Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Sebagai High Alert Medication di RSUP.Fatmawati

(1)

PROFIL PENGELOLAAN KALIUM KLORIDA PEKAT

SEBAGAI

HIGH ALERT MEDICATION

DI RSUP. FATMAWATI

SKRIPSI

HESTIAWATI

1111102000110

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JULI 2015


(2)

Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat

Sebagai

High Alert Medication

di RSUP. Fatmawati

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

HESTIAWATI 1111102000110

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JULI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

Judul : PROFIL PENGELOLAAN KALIUM KLORIDA PEKAT SEBAGAI HIGH

ALERT MEDICATION DI RSUP.FATMAWATI

Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja misalnya, kalium klorida 2meq/ml yang merupakan high alert medication. (Permenkes, 2011). High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadinya kesalahan serius

(sentinel event) sehingga rumah sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan obat untuk meningkatkan keamanan pasien (Permenkes 2014). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan profil pengelolaan kalium klorida pekat meliputi penyimpanan, penandaan, penyiapan dan pemberian kalium klorida pekat berdasarkan kebijakan RSUP.Fatmawati yang sudah berstandar JCI (Joint Commission International). Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan desain cross sectional, pengambilan data (checklist dan rekam medis) dilakukan pengamatansecara prospektif.

Hasil penelitian menunjukkan observasi gudang farmasi meliputi penyimpanan 58,82%, penandaan 75%, depo farmasi teratai meliputi penyimpanan 100%, penandaan 74,36%, penyiapan 100%, dan HCU 3 Selatan meliputi penyimpanan 65,55%, penandaan 57,78%, pemberian 88,89%. Medication error meliputi penyimpanan KCL pekat (3,33%), penggunaan KCL premix melebihi waktu kadaluarsa (3,33%), penyimpanan KCL premix expired date (46,67%). Penilaian standar ini berpedoman pada tata laksana survei akreditas rumah sakit oleh KARS (komisi akreditas rumah sakit) 2014 menghasilkan nilai persentase bagi standar sebagai berikut tercapai penuh diberikan skor 10(80-100%), tercapai sebagian diberikan skor 5 (20% -79%), tidak tercapai diberikan skor 0 (< 19 %).

Kata kunci: KCL pekat, high alert medication, pengelolaan KCL pekat, penilaian standar KARS)


(7)

Tittle : PROFILE MANAGEMENT POTASSIUM CHLORIDE CONCENTRATE AS HIGH ALERT MEDICATION IN RSUP.FATMAWATI

Drugs that are frequently mentioned in patient safety issue is administration electrolyte concentrate inadvertently, for example, potassium chloride 2 mEq / ml or more concentrated which is a high alert medication. (Permenkes, 2011). High-alert medication is drugs to watch out because it often causes an error occurs / serious errors (sentinel event) and high-risk drugs reaction (ROTD) so that hospitals need to develop drug management policies for improving patient safety (Permenkes 2014). This study aims to describe profile of management potassium chloride concentrate include storage, labeling, preparation and administration of potassium chloride concentrate in pharmaceutical warehouses, depo farmasi teratai and high care unit (HCU) 3 selatan based on policies of RSUP.Fatmawati that are already standard JCI (Joint Commission International). This study was an observational study with cross sectional design, data collection (checklist and medical records) was observed prospective. The result showed pharmaceutical warehouse include storage 58.82%, labeling 75%, depo farmasi teratai include storage 100%, labeling 74,36%, preparation 100%, and HCU 3 selatan storage 65.55%, labeling 57.78%, administration 88.89%. Medication error include storage of potassium chloride concentrate (3.33%), storage potassium chloride premix expired date (46.67%), and use of potassium chloride premix that exceeds expiration time (3.33%), Assessment based on the standard of governance hospital accreditation survey by KARS (hospital accreditation commission) 2014 resulted in a percentage value for the following standards achieved given the full score of 10 (80-100%), achieved partly given a score of 5 (20% -79%), was not achieved given a score of 0 (<19%).

Keywords: Potassium chloride Concentrate, High Alert Medication, Management of Potassium chloride Concentrate, KARS Standardized Assessment)


(8)

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi dengan judul “Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Sebagai High Alert Medication di RSUP.Fatmawati” dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

 Dr.H.Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku pembimbing pertama dan Bapak Ahmad Subhan, S.Si, M.Si, Apt pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan bapak mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya.

 Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

 Sahabat penulis Ageng Hasna F, Khairunnisa, Miyadah Samiyah, Qodrina Sufy, Beryl Zahyin.A.,Vina Fauziah, Lela Laelatu dan rekan-rekan mahasiwa Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

doa yang selalu dihaturkan kepada Allah S.W.T sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, semoga segala amalan dan jerih payah keduanya mendapat balasan yang jauh lebih baik disisi-Nya.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat dan faedah bagi pengembangan ilmu.

Ciputat, Juli 2015


(10)

(11)

HALAMAN JUDUL ... ...ii

LEMBAR ORISINALITAS………..... ...iii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ...iv

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ...v

ABSTRAK...vi

ABSTRACT...vii

KATA PENGANTAR...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...x

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR GRAFIK...xvii

DAFTAR BAGAN...xviii

DAFTAR LAMPIRAN...xix

BAB 1. PENDAHULUAN ... ...1

1.1. Latar Belakang ... ...1

1.2. Rumusan Masalah ... ...3

1.3. Pertanyaan Penelitian ... ...4

1.4. Tujuan Penelitian ... ...4

1.5. Manfaat Penelitian ... ...5

1.6. Ruang lingkup ... ...6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... ...7

2.1. Kualitas dan akreditas ... ...7

2.2. Akreditas oleh KARS dan JCI ... ...9

2.2.1. Manfaat JCI... ...11

2.2.2. Standar Manual JCI ... ...11

2.3. Rumah Sakit ... ....12

2.3.1. Definisi Rumah Sakit ... ...12

2.3.2. Tugas Rumah Sakit ... ...13

2.3.3. Fungsi Rumah Sakit ... ...13


(12)

2.6. Asuhan Kefarmasian ...20

2.7. High Alert Medication ... ...21

2.8. Kalium Klorida... ...22

2.8.1. Kalium ... ...22

2.8.2. Hipokalemia ... ...25

2.8.3. Interaksi Obat Lain Dengan Kalium Klorida...27

2.8.4. Pedoman Umum Penggunaan Kalium ... ...28

2.9. Penyimpanan, Pelabelan , Peresepan, Pencampuran, dan Pemberian Kalium Klorida ...28

2.9.1. Definisi Kalium Pekat ...29

2.9.2. Penyimpanan Kalium Intravena ...29

2.9.3. Masalah Peresepan Kalium ...30

2.9.4. Administrasi Kalium Klorida...31

2.9.5. Pemberian Obat...32

2.10. Peraturan Penyimpanan, Penandaan, Penyiapan, Penggunaan Kalium Klorida Pekat di RSUP.Fatmawati Nomor Dokumen (HK.03/05/II.1/1649/2012 (025/FAR)...32

2.11. Kerangka Konsep...37

2.12. Definisi Operasional...38

BAB 3. Metode Penelitian ... ...41

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... ...41

3.1.1. Lokasi Penelitian ... ...41

3.1.2. Waktu Penelitian ... ...41

3.2. Rancangan Penelitian ... ..41

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... ..41

3.3.1 Populasi Penelitian ... .41

3.3.2 Sampel Penelitian ... ..41

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... ....42

3.4.1. Kriteria Inklusi ... .42

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 42


(13)

3.7. Rencana Teknik Analisis Data ... 44

3.8. Ketentuan Penilaian Berdasarkan Pedoman Tata Laksana Survei Akreditas Rumah Sakit Oleh KARS...45

3.8.1. Penentuan Skor Sepuluh...45

3.8.2. Penentuan Skor Lima...45

3.8.3. Penentuan Skor Nol...45

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN...46

4.1. Ketentuan Penilaian Kesesuaian Standar...46

4.2. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida di Gudang Farmasi...46

4.2.1. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di Gudang Farmasi...46

4.2.2. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di Gudang Farmasi...48

4.3. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida Pekat di Depo Farmasi Teratai...49

4.3.1. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di Depo Farmasi Teratai...49

4.3.2. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penandaan di Depo Farmasi Teratai...50

4.3.3. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyiapan di Depo Farmasi Teratai...53

4.4. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida di HCU 3 Selatan...54

4.4.1. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di High Care Unit 3 Selatan...54

4.4.2. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penandaan di High Care Unit 3 Selatan ...56

4.4.3. Penilaian Standar Variabel Penelitian Pemberian di High Care Unit 3 Selatan...57

4.5. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida Pekat di Gudang Farmasi, Depo Farmasi Teratai, HCU 3 Selatan...59


(14)

5.1. Kesimpulan...62 5.2. Saran...62


(15)

(16)

Tabel 1. Istilah-istilah dalam kejadian keselamatan pasien...19 Tabel 2. Daftar High Alert Medications in Acute Care Settings...23 Tabel 3. Sediaan Farmasi Larutan Kalium Klorida...27 Tabel 4. Interaksi Obat Dengan Kalium

