Arsitektur Jawa Secara Konseptual

2.5.3. Arsitektur Jawa Secara Konseptual

Sebagaimana telah dikemukaan di atas bahwa arsitektur Jawa tidak hanya dilihat sebagai bentuk fisik saja, tetapi lebih dari itu,

Sumber: Hamzuri, t.t.: 14-60

commit to user

lingkungan, dan budaya setempat. Oleh karena itu, setiap karya arsitektur Jawa hendaknya dapat menyerasikan diri dengan lingkungan sekitar sesuai dengan tata krama menempatkan diri atas dasar sumbu religi atau sumbu bumi (axis mindi). Hal ini bertujuan agar terjadi kosmisasi menuju situasi dan kondisi yang serba menentramkan, menyejahterakan, dan membahagiakan manusia (Budiharjo, 1994:8).

Budiharjo (1994:10-17) dalam bukunya “Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan” mengungkapkan bahwa arsitektur Jawa harus dapat berfungsi sebagai pernyataan bentuk lingkungan dan ruang hidup untuk kelangsungan hidup manusia sesuai kaidah-kaidah yang diakui atau masih dianut oleh masyarakat Jawa. Beberapa pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.

1) Arsitektur Jawa harus dapat menunjukkan kehidupan masyarakat Jawa yang sarat dengan tata krama, seperti tata krama menempatkan diri dari setiap bangunan terhadap lingkungan alam yang kasat mata maupun alam maya. Di daerah Surakarta dan Yogyakarta tata krama menempatkan diri dapat ditemui pada orientasi bangunannya. Sebagian besar masyarakat Surakarta percaya akan adanya kerajaan Nyi Roro Kidul di pantai selatan. Oleh karena itu, mereka membangun rumah menghadap ke selatan sebagai lambang keselamatan dan penghormatan kepada ratu Nyi Roro Kidul.

2) Arsitektur Jawa merupakan arsitektur yang jujur dalam hal struktur dan bahan. Sebagian besar bahan kontruksi bangunan tradisional

commit to user

dominan dalam kontruksi saka dan atap. Material-material tersebut diperlihatkan secara jelas dan jujur sehingga menunjukkan watak aslinya. Hal ini berbeda dengan material bangunan modern seperti atap genteng bangunan yang kebanyakan dicat dengan berbagai warna sehingga sangat sulit diketahui apakah genteng terbuat dari tanah liat, beton, atau metal.

3) Arsitektur Jawa harus dapat menunjukkan keselarasan antara ruang dalam dan ruang luar. Penggunaan material dari lingkungan sektitar pada bangunan dapat memberi keselarasan antara ruang di dalam rumah dengan halaman dan lingkungan sekitar sehingga dapat meningkatkan citra lingkungan masyarakat Jawa yang tenteram dan damai.

4) Arsitektur Jawa sebagai suatu proses organisme yang mengikuti proses pertumbuhan kehidupan dan kondisi bio-sosial-ekonomi- budaya masyarakat Jawa. Arsitektur Jawa mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya. Sistem strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibongkar pasang, ditambahi atau dikurangi sesuai kebutuhan. Bila penghuni rumah bertambah dan menuntut bertambahnya ruang, bangunan dapat dengan mudah dikembangkan seperti rumah panggang pe ceregancet yang terbentuk dari dua unit panggang pe yang dipertemukan pada sisi belakangnya.

commit to user

bahwa arti non-fisik arsitektur Jawa justru memiliki prioritas yang sangat tinggi. Ada dua aspek yang dominan dari arti non-fisik tersebut, yaitu aspek arah dan lambang tubuh manusia. Wondoamiseno, Basuki, dan Setiawan dalam Sagrim (2011:7) memperjelas bahwa aspek arah biasa diterapkan dalam penentuan arah hadap rumah dan arah tidur masyarakat Surakarta dan Yogyakarta sebagai tanda penghormatan terhadap Nyai Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan. Namun, kebiasaan tersebut semakin ditinggalkan di daerah-daerah yang jauh dari pusat keraton seperti di Somoroto dan Ponorogo. Di dalam primbon Betaljemur Adammakna bab 172 yang diredaksi oleh Sagrim (2011:7) juga dipaparkan tentang cara penentuan arah rumah berdasarkan hari pasaran kelahiran pemilik rumah dan arah ke empat penjuru angin.

