswa dan guru.

14) Sanggar Tari Sarwi Budaya

Sanggar ini didirikan Sarwiyati Hartono pada tahun 1974. Kegiatan latihan dilakukan di Djogoprajan, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 76 orang anak dengan 4 orang pelatih (alumni STSI Surakarta). Latihan dilakukan dua kali seminggu dan evaluasi dilakukan setiap empat bulan. Sumber dana diperoleh dari iuran siswa sebesar Rp. 3.000.

15) Sanggar Tari Pariwita

Sanggar ini didirikan oleh Purwani pada tahun 1998. Kegiatan latihan dilakukan di Jl. Natadiningratan, Surakarta. Sanggar ini tidak mengadakan latihan secara rutin. Latihan hanya dilakukan apabila ada rencana pentas. Pelatih tarinya didatangkan dari STSI Surakarta.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar pembina dan pengelola sanggar-sanggar tari tersebut adalah alumni STSI Surakarta. Oleh sebab itu, materi tari yang diberikan cenderung mendapat pengaruh dari gaya tari yang dikembangkan STSI Surakarta. Sanggar-sanggar tari tersebut menekankan kegiatannya pada pelatihan tari anak-anak dan materi tari yang diajarkan biasanya disesuaikan dengan tingkatan umur siswa. Jenis tari yang diajarkan dibedakan menjadi dua, yaitu tari putri dan tari putra. Tari putri yang diajarkan

commit to user

Kupu , Tari Soyong, Tari Kidang, Tari Menak Koncar, Tari Gunungsari Tari Golek Mugi Rahayu, Tari Golek Manis, Tari Bondan Kendhi, dan Tari Bondhan Tani. Sedangkan tari putra yang diajarkan antara lain Tari Kelinci , Tari Menak Koncar, Tari Gunungsari,Tari Kudha-Kudha, Tari Lutung , dan Tari Wanara. Pada umumnya sanggar-sanggar tari tersebut mendapatkan dana dari iuran para siswa yang jumlahnya berkisar antara Rp. 2.000 s/d Rp. 8.000 perbulan. Sanggar-sanggar tari tersebut kadang-kadang juga mengadakan pentas atas permintaan masyarakat yang punya kenduri.

b. Seni Musik Tradisional (Karawitan) di Surakarta

Seni Karawitan hingga kini masih hidup subur di masyarakat Surakarta. Hampir setiap institusi seperti lembaga pendidikan (SMP, SMA/ SMK), kampus perguruan tinggi, dan kantor pemerintah di Surakarta memiliki seperangkat gamelan ini. Beberapa hotel di Surakarta menyuguhkan seni karawitan untuk menyambut kehadiran wisatawan terutama wisatawan asing.

c. Sejarah dan Kondisi Seni Teater Tradisional di Surakarta - Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari

Markhamah (2006:45-53) menguraikan tentang Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta sebagai berikut. Wayang Wong Sriwedari merupakan pertunjukan wayang wong panggung pertama di Surakarta yang didirikan oleh Adipati Mangku Negara I atau Sultan Hamengku Buwana I (1757-1795). Setelah sekian lama tidak

commit to user

Mangku Negara V (1881-1896). Di bawah pengelolaan beliau wayang wong tersebut memiliki peralatan, perlengkapan, dan busana yang lebih komplit. Pada tahun 1901 tempat perkumpulan wayang wong tersebut berubah menjadi Taman Sriwedari.

Haryanto dalam Markhamah (2006:52-53) mengemukakan bahwa Wayang Wong Sriwedari merupakan grup wayang wong komersial tertua yang telah mengadakan pertunjukan sejak tahun 1911. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Markhamah terhadap Hartono (10 Mei 2004), didapatkan informasi bahwa grup Wayang Wong Sriwedari pernah mengalami puncak kejayaan pada tahun 1950-1970 karena didukung oleh beberapa faktor, yaitu belum banyak hiburan dan pertunjukan, belum banyak televisi, banyak pemain terkenal, dan banyak masyarakat yang menyukai pertunjukan wayang wong. Haryanto dalam Markhamah (2006;53) mengungkapkan bahwa kesenangan masyarakat Surakarta terhadap wayang wong ini berawal dari pertunjukan wayang wong pada perayaan Maleman Sriwedari yang diselenggarakan pada tahun 1940-an.