Tabel 5. Hasil Penilaian Variabel Penyimpanan KCL Pekat

di Gudang Farmasi RSUP.Fatmawati...45 Tabel 6. Hasil Penilaian Variabel Penandaan KCL Pekat

di Gudang Farmasi RSUP.Fatmawati...46 Tabel 7. Hasil Penilaian Variabel Penyimpanan KCL Pekat

di Depo Farmasi Teratai RSUP.Fatmawati...48 Tabel 8. Hasil Penilaian Variabel Penandaan KCL Pekat

di Depo Farmasi Teratai RSUP.Fatmawati...49 Tabel 9. Hasil Penilaian Variabel Penyiapan KCL Pekat

di Depo Farmasi Teratai RSUP.Fatmawati...51 Tabel 10. Hasil Penilaian Variabel Penyimpanan KCL Pekat

di High Care Unit 3 Selatan RSUP.Fatmawati...52 Tabel 11. Hasil Penilaian Variabel Penandaan KCL Pekat

di High Care Unit 3 Selatan RSUP.Fatmawati...54 Tabel 12. Hasil Penilaian Variabel Pemberian KCL Pekat

di High Care Unit 3 Selatan RSUP.Fatmawati...56 Tabel 13. Hasil Penilaian Medication Error Yang Terjadi di RSUP.Fatmawati...60


(17)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Perbandingan Persentase Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Pada Objek Penelitian...58


(18)

Bagan 1. Alur Pencampuran Obat High Alert Di Ruang Rawat Inap...34 Bagan 2. Proses Permintaan Kalium Klorida di Foothills Medical Centre...35


(19)

Lampiran 1. Formulir Penelitian Kerja...70

Lampiran 2. Analisis High Consentrate ( Kalium Klorida Pekat )...73

Lampiran 3. Hasil Observasi dan Visitasi...74


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Permenkes, 2014).

Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care) (Permenkes,2014).

Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien bertujuan mencapai hasil yang ditetapkan yaitu memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tetapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan terapi obat serta pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society of Hospital Pharmacists, 1993).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 menjelaskan bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan


(21)

suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Menkes,2010).

Namun insiden keselamatan pasien mengenai high alert medication masih sering terjadi. Misalnya, Insiden yang ditemukan pada bulan maret 2004 yaitu seorang pasien melakukan hemofiltrasi di ICU Foothills Medical Centre

meninggal dunia. Hal tersebut terjadi karena staff farmasi tidak sengaja mengambil kalium klorida yang seharusnya natrium klorida untuk digunakan sebagai larutan selama dialisis berlangsung sehingga pasien mengalami hiperkalemia dengan dampak lebih lanjut yaitu asidosis dan nekrosis jaringan (CMAJ, 2004). Akibat fatal yang terjadi karena kesalahan administrasi dari kalium klorida telah diakui bertahun-tahun dari ketidaksengajaan pemberian kalium klorida yang seharusnya water for injection atau furosemid dikarenakan bentuk sediaan hampir sama (A J Lankshear,2005).

Internatitional Journal Quality in Health juga menyatakan bahwa 5 peringkat teratas high alert medication adalah insulin, opiates dan narkotik, injeksi konsentrasi kalium klorida (atau fosfat), intravena antikoagulan (heparin), dan larutan natrium klorida 0,9 % (Tina, 2000). Masalah keamanan obat yang sering dikutip lainnya adalah administrasi yang salah atau tidak disengaja dari injeksi elektrolit pekat (misalnya, kalium klorida (sama dengan atau lebih besar dari 2 mEq/mL). Biasanya masalah ini terjadi karena kesalahan dari tenaga kesehatan dalam penggunaan dan pemakaian serta kurangnya orientasi yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam keadaan darurat ( JCI, 2014).

Penelitian di Amerika mengidentifikasi resiko kesalahan pada pasien yaitu pemberian intravena larutan kalium. Pada 31 Oktober 2002, NHS (National Patient Safety Agency) menetapkan tindakan awal pada kondisi bahaya tersebut meliputi penyimpanan dan penanganan kalium klorida pekat dan larutan kalium kuat lainnya, persiapan pengenceran larutan yang mengandung kalium, peresepan larutan yang mengandung kalium, pemeriksaan penggunaan larutan kalium pekat di rumah sakit (NHS, 2012).

Hal tersebut bertujuan mengurangi resiko bahaya dari pemberian injeksi kalium klorida, mengurangi resiko kecelakaan overdosis intravena kalium jika terjadi peningkatan konsentrasi larutan kalium klorida pada saat penggunaannya,


(22)

dan memastikan keamanan bagi pasien yang menggunakan injeksi kalium klorida berkelanjutan di ICU (Intensive Care Unit) (NHS,2012).

Sehingga dalam prakteknya, peranan farmasis di rumah sakit sangatlah penting dalam penggunaan dan pemakaian obat-obatan high alert medication

dalam meningkatkan pelayanan kesehatan serta mencegah terjadinya insiden. Rumah sakit juga memiliki peranan dalam menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan obat yang berkelanjutan (Permenkes,2014). Peninjauan tersebut didukung dengan adanya rumah sakit berstandar JCI (standar pelayanan kesehatan dengan akreditas bertaraf international) maka diharapkan tujuan tersebut akan semakin mudah untuk dicapai. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengaturan high alert medication yang telah berstandar JCI di rumah sakit fatmawati.

1.2. Rumusan masalah

Pada umumnya permasalahan yang terjadi pada obat-obatan high alert

khususnya injeksi kalium klorida dikarenakan terjadinya kesalahan pada administrasi/ pemberian obat oleh tenaga kesehatan yang dapat mengancam jiwa pasien. Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) antara 2001-2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit (ICU) antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan cara pemberian yang tidak tepat.

Berdasarkan permasalahan diatas maka cara paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut dengan meningkatkan proses pengelolaan (penyimpanan, penandaan, penyiapan, pemberian) obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi ( Permenkes, 2011).


(23)

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana proses penyimpanan kalium klorida pekat/25 Meq sebagai

high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

2. Bagaimana proses penandaan kalium klorida pekat/25 Meq sebagai

high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

3. Bagaimana proses penyiapan kalium klorida pekat/25 Meq sebagai

high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

4. Bagaimana proses pemberian kalium klorida pekat/25 Meq sebagai

high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

1.4. Tujuan penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengelolaan kalium klorida pekat sesuai dengan penerapan yang telah diatur Joint Commission International dan KARS yang telah diadopsi oleh pihak RSUP. Fatmawati berlangsung dari gudang pusat farmasi, depo farmasi teratai, instalasi Rawat Inap teratai High Care Unit 3 Selatan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. 1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pengaturan mengenai penyimpanan high alert medication, salah satunya adalah kalium klorida pekat di RSUP. Fatmawati yang telah distandarisasi.

2. Mengidentifikasi pengaturan penandaan high alert medication, salah satunya adalah injeksi kalium klorida pekat di RSUP. Fatmawati yang telah distandarisasi.

3. Mengidentifikasi pengaturan penyiapan high alert medication, salah satunya adalah kalium klorida pekat di RSUP. Fatmawati yang telah distandarisasi.

4. Mengidentifikasi pengaturan pemberian high alert medication, salah satunya adalah kalium klorida pekat di RSUP. Fatmawati yang telah distandarisasi.


(24)

1.5. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan kefarmasian di rumah sakit dan menambah kajian ilmu manajerial farmasi khususnya dalam pengelolaan obat yang harus diwaspadai (High alert) salah satunya adalah kalium klorida pekat.

2. Secara Metodelogi

Metode penelitian ini dapat menjadi contoh atau dapat dijadikan metode untuk mengetahui kasus medication error pada pemakaian kalium klorida pekat yang tergolong high alert medication.

3. Secara Aplikatif

a. Bagi pihak RSUP. Fatmawati sebagai data dasar untuk mengetahui tingkat keberhasilan peningkatan mutu pelayanan kesehatan pada keamanan pasien terkait pemberian obat high alert khususnya kalium klorida pekat oleh tenaga kesehatan setelah distandarisasi oleh JCI dan KARS yang telah diadopsi pihak RSUP.Fatmawati.

b. Bagi rumah sakit lainnya sebagai informasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan keamanan pasien dalam pemakaian high alert medication melalui standar JCI dan KARS yang telah diadopsi pihak RSUP.Fatmawati sehingga pasien WNI (Warga Negara Indonesia) tidak perlu melakukan pengobatan hingga ke luar negeri karena mutu pelayanan kesehatan di Indonesia telah berstandar pelayanan kesehatan internasional.


(25)

1.6. Ruang Lingkup

Permasalahan medication error pada high alert medication yang cukup luas menjadi perhatian khusus pada tenaga kesehatan. Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada studi profil pengelolaan kalium klorida pekat sebagai high alert medication yang sudah berstandar JCI dan KARS yang telah diadopsi pihak RSUP.Fatmawati. Evaluasi tersebut meliputi pada proses penyimpanan, pelabelan, pencampuran, dan administrasi pada pasien pengguna kalium klorida pekat dimulai dari tanggal 25 Mei 2015 – 24 Juni 2015 dengan menggunakan metode observational dengan desain cross sectional dan pengambilan data dilakukan secara pengamatan prospektif.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kualitas dan Akreditas

Kualitas adalah sesuatu yang sangat penting, dilakukan oleh kedua belah pihak, baik pemberi layanan kesehatan ataupun penerima layanan dalam proses membangun pondasi yang kuat bagi suatu institusi kesehatan (S.L.Goel, 2002). Kualitas itu sendiri bukanlah sesuatu yang didapatkan secara kebetulan melainkan diperlukan suatu upaya yang harus dilakukan oleh semua orang di setiap level dan pada berbagai tahapan dari suatu sistem penyedia layanan kesehatan. (S.L.Goel, 2002). Oleh karena itu, rumah sakit merupakan instalasi penting dalam memberikan pelayanan kesehatan yang baik terukur dari kualitas yang dimilikinya.

