Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)

(1)

Kompas

Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Faradilla Nurul Rahma

NIM: 1110051100032

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H./2014 M.


(2)

(3)

(4)

(5)

Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)

Foto Jurnalistik atau foto berita merupakan salah satu media penyampai pesan melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Headline atau berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi surat kabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan surat kabar pada hari itu. Karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca.

Apa makna denotatif, konotatif dan mitos pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013? Nilai budaya apa yang terkandung dari tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun subjek penelitian adalah foto-foto yang menjadi headline pada harian Kompas bertemakan Ramadan, mulai dari awal bulan Ramadan (10 Juli 2013) hingga akhir bulan Ramadan (7 Agustus 2013). Selama edisi Ramadan 2013, terdapat 8 foto headline yang bertemakan Ramadan, namun dari 8 foto tersebut memiliki kesamaan topik; 1 foto tentang shalat tarawih, 1 foto tentang kenaikan harga, dan 6 foto mengenai mudik. Kemudian, guna memperkecil jumlah foto yang diteliti, maka terpilih 3 foto yang mewakili untuk penulis teliti.

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) kemudian menghasilkan mitos agar bisa memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi headline pada harian

Kompas edisi Ramadan 2013.

Kehadiran bulan Ramadan mampu mengubah seluruh aspek kehidupan manusia. Di antara aspek yang terpengaruh oleh kehadiran bulan Ramadan adalah media massa atau sarana informasi publik. Media massa begitu kentara sekali dalam menyambut bulan Ramadan. Berbagai informasi dan program acara baru yang dibuat khusus di bulan ini selalu bermunculan. Dalam perubahan tersebut, media massa khususnya surat kabar juga ikut andil dalam menyuguhkan berita seputar Ramadan. Foto jurnalistik sebagai penguat pesan dalam surat kabar di bulan Ramadan seringkali juga memuat nilai budaya. Oleh karena itu, pentingnya mengkaji nilai budaya dalam foto jurnalistik selama bulan Ramadan merupakan hal yang perlu menurut penulis.

Harian Kompas merupakan salah satu media cetak yang terbit setiap harinya. Dalam penerbitannya, harian Kompas hampir selalu menyertakan foto berita berdasarkan permasalahan atau peristiwa berbeda-beda. Foto-foto berita pada harian Kompas, terlebih foto

headline seringkali ditampilkan secara menarik, kuat dan memiliki relevansi dengan berita yang ditulis.

Dari tiga foto sampel yang dianalisis, tidak semuanya memiliki keenam prosedur semiotika konotasi Roland Barthes, tetapi ada 6 prosedur yang lebih ditonjolkan seperti Pose, Object, Photogenia dan Aestheticism. Hal ini terlihat pada objek utama yang ditonjolkan, cara fotografer mengambil gambar, serta keterangan foto yang bersifat mengarahkan pembaca. Sedangkan dari segi nilai budaya, memberikan gambaran bahwa foto headline edisi Ramadan 1434 H./2013 M. memuat 3 nilai budaya yaitu; nilai agama, nilai ekonomi, dan nilai solidaritas. Terdapat 3 tema besar mengenai Ramadan pada harian Kompas edisi 10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013, yakni tentang shalat tarawih, kenaikan harga, dan mudik.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata’alaa, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang diberikan kepada seluruh makhluk. Salam kemuliaan bagi kekasih-Nya, Rasulullah SAW pembimbing bagi siapa yang mencari-kekasih-Nya, pemegang kunci gerbang menuju-Nya.

Alhamdulillahi rabbil’alamin penulis ucapkan, akhirnya skripsi yang berjudul “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto

Headline di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.). ini dapat terselesaikan. Adapun skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Dr. Suprapto, M.Ed selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum, dan Dr. Sunandar, M.A selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.


(7)

2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Rubiyanah, M.A dan Sekertaris Konsentrasi Jurnalistik, Ade Rina Farida, M.Si. atas ilmu dan kebaikan hatinya sehingga mempermudah penulis selama proses perkuliahan.

3. Prof. Andi Faisal Bakti, M. A., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, pengetahuan, dan nasihatnya bahwa “Menulis itu harus jujur, harus dari hati,” sehingga sangat memengaruhi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah banyak memberikan ilmu mulai dari semester awal sampai saat ini.

5. Secara khusus kepada Siti Saadah dan Hary Priyatna, selaku orangtua terbaik dan motivasi tertinggi dalam hidup, yang senantiasa melapangkan jalan kehidupan dengan doa, perhatian, dan kasih sayang. Terimakasih Ibu, Ayah!

