Citra Buruh Perempuan Dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)

(1)

(ANALISIS SEMIOTIK FOTO PAMERAN

BERANDA

PARA BURUH

DI RUBRIK FOTOGRAFI HARIAN

SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI 8 MEI 2013)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Arga Sumantri

NIM: 109051100023

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H / 2014 M


(2)

(Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)"

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh: Arga Sumantri NrM 1090s1100023

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMTJNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU

DAIilryAII DAN ILMU

KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 143s H I 2014M 19761129 2009r2r OO1


(3)

Citra Buruh

dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar

Sarjana Komunikasi

Islam

(S.Kom.I) Program Studi Konsentrasi Jumalistik.

Jakarta, 13 Januai2[l4 Sidang Munaqasyah

Sekretaris,

NrP. 19770st3 2007012 0t8 Penguji II,

W

NIP. 1964 0428 t993 03 1 002

Fita Fathurrokhmah. M.Si NIP. 19830610 2009 122 001

Pembimbing


(4)

Skripsi

ini

merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah J akarta

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini,

telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku

di

UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3. Jika kemudian

hari terbukti bahwa karya

ini hasil plagiat

atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di UIN Syarif Hidayatullah lakarta 1.

2.


(5)

iv

Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013).

Foto jurnalistik merupakan sebuah medium penyampai pesan yang digunakan untuk menyampaikan fakta visual atas suatu realitas kepada masyarakat seluas-luasnya, bahkan sampai pada bagian paling ‘dalam’ dari suatu peristiwa ataupun fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Dalam rangka memperingati hari buruh sedunia (MayDay), digelar sebuah pameran foto bertajuk

Beranda Para Buruh yang dilaksanakan di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Menarik ketika Republika mengangkat kembali perihal pameran tersebut, 8 (delapan) dari 9 (sembilan) foto pameran Beranda Para Buruh yang dimuat di rubrik Fotografi, Republika, edisi 8 Mei 2013 adalah foto dengan tampilan objek buruh perempuan. Objek perempuan dalam medium visual kerap menjadi hal yang menarik bukan hanya dari segi estetika, namun juga pesan atas fakta-fakta sosial yang terjadi terhadap perempuan, dalam hal ini khususnya buruh perempuan di Indonesia.

Latar di atas seraya memunculkan pertanyan tentang bagaimana sebenarnya citra buruh perempuan dalam foto jurnalistik di pameran Beranda Para Buruh yang dimuat di rubrik Fotografi, Republika, edisi 8 mei 2013? Dengan mengungkap, apa makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos yang terkandung dalam foto jurnalistik bertajuk Beranda Para Buruh di rubrik Fotografi, Republika, edisi 8 Mei 2013?

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Analisa foto dikaji dengan menggunakan metode penelitian semiotik Roland Barthes. Metode penelitian ini memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan mitos. Selanjutnya penulis memperkaya temuan makna dengan mengarahkannya pada permasalahan buruh perempuan serta melihat permasalahan melalui perspektif feminisme sosialis.

Dari data yang dikaji lewat semiotik Barthes, diperoleh beberapa data, yakni: Makna denotasi yang memberikan gambaran kepada masyarakat tentang buruh, khususnya buruh perempuan di Indonesia. Dari analisa makna konotasi mengungkapkan keadaan buruh perempuan yang berada pada banyak permasalahan yang membelit dalam kehidupannya. Dari analisa mitos, dapat diketahui bahwasanya dunia buruh perempuan di Indonesia masih sangatlah suram dan kelam. Banyaknya masalah yang dialami kaum buruh perempuan, upah yang masih rendah, tidak adanya tunjangan sosial, kekerasan baik dari segi beban kerja ataupun kekerasan seksual yang diterima kaum buruh perempuan, jika dilihat lewat perspektif feminisme sosialis, merupakan akibat integrasi ideologi patriarki dan sistem kapitalisme.

Atas hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan bahwasanya foto jurnalistik mampu mengungkapan objektifitas terhadap sebuah fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Foto-foto yang ditampilkan bukan hanya sebatas indah tanpa makna, melainkan penuh pesan tentang kondisi buruh perempuan di Indonesia yang secara umum masih tercitrakan kelam dan suram. Melalui foto-foto yang ditampilkan diharap dapat menjadi salah satu kontribusi para foto-fotografer untuk turut serta dalam perjuangan memperbaiki nasib para buruh.


(6)

v Assalamu‟alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, dan juga nikmat yang begitu banyak sehingga dengan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya.

Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian

Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)”, yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1), di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama masa penelitian, penyusunan, penulisan, sampai masa penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief Subhan, M.A, serta Wakil Dekan I, Dr. Suparto, M. Ed, MA, Wakil Dekan II, Drs. Jumroni, M.Si, dan Wakil Dekan III, Drs. Wahidin Saputra, MA.

2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Rubiyanah, M.A serta Sekertaris Jurusan Kosentrasi Jurnalistik Ade Rina Farida, M.Si yang telah


(7)

vi

3. Dosen Pembimbing skripsi, sekaligus sahabat istimewa, Rachmat Baihaky MA yang telah membimbing penulis dalam segala hal, terutama dalam menyelesaikan skripsi, sehingga skripsi ini selesai dengan baik dan lancar.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu yang telah diberikan kepada Penulis.

5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Harian Surat Kabar Republika khususnya kepada Yogi Ardhi Cahyadi selaku Redaktur Foto, yang di sela kesibukannya menyempatkan diri untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, begitu juga dengan Diana Putri Tarigan sebagai fotografer, yang juga bersedia menyempatkan waktu sebagai narasummber dan memberi banyak informasi dalam penelitian ini.

7. Kedua orangtua tercinta Bapak Kusman dan Ibu Supiyati atas do‟a dan kasih sayangnya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Saudara kandung, (Kusnandar dan Lia). Terima kasih atas dukungan, segala bantuannya dan semangatnya sehingga skripsi ini dapat selesai.

9. Kemudian untuk „orang‟ yang selalu memberi perhatian dan semangat pada peneliti serta mengajarkan banyak hal, terima kasih untuk segala dukungan yang telah berikan kepada penulis selama ini. 10. Teman seperjuangan, Faqih, Rifqi, Zaki, Aldi, Sendy, Iqbal, Yusli,

semoga persahabatan dan persaudaraan kita akan terus terjalin. Juga buat sahabat-sahabat terbaik, Adam, Wili, Icha, Ambun, Tata, Aldy, Alvi dan lainnya. Terima kasih banyak.

11.Seluruh teman-teman di Klise Fotografi, atas segala pembelajaran dan kekeluargaan nya. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2009 dan


(8)

vii

disebutkan satu persatu yang sudah membantu, memberikan dukungan, saran kepada penulis sampai skripsi ini selesai dengan baik.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan, namun Penulis telah berusaha untuk semaksimal mungkin dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Penulis


(9)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN………. ii

LEMBAR PERNYATAAN……… iii

ABSTRAK ………... iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ………...….... viii

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR GAMBAR……… ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan ………... 6

D. Manfaat Penelitian ………... 7

E. Metodologi Penelitian ……….. 8

F. Tinjauan Pustaka ……….. 11

G. Sistematika Penulisan ………... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi………. 14

1. Pengertian Fotografi………. 14

2. Aspek historis Fotografi .….….….….………. 16

3. Sejarah Fotografi di Indonesia………... 18

4. Aliran dalam Fotografi………. 19

5. Unsur-unsur dalam Fotografi……… 22

B. Foto Jurnalistik………... 27

1. Pengertian Foto Jurnalistik……… 27

2. Jenis Foto Jurnalistik atau Foto Berita……….. 29

C. Tinjauan Umum Tentang Semiotik……… 31

1. Pengertian Semiotik / Semiologi………... 31

2. Pandangan Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce……… 33

3. Semiotik Foto (Roland Barthes)……… 37

BAB III GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA DAN PAMERAN BERANDA PARA BURUH A. Sejarah dan Perkembangan Harian Republika………… 41


(10)

ix

aksi Harian Republika………

E. Tentang Rubrik Fotografi di Republika………. 48

F. Pameran Beranda Para Buruh………... 51

BAB IV ANALISIS DATA FOTO BERANDA PARA BURUH di RUBRIK FOTOGRAFI HARIAN SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI 8 MEI 2013 A. Data Foto 1………. 55

B. Analisis Data Foto 1………... 55

C. Data Foto 2………. 65

D. Analisis Data Foto 2……… 65

E. Data Foto 3………. 74

F. Analisis Data Foto 3……… 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……….….…… 83

B. Saran ………... 85

DAFTAR PUSTAKA …..………… 87

LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….… 90

DAFTAR TABEL Tabel 1……….. 34

Tabel 2……….. 35

DAFTAR GAMBAR Gambar 1……… 55

Gambar 2……… 65


(11)

1 A. Latar BelakangMasalah

Sebagaimana diketahui, media massa cetak layaknya surat kabar dan majalah, menyajikan informasi atau berita melalui foto dan tulisan. Kedua unsur ini memiliki hubungan yang sangat penting sebagai alat menyajikan informasi bagi khalayak. Tulisan tanpa sebuah foto tentu akan membuat informasi menjadi sedikit “diragukan”, begitupun sebaliknya, foto tidak dapat menjelaskan informasi secara utuh tanpa didukung oleh sebuah tulisan. Dua elemen ini saling ketergantungan satu sama lain dalam kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh media cetak.