Menurut Hersapandi dalam Markhamah (2006:45-46), Wayang Wong Sriwedari mulai mengalami kemunduran pada tahun 1970-an yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud antara lain pertunjukan bersifat statis, terjadi keterlambatan alih generasi, tingkat pendidikan seniman rendah (sekitar 87% berpendidikan sekolah dasar (SD), sistem produksi tidak professional,

commit to user

dengan perkembangan zaman. Faktor ekternal yang berpengaruh antara lain banyaknya media hiburan lain, heterogenitas masyarakat Surakarta, dan perkembangan wajah kota yang cenderung urban. Sementara itu, Haryanto dalam Markhamah (2006:53) mengungkapkan bahwa kegiatan grup Wayang Wong Sriwedari menurun drastis sepeninggal Sastrodirun selaku pemeran Petruk. Meskipun peminat dan penontonnya semakin berkurang, grup Wayang Wong Sriwedari tetap hidup dan mengadakan pertunjukan karena grup ini dikelola dan dibiayai oleh Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pariwisata Kota Surakarta dengan syarat harus mengadakan pertunjukan setiap malam.

- Kethoprak

Grup kethoprak yang cukup terkenal di Surakarta adalah grup Kethoprak Balekambang dan Kethoprak Ngampung. Ketoprak Balekambang sudah ada sejak tahun 1950 tetapi gedungnya baru dibangun pada tahun 1977. Dahulu pertunjukan ini dinamakan “Kethoprak Tobong” atau panggung darurat karena tempatnya selalu berpindah-pindah. Pada tahun 1989 diputuskan untuk mengadakan pertunjukan tetap di sebuah gedung tidak terpakai di dalam kawasan Balekambang. Saat ini jumlah anggota komunitas Ketoprak Tobong kurang lebih dari 70 orang. Kelompok Kethoprak Humor srimulat juga lahir di sini, termasuk pelawak-pelawak terkenal seperti Gepeng, Timbul, Basuki, dan lain-lain.

commit to user

pang, Kadipiro, Banjarsari,Surakarta. Kampung dihuni oleh 31 keluarga seniman Kethoprak Balekambang. Grup kethoprak yang berdiri pada ta- hun 2007 ini memilih penonton dari kalangan muda dan remaja yang diharapkan bisa melahirkan generasi baru penonton ketoprak. Ketho- prak Ngampung merupakan jenis kethoprak yang keluar dari pakem ke- thoprak klasik sehingga pernah mendapat protes dari kalangan seniman kethoprak yang lebih senior dan sempat menghentikan kegiatannya. Ke- thoprak Ngampung beranggotakan 25 orang berusia 20-30 tahun yang terdiri dari pekerja pabrik, pedagang, dan seniman. Walaupun ketho- prak tersebut beraliran kontemporer, tetapi masih mengandung pakem kethoprak klasik seperti kostum Jawa klasik, dialog menggunakan ba- hasa Jawa, dan menggunakan gamelan slendro (Solopos edisi Senin, 20 Desember 2010 , halaman XVI).

2.6.5. Fasilitas Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta

Saat ini Surakarta telah memiliki beberapa fasilitas seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah yakni sebagai berikut.

1) Joglo Mangkunegaran yang digunakan untuk pementasan seni tari

pada acara-acara tertentu.

2) ISI Surakarta, yaitu lembaga yang bergerak di bidang pendidikan seni termasuk di dalamnya seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah. Fasilitas ini hanya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas yang memiliki potensi/bakat seni.

commit to user

yang bersifat komersial.

4) Taman Budaya Surakarta (TBS) merupakan lembaga kesenian yang memiliki fasilitas yang cukup, diantaranya ruang pameran, joglo untuk pergelaran seni, teater, dan lainnya.

5) Gedung Kethoprak Balekambang

commit to user