Akreditas adalah suatu proses pengakuan atau legalisasi, penerimaan, dan kepercayaan yang diberikan oleh badan akreditas kepada suatu rumah sakit dalam hal pemenuhan standar pelayanan, sehingga rumah sakit tersebut dapat dinilai kemampuannya dalam mengupayakan peningkatan mutu pelayanan (Mulyadi, 1997). Akreditas bukanlah hal yang baru didunia perumahsakitan, kata Akreditas sudah ada bahkan sejak tahun 1950-an.Bahkan pengakreditasan untuk rumah sakit pertama di dunia telah dilakukan sejak 40 tahun yang lalu (Ratcliffe.R.L, 2009). Dalam hal ini lembaga yang mempunyai peranan penting dalam “Akreditas” untuk rumah sakit adalah Joint Commission yang berdiri sejak tahun 1951. The Joint Commission on Acreditation of Healthcare Organization (JCAHO) atau yang biasa dikenal JCI telah melakukan akreditas untuk lebih dari 95% rumah sakit di Amerika. Organisasi pertama kali dibentuk dengan misi untuk “melawan” terjadinya kesalahan pada pelayanan medis (medical error) dan melakukan perbaikan kepada rumah sakit diseluruh Amerika (HSCM, 2005).

Sejak JCI berdiri telah banyak rumah sakit di seluruh dunia melakukan akreditas JCI. Sebagai contoh rumah sakit di Dublin (Irlandia) yang telah mendapatkan akreditas JCI sejak tahun 2002 dan hingga saat ini telah memperoleh sertifikat Gold member selama 4 kali berturut-turut. Lalu diikuti


(27)

negara lain seperti Singapore (National University Hospital) yang mendapatkan akreditas JCI pada tahun 2005, dan pada Januari tahun 2012 untuk Indonesia sendiri telah ada lima rumah sakit yang telah mendapatkan akreditas JCI.

Jika kita ingin mencoba untuk membandingkan berapa persentase rumah sakit yang sudah mendapatkan akreditas International maka kita akan tercengang karena dari 1800 rumah sakit di seluruh Indonesia dan dari 111 rumah sakit yang ada di Jakarta baru lima rumah sakit yang mendapatkan akreditas International. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurang dari 1% rumah sakit di Indonesia yang telah diakreditasi (Depkes R.I, 2008).

Dengan melihat kondisi tersebut, maka sejak tahun 1995 Depkes RI telah menggiatkan akreditas terhadap rumah sakit yang ada di Indonesia melalui Komisis Akreditas Rumah Sakit (KARS). Tujuan dilakukannya akreditas rumah sakit adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan perlindungan terhadap pasien. Hal ini sejalan dengan UU nomor 8 tahun 2000 tentang perlindungan terhadap konsumen.

Menurut Depkes : Akreditas Rumah Sakit adalah suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditentukan (Depkes RI, 2008). Definisi akreditas menurut Joint Commission International adalah proses dimana suatu lembaga, yang terpisah dan berbeda dari organisasi pelayanan kesehatan biasanya nonpemerintah, melakukan penilaian terhadap organisasi pelayanan kesehatan (JCI, 1999).

Tujuan akreditas menurut Joint Commission International untuk menentukan apakah organisasi tersebut telah memenuhi seperangkat persyaratan (standar) yang dirancang untuk memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan. Selain tujuan akreditas, seharusnya dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit yang melakukannya. Menurut Joint Commission manfaat akreditas itu sendiri adalah :

a. Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa organisasi itu menitikberatkan sasarannya pada keselamatan pasien dan kualitas perawatan yang diberikan.

b. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga karyawan merasa puas.


(28)

c. Bernegosiasi dengan sumber daya pendanaan yang akan menanggung biaya perawatan berdasarkan data kualitas perawatan yang disediakannya.

d. Mendengarkan pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak mereka serta melibatkan mereka sebagai mitra dalam proses perawatan.

e. Menciptakan budaya mau belajar dari laporan-laporan kasus efek samping yang dicatat berdasarkan waktu kejadian dan hal-hal lain terkait keselamatan.

f. Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerjasama. Kepemimpinan ini menetapkan prioritas untuk dan demi terciptanya kepemimpinan berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan pasien disegala tingkatan (JCR, 2010).

2.2. Akreditas oleh KARS (Komisi Akreditas Rumah Sakit) dan Joint Commission International

Menurut Depkes dalam 417/MENKES/PER/2011 tentang Komisi Akreditas Rumah Sakit mendefinisikan KARS sebagai Lembaga Independen pelaksana akreditas rumah sakit yang bersifat fungsional, non – struktural, dan bertanggung jawab kepada menteri. Pengorganisasian KARS termasuk surveyor ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Penilaiannya difokuskan pada kebutuhan dan harapan konsumen dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS (Equity, Efficiently, Quality and Sustainability) agar rumah sakit dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional. Didalamnya, terdapat ahli-ahli yang bertindak sebagai surveyor, yang direkrut dari daerah-daerah dan dipilih sesuai kualifikasi dibidangnya. Sehingga KARS inilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penilaian program akreditas.

KARS mempunyai fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, pembimbingan, pelatihan, monitoring dan evaluasi dalam bidang akreditas rumah sakit di Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perkembangan akreditas rumah sakit secara internasional sedangkan untuk pendanaan dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi KARS berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementrian Kesehatan.


(29)

Sama halnya dengan JCI (Joint Commission International) merupakan badan akreditas international yang merupakan bagian dari Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO-USA). JCI adalah suatu organisasi yang independen, nonprofit, dan bukan lembaga pemerintahan (Shelly, 2011). JCI adalah versi international dari The Joint Commission (USA) yang bergerak dibidang akreditas rumah sakit. JCI berdiri sejak tahun 1951 dan merupakan Joint Venture antara American Colledge of Surgeons, American College of Physician, American Hospital Association, American Medical Association, American Medical Association (JCAHO, 2005).

Akreditas rumah sakit dilakukan secara sukarela dan sesuai dengan standar komisi rumah sakit yang menunjukkan potensi untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi (JCAHO, 2005). Misi JCI adalah memperbaiki kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan pada masyarakat international. Selama lebih dari 75 tahun, The Jonit Commission (USA) dan organisasi pendahulunya didedikasikan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan (JCAHO, 2005).

Sejak Joint Comission mulai menemukan kejadian sentinel pada tahun 1995, The Accreditation Comittee of The Joint Commission’s Board of

Commissioners mengevaluasi 89 kasus yang berhubungan dengan medication error/kesalahan pengobatan. Kesalahan pengobatan adalah salah satu penyebab bahaya pada pasien (JCI, 1999).

Pada tahun 1975 JCI telah mengakreditasi hampir 80% rumah sakit di Amerika serikat. Perubahan besar yang dilakukan pada proses akreditas JCI tahun 2006 adalah menfokuskan kepada pelayanan perawatan pasien (JCAHO, 2005).

Pada bulan Juli 2010, JCI mengeluarkan revisi standar baru yang dimplementasikan pada januari 2011. Standar baru ini diciptakan melalui proses berikut :

a. Kelompok Penasihat Regional International b. Proses peninjauan lapangan


(30)

2.2.1. Manfaat JCI

JCI merupakan standar international karena memiliki manfaat :

a. Memperlihatkan komitmen nyata suatu organisasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien, untuk memastikan lingkungan aman, dan secara berkesinambungan mengurangi resiko terhadap pasien dan staf.

b. Bertujuan optimum dalam pencapaian ekspektasi. c. Fokus pada pasien.

d. Desain untuk menginterpretasikan atau mensurvei di dalam kultur dan perundang-undangan yang berlaku.

e. Memacu perbaikan berkesinambungan.

2.2.2. Standar Manual JCI

Dalam JCI terdapat 565 standar yang dibagi menjadi 197 standar inti yang harus dipenuhi untuk mencapai akreditas dan 368 standar lain yang dapat membawa suatu organisasi kesehatan ke dalam tingkatan “best practice” atau

praktek yang terbaik. Standar-standar ini lebih lanjut akan dibagi menjadi 1033 ukuran parameter, yang berfokus pada aspek seperti keselamatan pasien, hak-hak pasien, fasilitas dan kualitas dokter. Standar manual dibagi menjadi dua bagian :

Patient Centered Function (Fungsi yang berpusat pada pasien) dan Organization Function (Fungsi organisasi).

Untuk Patient Centered Functions adalah semua standar yang berhubungan dengan pasien terdiri dari empat belas pembagian atau chapter yaitu:

1. International Patient Safety Goals (IPSG) 2. Access to Care and Continuity of Care (ACC) 3. Patient and Family Right (PFR)

4. Assesment of Patients (AOP) 5. Care of Patients (COP)

6. Anesthesia and Surgical Care (ASG) 7. Medication Management and Use (MMU) 8. Patient and Family Education (PFE) Sedangkan Organization Function terdiri dari :


(31)

10.Prevention and Control of Infection (PCI) 11.Governance, Leadership and direction (GLD) 12.Facility Management and Safety (FMS) 13.Staf Qualification and Education (SQE)

14.Management of Communication and Information (MCI)

Dalam hal ini masing-masing chapter mempunyai standar-standar yang harus diikuti sebagai persyaratan kelulusan dalam penilaian akreditas JCI pada saat survei akreditas atau full survey nantinya (JCR, 2010).