Seiring dengan terbitnya majalah Life tahun 1937 -1950 di Amerika, dengan editor fotonya Wilson Hicks, yang juga merupakan pelopor foto jurnalis, membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita berkembang semakin pesat.1 Menarik melihat foto sebagai salah satu elemen penting dalam sebuah media cetak layaknya surat kabar dan majalah. Jika dapat dilihat, fotografi dewasa ini memiliki perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan teknologi yang semakin canggih guna mendukung bidang fotografi dan sifat teknologi yang semakin dekat dengan masyarakat membuat setiap orang kini dapat merekam dan mengabadikan peristiwa kapan saja dan dimana saja. Merekam atau mengabadikan peristiwa sudah seolah menjadi budaya baru ditengah masyarakat.

Dengan itu dapat diasumsikan bahwa saat ini aktivitas fotografi bukan hanya dilakoni oleh seorang yang berada dalam dunia profesional sebagai pewarta

1

Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h.4


(12)

foto, melainkan sudah menjadi hal yang bersifat massive. Sebagaimana pernyataan Arbain Rambey, seorang pewarta foto senior, dalam satu diskusi terbuka mengatakan, bahwa saat ini semakin banyak orang yang memegang kamera sehingga sulit mendefinisikan istilah “fotografer.”

Terlepas dari fenomena tersebut, fotografi dalam perspektif komunikasi sejatinya adalah sebuah media penyampai pesan lewat gambar dan mengandung sarat makna. Bahkan terdapat sebuah pameo terkenal yang menggambarkan bahwa selembar foto dapat berbicara seribu kata. Hal ini seraya menjelaskan bahwa perihal proses penyampaian pesan yang dilakukan manusia tidak hanya terjadi lewat budaya komunikasi yang disepakati bersama baik secara verbal maupun non verbal.

Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik atau foto berita. Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.2 Melihat penjelasan tersebut, foto jurnalistik ternyata dapat memiliki peran ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, dan selanjutnya disatu sisi menjadi berita itu sendiri.

Foto jurnalistik dalam media cetak tidak dapat dipahami sebatas penghias mata pembaca ataupun sebatas pengisi ruang kosong pada surat kabar. Melainkan, foto jurnalistik merupakan penunjang isi tulisan sehingga isi berita dapat lebih efektif disampaikan pada pembaca. Minimal, foto jurnalistik bisa menjadi pelengkap berita, atau bahkan secara maksimal justru menjadi berita itu sendiri.

2


(13)

Satu hal yang harus melekat pada karya foto jurnalistik adalah kemampuan wartawan foto dalam melakukan pengamatan yang jitu terhadap objek foto yang akan diambil sehingga mampu menentukan momentum terbaik dari peristiwa untuk di visualisasikan.3 Secara subtantif, foto jurnalistik selayaknya aliran fotografi lainnya tidak begitu meributkan soal teknis. Momentum menjadi nilai yang paling dicari atas hasil dari foto jurnalistik. Penguasaan alat dan teknik fotografi memang dibutuhkan, namun makna atas pesan yang ingin disampaikan melalui foto adalah hal utama dari tujuan foto jurnalistik.

Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah peristiwa.4 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca, sehingga informasi tersebut dapat tersampaikan pada pembaca dengan sesingkat mungkin.

Pesan lewat foto yang ditampilkan dalam media massa biasanya mewakili sudut pandang media tersebut dalam melihat isu-isu politik, ekonomi, ataupun fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Sebuah realitas yang ditampilkan media lewat medium foto dapat menimbulkan banyak interpretasi di pikiran pembaca. Hal ini yang kemudian membuat fotografi dalam hal ini foto jurnalistik kerap menjadi hal yang menarik untuk dianalisis, baik dari segi makna, kaitannya dengan realitas sosial budaya masyarakat, ataupun posisinya sebagai salah satu produk media massa.

3

Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan, h. 93. 4


(14)

Dewasa ini media massa cukup memberi perhatian khusus terhadap perkembangan fotografi yang semakin banyak diminati masyarakat. Desakan atas persaingan industri media massa membuat masing-masing media dituntut jeli untuk melihat peluang pasar guna menarik pembaca. Republika misalnya, harian surat kabar ini dirasa jeli melihat perkembangan peminat fotografi yang semakin banyak sebagai sebuah peluang pasar. Dalam sepekan, Harian Surat Kabar Republika memiliki 2 rubrik khusus tentang fotografi, yaitu rubrik Fotografi untuk terbitan Rabu, dan rubrik Rana untuk terbitan Sabtu.

Dalam rubrik Fotografi, Harian Surat Kabar Republika menyajikan konten yang lebih bersifat informatif perihal wawasan pengetahuan umum tentang fotografi, dari perangkat-perangkat fotografi ataupun wawasan tentang perkembangan fotografi secara keilmuwan, selain itu, juga menyediakan ruang bagi apresiasi karya foto terpilih bagi para fotografer non professional. Sedangkan rubrik Rana untuk terbitan Sabtu, berisi foto-foto yang menampilkan isu-isu atas realitas yang ada disekitar kita. Serangkain foto tersebut memiliki satu gagasan sesuai tema yang diangkat oleh Harian Surat Kabar Republika.

Penulis menemukan hal yang menarik tatkala melihat isi rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013, pada saat itu rubrik Fotografi mengangkat perihal pameran foto bertajuk “Beranda Para Buruh” yang dilakukan di Galeri Antara. Sebelumnya perlu diketahui, Galeri Antara melakukan pameran foto yang mengangkat tema tentang buruh dalam rangka memperingati hari buruh sedunia (may day). Dari sekian banyak foto yang dipamerkan, menarik ketika melihat rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika mengangkat kembali pameran tersebut. Melihat isi foto-foto yang ada dalam rubrik Fotografi Harian


(15)

Surat Kabar Republika edisi 8 mei 2013, 8 dari 9 foto yang ada adalah foto dengan tampilan objek buruh perempuan. Padahal sebagaimana diketahui, pameran foto tersebut bukan hanya berisi foto dengan tampilan objek buruh perempuan. Munculnya perempuan sebagai objek dalam media cetak menjadi sebuah hal yang biasa terjadi, namun gambar atau foto perempuan kerap kali dijadikan sebagai objek penarik perhatian pembaca. Selain itu, isu yang berkaitan tentang kaum perempuan dalam berbagai bidang kerap menjadi isu yang menarik sebagai sebuah informasi.

Peneliti melihat ada sebuah pesan tertentu dalam foto jurnalistik yang dapat dieksplorasi secara ilmiah tatkala melihat foto-foto yang ditampilkan rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Melalui metode semiotika, diharapkan mampu memahami sekaligus menggali makna-makna atas karya-karya foto jurnalistik sebagai medium penyampaian pesan. Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of sign), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna.5

Untuk itu, berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya, peneliti merasa perlu mengeskplorasi permasalahan ini lewat skripsi dengan mengangkat judul “Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar

Republika Edisi 8 Mei 2013)”.

5


(16)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini akan difokuskan pada foto-foto dalam rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika yang memuat informasi tentang pameran bertajuk “Beranda Para Buruh” yang dilakukan di Galeri Antara. Peneliti hanya akan menganalisis citra buruh perempuan pada foto yang menampilkan objek perempuan yang dimuat dalam rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013.

Secara garis besar, penulis akan meneliti citra buruh perempuan dalam foto lewat metode semiotik Barthes dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apa makna Denotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk

Beranda Para Buruh di Rubrik Foografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013?

2. Apa makna Konotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk

Beranda Para Buruh di Rubrik Foografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013?

3. Apa makna Mitos yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk

Beranda Para Buruh di Rubrik Foografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013?