Prijotomo dalam Muhammad dan Santosa (2008:51) mengemukakan bahwa arsitektur Jawa memiliki aturan yang bersifat linier dan sentripetal serta mengacu pada prinsip pusat dan dualitas. Prinsip dualitas dijelaskan oleh Sagrim (2011:8) sebagai oposisi binair antara ruang luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri, dan lain-lain.

commit to user

Konsep ruang pada arsitektur Jawa pada kenyataannya berbeda dengan konsep ruang pada arsitektur Barat. Masyarakat Jawa lebih mengenal ruang sebagai nggon atau panggonan yang berarti tempat (Tjahjono dan Setiawan dalam Sagrim, 2011:7). Pengertian tempat lebih lanjut dapat dilihat pada bagian-bagian rumah tinggal orang Jawa. Pada rumah induk (omah), istilah dalem dapat diartikan sebagai keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi yang diupayakan sepanjang hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai makhluk (Magnis Suseno dalam Sagrim, 2011:7). Sentong tengah yang terletak dibagian omah merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan menyatu dengan Illahi sedangkan pendopo merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama manusianya (Prijotomo dalam Sagrim, 2011:7). Dengan demikian, pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa mencakup aspek tempat, waktu, dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad cilik (mikrokosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad gede (makrokosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi dan

commit to user

2011:7).

Konfigurasi ruang atau bagian-bagian rumah orang Jawa di desa membentuk tatanan tiga bagian linier belakang. Bagian depan pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah dalem . Pada konfigurai ruang rumah Jawa dikenal adanya dualisme (oposisi binair) antara ruang luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri, dan lain-lain. Pembagian dua ini juga terjadi pada saat pagelaran wayang dimana layar diletakkan di sepanjang peringgitan, dalang dan perangkatnya serta penonton laki- laki di bagian pendapa sedangkan perempuan menonton dari bagian belakang (melihat bayangan wayang dari belakang kelir).

Gambar 2.5. Denah Rumah Tinggal Jawa

Sumber: Selo Sumarjan Yang Dikomposisikan Oleh Sagrim (2011;6)

commit to user

b. Kosmologi Jawa

Dalam kosmologi Jawa dikenal adaya jagad cilik (mikrokosmos) yaitu manusia Jawa dan jagad gede (makrokosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Alam raya dan eksistensi (hidup) dalam kosmos dipandang sebagai sesuatu yang memiliki bentuk teratur dan tersusun bertingkat (Ronald, 2005:53).

Pitana (2010:131) dalam disertasinya mengungkapkan bahwa pandangan manusia Jawa yang arkais mengenai keberadaan kosmos menghasilkan empat asumsi dasar yang dapat dijadikan pijakan argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap ruang hidupnya. Pertama, pandangan manusia Jawa mengenai kosmosnya merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya (Nugroho dalam Titis, 2010:131). Kedua, etika hidup

commit to user

hormat dalam menjaga keselarasan hidup. Ketiga, rukun dan hormat sebagai upaya menjaga keselarasan hidup merupakan “prinsip pencegahan konflik” (Magnis Suseno dalam Pitana, 2010:132). Artinya, manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan akibat interaksi sosial yang dijalani demi terjaganya keselarasan. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan, dan beralasan.

Dalam konteks kosmologi, manusia Jawa memiliki panduan petunjuk arah yang disebut konsep Pajupat yang dapat ditemukan dalam dua versi. Pertama, konsep Pajupat Hindu-Jawa, yaitu adanya keyakinan bahwa setiap arah mata angin dijaga oleh dewa dengan segala kesaktian dan perannya masing-masing sehingga lokasi di tengah perpotongan mata angin diartikan sebagai lokasi yang mengandung getraan magis yang sangat tinggi. Kesaktian dan peran dewa-dewa yang dimaksud, yakni sebagai berikut (Frick dalam Pitana, 2010:136).

1) Arah Utara dijaga oleh dewa Wisnu, yang merupakan dewa

pemelihara hidup dan kehidupan di bumi.

2) Arah Selatan dijaga oleh dewa Antaboga, ialah dewa kesabaran

dan kebahagiaan.

3) Arah Barat dijaga oleh dewa Yamadipati, yang merupakan dewa

kematian.

commit to user

kebersamaan dan keseragaman (kesatuan dan persatuan). Kedua , konsep Pajupat Kejawen, yaitu adanya petunjuk lengkap cara pelaksana laku bila seseorang akan menggunakan arah kiblat papat kalima pancer dalam rangka mencapai suatu maksud tertentu. Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan kelancaran sandang pangan dalam kehidupannya. Petunjuk yang didapat adalah yang bersamgkutan menghadap ke Timur untuk melakukan mediasi atau semadi dengan memakai pakaian serba putih (Miksic dalam Pitana, 2010:137).