Standar diorganisir memiliki fungsi penting umum untuk semua organisasi perawatan kesehatan. Standar organisasi fungsional sekarang yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dan telah divalidasi oleh Penelitian ilmiah, pengujian, dan aplikasi. Standar dikelompokkan oleh fungsi yang terkait untuk menyediakan perawatan pasien berhubungan dengan menyediakan keamanan, organisasi efektif, dan pengelolaan yang baik dan untuk rumah sakit pusat medis akademis saja, yang berhubungan dengan program penelitian pendidikan profesional medis dan subyek manusia. Standar ini berlaku untuk seluruh organisasi serta masing-masing departemen, unit, atau layanan dalam organisasi. Proses survei informasi kepatuhan standar di seluruh organisasi dan keputusan akreditasi didasarkan pada keseluruhan tingkat kepatuhan ditemukan di seluruh organisasi (JCR, 2010).

2.3. Rumah Sakit

2.3.1. Definisi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit (hospital) adalah suatu organisasi yang meliputi tenaga medis profesional yang teroganisir serta adanya sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Rumah sakit juga diartikan sebagai tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidik klinik untuk


(32)

mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kedokteran lainnya (Anwar,1996).

2.3.2. Tugas Rumah Sakit

Pada umunya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.

2.3.3. Fungsi Rumah Sakit

Milton Roemer dan Friedman dalam buku Doctors in Hospital (1971) menyatakan bahwa rumah sakit setidaknya memiliki 5 fungsi adalah :

a. Harus ada pelayanan rawat inap dengan fasilitas diagnostik dan terapeutiknya. Berbagai jenis spesialisasi, baik bedah maupun non bedah, harus tersedia. Pelayanan rawat inap juga meliputi pelayanan keperawatan, gizi, farmasi, laboratorium,radiologi dan berbagai pelayanan lainnya.

b. Harus memiliki pelayanan rawat jalan. c. Melakukan pendidikan dan pelatihan.

d. Melakukan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan karena keberadaan pasien di rumah sakit merupakan modal dasar untuk penelitian.

e. Mempenuyai tanggungjawab untuk program pencegahan penyakit dan penyuluhan kesehatan bagi populasi di sekitarnya.

Menurut Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, fungsi rumah sakit adalah :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemilihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna tingkat dua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.


(33)

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.3.4. Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010, rumah sakit diklasifikasikan berdasarkan jenis pelayanan :

a. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi : 1. Rumah sakit umum kelas A, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedkit 4 pelayanan medik Spesialis Dasar, 5 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 Pelayanan Medik Sub Spesialis.

2. Rumah Sakit Umum Kelas B, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.

3. Rumah Sakit Umum kelas C, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.

4. Rumah Sakit Umum Kelas D, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik Spesialis Dasar.

b. Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit. Jenis Rumah Sakit Khusus antara lain Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Jantung, Kanker, Orthopedi, Paru, Jiwa, Kusta, Mata, Ketergantungan obat, Stroke, Penyakit Infeksi,Bersalin, Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medik, Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah,


(34)

Ginjal, Kulit dan Kelamin. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi :

1. Rumah Sakit Khusus Kelas A 2. Rumah Sakit Khusus Kelas B 3. Rumah Sakit Khusus Kelas C

2.4. Akreditas JCI Yang Diberikan Pada RSUP. Fatmawati

Pada tanggal 1 Januari 2014 Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, PhD, menerima sertifikat akreditasi Joint Commission Internasional (JCI) yang diserahkan oleh Direktur Utama RSUP Fatmawati, Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn. Ini berarti mutu RSUP Fatmawati telah diakui secara internasional, ujar Prof. Ghufron (Depkes.go.id).

Dewasa ini, kita telah mempunyai tiga rumah sakit Pemerintah yang terakreditasi JCI, yaitu: 1) RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 2) RSUP Sanglah (Denpasar), dan 3) RSUP Fatmawati (Jakarta). Beberapa rumah sakit swasta juga telah terakreditasi JCI. Di samping itu, 3 rumah sakit Pemerintah juga sedang dipersiapkan agar dapat segera meraih akreditasi JCI, yaitu: 1) RSUP Dr Sardjito (Yogyakarta); 2) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (Makassar); dan 3) RSUP Adam Malik (Medan). Kepada jajaran RSUP Fatmawati, Prof. Ghufron menyampaikan apresiasi atas kerja keras dan kerja cerdas yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanannya sehingga mencapai pelayanan kelas dunia atau world class health care. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah berperan mendukung RSUP Fatmawati dalam meraih Sertifikasi Akreditasi JCI (Depkes.go.id).

Prof. Ghufron berpesan kepada seluruh Direksi dan karyawan/karyawati RSUP Fatmawati untuk: 1) mempertahankan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berstandar internasional yang telah dicapai; 2) menjadi model bagi rumah sakit lainnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan; dan 3) memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh masyarakat, tanpa memperhatikan tingkat sosial ekonominya dan tanpa mempertimbangkan dari kelompok mana pasien berasal (Depkes.go.id).

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengamanatkan agar rumah sakit selalu meningkatkan mutu dan mempertahankan standar


(35)

pelayanan rumah sakit. Dengan demikian, pelayanan yang terstandar, wajib disediakan oleh seluruh rumah sakit di Indonesia. Pelayanan yang sesuai standar harus mendapatkan pengakuan dari Pemerintah dan lembaga akreditasi yang ditunjuk yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) untuk akreditasi nasional dan Joint Commission Internasional (JCI) untuk akreditasi internasional (Depkes.go.id).

2.5. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan (Depkes, 2008).

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International

(JCI) (Permenkes, 2014).

Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program manajemen risiko untuk keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:

1. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi, pengukuran dan pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi resiko

2. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam standar global yang akan meningkatkan pelayanan kepada pasien dengan penekanan tertentu pada beberapa aspek seperti keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan pedoman, penggunaan produk obat dan alat kesehatan yang aman dan menciptakan suatu budaya keselamatan pada petugas kesehatan dan institusi pendidikan.


(36)

3. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali karakteristik penyedia pelayanan kesehatan yang unggul dalam keselamatan pasien secara internasional

4. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien (Depkes, 2008).

Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi (Depkes, 2008).

2.5.1. Keselamatan Pasien Dalam Kefarmasian

Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah yang tertera dalam kolom beserta contohnya sehingga dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program keselamatan pasien. Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:

a. Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)

b. Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)

c. Kejadian Sentinel

d. Adverse Drug Event e. Adverse Drug Reaction f. Medication Error

g. Efek samping obat ( depkes RI, 2008).

Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug

Events: A Clinician’s Guide to terminology, Documentation, and Reporting, serta

dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) disimpulkan sebagai berikut :

Tabel 1. Istilah-istilah dalam kejadian keselamatan pasien

Istilah Definisi Contoh

Kejadian yang tidak diharapkan (Adverse

Kejadian cedera pada pasien selama proses

Infeksi pada kulit karena penggunaan perban.


(37)

event) terapi/ penatalaksanaan medis mencakup seluruh aspek pelayanan termasuk diagnosa, terapi, kegagalan diagnosa/terapi, sistem peralatan untuk pelayanan, adverse event

dapat dicegah atau tidak dicegah

Jatuh dari tempat tidur.

Reaksi obat yang tidak diharapkan (adverse drug reaction)

Kejadian cedera pada pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat.

Steven-johnson syndrom : Sulfa, obat epilepsi, dlln.

Kejadian tentang

obat yang tidak diharapkan (Adverse DrugEvent)

Respons yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat dosis normal. Reaksi Obat Yang Tidak Diharapkan (ROTD) ada yang berkaitan dengan efek farmakologi (efek samping) ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi (reaksi hipersensitivitas).

Shok anafilaksis pada penggunaan antibiotik golongan penisilin,

Mengantuk pada

penggunaan CTM

Efek obat yang tidak diharapkan (Adverse drug effect)

Respons yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat dosis lazim Sama dengan ROTD tapi dilihat dari sudut pandang obat. ROTD dilihat dari sudut pandang pasien.

Shok anafilaksis pada penggunaan antibiotik golongan penisilin. Mengantuk pada penggunaan CTM

Cedera dapat terjadi atau tidak terjadi


(38)

Medication Error Kejadian yang dapat

dicegah akibat

penggunaan obat, yang menyebabkan cedera.

Peresepan obat yang tidak rasional. Kesalahan perhitungan dosis pada peracikan.

Ketidakpatuhan pasien sehingga terjadi dosis berlebih.

Efek samping Efek yang dapat

diprediksi, tergantung pada dosis, yang bukan efek tujuan obat. Efek

samping dapat

dikehendaki, tidak dikehendaki, atau tidak ada kaitannya.