C. Tujuan Penelitian

Bertolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diungkapkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:


(17)

1. Mengetahui makna Denotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013.

2. Mengetahui makna Konotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013.

3. Mengetahui makna Mitos yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi, perbandingan dan kembali mengkaji dari teori tentang komunikasi suatu tanda dan pemaknaannya (semiotik) dalam hal komunikasi visual serta kajian tentang buruh perempuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan dunia fotografi dan kajian buruh perempuan, terutama yang berhubungan dengan foto human interest dimana perempuan menjadi point of interest.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan menjadi referensi bagi para pecinta fotografi, praktisi, serta penggiat buruh perempuan dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menghasilkan sebuah karya fotografi, sekaligus sebagai bekal dalam mengembangkan kajian tentang buruh


(18)

perempuan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kontribusi pribadi untuk memberikan sedikit pemahaman tentang makna simbolis yang terkandung dalam sebuah foto.

E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian deskriptif dengan jenis kualititatif, serta menggunakan pendekatan konstruktifis guna mengetahui bagaimana bangunan pesan yang terdapat dalam sebuah foto jurnalistik. Pesan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik penelitian teks media, khusunya analisis semiotika Roland Barthes yang bertujuan untuk menemukan makna di balik tanda dalam foto jurnalistik.

Dalam kajian semiotika dikenal beberapa tokoh terkenal selain Barthes, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Ketiganya cukup popular dalam bidang kajian semiotika. Dalam penelitian ini, penulis memilih Barthes karena penulis tertarik dengan formula yang diajukan Barthes dalam membaca foto di dalam tatanan konotasi. Barthes mengajukan 6 tahapan dalam membaca konotasi pada foto, yaitu trick effect, pose, object, photogenia, aestheticisim, dan sintaksis.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah foto-foto yang ada dalam rubrik Rana di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 mei 2013. Kemudian objeknya adalah 3 buah foto yang dinilai dapat mewakili dari keseluruhan foto tentang buruh perempuan yang dimuat dalam rubrik FOTOGRAFI di Harian Surat Kabar


(19)

Republika. Narasumber utama guna menggali informasi yang dibutuhkan adalah Redaktur Foto Harian Surat Kabar Republika, fotografer, dan guna memperkaya informasi terkait dengan buruh perempuan, maka penulis juga menggali informasi dari penggiat buruh perempuan.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Adalah dokumen-dokumen berupa foto yang diperoleh dari Harian Surat Kabar Republika, serta referensi-referensi yang didapat dari buku, atau artikel-artikel yang didapat dari internet, surat kabar, majalah, jurnal catatan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data foto syang menjadi subjek penleitian penulis dapat dari arsip Epaper (Electronic Paper) Harian Surat Kabar Republika.

b. Wawancara

Teknik wawancara (interview) adalah teknik pencarian data/informasi mendalam yang diajukan kepada responden/informan dalam bentuk pertanyaan.6 Peneliti melakukan wawancara kepada pihak terkait, yang dapat membantu peneliti guna menggali informasi lebih mendalam yang berkaitan dengan penelitian. Dalam penelitian ini data tambahan diperoleh dari wawancara kepada Redaktur Foto Harian Surat Kabar Republika sebagai pemilik kebijakan atas tampilan-tampilan foto dalam rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika, kemudian guna mendalami foto yang diteliti, penulis mewawancarai fotografer, serta guna memperkaya kajian terkait buruh

6

Mahi M.Hikmat, Metode Penelitian; Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.79.


(20)

perempuan, data tambahan didalami penulis atas hasil wawancara dengan aktivis atau penggiat buruh perempuan.

4. Teknik Analisis data

Teknik analisis data adalah dengan menggunakan semiotika model Roland Barthes yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek. Konotasi adalah signifikasi tahap kedua yang menggunakan tanda tahap pertama (penanda dan petanda) sebagai penanda dan memberikannya petanda tambahan. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja melalui mitos (Myth). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.7

Selain itu, karena objek foto yang menjadi bahan penelitian ini bersinggungan dengan isu gender, kemudian peneliti juga mengembangkannya lewat padangan feminisme sebagai alat kajian berdasarkan hasil temuan analisis makna pada foto yang menjadi subjek penelitian.

5. Teknik Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance.

7

Alex Sobur, Semotika Komunikasi, (Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2009), h. 71.


(21)

F. Tinjauan Kepustakaan

Peneliti menemukan beberapa skripsi terdahulu yang juga melakukan penelitian menggunakan analisis semiotik. Dimana penelitian sebelumnya yang menggunakan semiotik sebagai pisau analisis penelitian adalah, “Analisis Semiotika Terhadap Realitas Simbolik Dalam Karya Foto Jurnalistik ED Zoelverdi”, Siti Rahmawati, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian, skripsi lain juga meneliti foto dan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, yaitu “Analisis Semiotik Foto Karya Ismar Patrizki pada Pameran Foto Gaza Perkasa tahun 2010”, karya Muhammad Lutfi Rahman, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011.

Selain itu, satu skripsi lainnya yang penulis jadikan pegangan adalah skripsi yang juga menggunakan semiotika Roland Barthes, yaitu skripsi yang ditulis oleh Husodo Saka Utama, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Analisis Semiotik Foto Makin Macet Kian Ruwet Pada FotoKita Award 2011”.

Dari ketiga skripsi tersebut sama-sama membahas mengenai makna dan simbol pada teks media, dalam hal ini medium foto, menggunakan analisis semiotika. Tetapi, berkaitan dengan foto, skripsi yang akan dianalisis ini berbeda dan dari sumber yang berbeda pula. Maksud tinjauan pustaka ini adalah agar dapat diketahui bahwa yang penulis teliti sekarang tidak sama dengan penelitian dari


(22)

skripsi-skripsi terdahulu dan dapat menjadi perbandingan dalam hal penelitian menggunakan model semiotika Roland Barthes.

G. Sistematika Penulisan

Guna membuat penulisan skripsi ini semakin terarah, penulis membuat sistematika penulisan yang disesuaikan dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan, Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, yaitu menjelaskan mengenai fotografi, foto jurnalistik, makna dibalik foto-foto yang dimuat dalam Rubrik Fotografi Harian surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika penulisan.

BAB II: Kerangka Teoritis, dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan permasalahan. Seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto Roland Barthes.

BAB III: Profil, menguraikan tentang Harian Surat Kabar Republika, tentang rubrik Fotografi, serta menguraikan sekilas tentang Pameran Beranda Para Buruh


(23)

BAB IV: Analisis Penelitian, membahas hasil penelitian yang berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto dalam Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013 dengan menggunakan teori Roland Barthes yaitu denotasi, konotasi dan mitos.

BAB V: Penutup, kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk penggiat fotografi dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya Program Studi Jurnalistik tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik dari foto jurnalistik.


(24)

14 A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi

1. Pengertian Fotografi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Fotografi berarti seni pengambilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Istilah fotografi pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Inggris, Sir John Herschell pada tahun 1839. Secara harfiah, kata fotografi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas dua suku kata, yaitu photos yang berarti cahaya, dan graphos

yang berarti melukis, maka secara utuh, fotografi memiliki arti melukis dengan cahaya. Apabila diperhatikan, seni fotografi hanya akan terjadi ketika terdapat unsur cahaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, maka tidak ada foto yang bisa dibuat.

Sejarah fotografi mencatat, sejak masa pra fotografi pada abad 16, para astronom memanfaatkan camera obscura untuk merekam konstelasi bintang-bintang secara tepat. Alat bantu ini kemudian digunakan pula untuk bidang-bidang kegiatan lain, termasuk seni lukis, terutama bagi aliran realisme dan naturalisme.1

Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera.

Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang memungkinkan kita membekukan waktu, gerak, atau peristiwa. Dengan bantuan

1


(25)

bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitam-putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan), sebuah foto pada dasarnya adalah wujud suatu moment dari satu atau serangkain gerak.2

Aktivitas fotografi sejatinya adalah kegiatan merekam sebuah peristiwa menjadi gambar. Fotografi juga merupakan suatu produk dari seni rupa, selain karena arti harfiahnya, yaitu melukis dengan cahaya, dalam proses perekaman momentum dalam satu frame (bingkai) bukan hanya melibatkan kamera sebagai alat, namun juga melibatkan emosional yang ada dalam diri seorang fotografer.

Hal tersebut kemudian mengingatkan pada satu nama, Hendry Cartier-Bresson, seorang fotografer dari Perancis yang mendirikan agensi foto internasional – Magnum Photo, sekaligus sebagai pencetus teori yang terkenal dalam bidang fotografi, dessesive moment, yaitu saat dimana mata, hati, dan pikiran melebur ketika menekan shutter kamera dalam merekam sebuah gambar. Hal demikian seraya menjelaskan, bahwa fotografi bukan hanya bertumpu pada penguasaan teknis operasional kamera secara jitu, melainkan dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto.