6. Risti Kurnia Ainannur, Faisal Azkar Ghifari, Rahadian Arkan Maulana, dan Arif Nur Rahman selaku kakak dan adik yang selalu memberi semangat dalam menggapai cita-cita.

7. Almh. Nek dan Mbah Uti beserta seluruh keluarga besar.

8. Para penjaga persahabatan; Geeas Prisila, Aulia Rahmi, Husna Khalida, dan Urnia Yumalita.

9. Seluruh pihak harian Kompas, khususnya Johnny T.G dan Lasti Kurnia, selaku narasumber.

10.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 khususnya prodi Jurnalistik. Ummul, Septinia, Cucu, Ruli, Tezar, Mustaqiim dan seluruh Najua yang


(8)

tak bisa disebutkan satu persatu, senang bisa kenal kalian. Semoga kita jadi sarjana yang berguna.

11.Keluarga besar Klise Fotografi; Kak Arga, Kak Chris, Kak Faqih, Kak Jali, Kak Aldi, Tyo, dan seluruh saudaraku yang berdarah Klise Fotografi. Teman-teman KKN Merdika yang telah bersama-sama menyelesaikan program KKN selama satu bulan di Desa Klunggen, Slogohimo, Wonogiri.

12.Seluruh staf pimpinan dan karyawan Kantor Akuntan Publik Rama Wendra, terutama Mba Anna, Bu Nia, Mba Novi, Mba Luki, Mba Erni, Dewi dan Mas Bhakti, yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar dan mendapat pengalaman di dunia kerja selama dua tahun lebih.

13.Serta semua pihak yang turut membantu, baik terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih sebesar-besarnya. Semoga Allah Subhanahu wata’alaa berkenan menggantinya dengan rahmat dan karunia kepada kita semua. Akhirnya teriring salam dan doa, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pembaca pada umumnya. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 15 Juli 2014


(9)

DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR/BAGAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Pedoman Penulisan ... 19

F. Tinjauan Pustaka ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II LANDASAN TEORI A. Fotografi Jurnalistik ... 25

B. Headline ... 36

C. Semiotik Model Roland Barthes ... 38


(10)

BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL HARIAN KOMPAS

A. Riwayat Singkat Harian Kompas ... 58

B. Visi & Misi Harian Kompas ... 60

C. Sasaran Operasional Harian Kompas ... 64

D. Motto Harian Kompas ... 65

E. Kebijakan & Susunan Redaksi Harian Kompas ... 66

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Data Foto 1 ... 71

B. Analisis Data Foto 1 ... 72

C. Data Foto 2 ... 83

D. Analisis Data Foto 2 ... 84

E. Data Foto 3 ... 94

F. Analisis Data Foto 3 ... 95

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ... 18

Tabel 2 ... 34

Tabel 3 ... 39

Tabel 4 ... 41

Tabel 5 ... 43

DAFTAR GAMBAR/BAGAN Gambar/Bagan 1 ... 11

Gambar/Bagan 2 ... 16

Gambar/Bagan 3 ... 24

Gambar/Bagan 4 ... 40

Gambar/Bagan 5 ... 47


(12)

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran foto dalam media massa memiliki 'suara' tersendiri dalam mengonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual yang lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan dengan bahasa verbal. Foto dianggap sebuah cara yang efektif untuk mentransmisikan pesan bagi khalayak untuk mengetahui permasalahan apa saja yang masih belum terselesaikan. Foto dalam hal ini mengandalkan aspek visual yang memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi daripada komunikasi suara, teks, dan komunikasi verbal. Hal tersebut didukung oleh penemuan penelitian yang dilakukan oleh profesor berkebangsaan Amerika yakni Profesor Mehrabian, bahwa aspek visual ditempatkan dalam urutan tertinggi sebanyak 55% untuk tingkat kepercayaan terhadap pesan visual. Di posisi kedua dan ketiga adalah vokal sebanyak 38% dan verbal yaitu hanya 7%.1

Adanya pergeseran produk dari tulisan ke gambar sudah dilihat oleh Barthes sejak tahun 1960-an. Meski Barthes sempat meragukan masa depan pergeseran itu, namun pada tahun 1980-an, Barthes merasa yakin bahwa budaya gambar tidak dapat dielakkan.2 Hal ini terjadi terhadap pers di Indonesia, khususnya surat kabar. Surat kabar yang dulunya sarat akan tulisan, kini berubah menjadi dominasi gambar (foto). Positioning, kompetisi, dan

1

Albert Mehrabian dan James Russell, An Approach to Environmental Psychology, Cambridge (Massachusetts: The MIT Press, 1996), h. 11.

2

Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 156.