(sebaiknya istilah ini dihindarkan)

(Depkes RI, 2008)

Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu: (1) Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki/ROTD ,(2) masalah pemilihan obat, (3) masalah pemberian dosis obat, (4) masalah pemberian/penggunaan obat, (5) interaksi obat, (6) masalah lainnya. (Pharmaceutical Care Network Europe, 2006). Sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:

a. Sasaran I : Ketepatan identifikasi pasien

b. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang efektif

c. Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang harus diwaspadai d. Sasaran IV : Kepastian tepat-lokasi, tepat–prosedur, tepat-pasien e. Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan f. Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh


(39)

Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi (Permenkes, 2011).

2.6. Asuhan Kefarmasian

Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tetapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society of Hospital Pharmacists, 1993).

Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi. (Depkes RI, 2008).

Penelitian tentang efek dari partisipasi apoteker pada ronde dokter dan kejadian efek yang merugikan dari obat dilakukan pada ruang perawatan intensif rumah sakit umum Massachusetts di Boston menunjukkan bahwa kehadiran apoteker pada saat ronde sebagai anggota tim di ruang perawatan intensif menurunkan angka kejadian efek yang merugikan dari obat karena kesalahan penentuan obat (Leape Lucian L et al., 1999). Intervensi apoteker dalam mencegah terjadinya masalah terkait dengan obat akan mempengaruhi biaya kesehatan, menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kualitas hidup (Alderman CP, Farmer C., 2001).


(40)

2.7. High Alert Medication

Pada poin sasaran III yakni peningkatan keamanan obat yang harus diwaspadai. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit berdasarkan sasaran III mengenai peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert) dalam Standar SKP III, Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high alert), Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien (Permenkes, 2011).

Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinelevent), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat = 50% atau lebih pekat) (Permenkes, 2011).

Menurut ISMP (Institute for Safe Medication Practices) daftar High Alert Medications in Acute Care Settings sebagai berikut :

Tabel 2. daftar High Alert Medications in Acute Care Settings

Kelas Pengobatan Pengobatan spesifik

Adrenergik agonists, IV (epinefrin, phenylephrine, norepinefrin)

Epinefrin subkutan

Adrenergik antagonis IV (propanolol, metoprolol, labetolol)

Epoprostenol (flolan), IV

Antiaritmia (lidokain, amiodaron) Insulin U-500

Antitrombotik agen Injeksi magnesium sulfat

Larutan kardioplegik Metotreksat

Kemoterapi agen, parenteral dan oral Injeksi kalium klorida pekat Dekstrosa, dan lain-lain Injeksi kalium fosfat


(41)

Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan Tujuan Sasaran III, Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati (permenkes, 2011).

Elemen Penilaian Sasaran III

1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.

2. Implementasi kebijakan dan prosedur.

3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat

(restricted) (Permenkes, 2011).

2.8. Kalium Klorida 2.8.1. Kalium

Elektrolit dalam tubuh adalah substansi yang membawa muatan positif (kation) atau muatan negatif (anion). Fungsi dari kation adalah mentransmisi impuls saraf ke otot dan kontraksi dari otot-otot rangka dan polos. Kation dari


(42)

elektrolit paling banyak terdapat dalam sel (kalium, magnesium, dan sebagian kalsium), dalam cairan ekstraselular (CES) yang terdapat pembuluh darah dan ruang antar jaringan (natrium dan sebagian kalsium), dan dalam saluran

gastrointestinal. Dimana anion akan berdampingan dengan kation (Kee, Joycee L, 1996).

Kadar normal dalam plasma atau serum untuk kalium adalah 3,5 -5,3 mEq/L. Keadaan dimana kadar kalium serum kurang dari 3,5mEq/L disebut hipokalemia, dan kadar kalium serum lebih besar dari 3,5 mEq/L disebut hiperkalemia. Terlalu sedikit kalium (dibawah 2,5 mEq) atau terlalu banyak kalium (hiperkalemia) diatas 7,0 mEq/L dapat menimbulkan henti jantung. Masukkan kalium yang dianjurkan adalah dianjurkan adalah 40-60 mEq/L setiap hari didapatkan dari makanan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, atau dalam bentuk suplemen kalium.

Larutan Kalium klorida (KCl) pekat dan kalium kuat lainnya. Tindakan pencegahan harus diterapkan dalam konsentrasi kalium klorida yaitu :

a. 10% (1 gram kalium dalam 10 ml) b. 15% (1,5 gram kalium dalam 10 ml)

c. 20% (1 gram kalium dalam 5 ml) dalam ampul dan vial. (Cohn JN,2000)

Area perawatan yang menggunakan kalium klorida adalah Unit perawatan intensif, unit perawatan ketergantungan yang tinggi, unit perawatan jantung, lainnya, area khusus perawatan kritis khusus seperti unit ginjal, jantung, neonatal, unit perawatan intensif dan beberapa kecelakaan dan keadaan darurat (Cohn JN, 2000).

Fungsi kalium penting dalam transmisi dan konduksi impuls-impuls saraf dan untuk kontraksi otot rangka, otot jantung, otot polos. Kalium juga diperlukan untuk kerja enzim dalam mengubah karbohidrat menjadi energi (glikolisis) dan asam amino menjadi protein. Kalium meningkatkan penyimpanan glikogen (energi) dalam sel-sel hati. Kalium juga mengatur osmolalitas (konsentrasi solut) dari cairan selular (Cohn JN, 2000).


(43)

Monografi Kalium Klorida

Nama dagang : injeksi kalium klorida terkonsentrat, kalium klorida pekat steril.

Golongan obat : elektrolit (suplemen kalium)

Kekuatan sediaan : ampul mengandung 0,75g/10 ml (10 mmol/10 ml), 1g/4ml (13,4 mmol/4 ml), 1g/10ml (13,4 mmol/10ml), 1,5 g/10 ml (20 mmol/10 ml), 2 g/10 ml (26,8 mmol/10 ml).

Kekuatan kantung infus kalium premix antara 10-40 mmol dalam 500-1000 ml dalam cairan yang sesuai.

Isotonis kantung infus KCL premix termasuk :

a. 10 mmol KCL dalam 100 ml NaCL 0,26% b. 30 mmol KCL dalam 500 ml NaCL 0,53% c. 40 mmol KCL dalam 1 L NaCL 0,584% Dosis yang menyebabkan kematian 25 mEq.

PH : 4-8

Administrasi : injeksi IM : tidak direkomendasikan

Injeksi subkutan : tidak direkomendasikan

Injeksi IV : kontraindikasi (harus dilarutkan jika akan diberikan)

Infus IV : ampul harus dilarutkan dengan larutan yang kompatibel melalui IV. Pencampuran harus berhati-hati dan harus dilakukan pengenceran terlebih dahulu.

Pada pasien yang memiliki serum dibawah 2,5 mmol/L maka kecepatan infus tidak boleh melebihi 10 mmol/jam.

Pada pasien hipokalemia berat kecepatan infus tidak boleh melebihi 20 mmol/jam.

Untuk bayi dan anak-anak : melalui vena perifer dan vena sentral konsentrasi yang digunakan 60 mmol/L. Stabilitas : Larutan premix KCL : stabil 24 jam dalam cairan infus


(44)

Kompatibilitas : Cairan kompatibel : glukosa 5%,glukosa 10%,larutan glukosa dan natrium klorida,Ringer,NaCL 0,45%,NaCL 0,9%.

Obat yang kompatibel : aminophiline, amiodarone, kalsium glukonat, cefepime, ceftazidine, kloramfenikol, klindamisin, ciprofloksasin.

Inkompatibilitas : Cairan inkompatibel : mannitol

Obat inkompatibel : amoksilin, amfoterisin B, azitromisin, benzilpenisilin, klorpromazine.

Produsen : PT.Otsuka Indonesia, PT.Abbott, PT.Fahrenheit, PT.Widatra Bhakti, PT.Sanbe Farma (ISO,2012).

( The Australian Council for Safety and Quality, 2003)

2.8.2. Hipokalemia

Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai. Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut (Unit Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007) :

1) Asupan Kalium Kurang

Asupan kalium normal berkisar antara 40-120 mEq per hari. Hipokalemia akibat asupan kalium kurang biasanya disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

2) Pengeluaran Kalium Berlebihan

Pengeluaran kalium berlebihan terjadi melalui saluran cerna, ginjal atau keringat. Pada saluran cerna bawah (diare, pemakaian pencahar), kalium keluar bersama bikarbonat (asidosis metabolik). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian diuretik. Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10 L (Unit Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007). 3) Kalium Masuk ke Dalam Sel


(45)

Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-adrenergik, paralisis periodik hipokalemik, hipotermia. Defisit ion kalium tergantung pada lamanya kontak dengan penyebab dan konsentrasi ion kalium serum (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada hipokalemia yaitu keletihan, kelemahan otot, kram kaki, otot lembek atau kendur, mual, muntah, ileus, parestesia, peningkatan efek digitalis, penurunan konsentrasi urin (Horne, 2001).

Setiap sel-sel mengalami kerusakkan karena trauma, cedera, pembedahan, atau syok, kalium akan keluar dari sel ke dalam cairan intravaskular dan diekskresikan oleh ginjal. Dengan hilangnya kalium dari sel, kalium akan pindah dari plasma ke dalam sel untuk memulihkan keseimbangan kalium selular. Jika ginjal tidak bekerja atau terserang penyakit kalium akan menumpuk di dalam cairan intravaskulardan terjadi hiperkalemia. Jika kadar kalium serum diantara 3,0-3,5 mEq/L, 100-200 mEq/L kalium klorida (KCL) diperlukan untuk meningkatkan kadar kalium serum sebanyak 1 mEq ( 3,0-4,0 mEq/L). Namun, kalium klorida tidak dapat dengan cepat memperbaiki kekurangan kalium yang berat (Cohn JN, 2000).