Kemanapun fotografi sebagai sarana pencipta imaji visual yang terpercaya dimanfaatkan dalam berbagai tujuan dan fungsi. Fotografi selanjutnya berkembang menjadi sarana yang berguna bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan manusia.3

Perkembangan teknologi yang semakin maju, seraya membuat fotografi menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Komunikasi saat ini bukan hanya terjadi

2

ED Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta: PT Temprint, 1985), h.76. 3


(26)

lewat budaya yang disepakati bersama, yaitu secara verbal maupun non verbal. Fotografi mampu menempatkan posisinya sebagai media penyampai pesan lewat medium visual.

2. Aspek Historis Fotografi

Soeprapto Soedjono dalam bukunya “Pot-Pourri Fotografi”,

mengemukakan bahwasanya benih fotografi diyakini telah muncul sejak zaman prasejarah. Adalah animal pictorium, dikenal sebagai penamaan terhadap mahluk pembuat atau pencipta gambar.4

Sejarah mencatat bahwa sejak zaman prasejarah, telah dikenal mahluk yang tinggal di goa-goa dan meninggalkan jejak visual mereka pada dinding goa yang kemudian dikenal dengan pictograph, petroglyph, dan ideograph ketika setiap gambar yang ada bermuatan makna tertentu.5 Karya visual yang ada didalam goa tersebut berkembang menjadi suatu kegiatan yang turun-temurun dan menjadi tradisi yang hidup dalam peradaban manusia sejak dahulu kala sampai saat ini.

Tradisi tersebut dikenal dengan pictorialism, yang merupakan bagian dari hasil kebudayaan materiil yang hidup dan berkembang dalam sejarah manusia sebagai awal perkembangan tradisi imaji visual.6

Alma Davenport dalam bukunya “The History of Photography”, disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki

4

Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti ,2007), h.131

5

Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi 6


(27)

berkebangsaan Cina bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala fotografi.7 Gejala dimana masuknya cahaya pada dinding ruangan gelap yang terdapat lubang kecil (pinhole), yang menyebabkan pemandangan yang ada di luar akan terefleksikan secara terbalik lewat lubang tadi.

Dalam sejarah islam sendiri, lahirnya fotografi tidak bisa dilepaskan dari peran fisikawan muslim, Ibnu Al-Haitam, yang dalam sejarah dunia mencatat, seorang fisikawan muslim ini merupakan penemu dari lensa, yaitu benda yang terbuat dari kaca yang mampu membiaskan ataupun juga memfokuskan cahaya pada jarak tertentu.8

Peristiwa masuknya cahaya pada lubang tenda Ibnu Al Haitam, sehingga memproyeksikan bayangan ke dalamnya, menjadi insprasi dan disinyalir merupakan cikal bakal lahirnya kamera obscura, yang merupakan prototipe dari kamera yang kita kenal saat ini. Pada awalnya, kamera sebagai alat fotografi benar-benar berbentuk kamar yang berukuran cukup besar dan kedap cahaya. Terdapat lubang kecil seukuran jarum atau yang kemudian dikenal dengan pinhole

ditengahnya, lubang tesebut berfungsi untuk masuknya cahaya sehingga terproyeksi pada dinding disisi lainnya. Pada tahapan ini,gambar yang dihasilkan masih samar atau kurang begitu jelas, oleh sebab itu kamera obscura kurang diminati. Biasanya penggunaan kamera obscura ini hanya untuk mempermudah proses menggambar yang masih dilakukan secara manual.

Selanjutnya dalam buku Pot-Pourri Fotografi karya Soeprapto Soedjono pun dikemukakan bahwasanya ada beberapa tokoh yang disebut menjadi pionir

7

Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”, dari artikel http://www.pasarkreasi.com/news/detail/photography/67/sejarah-fotografi-dunia Artikel diakses pada 11 Oktober 2013

8

Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara


(28)

dalam dunia fotografi modern, yaitu Niepce, Louis Jacques Mande Daguerre, dan William Hendry Fox Talbot.9

3. Sejarah Fotografi di Indonesia

Fotografi sendiri masuk ke Indonesia diyakini lewat jalur kolonialisme. Pada mulanya, fotografi digunakan oleh para ilmuwan dari negara-negara kolonial sebagai pelengkap data yang berfungsi untuk memberikan gambaran visual secara jelas kehidupan masyarakat dari negara yang akan mereka jajah. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui potensi dan kondisi geografis wilayah jajahan terlihat lebih rinci.

Taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik menyebutkan bahwa Juriaan Munich, seorang utusan kementrian kolonial, adalah orang yang membawa fotografi masuk ke Indonesia lewat jalan laut di Batavia pada tahun 1841.10 Munich diberi tugas mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam.

Sejak saat itu, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.

9

Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi,h.59 10


(29)

Latar diatas seraya menjelaskan mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) perkembangannya sangat lambat, sebab penguasaan alat ini secara eksklusif ada di tangan orang Eropa, sedikit orang Cina, dan Jepang. Selama kurun waktu yang sangat lama itu, fotografi di Indonesia praktis tidak memiliki perkembangan akibat kolonialisasi yang dilakukan Belanda.

Sampai kemudian dikenal nama Kassian Cephas, seorang fotografer berdarah pribumi pertama yang merupakan anak angkat pasangan Belanda dengan foto pertamanya yang diidentifikasi bertahun 1875.11 Cephas kemudian dikenal dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuono ke-VII. Foto tertua Cephas yang ditemukan adalah karyanya yang dibuat pada tahun 1875.

4. Aliran dalam Fotografi

Aliran dalam hal ini bukanlah tentang faham tertentu, melainkan melihat fotografi dari ragam dan karakternya, serta penggunaan foto dalam peruntukkannya. Dilihat dari ragam foto yang berkembang, terdapat karakter menonjol dan khas yang dapat terlihat secara kasat mata serta membedakan jenis foto tertentu dengan jenis lainnya, hal ini dikarenakan oleh kayanya ragam dalam kajian seni visual yang telah diawali oleh seni lukis, leluhur dari fotografi.

Terdapat beberapa aliran dalam fotografi, antara lain:

1) Fine Art Photography

Fine art dikenal juga dengan aliran fotografi seni murni. karena merupakan sebuah karya seni, maka tak ada pakem, plot, ataupun aturan baku

11


(30)

dalam aliran ini. Perkembangannya mengikuti arus perubahan budaya seni yang sedang berkembang. Jika dilihat dari subjek fotonya pun beragam dan tak terbatas, nilainya sangat erat dengan subjektifitas sang fotografer.

2) Landscape Photography

Landscape photography merupakan salah satu aliran foto yang bisa dikatakan cukup popular. Foto yang menampilkan keindahan alam ini banyak diminati, karena foto pemandangan alam (landscape) mudah dicerna dan dinikmati oleh berbagai kalangan. Seiring perkembangannya, bermunculan foto yang senada dengan landscape photography, diantaranya yaitu, foto pemandangan kota (cityscape), dan foto pemandangan laut (seascape).

3) Portraiture Photography

Foto portraiture atau yang dikenal pula dengan istilah foto potret, menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Ciri khas dari aliran foto ini adalah kemampuannya untuk menggambarkan karakter seseorang dalam sebuah gambar. Terkadang foto portraiture tampil dengan natural, namun karakter tokoh utamanya tetap nampak secara jelas.

4) Comercial Photography

Foto komersial ini adalah jenis aliran foto yang memang mengkhususkan posisinya pada kebutuhan periklanan. Ragam foto yang dibuat adalah dari tampilan sampel produk hingga visualisasi citra produk tersebut (brand image).

5) Still-Live Photography

Still-live photo adalah aliran fotografi yang secara khas memotret benda-benda mati. Walaupun subjek fotonya adalah benda mati, namun


(31)

foto-foto yang dihasilkan terkesan hidup, karena benda-benda dibentuk oleh fotografernya hingga terkesan memiliki sifat karakter, dam pesan tertentu.

6) Documentary Photography

Bisa dikatakan foto dokumenter adalah asal-muasal dari fotografi itu sendiri. Fungsinya sebagai perekam dan saksi visual atas kehidupan dan budaya suatu masyarakat, sudah dimulai sejak fotografi bersama para ilmuan dunia berlayar mengelilingi permukaan bumi.

7) Wild-life Photography

Hampir serupa dengan foto dokumenter, namun yang direkam bukan tentang kebudayaan masyarakat tertentu, melainkan kehidupan binatang liar di habitat aslinya.

8) Journalism Photography

Bisa juga dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu; what, who, when, where, why + how, asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto.

9) Street Photography

Street photography adalah aliran foto yang berkembang seiring dengan pertumbuhan budaya akibat arus urbanisasi (urban culture). Foto-fotonya sangat khas, baik dari segi display maupun subjek dari foto itu sendiri sangat kental dengan budaya urban.


(32)

5. Unsur-unsur dalam Fotografi

a. Unsur Teknis 1) Pencahayaan

Secara harfiah, fotografi adalah melukis dengan cahaya. Apabila fotografi di analogikan sebagai suatu lukisan, maka dapat dikatakan cahaya adalah cat lukisnya, sedangkan film atau sensor digital adalah kanvasnya, serta kamera itu sendiri adalah kuasnya. Oleh karena itu cahaya adalah unsur utama dari fotografi, dan diperlukan kecakapan teknis penguasaan kamera untuk mengaturnya, mengingat kanvas dalam fotografi adalah benda yang sangat peka terhadap cahaya, kesalahan dalam pencahayaan dapat berakibat kerusakan permanen pada foto.

Pencahayaan (exposure) adalah proses pemasukan cahaya untuk mengekspos medium peka cahaya baik berupa film maupun sensor digital pada tingkat luminitas tertentu sehingga terekam sebuah gambar. Ada tiga unsur dalam pengaturan tingkat pencahayaan, yaitu:

a) Rana atau speed (s), yaitu jendela pada kamera yang mengatur masuknya cahaya dengan cara buka-tutup dalam satuan waktu tertentu sehingga dapat mengatur cepat-lambatnya cahaya masuk kedalam kamera. Satuan angka indikatornya dimulai dari: 1 (satu detik); 2 (1/2 detik); 4; 8; 15; 30; 60; 125; 250; 500; 1000; 2000; 4000; 8000.

b) Diafragma (f/), mengatur lebar-sempitnya bukaan lubang cahaya pada lensa, yang bekerja untuk menyesuaikan sedikit-banyaknya cahaya yang masuk kedalam kamera. Satuan angka indikatornya antara lain: 1,2; 2; 3,5; 4; 5,6; 8; 11; 16; 22; 32.


(33)

c) Tingkat kepekaan film atau sensor digital dalam menangkap cahaya yang dinyatakan dalam satuan International Standard Organization (ISO). Angka indikatornya: 50; 100; 200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.12

Untuk mengukur ketepatan pencahayaan pada suatu tingkat luminitas tertentu, digunakan light meter, baik yang terdapat dalam kamera ataupun light meter genggam (hand healt). Light meter berguna sebagai petunjuk untuk mendapatkan pencahayaan dengan kombinasi dari bukaan f/, s, dan ISO dalam satuan tepat (normal/correct), kurang (under), dan lebih (over) dalam suatu kondisi cahaya tertentu.

Bila dilihat dari sumbernya, cahaya memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu: cahaya natural (avaliable light), yaitu matahari; serta cahaya buatan (artificial light), yaitu cahaya yang bersumber baik dari berbagai jenis lampu, cahaya lilin, maupun lampu flash/blitz.

2) Tehnik Pemotretan

` Selain memahami tiga kombinasi pencahayaan serta kemampuan untuk menggunakan light meter, fotografer pun harus memahami tehnik-tehnik dasar yang dikenal dalam pemotretan, antara lain:

a) Ruang Tajam

Ruang tajam (depth of field) adalah luasnya tingkat ketajaman gambar pada sebuah medium dua dimensi (foto). Ruang tajam dipengaruhi oleh pengaturan diafragma (f/). Semakin lebar bukaan f/, maka semakin sempit ruang tajamnya, begitu pula sebaliknya. Ruang tajam luas dapat dilihat dalam angka indikator, yaitu <f/5,6. Sedangkan angka f/8 adalah ruang

12

Prof.Dr.r.m.Soelarko, Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto. (Bandung: PT. Karya Nusantara:1978) ,h.13


(34)

tajam sedang, dan >f/11 adalah ruang tajam sempit. Selain lebar-sempitnya f/, ruang tajam juga dipengaruhi oleh focal length, yaitu panjang-pendeknya titik bakar lensa, biasanya menggunakan satuan ukur mili meter. Perbedaan jenis lensa wide, normal, dan tele memiliki perbedaan pula titik bakarnya. Semakin panjang titik bakar lensa (tele) akan berpengaruh pada semakin sempitnya ruang tajam, dan lensa dengan titik bakar lebih pendek (wide) berlaku sebaliknya.

b) Penajaman Gambar (focusing),

Yaitu penyesuaian titik bakar gambar yang diproyeksikan pada medium rekam. Focusing dilakukan dengan menyetel gelang fokus yang terdapat pada bagian depan lensa.

c) Freezing, yaitu membekukan gambar subjek bergerak dengan tehnik menggunakan speed cepat, sehingga menghasilkan gambar yang detail dan tajam serta memberikan efek pause pada gerakan subjek.

d) Panning, yaitu memotret subjek bergerak dengan tehnik kamera mengikuti gerakan subjek serta menggunakan speed lambat. Gambar yang dihasilkan akan terekam tajam pada subjek, namun ada kesan bergerak karena latar belakang yang kabur.

e) Moving, yaitu memotret dengan speed lambat sehingga dapat menangkap kesan bergerak pada subjek. Yang membedakan dengan tehnik panning adalah kamera yang tidak bergerak pada tehnik moving.

f) Silhouette, yaitu memotret subjek foto dengan tehnik kamera berhadapan langsung dengan sumber cahaya, sehingga menghasilkan gambar di mana subjek terlihat seperti bayangan.


(35)

Dengan memanfaatkan teknik tersebut, foto akan terlihat lebih menarik dan dinamis serta tidak monoton.

b. Unsur Estetis 1) Sudut Pandang

Berdasarkan sudut pengambilan gambar (camera angle).13

a) Bird Eye View

Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda-benda lain yang tampak di bawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi.

b) High Angle

Menempatkan objek lebih rendah dari pada kamera, atau kamera lebih tinggi daripada objek, sehingga yang terlihat pada kaca pembidik objek yang terkesan mengecil. Sudut pengambilan gambar tepat di atas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu kecil atau kerdil.

c) Low Angle

Menempatkan kamera lebih rendah dari objek, atau objek lebih tinggi dari kamera, sehingga objek terkesan membesar. Sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan.

d) Eye Level

13


(36)

Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada kesan dramatis tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.

e) Frog Level

Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.

Pemilihan angle dalam pengambilan sebuah foto dapat memberi kesan keberpihakan, simpati, kekaguman maupun perlawanan dalam pesan yang disampaikan. Selain makna tersirat tersebut, sudut pengambilan gambar juga berfungsi sebagai pengaturan komposisi dan proporsi untuk menempatkan subjek agar lebih menarik secara visual.

2) Komposisi

Komposisi merupakan pengaturan atau tatanan gambar dalam satu frame. Komposisi berperan untuk menempatkan subjek secara menarik, serta mengarahkan mata pemandang langsung ke subjek utama dari foto tersebut sehingga dapat segera memahami pesan visual yang disajikan oleh fotografer.

Mengatur komposisi sebuah foto dapat dilakukan dengan beberapa tehnik, antara lain dengan menggunakan:

a) Aturan 1/3 (rule of third)

Yaitu membagi proporsi sebingkai foto dalam tiga bagian secara vertikal dan tiga bagian horizontal, kemudian menempatkan subjek pada empat titik persilangan garis tak-nyata (imaginer) pembagi.


(37)

Memanfaatkan latar belakang dan/atau latar depan sebagai pengisi ruang kosong dalam sebuah bingkai, serta melengkapi informasi tentang pengaturan tempat dari suatu peristiwa.

c) Sudut pandang (perspektif)

Memanfaatkan elemen garis imaginer untuk mengarahkan mata pemandang foto langsung kepada objek yang dituju.

Mengatur komposisi gambar, selain bermafaat sebagai pemanis tampilan foto, juga berguna untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer dalam sebingkai fotonya.

B. Foto Jurnalistik

1. Pengertian Foto Jurnalistik

Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik atau foto berita. Sebagaimana pada penjelasan diatas mengenai aliran journalism photography, dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu: what, who, when, where, way + how, asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto.

Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.14 Sehingga dapat diasumsikan bahwasanya foto jurnalistik atau foto berita dapat memiliki peran

14


(38)

ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, selanjutnya disisi lain dapat menjadi berita itu sendiri.

Sejarah mencatat, adalah surat kabar harian The Daily Graphic, pada hari Senin tanggal 16 April 1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu yang disebut taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik, merupakan embrio foto jurnalistik.15

Kemudian pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat, Majalah tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam penyajian beritanya. Wilson Hicks merupakan pelopor foto jurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada tahap ini foto jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena kehadirannya telah menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.