Kalium dapat diberikan secara oral atau intravena dan digabung dengan suatu anion seperti klorida atau bikarbonat. Kalium oral dapat diberikan dalam bentuk cair, bubuk, atau tablet. Kalium dapat mengiritasi lambung dan usus halus sehingga harus diberikan dengan sedikitnya setengah gelas cairan (sari buah-buahan atau air) dan akan lebih baik dengan segelas air (Singer GC, 1998).

Kalium intravena harus diencerkan dalam cairan karena tidak dapat diberikan sebagai obat IV yang disuntikkan atau berupa bolus IV.

Tabel 3. Sedian Farmasi Larutan Kalium Klorida

Preparat Obat

Cairan oral Kalium kloria 10% = 20 mEq/15 ml,

20% = 40 mEq/ 15 ml. Kay Ciel (kalium klorida), Kaochlor 10% (kalium klorida), Kaon-Cl 20% (kalium klorida), Potassium Triplex (kalium asetat, bikarbonat sitrat)


(46)

jarang dipakai.

Tablet/Kapsul oral Kalium klorida (tablet enteric-coated), Kaon CL ( kalium klorida), Slow K (kalium klorida 8 mEq), K-lyte- CL (tablet effervescent), kdur, microtab.

Kalium intravena Kalium klorida dalam cairan jernih dalam vial multidosis / ampul

(2 mEq/L). (Kee, Joycee L, 1996)

Tanda-tanda dan gejala hipokalemia adalah mual dan muntah, aritmia, perut kembung dan otot yang kendur. Obat-obat tertentu menambah kehilangan kalium seperti diuretik yang membuang kalium yaitu hidroklorotiazid (Hydrodiuril), furosemid (Lasix), asam etakrinat (Edecrin), dan preparat kortison. Pasien yang menerima obat-obatan tersebut harus menambah masukan kalium dengan makanan yang kaya akan kalium atau suplemen kalium. (Singer GC, 1998).

2.8.3. Interaksi Obat Lain Dengan Kalium Klorida

Tabel 4. Interaksi Obat Lain Dengan Kalium Klorida

Nama Obat Efek

ACE Inhibitor garam kalium meningkatkan efek

hiperkalemi dari ACE inhibitor.

Angiotensin II Reseptor Bloker garam kalium meningkatkan efek hiperkalemi dari Angiotensin II Reseptor Bloker.

Antikolinergik dapat meningkatkan efek ulserogenik dari kalium klorida.

Eplerenone dapat meningkatkan efek dari garam kalium.

Diuretik hemat kalium um dapat meningkatkan efek hiperkalemia dari diuretik hemat kalium.


(47)

2.8.4. Pedoman Umum Penggunaan Kalium

1. terapi harus dilengkapi dengan konsumsi makanan dari makanan kaya kalium

2. individu pada diet natrium terbatas sudah dianjurkan untuk menerima suplementasi kalium

3. individu rawan mual, muntah, diare, bulimia, atau diuretik / pencahar penyalahgunaan sudah dianjurkan untuk menerima suplemen kalium. 4. untuk mengisi kalium, mengelola dosis moderat dari kalium atas beberapa

hari sampai minggu

5. untuk lebih akurat penilaian total kalium tubuh, harus diukur ekskresi kalium 24 jam dalam pasien berisiko tinggi

6. meningkatkan kepatuhan pasien dengan mengembangkan rejimen dosis yang aman

7. meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan dosis rejimen seperti formulasi mikroenkapsulasi, yang menurunkan pencernaan yang merugikan efek tidak diinginkan

8. dosis kalium pada umumnya untuk pencegahan hypokalemia adalah 20 meq / hari dan biasa pengobatan dosis adalah 40 sampai rp100 meq per hari.

(Schultz NJ, 1999).

2.9. Penyimpanan, Pelabelan , Peresepan, Pencampuran, dan Pemberian Kalium Klorida

Pada tahun 2007, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan “ Patient Safety Solution” dimana mengidentifikasikan kalium klorida pekat (KCL) sebagai high risk medication. Di Amerika Serikat, selama 2 tahun pelaporan buruk pada penggunaan kalium, 10 kematian dilaporkan kepada Joint Commision yang merupakan sebuah organisasi internasional terkemuka yang memberikan akreditasi rumah sakit internasional dan di Kanada, antara 1993-1996, 23 kejadian yang dilaporkan. Sementara semua obat yang berpotensi berbahaya, elektrolit konsentrat sehingga tidak mungkin untuk membalikkan efek dari kesalahan pada penggunaan KCL. Singkatnya, kalium pekat mematikan bila tidak dipersiapkan dan diberikan sesuai aturan. WHO/ merekomendasikan agar


(48)

organisasi kesehatan memiliki sistem dan proses untuk praktek aman penggunaan kalium klorida dan larutan elektrolit pekat lainnya.

rekomendasi:

a. Sangat penting bahwa ketersediaan, akses / penyimpanan, resep, pemesanan, penyiapan, distribusi, pelabelan, verifikasi, administrasi dan pengawasan terhadap agen tersebut dipandu sedemikian rupa sehingga potensi untuk kesalahan diminimalkan atau dihilangkan.

b. Pendekatan untuk masalah ini harus multidisiplin dan melibatkan tenaga medis, keperawatan, keselamatan pasien dan perwakilan farmasi.

2.9.1. Definisi Kalium pekat

Joint Commission International (JCI) mendefinisikan kalium klorida pekat dengan konsentrasi lebih besar dari atau sama dengan 2 mmol/mL (JCI, 2012). Australian Commission for Safety & Quality in Healthcare berfokus pada pemindahan ampul kalium klorida dalam penyimpanan, dan pentingnya pengenceran sebelum digunakan daripada mendefinisikan konsentrasi secara spesifik. Bahaya yang terkait dengan kalium dapat memiliki konsekuensi sama walaupun dalam konsentrasi rendah , personalia di rumah sakit mungkin memiliki definisi beragam apa yang dianggap terkonsentrasi. Sehingga hal tersebut menjadi hal penting bahwa setiap rumah sakit mengembangkan definisi yang disepakati sendiri " individu terkonsentrasi" yang menjadi dasar kebijakan lokal (The Australian Council for Safety & Quality, 2013).

2.9.2. Penyimpanan Kalium Intravena

Pemindahan larutan elektrolit pekat, khususnya kalium klorida, dari unit perawatan pasien memiliki dampak positif ditandai pada pengurangan kematian dan mencegah terjadinya cedera yang terkait dengan agents tersebut (JCI,2007).

a. Idealnya, pemindahan kalium pekat dari daerah perawatan pasien sesuai tujuan.

b. Larutan infus kalium siap-campuran (prefilled bags) harus digunakan bila dimungkinkan.

c. Ready – mixed potassium infussion bags harus dipisahkan dari cairan IV lainnya dalam area penyimpanan.


(49)

d. Minimal, kalium pekat harus dipisahkan dari obat lain misalnya, dalam lemari terpisah/aman atau terkendali di lemari obat. Rumah sakit mungkin dapat mempertimbangkan pengobatan produk kalium pekat sebagai obat yang dikontrol dalam bentuk pencatatan. Hal tersebut baik dilakukan di dalam apotek dan di daerah perawatan pasien.

e. Kalium pekat harus disimpan dan disiapkan di daerah klinis, risiko menggunakan produk ini harus dikelola dengan menerapkan beberapa tindakan pencegahan termasuk :

1. Menyesuaikan dengan stok baku kalium pekat dengan kemiripan pada pelabelan dan kemasan.

2. Memisahkan penyimpanan kalium pekat dari obat-obatan lain. 3. Membatasi akses kalium pekat hanya pada staff berkualitas. 4. Membatasi jumlah kalium pekat yang disimpan di area klinis.

2.9.3. Masalah Peresepan Kalium

Kalium oral dapat diresepkan bersama dengan IV kalium ( Mount et Al,2012). 1. Kalium intravena harus ditentukan kekuatan yang memungkinkan tersedia

siap dicampur dalam larutan infus kalium (prefilled bags) untuk penggunaan yang dimungkinkan.

2. Departemen farmasi harus memberikan resep dengan daftar yang tersedia dalam kantung infus kalium yang siap dicampur.

3. Selalu mempersiapkan spesifitas (penentuan konsentrasi) kalium (Fosfat atau klorida) yang akan digunakan.

Menentukan kelarutan cairan dan volume 1. Volume akhir harus selalu ditentukan.

2. Terapi awal penggantian kalium tidak harus melibatkan infus glukosa, karena glukosa mungkin menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam konsentrasi plasma kalium (Mount et al., 2012).

3. Konsentrasi maksimum normal kalium untuk pemberian perifer adalah 40 mmol/L (BNF, 2013). Namun, rasa sakit atau flebitis mungkin terjadi selama pemberian IV larutan yang mengandung 30 mmol (AHFS Drug Information, 2013).


(50)

4. Tentukan laju administrasi. Laju administrasi : pedoman praktek saat ini, didukung oleh IMSN menyarankan resep yang memiliki laju maksimum 10 mmol kalium klorida / jam untuk daerah bangsal umum.