Dalam buku Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern yang ditulis oleh Atok Sugiarto, dikatakan bahwa seiring perjalananya, keberadaan foto memang bisa sejajar dengan berita tulis, bahkan sering dikatakan bahwa sebuah foto dapat lebih hebat dari ribuan kata-kata karena mampu menggambarkan atau menceritakan suatu kejadian dengan amat baik.16

Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah

15

Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,(Klaten: CV SAHABAT,2011),h.1 16

Atok Sugiarto, Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern, (Jakarta:PT Kompas Media Nusantara, 2011), hal.89


(39)

peristiwa.17 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca.

Seiring berjalannya waktu, ketika foto telah mengisi setiap halaman pada surat kabar, kehadiran foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak pakar Ilmu Komunikasi. Selain karena foto mampu membekukan suatu peristiwa, bahkan merekam peristiwa yang berdurasi hanya sekejap, sifatnya yang statis juga membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video yang sifatnya lebih dinamis atau sepintas lalu, yang pada akhirnya sebuah foto dapat menampilkan gambar lebih detail dari suatu peristiwa. Oleh karenanya foto dapat lebih mudah dicerna berbagai kalangan dan dapat menimbulkan efek psikologis secara langsung terhadap pembaca surat kabar.

2. Jenis Foto Jurnalistik atau Foto Berita

World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain:18

a) Spot Photo

Foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Misalnya foto kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Foto jenis ini harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.

b) General News Photo

Adalah foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi dan humor.

17

Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan 18


(40)

c) People in The News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita, yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.

d) Daily Life Photo

Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).

e) Portrait

Adalah foto yang menampilkan seseorang secara personal sesuai karakter ketokohannya. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya.

f) Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.

g) Science and Technology Photo

Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

h) Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.

i) Social and Environment

Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.

Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo), dan foto seri (storie photo).


(41)

Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh kehadiran foto lainnya.

b. Foto Seri

Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita. Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan lengkap tentang suatu peristiwa.

C. Tinjauan Umum Tentang Semiotik 1. Pengertian Semiotik / Semiologi

Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler dalam bukunya Media and

Society: An Introduction third edition, menyatakan bahwa semiotik atau yang juga disebut semiologi adalah ilmu tentang tanda-tanda, atau studi atas tanda dan sistem-sistem tanda.19

Semiologi berasal dari bahasa Yunani semeion atau sign dalam bahasa Inggris, yang berarti tanda. Secara singkat, semiologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode untuk mengkaji tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.20

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.21 Secara sederhana, semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda

19Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media

and Society: An Introduction third

edition”,(Victoria:Oxford University Press,2005),h.111 20

Alex Sobur,Semiotika Komunikasi, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2003),h. 15. 21


(42)

dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna.22

Semiotika atau semiologi, kemudian, adalah studi tentang tanda-tanda dalam masyarakat, dan sementara itu studi tentang tanda linguistik merupakan salah satu cabang dari itu, mencakup setiap penggunaan sistem di mana sesuatu (tanda) membawa makna untuk beberapa orang.23

Semiotik atau penyelidikan simbol-simbol, membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Penyelidikan tanda-tanda tidak hanya memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan memiliki pengaruh yang kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang diterapkan pada teori komunikasi.24

Semiotik memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna.25

Maka secara sederhana, semiotik dapat disimpulkan sebagai sebuah kajian mengenai tanda-tanda yang membentuk kesatuan makna. Disadari atau tidak segala hal yang ada di sekitar kita penuh dengan tanda-tanda yang memiliki makna yang disepahami bersama berdasarkan budaya yang ada. Dalam wilayah kajian tentang tanda-tanda yang memiliki makna, dikenal beberapa tokoh penting

22

Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: FIB UI Depok,2008). h.3.

23

Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, (Manchester: Manchester University Press,1997),h.1

24

Stephen W.Littlejohn dan Karen A.Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, (Jakarta: Salemba Humanika,2009),h.53.

25

Jane Stokes, How to do Media and Cultural Studies, (Yogyakarta: PT Bentang Pusaka,2006), h.77.


(43)

yang sudah mengawali kajian ini sejak lama, tiga tokoh yang cukup terkenal

adalah Ferdinand D’Saussure, Charles Sanders Peirce, dan Roland Barthes. 2. Pandangan Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce

Dikenal dua tokoh penting sebagai founder dalam kajian semiotik, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce.26 Saussure dengan latar belakang keilmuwan linguistik di Eropa, sedangkan Peirce adalah filsuf asal Amerika.27 Keduanya memiliki karakter sendiri terhadap gagasan kajian semiotik.

Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda ditengah masyarakat, dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.28

Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti “dua halaman

pada selembar kertas”.29

Sebuah tanda, khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda (citra dan bunyi). Kedua elemen tanda tersebut sungguh-sungguh saling tergantung sama lain. Kombinasi dari suatu konsep (signifie = petanda), dan suatu citra bunyi (signifiant = penanda) inilah yang kemudian menghasilkan tanda. Khususnya di dalam bahasa, tanda-tanda memiliki dua karakteristik primordial, yakni arbitrer dan linear.30

26Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third

edition”

27

Sumbo Tinarbuko,Semiotika Komunikasi Visual:Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta:Jalasutra,2008), ke-2, h.11.

28

Kris Budiman, Kosa Semiotika, (Yogyakarta:LKIS,1999), h.107. 29

Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h.29. 30


(44)

TANDA Penanda petanda citra-bunyi Konsep

Tabel 1

Diagram tersebut menggambarkan kesatuan tanda, penanda, dan petanda. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa tanda-tanda itu seperti lembaran kertas. Satu sisi adalah penanda dan sisi lain menjadi petanda, kertas itu sendiri adalah tanda.31

Disebutkan sebelumnya bahwasanya hubungan antara penanda dan petanda memiliki salah satu karakternya yaitu arbitrer (bebas). Menurut Saussure,

ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara”, namun lebih dari itu, dalam arti, pengertian penanda tidak

mempunyai hubungan alamiah dengan petanda.32

Semiotik pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai dalam hal ini tidak dapat digabungkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objeak-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.33

Menarik juga untuk melihat pemikiran semiotik dari Charles Sander Peirce,seorang filsuf Amerika yang dikatakan Aart van Zoest, Peirce adalah filsuf

31

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana,2010), h.14.

32

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.

33

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2006), cet-3, h.15


(45)

yang paling original dan multidimensional. Peirce juga disebut oleh Paul Cobley adalah seorang pemikir yang argumentatif.34

Bagi Peirce, sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama pada gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya.35

Kris Budiman, dalam bukunya Semiotika Visual, juga memberikan skema tentang proses relasi triadik.

Tabel 2

Skema diatas disebut juga proses semiosis, yaitu suatu proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini sering disebut pula signifikasi (signification).36

Peirce juga mengemukakan bahwa proses semiosis pada dasarnya tidak terbatas. Jadi, interpretan dapat berubah menjadi representamen baru yang kemudian berproses mengikuti semiosis, secara tak terbatas.37Gerakan yang tak

34

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2009), cet-4, h.39

35

Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Buku Baik Yogyakarta,2003), h.25. 36

Kris Budiman, Semiotika Visual, h.25-26. 37


(46)

berujung pangkal ini oleh Umberto Eco dan Jacques Derrida kemudian dirumuskan sebagai proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis).38

Oleh karena penulis melihat upaya klasifikasi yang dikerjakan Peirce sangat tidak bisa dibilang sederhana, atau dalam arti sangat rumit dan kusut. Atas pertimbangan tingkat kerumitan yang luar biasa dan takaran relevansi dengan penelitian yang agak kurang, maka penulis hanya akan menambahkan sedikit penjelasan atas pembedaan tipe-tipe tanda yang agaknya paling sederhana dan fundamental yang dikemukakan Peirce, yakni, ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).

Shaugnessy, dalam bukunya Media and Society: An Introduction

menjelaskan bahwa:39

1) Ikon adalah tanda-tanda yang menyerupai apa yang mereka tandai. Semua foto atau tanda-tanda film bersifat ikonik dalam gambar benar-benar terlihat seperti apa yang diacu. Demikian pula lukisan atau diagram yang terlihat seperti apa yang mereka tandakan. Maka, ikon merupakan hubungan antara petanda dan penanda didasarkan pada kemiripan atau kemiripan.

2) Indeks adalah tanda-tanda yang mengindikasikan atau menunjuk ke sesuatu yang lain. Indeks merupakan hubungan antara penanda di salah satu indikasi, arah atau pengukuran, urutan atau sebab-akibat.

3) Simbol adalah tanda-tanda yang berdiri mewakili sesuatu, tetapi tidak memiliki kemiripan dengan yang mereka tandai. Simbol merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang sewenang-wenang (tidak ada

38

Kris Budiman, Semiotika Visual, h.26.

39Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third edition”, h.117-118.