5. Administrasi lebih cepat hanya dianjurkan dan monitoring jantung yang memungkinkan. Dalam situasi ini, IMSN merekomendasikan laju maksimum 20 mmol kalium/jam. Setiap rumah sakit harus memiliki standar yang disepakati sebagai maksimum administrasi (ISMN, 2013).

2.9.4. Administrasi Kalium klorida

Praktek pemberian obat yang aman : Infus kalium cepat dapat berakibat toksik bagi hati dan fatal. Jika kalium pekat harus ditambahkan ke kantung infus harus diambil dan dipastikan dapat dicampur. Pencampuran yang tidak sempurna dapat menyebabkan lapisan kalium terkonsentrasi pada dasar kantung infus dan administrasi tidak tepat pada bolus berakibat toksisitas. Untuk menghindari risiko ini, setelah penghitungan jumlah kalium pekat dengan benar telah ditambahkan, campurkan secara menyeluruh dengan menekan dan membalik kantung infus setidaknya 10 kali (Gray et al., 2012).

1. Infus Kalium harus selalu dikelola dengan menggunakan pompa infus terkontrol (Gahart, 2013). ini harus diperhitungkan ketika membawa pasien di daerah klinis.

2. Pertimbangan untuk menggunakan label peringatan berisiko tinggi pada larutan kalium intravena sebelum pemberian.

3. Tingkat administrasi : pedoman praktek saat ini, didukung oleh IMSN tersebut, menyarankan resep dengan laju maksimum pemberian 0.2 mmol/kg /jam. (tidak melebihi 10 mmol/jam) kalium klorida untuk daerah bangsal umum. Tingkatan administrasi lebih cepat hanya dianjurkan bila central line

dan monitoring jantung yang memungkinkan. Dalam situasi ini, IMSN merekomendasikan laju maksimum adalah 20 mmol kalium/jam.

4. Konsentrasi maksimum kalium normal untuk pemberian perifer adalah 40mmol/L (AHFS, 2013). Namun, rasa sakit atau flebitis mungkin terjadi selama pemberian larutan IV yang mengandung 30 mmol atau lebih banyak kalium /L (AHFS, 2013).


(51)

5. Pengukuran berulang konsentrasi plasma kalium diperlukan untuk menentukan apakah infus lebih lanjut diperlukan, dan untuk menghindari perkembangan hiperkalemia.

2.9.5. Pemberian Obat

Larutan infus kalium Siap-campuran (prefilled bags) harus disiapkan dan digunakan bila memungkinkan, dalam bentuk ampul kalium pekat, (WHO, 2010). Departemen Farmasi harus memberikan resep dengan daftar yang tersedia siap dicampur dalam kantung infus kalium. Pelabelan : vial kalium, jika disimpan di tempat perawatan pasien, harus memiliki label peringatan yang menyatakan "HARUS DILARUTKAN". WHO merekomendasikan bahwa ini harus menjadi peringatan (WHO, 2010). Penyiapan kalium pekat di rumah sakit harus memastikan bahwa prosedur tertentu melibatkan lokasi, penyimpanan dan penggunaan kalium dalam area penggunaan spesialis (IMSN, 2013).

2.10. Peraturan Penyimpanan, Penandaan, Penyiapan, dan Penggunaan Kalium Klorida Pekat Di RSUP. Fatmawati (Nomor Dokumen HK.03/05/II.1/1649/2012 (025/FAR)

Penyimpanan obat high alert yang diterima dengan memeriksa : 1. Nama obat high alert.

2. Jumlah obat high alert.

3. Tanggal kadaluarsa obat high alert.

4. Kondisi fisik obat high alert.

5. Kondisi penyimpanan khusus obat high alert.

Pemberian penanda khusus (stiker high alert) oleh petugas farmasi di gudang atau depo farmasi diberikan pada kemasan fisik (vial/ampul/syringe/flesh). Pencatatan stok obat high alert yang diterima, pencatatan dilakukan oleh petugas dalam sistem informasi rumah sakit (SIRS) dan kartu stok obat high alert sebagai penambahan jumlah.

Penempatan obat high alert oleh petugas pada lemari penyimpanan obat yang bertanda khusus (list merah dan stiker high alert) dengan kriteria (khusus kalium klorida pekat) :

a. Elektrolit pekat injeksi KCL dan NaCL 3% hanya disimpan di instalasi farmasi (depo dan gudang) dalam troly emergency (IBS, ICU, ICCU, NICU, PICU, resusitasi IGD).

b. Penempatan obat high alert oleh petugaspadalemari penyimpanan dengan metode FIFO dan FEFO dengan cara :


(52)

1. Obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu dingin antara 2-80C maka disimpan dalam lemari

pharmaceutical refrigerator.

2. Obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu ruangan yaitu 250C maka disimpan dalam lemari yang diberikan penanda khusus.

Pelaksanaan teknik pencampuran obat injeksi high alert secara aseptik oleh petugas pencampuran obat :

1. Prosedur Mengambil Larutan Dari Ampul atau

2. Prosedur Mengambil Larutan Dari Vial (sesuai dengan sediaan obat yang dikerjakan.

Penyiapan obat high alert dengan pemberian obat high alert dan label

“identitas” yang sesuai pada setiap syringe atau infus yang sudah berisi obat oleh petugas pencampuran obat. Label “identitas” berisi data tentang :

1. Nama Pasien

2. Nomor Rekam Medik 3. Nama Obat

4. Dosis obat

5. Pelarut dan volume pelarut 6. Rute Pemberian

7. Tanggal Pembuatan


(53)

(Kebijakan RSUP.Fatmawati Nomor Dokumen HK.03.05/II.1/1651/2012 (025/FAR)


(54)

pasien yang menggunakan obat dimonitoring. Pasien mendapatkan obat. Perawat memberikan obat Perawat melakukan pencampuran dan menandakan obat. Jika dalam keadaan sibuk boleh dilakukan

farmasi. Bagan 2. Proses Permintaan Kalium klorida di Foothills Medical Centre

(Esmail et al.,2005)

1. Pre-order through OPSCAR/ TDS 2.Perawat melakukan ordering KCL premix langsung kepada petugas farmasi 3.Perminta an dicetak sebanyak 2 buah (untuk unit dan farmasi) 4. Unit panitera mengambil permintaan 5. Unit panitera meminta penjelasan lebih lanjut kepada perawat. 6. Perawat mendapat obat dari lemari narkotik. Farmasi menyimpan stok dalam lemari narkotik. Perawat mendapatkan kunci kemudian mengambil KCL, paraf perawat)

Perawat memperhitungkan kecepatan pemberian dan volume pemberian.

Kemudian pencampuran dan penandaan obat dilakukan.


(55)

Pelaksanaan pemberian obat high alert kepada pasien dengan verifikasi tujuh BENAR oleh DPJP atau oleh dengan pasien IRNA di ruangan :

1. Benar obat

2. Benar waktu pemberian dan frekuensi pemberian 3. Benar dosis

4. Benar rute pemberian 5. Benar pasien

6. Benar informasi 7. Benar dokumentasi

Pelaksanaan pemberian obat high alert pada pasien pengguna KCL : a. Apabila obat high alert Dalam sediaan khusus maka dokter DPJP

atau perawat yang melakukan pemberian obat langsung pada pasien. Bentuk sediaan tersebut adalah :

1. Enteral (Sublingual, Rektal)

2. Parenteral ( intravaskular,intra Muscular, Subcutan)

3. Lain-lain (inhalasi,intranasal, intratekal,topikal, transdermal)

b. KCL 7,46% injeksi (konsentrasi sediaan yang ada adalah 1 Meq = 1 ml) harus diencerkan sebelum digunakan dengan perbandingan 1 ml KCL : 10 ml pelarut (WFI/NaCL 0,9%). Konsentrasi dalam larutan maksimum adalah 10 Meq/100 ml. Pemberian KCL injeksi melalui perifer diberikan secara perlahan-lahan dengan kecepatan infus 10 Meq/jam (atau 10 Eq KCL dalam 100 ml pelarut/jam). Pemberian obat KCL melalui central line (vena sentral), konsentrasi maksimum adalah 20 Meq/100ml, kecepatan infus maksimum 20 Meq/jam (atau 20 Meq KCL dalam 100 ml pelarut/jam).

Pelaksanaan pencatatan dan pendokumentasian penerimaan obat High Alert yaitu :

1. Bila pasien dalam keadaan kondisi sadar dan koperatif maka pasien memberikan tanda tangan dalam kolom “paraf pasien” pada formulir pencatatan dan pemantauan penggunaan obat pasien.

2. Bila pasien tidak sadar atau tidak kooperatif maka keluarga pasien memberikan tanda tangan.

3. Bila pasien terlantar (kondisi tidak sadar dan tidak ada keluarga) maka penandatanganan pemberian obat dilakukan oleh perawat ruangan. Pencatatan pemberian obat pasien yang telah dilakukan dalam rekam medik pasien oleh DPJP atau perawat ruangan.


(56)

2.11. Kerangka Konsep

PROBLEM

"High Alert Medication" High Consentrat

"KCL Pekat"

1. Penyimpanan

2. Pelabelan

3. Penyiapan (Preparing)

4. Pemberian / administrasi

STANDAR

Standarisasi Pelayanan

* Joint Commission International ( JCI) (2012)

* KARS (2012)

Persentase Sesuai Standar

Persentase Tidak Sesuai Standar

TARGET Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan

Pasien “Safety


(57)

2.12. Definisi Operasional

Materi Definisi

Profil Gambaran mengenai penyimpanan,

penandaan, penyiapan dan pemberian obat high alert medication yaitu kalium klorida pekat.

Pengelolaan Meliputi proses pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, Pemusnahan dan

Penarikan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (Permenkes, 2014).

High Alert Medication Obat-obatan yang perlu diwaspadai

(high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)

(Permenkes, 2011).

Kalium klorida terkonsentrat The National Patient Safety Agency (UK) mendefinisikan konsentrasi lebih besar dari 1.34mmol / mL kalium klorida (KCL) dan setiap kalium fosfat botol / ampul atau Miniplasco® sebagai larutan terkonsentrat (National Patient Safety Agency, 2002).

Metode Observasional Survei/visitasi guna penilaian objek yang sedang diamati disesuaikan dengan jadwal yang telah dibuat dalam penelitian.

Cross sectional Suatu penelitian dimana variabel

independen/faktor penyebab/faktor risiko dan variabel dependen/faktor akibat/faktor efek dikumpulkan pada saat bersamaan (Supardi, 2002).

Objek Penelitian Seluruh hal terkait materi penelitian mencakup : tempat penyimpanan,


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Frekuensi dan Waktu Pemberian Obat

TGL Cairan Elektrolit 07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 12/6 KAEN 3B + KCL

10 mEq

48 48 48 48 14/6 KAEN 3B + KCL

10 mEq

28 56 56 56 56 56 56 56 56 56 56 56 28 15/6 KAEN 3B + KCL

10 mEq

28 56 56 56 56 56 56 56 56 56 56 56 28

IDENTITAS PASIEN

No.RM : 01186706

Nama : Alfredo Mathew Hamonangan Tempat tanggal lahir : Jakarta 29/04/2006

Umur : 9 tahun 1 bulan Jenis kelamin : laki-laki

Agama : kristen

Alamat : Jalan Masjid Al Mujahidin no.34 002/06 Meruyung limo.Depok.Jawa barat

Penyakit : anemia ALL

Hasil LAB : (10/6 11:34:24-12:24:31) K+ = 3,16 mmol/L CL- = 87 mmol/L. (11/6 23:13:39-00:17:24) K+ = 2,56 mmol/L CL- = 94 mmol/L. (13/6 21:18:08-21:58:56) K+ = 1,87 mmol/L CL- = 92 mmol/L. (15/6 09:50:50-10:29:47) K+ = 3,23 mmol/L CL- = 92 mmol/L. Catatan Pemberian obat : TPN K 1B + D40 + KAEN 1B (380 ml) + D40% + KCL 10

Meq 1500 ml / 24 jam.

Waktu dan Frekuensi Obat TGL Cairan

Elektrolit

07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 10/6 KAEN

1B (380 ml) + D40$ (120ml) + KCL


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 Meq

1500 ml/24 jam 11/6 KAEN

1B (380 ml) + D40$ (120ml) + KCL 10 Meq 1500 ml/24 jam

50 100 100 100 100 100 100 100 100 100

12/6 KAEN 1B + KCL 20 mEq

07 63

09 126

11 126

19 126

21 126

13/6 KAEN 1B + KCL 20 mEq

42 84 - - 63 126 126 126 82 92 46 46

14/6 KAEN 1B + KCL 20 mEq

20 46 92 92 92 92 92 92 92 46

15/6 KAEN 1B + KCL 20 mEq

63 126 126 126 126 126 126

IDENTITAS PASIEN

No.RM : 01370564

Nama : Arya Adi Putra Tempat tanggal lahir : Jakarta 20/12/2000 Umur : 14 thn 5 bln

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama :Islam

Alamat : Jalan Cipulir 4/9 Cipulir Kebayoran lama.Jakarta selatan.DKI Jakarta.

Penyakit : DBD GR II, obs. Tb Dengue og tronositopeni dengan retechiral trombosit 28.000, peritonitis umumapendisitis perforasi.


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hasil LAB : (13/6 00:10:16-00:52:08) K+ = 3,05 mmol/L CL- = 108 mmol/L.

(15/6 04:24:26-05:22:25) K+ = 3,10 mmol/L CL- = 98 mmol/L. IDENTITAS PASIEN

No.RM : 01371246

Nama : Nurur Rohmat Tempat tanggal lahir : Jakarta 20/12/2004 Umur : 0 thn 5 bln

Jenis kelamin : perempuan

Agama : islam

Alamat : Jalan lebak bulus no.38 010/007 lebak bulus.Cilandak.Jakarta selatan.DKI Jakarta.

Penyakit : Susp.TB paru anak

Hasil LAB : (15/6 19:38:53-20:05:07) K+ = 3,88 mmol/L CL- = 93 mmol/L. (20/6 12:48:44-13:06:07) K+ = 2,83 mmol/L CL- = 98 mmol/L.

Frekuensi dan Waktu Pemberian Obat

TGL Cairan Elektrolit 07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 19/6 KAEN 1B + KCL

10 mEq

21 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42 21 20/6 KAEN 1B + KCL

10 mEq

25 50 21/6 KAEN 1B + KCL

10 mEq

25 - - 25 50 50 52 52 52 52 52 26 26 21/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq

25 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 25 22/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq

25 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 25 23/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq

25 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 25 24/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta IDENTITAS PASIEN

No.RM : 01319104

Nama : Fitri Ayu Rahmadani Tempat tanggal lahir : Depok 25/07/2014 Umur : 0 thn 2 bln

Jenis kelamin : perempuan

Agama :islam

Alamat : Cipayung.Jakarta timur.DKI Jakarta. Penyakit : MH Post Kolostomi

Hasil LAB : (11/5 12:08:13-9:39:11) K+ = 3,57 mmol/L CL- = 105 mmol/L. (15/6 08:41:47-09:10:34) K+ = 3,57 mmol/L CL- = 102 mmol/L.

Frekuensi dan Waktu Pemberian Obat

TGL Cairan Elektrolit 07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 16/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq

36 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 36 17/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq

38 76 78 76 76 76 - 52 76 76 76 76 38

IDENTITAS PASIEN

No.RM : 01361807

Nama : Florentina Pasaribu Tempat tanggal lahir : Jakarta 17/11/2014 Umur : 0 thn 7 bln

Jenis kelamin : perempuan

Agama :kristen

Alamat : Jalan pinang II Dalam no.27 04/012 Pondok labu.Cilandak.Jakarta Selatan.DKI Jakarta. Penyakit : Malfungsi Vp shunt.

Hasil LAB : (08/6 08:48:12-02:43:10) K+ = 3,94 mmol/L CL- = 105 mmol/L. (16/6 16:35:33-17:24:55) K+ = 3,86 mmol/L CL- = 104 mmol/L.


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pemberian obat : KAEN 1B + KCL 10 Meq/kalf 700cc/24 jam.

TGL Cairan Elektrolit 07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 16/6 KAEN 1B + KCL

10 Meq/kalf 700cc/24 jam.

29 58 58 58 58 58 58 29

17/6 KAEN 1B + KCL 10 Meq/kalf 700cc/24 jam.

29 58 58 85 58 58 58 58 58 58 58 58 29

18/6 KAEN 1B + KCL 10 Meq/kalf 700cc/24 jam.

17 34 34

IDENTITAS PASIEN Nama : Aqilla Sanha Saufa

Tempat tanggal lahir : Jakarta 03/2/2015 Umur : 0 thn 4 bln

Jenis kelamin : perempuan

Agama :islam

Alamat : Jalan gunung raya 04/04 cirendeu ciputat timur.tangerang selatan. Penyakit : bronkopneumonia

Hasil LAB : (10/6 14:27:10-14:50:44) K+ = 4,30 mmol/L CL- = 108 mmol/L. (12/6 23:38:38-00:53:25) K+ = 4,29 mmol/L CL- = 95 mmol/L.

Frekuensi dan Waktu Pemberian Obat

TGL Cairan Elektrolit 07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 14/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam

20 40 40 40 40 40 40 40 40 20 20 15/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta IDENTITAS PASIEN

No.RM : 01352260

Nama : Kenia Syifa Ibrahim Tempat tanggal lahir : Jakarta 05/10/2011 Umur : 0 thn 4 bln

Jenis kelamin : perempuan

Agama :islam

Alamat : Jalan lebak bulus no.38 03/08 pondok pinang.Kebayoran lama.Jakrta selatan.

Penyakit : tumor abdomen

Hasil LAB : (10/6 14:27:10-14:50:44) K+ = 4,30 mmol/L CL- = 108 mmol/L. (12/6 23:38:38-00:53:25) K+ = 4,29 mmol/L CL- = 95 mmol/L.

Waktu dan Frekuensi Pemberian Obat

TGL Cairan Elektrolit 07 09 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 06 14/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam

20 40 40 40 40 40 40 40 40 20 20 15/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam

20 40 40 40 40 16 16 16 16 16 16 16 8 19/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam

48 96 96 96 96 96 96 96 96 96 96 96 48 20/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam

48 96 48 - - 96 96 96 96 96 96 96 48 21/6 N5+KCL 5 mEq

400ml/24 jam