(47)

'hubungan alami') dan didasarkan pada budaya, konteks, dan konvensi (semacam kesepahaman tak tertulis).

3. Semiotik foto (Roland Barthes)

Dalam buku yang disunting oleh Howard Davis dan Paul Walton yang berjudul Bahasa, Citra, dan Media, dikatakan bahwa, meskipun fotografi adalah

“medium visual”, ia tidak murni visual.40

Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Kisah Mata”, bahwa foto

adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.41

Selanjutnya, di mata Barthes sendiri, suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah karya atau teks itu sendiri.42

Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dilihat bahwasanya karya fotografi tidak bisa dilihat sebatas sebuah kenampakkan secara objektif, melainkan fotografi memiliki makna yang lebih dari sekedar yang ternampakkan. Sebab menilik dari proses terciptanya foto yang melibatkan sepenuhnya fotografer, maka tidak dapat dipungkiri akan adanya keterlibatan unsur subjektifitas di dalamnya. Sehingga, apabila foto jurnalistik itu merupakan medium untuk menyampaikan gagasan jurnalis foto, maka gagasan dan upaya untuk bercerita itu sendiri adalah bentuk subjektivitas.

40

Howard Davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media, (Yogyakarta: Jalasutra,2010) cet-1.h.245

41

Seno Gumira Ajidarma, “Kisah Mata”, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.27 42

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, (Magelang: Yayasan INDONESIATERA,2001),h.93


(48)

Barthes secara khusus membahas semiotik dalam fotografi. Inti dari pemikirannya adalah Barthes membagi signifikasi dalam karya fotografi pada dua tingkatan. Tingkatan pertama (first order signification) adalah tahap denotasi, yaitu relasi antara penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Selanjutnya signifikasi pada tingkatan kedua (second order signification) adalah konotasi, yakni pemaknaan lain yang muncul dari tanda hasil signifikasi pada tingkatan pertama.43

Denotasi adalah apa disebut Barthes sebagai signifikasi tingkatan pertama. Ini adalah tingkat paling jelas di mana tanda berkomunikasi dan mengacu pada makna akal sehat dari tanda. Makna denotatif dapat dinyatakan dengan menggambarkan tanda sesederhana mungkin. Konotasi beroperasi pada urutan penandaan tingkat kedua, konotasi mengacu pada emosi, nilai-nilai, dan asosiasi yang menimbulkan tanda dalam pembaca, pemirsa, atau pendengar. Makna konotatif tanda dapat diekspresikan dengan cepat mencatat apa yang mengingatkan Anda atau membuat Anda merasa atau membayangkan.44

Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Mitos berada pada tataran siginifikasi tahap kedua, di dalam tataran mitos, tanda-tanda pada signifikasi tahapan pertama menjadi penanda-penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda.45 Secara sederhana dapat dipahami bahwa mitos terjadi ketika konotasi menjadi tetap atau terus-menerus, selanjutnya ketika mitos menjadi mantap, maka ia menjadi ideologi.46

Terdapat tiga tahapan dalam membaca foto yang diajukan oleh Barthes yang tertuang dalam The Photographic Message, yaitu perseptif, kognitif dan etis ideologis.47

a. Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sigmantik yang pada dasarnya bersifat perspektif.

43

ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal,2002), h.160

44Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third

edition”,h.115-116 45

Kris Budiman, Semiotika Visual, h.64 46

Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h.17 47


(49)

b. Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan.

c. Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang

siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.

Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan sebutan ideologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga tahap ini tidak menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Ini murni semiotik-positivistik. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur yang dapat diamati dan diukur.48

Penulis dalam penelitian ini merumuskan bagaimana pembacaan citra buruh perempuan dalam foto jurnalistik yang terdapat dalam rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Selanjutnya, untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek),

photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).49

Barthes kemudian menjelaskan keenam prosedur tersebut dan mengkategorikannya menjadi dua, yaitu:

1) Rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas itu sendiri, terdiri dari:

a) Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

48

ST Sunardi, Semiotika Negativa 49


(50)

b) Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil.

c) Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto.

2) Rekayasa yang masuk dalam wilayah estetis, terdiri dari:

a) Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring

(keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya.

b) Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

c) Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi.

Dengan demikian, untuk membaca sebuah foto jurnalistik tidak dapat hanya melihat pada tataran denotatif nya saja, atau hanya sebatas apa yang tampak. Karena foto jurnalistik sebagai medium penyampai pesan berada pada tataran komunikasi yang berhubungan dengan hal lain seperti teks tertulis, judul, keterangan, artikel yang selalu mengiringi foto.


(51)

41

Dan PAMERAN BERANDA PARA BURUH

A. Sejarah dan Perkembangan Harian Republika

Harian Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan media massa yang mampu membawa bangsa menjadi lebih kritis dan berkualitas serta memberikan informasi yang dapat membuka mata khalayak secara rasional. Bangsa tersebut yakni yang mampu sederajat dengan bangsa yang maju lainnya di dunia ini, memegang nilai-nilai spritual sebagai perwujudan Pancasila sebagai filasafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti yang digariskan UUD1945.

Kehendak melahirkan masyarakat seperti itu searah dengan tujuan, cita-cita dan program Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 5 Desember 1990. Salah satu dari program ICMI yang disebarkan ke seluruh Indonesia antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program peningkatan 5K, yaitu kualitas iman, kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas pikir.1

Untuk mewujudkan tujuan, cita-cita serta program ICMI di atas, beberapa tokoh pemerintah dan masyarakat yang berdedikasi serta berkomitmen pada pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia yang juga beragama Islam, membentuk yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian menyusun tiga program utamanya, yaitu pengembangan Islamic Center, pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies) serta penerbitan harian umum Republika.

1


(52)

Harian umum Republika berdiri di bawah Yayasan Abdi Bangsa yang terbentuk pada 17 Agustus 1992. Pendiri yayasan ini sebanyak 48 orang, terdiri dari beberapa mantan menteri Negara cendikiawan, tokoh masyarakat serta pengusaha. Mereka antara lain Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, Haji Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu Tien Soeharto, Probosutedjo, Ir. Aburizal Bakrie, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan Haji Muhammad Soeharto, Presiden RI pada saat itu, berperan sebagai pelindung yayasan. Sementara Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie yang menjabat ketua umim ICMI pada saat itu dipercaya sebagai ketua badan pembina yayasan Abdi Bangsa.2

Untuk mewujudkan programnya dalam menerbitkan sebuah koran harian, pada 28 November 1992 Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa. Melalui proses sedemikan rupa, kemudian yayasan tersebut memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Departemen Penerangan Republik Indonesia sebagai langkah awal penerbitan Harian Umum Republika. SIUPP itu bernomor 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 tertanggal 19 Desember 1992.3

PT Abdi Bangsa, penerbit Harian Umum Republika, didirikan di Jakarta pada 28 November 1992. Perusahaan yang berada di bawah Yayasan Abdi Bangsa ini bergerak dalam bidang usaha penerbitan dan percetakan pers. Pengelolaan perseroan dilakukan oleh Direksi di bawah Dewan Komisaris yang anggotanya dipilih oleh rapat umum pemegang saham. Staf direksi dalam mengelola perseroan dibantu oleh pembina manejemen.

PT Abdi Bangsa dalam upaya penggalangan dana sebagai modal untuk mengembangkan usahanya yaitu dengan melakukan penjualan saham kepada

2

Company Profile Harian Republika 3


(53)

masyarakat. Penjualan saham dilakukan dengan cara berbeda dari kebiasaan jual beli saham pada umumnya. Satu lembar saham hanya boleh dimiliki oleh satu keluarga. Maka dalam menawarkan 2,9 juta lembar saham pada masyarakat, berarti PT Abdi Bangsa akan dimiliki oleh 2,9 juta pada keluarga atau pemegang saham.

Pencetus nama Republika sebagai harian umum yaitu Presiden Soeharto yang pada saat itu beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Gagasan tersebut disampaikan pada saat beberapa pengurus ICMI pusat menghadap padanya guna menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Sebelum tergagas nama Republika, harian umum ini akan diberi nama “Republik.”

Harian umum Republika merupakan sebuah koran harian berskala nasional yang terlahir dari kalangan komunitas muslim bagi publik di Indonesia. Penerbitan koran ini merupakan upaya bagi umat khususnya para wartawan muda yang profesional untuk menembus ketatnya izin penerbitan pada masa itu. Keberadaan harian umum Republika pada saat itu memberi warna lain pada surat kabar berskala nasional yang pada umumnya membahas politik, ekonomi, sosial dan budaya tanpa melandaskan ideologi Islam.

Harian umum Republika terbit perdana pada 4 Januari 1993. Pada masa penerbitan perdana ini sebetulnya sangat sulit untuk mendapatkan izin menerbitkan harian umum atau koran, namun berkat hasil dari keputusan ICMI se-Indonesia inilah yang dapat menembus ketatnya barisan pemerintahan untuk perizinan penerbitan. Penerbitan Republika menjadi suatu peningkatan bagi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Sebelum masa itu, aspirasi umat tidak mendapatkan tempat dalam wacana nasional. Kehadiaran media ini tidak


(1)

siapa mereka berteriak, kemungkinan yang saya lihat ini di istana. Tapi yang kurang mendukung adalah ekspresi buruh lainnya, tapi itu kan kita tidak bisa mengatur itu semua harus memiliki ekspresi yang sama dengan buruh yang berteriak dengan poster ini.

Narasumber


(2)

Naskah Wawancara 2

Nama : Diana Putri Tarigan

Pekerjaan : Freelance Fotografer

Tempat, Tanggal Wawancara : Kediaman Diana Putri Tarigan, Kebon Jeruk, Minggu, 22 Desember 2013

Pukul : 15.00

Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013)

1. Bisa diceritakan tentang asal mula Pameran Beranda Para Buruh ini mba ?

Jadi pada awalnya saya ditawarkan untuk penggarapan film “Kisah 3 Titik”, tapi tidak hanya sebagai still fotografer, tapi juga dokumenter. Jadi itu kan project fiksi dan non fiksi, nah yang fiksi nya itu film, dan yang non fiksi nya itu berupa pameran foto.

2. Berarti bisa dibilang ini sebenarnya awalnya hanya project film?

Yaa tidak juga, artinya sudah direncanakan memang pameran foto ini berbarengan juga dengan project film, memang paketan gitu.

3. Ide awalnya datang dari mana mba untuk membuat project ini?

Awalnya dari pihak Production House (PH) dulu, lalu Kementrian Tenaga Kerja setuju untuk bekerja sama. Kebetulan PH nya itu yang menggarap, Lola Amaria Production. Di awal itu sebenarnya dengan Cinemasphere ya, tapi saya sendiri kurang tau bagaimana kondisi internalnya mereka, tapi yang saya lihat sampe selesai kemaren, Lola Amaria Production si yang menggarapnya.

4. Saya sendiri lihat pameran ini kalau tidak salah dulu berlangsung di Antara, bertepatan dengan peringatan hari buruh (mayday), berapa fotografer sebenarnya mba yang ikut serta dalam pameran tersebut?

Betul sekali, dulu diadakan di Antara. Untuk yang ikut serta sendiri cukup banyak fotografer, bisa dilihat di bukunya mungkin. Mereka itu yang lain jadi sistem nya kontributor, jadi Mas Oscar sebagai kurator mengambil foto-foto demo buruh di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk pendalaman foto dan objek itu saya yang lakukan.


(3)

5. Kalau persiapan pameran nya sendiri memakan waktu berapa lama mba?

Kalau untuk project semuanya saya pertama kali di calling itu bulan November, dan saya mulai ngerjain foto nya sendiri itu Januari, selama sebulan, terus saya minta tambahan waktu lagi sekitar dua mingu karena tidak terkejar. Jadi narasumber saya yang ada di foto-foto itu tempatnya beda-beda dan jarak nya cukup jauh-jauh, yang satu di Bogor, satu di Tangerang, dan satu narasumber lagi di Pulogadung. Itu sih yang membuat saya hampir keteteran dalam persiapannya.

6. Langsung ke foto-foto nya mba Diana nih yang aku jadikan subjek penelitian, untuk Foto yang pertama ini, yang tampilannya setengah wajah ini, bisa diceritakan mba? Oh iya bisa, untuk yang foto ini objeknya namanya Yayuk, asal Klaten. Yayuk datang ke Jakarta untuk bekerja, di tempat kerjanya yang awal, boleh dibilang kurang menyenangkan, ya kurang secara materi dan batin lah tertekan gitu. Akhirnya dia memilih kerja di pabrik. Datang ke Jakarta sama suami, dan si suaminya bekerja sebagai satpam, lalu tergoda wanita lain, terus Yayuk nya ditinggalkan. Yayuk Bekerja di pabrik sepatu NIKE, dulu awal-awal gajinya sekitar 1,4 juta, sekarang si sudah 2,2 juta. Tidak ada tunjangan lain diluar itu. Dengan gajinya yang hanya segitu, dia masih bisa memanage untuk membantu kuliah adiknya D3 komputer.

7. Yayuk sendiri pendidikan terakhirnya apa ya mba? Ehm.. Yayuk si kalau tidak salah lulusan SMA.

8. Yayuk sendiri merantau sudah sejak kapan mba ?

Sejak 2006, kemudian selama satu tahun, seperti tadi saya bilang dia kerja ikut keluarga. Terus pindah ke pabrik sepatu NIKE yang di Tangerang. Dan Yayuk itu tinggal di kontrakan yang cuma sekitar 2x3 m lah. Kontrakannya itu dia bayar sekitar Rp. 350.000 per bulan. Satu yang jadi impian Yayuk sendiri, dia bilang hanya ingin punya rumah, yang ada halamannya, ada ruang tamu, dapur, ya sebagaimana sebuah rumah yang layak. Tapi kan sepertinya dengan kondisi nya yang yaa bisa dibilang agak jauh lah untuk mimpi itu.

9. Kalo foto yang menampilkan kartu tanda pengenal karyawan ini bisa diceritakan mba?


(4)

Oh iya ini saya ambil di kontrakannya Yayuk, saya lihat ini menggantung di dinding, ini kartu tanda pengenal nya yang sudah tidak dipakai sebenarnya. Artinya kartu pengenal nya yang lama. Saya ingin mengambil detil Yayuk dalam bentuk lain sebenarnya. Saya melihat objeknya ini rasanya menarik, tulisannya si yang membuat menarik waktu itu, tapi kebetulan saya lupadan dari foto tidak begitu terbaca juga kan.

10.Dengan hampir semua foto mba di Pameran Beranda Para Buruh, ide ini apakah memang dari mba sendiri atau bagaimana?

Kalau kemarin sih saya sendiri yang memilih narasumber nya ini semua, karena saya melihat isu buruh lebih menarik ketika tentang buruh perempuan. Karena umumya mereka kan itu juga multi tafsir, sebagai ibu rumah tangga, dia juga kerja untuk keluarganya.

Narasumber


(5)

Foto Dokumentasi Wawancara

Yogi Ardhi Cahyadi (Redaktur Foto Republika)


(6)

Dokumen yang terkait

Representasi Buruh dalam Rubrik Foto Pekan Ini (Analisis Semiotik Foto Dokumenter “Los, Ruang Cita Rasa Kelas Atas” karya Raditya Mahendra Yasa KOMPAS edisi 7 Agustus 2011)

0 5 61

BAHASA FOTO JURNALISTIK SURAT KABAR MALANG (Analisis Isi Foto Jurnalistik Karya Jurnalis Foto Pada Harian KOMPAS, SURYA dan RADAR MALANG)

0 14 57

Representasi Buruh dalam Rubrik Foto Pekan Ini (Analisis Semiotik Foto Dokumenter “Los, Ruang Cita Rasa Kelas Atas” karya Raditya Mahendra Yasa KOMPAS edisi 7 Agustus 2011)

0 3 61

Analisis bahasa jurnalistik berita utama surat kabar republika edisi Desember 2008

5 24 109

Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)

4 20 147

Profil Foto Berita Dalam Surat Kabar Republika Edisi Tahun 2004

0 7 253

BAB I PENDAHULUAN SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK TENTANG BANJIR (Analisis Semiotika Pierce dalam Foto-Foto Jurnalistik tentang Bencana Alam Banjir di Jakarta pada Surat Kabar Harian Koran Tempo).

0 2 20

PENUTUP SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK TENTANG BANJIR (Analisis Semiotika Pierce dalam Foto-Foto Jurnalistik tentang Bencana Alam Banjir di Jakarta pada Surat Kabar Harian Koran Tempo).

0 7 16

TRAGEDI KEMANUSIAAN DALAM FOTO JURNALISTIK Tragedi Kemanusiaan Dalam Foto Jurnalistik(Analisis Semiotik Representasi Tragedi Kemanusian Dalam Foto Jurnalistik Agresi Militer Izrael di Jalur Gaza pada Surat Kabar Harian Republika Edisi 17 November 2012 sa

0 2 13

PENDAHULUAN Tragedi Kemanusiaan Dalam Foto Jurnalistik(Analisis Semiotik Representasi Tragedi Kemanusian Dalam Foto Jurnalistik Agresi Militer Izrael di Jalur Gaza pada Surat Kabar Harian Republika Edisi 17 November 2012 sampai 24 November 2012).

0 2 28