(13)

tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih

„memikat‟.3 Jika fungsi bahasa adalah representatif (menghadirkan) yang terbatas, munculnya foto harus mendapatkan perhatian yang serius karena foto mempunyai kemampuan representatif yang lebih sempurna.

Secara karakteristik, media surat kabar merupakan salah satu media yang memiliki jangkauan luas dalam penyebaran informasi sehingga memudahkan pembaca memperoleh berita. Cerita dan foto yang ditampilkan dalam surat kabar dapat dibaca dan dinikmati berulang-ulang tanpa adanya batasan waktu. Foto jurnalistik pada surat kabar ditampilkan dengan tujuan memperkuat dan memvisualkan isi berita, karena itu, foto jurnalistik pada surat kabar memiliki peranan dalam melibatkan perasaan dan menggugah emosi pembaca.4

Dalam tampilannya, foto jurnalistik tidak hanya berdiri sendiri, tetapi mencakup isi berita dan caption. Secara singkat, yang dimaksud isi berita adalah tulisan pada media surat kabar yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.5 Pada awal berita pasti terdapat judul dan kadang kala diperkuat dengan subjudul. Sedangkan yang dimaksud dengan caption adalah kalimat pendek yang memberi penjelasan sekilas tentang kejadian pada foto tersebut.6 Selembar foto tidak akan dapat dikatakan sebuah foto berita bila tidak dilengkapi dengan caption/keterangan gambar, meskipun sebuah foto mengandung foto jurnalistik. Keterangan foto memegang peran penting dalam foto berita dan telah menjadi kesatuan dalam foto berita, sebab dari keterangan foto inilah pembaca akan mendapat informasi yang lengkap. 7

3

Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, h. 156. 4

Hermanus Prihatna R., Foto Berita Hukum dan Etika Penyiaran. Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (Jakarta: LPJA, 2003), h. 1.

5

A. Siregar, dkk., Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 41.

6

Eddy Hasby, “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik,” artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari www.kompasimages.com

7Dahlan Dani, “Fotografi Jurnalistik,”


(14)

Penempatan foto pada isi berita di surat kabar tidak hanya memperhatikan tata letak penulisan, tetapi juga hal-hal yang berhubungan dengan desain halaman (lay out), grafis dan ukuran foto. Karena itu, foto-foto yang dipilih sesuai kebutuhan dan pemakaian. Kecenderungan pembaca melihat surat kabar lebih dulu dari halaman paling atas, menjadi alasan mengapa foto harus diletakkan di atas lipatan surat kabar. Ini biasa dilakukan untuk halaman satu,

karena „kompetisi‟ penjualan dimulai dari sini. Pembeli pun punya

kecenderungan untuk melihat setengah halaman muka (headline) surat kabar lebih dahulu sebelum memutuskan untuk membelinya. 8 Maka dari itu, foto

headline disajikan berbeda dari yang lain, aktual, dan informatif. Hanya dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, di mana terjadinya peristiwa itu dan siapa orang yang ada di foto itu. Setidaknya, itu yang ada dibenak pembaca saat pertama kali melihat foto headline.

Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami, karena melibatkan unsur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca. Dalam suatu berita, foto mempunyai kedudukan untuk membuktikan atau fungsi dokumenter bagi teks (khususnya) artikel yang dibuat untuk memberikan informasi pada para pembacanya.9 Itulah yang membuat foto headline memiliki peran besar.

8

Hasby, “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik.” 9


(15)

Sebagai salah satu bentuk media massa, foto-foto headline harian Kompas

dapat difungsikan sebagai media cetak dalam wujud hasil kerja jurnalistik yang juga berperan untuk mempresentasikan suatu budaya atau gambaran realitas dari suatu masyarakat. Kompas merupakan salah satu harian nasional yang menempatkan berita foto dan tulis setara dan berimbang. Kompas juga selalu merespon fenomena apa saja yang sedang terjadi sebagai produk yang harus disajikan kepada masyarakat. Melalui foto-foto yang ada di harian ini, dapat dipahami lebih jernih tentang apa yang disebut sebagai fotografi jurnalistik. Kompas mempunyai susunan redaksi foto yang disebut desk photo

yang begitu menaruh perhatian terhadap perkembangan dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik di Indonesia, terbukti dengan seringnya bagian redaksi foto Kompas memberikan seminar dan pelatihan jurnalistik terhadap para mahasiswa.10

Faktor utama dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu nilai pada foto jurnalistik, terutama foto headline dapat diketahui pemaknaannya secara menyeluruh, karena menurut pendapat penulis, tidak semua nilai yang ingin disampaikan melalui foto dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak awam. Maka penulis akan mencoba meneliti sekaligus menginterpretasikan nilai dalam suatu foto jurnalistik agar dapat membuka wacana kita tentang apresiasi fotografi, khususnya fotografi jurnalistik.

Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui nilai budaya yang terkandung dalam foto-foto headline harian Kompas edisi Ramadan 1434 H./2013 M. (10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013), baik secara tersurat maupun

10

Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas), Jakarta, 19 Mei 2014.


(16)

tersirat. Pemaknaan dilakukan dari tanda-tanda yang muncul dari foto menggunakan pendekatan semiotika. Analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat pada suatu lambang-lambang-lambang-lambang pesan atau teks.11 Dengan kata lain pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotika. Tanda-tanda yang terdapat dalam foto-foto jurnalistik dalam harian Kompas tersebut akan dikaji lebih dalam lagi sehingga didapat pemaknaan yang menyeluruh. Kajian mengenai semiotika ini akan dikaji melalui teori Roland Barthes. Dalam penelitian ini, proses pemaknaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam foto-foto jurnalistik dalam harian Kompas akan dilakukan dengan cara memberi perhatian pada makna denotatif dan konotatif.

Penulis memilih foto-foto jurnalistik tentang aktivitas pada bulan Ramadan karena, di media massa, baik radio, televisi ataupun surat kabar biasanya ikut mendukung momen tersebut. Di antaranya mereka mengganti acara tayangan sinetron dengan mengganti program yang lebih religius. Hal ini bertujuan agar khalayak merasakan dukungan yang bersifat religius sehingga memberikan kenyamanan bagi khalayak. Di samping itu, masyarakat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam yang biasanya suasana Ramadan begitu terasa, karena pada bulan ini semua media massa menyuguhkan info-info seputar Ramadan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan jam tayang melebihi biasanya dikarenakan ada tambahan program atau acara-acara khusus dalam memeriahkan bulan Ramadan.

11


(17)

Tidak terlepas dari itu semua, tentunya harian Kompas selaku media cetak juga menjalankan peranan yang penting selama bulan Ramadan. Maka terlihatlah “warna” yang berbeda dari sajian di luar bulan Ramadan. Namun yang terpenting, apakah harian Kompas tetap menjalankan fungsinya dalam menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca? Setidaknya, apakah harian Kompas menyuguhkan pesan yang sarat akan manfaat dan mendukung dalam ritual puasa? Dan nilai budaya apa yang ditampilkan Kompas dalam

headline fotonya selama bulan Ramadan 2013?

Berdasarkan dari penegasan di atas, maka penulis akan membahas mengenai “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotika Foto

Headline Surat Kabar Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).”

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah a. Identifikasi Masalah

Sebelum membatasi masalah, penulis akan terlebih dahulu memberikan identifikasi masalah seputar judul yang diangkat. Masalah yang ditemukan penulis untuk judul ini adalah seputar analisis Semiotika dalam perspektif nilai budaya pada foto headline di surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 1434 H./2013 M.

Penulis menemukan bahwa teori yang kiranya tepat untuk dijadikan rujukan adalah salah satu teori nilai budaya dari buku Rusmin Tumanggor, dkk.12 Dalam buku tersebut disebutkan enam nilai budaya yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas.

12

Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 142.


(18)

b. Batasan Masalah

Agar permasalahan lebih terfokus, maka penulisan ini dibatasi pada foto-foto headline di surat kabar harian Kompas yang terfokus pada tema Ramadan mulai dari awal bulan Ramadan (10 Juli 2013) hingga akhir bulan Ramadan (7 Agustus 2013). Selama edisi Ramadan 2013 tersebut, terdapat 8 foto headline

bertema Ramadan yang memiliki kesamaan topik, yakni 1 foto tentang shalat tarawih, 1 foto tentang kenaikan harga, dan 6 foto mengenai mudik. Kemudian guna memperkecil jumlah foto yang diteliti, maka terpilih 3 foto yang mewakili untuk penulis teliti.

c. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka secara terinci, permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana nilai budaya dalam foto jurnalistik berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes pada foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?

a. Apa makna denotasi pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?

b. Apa makna konotasi pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?

c. Apa mitos yang terdapat pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?


(19)

d. Nilai budaya apa yang terdapat dalam tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui makna denotatif pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.

b. Untuk mengetahui makna konotatif pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.

c. Untuk mengetahui mitos yang terdapat pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.

d. Untuk mengetahui nilai budaya dalam tiga foto headline bertemakan Ramadan pada foto headline surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.


(20)

b. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Penulisan ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan sebagai sumbangan pemikiran di Surat Kabar Harian Kompas dalam bidang foto jurnalistik.

b. Manfaat Praktis

Bagi penulis, penelitian ini menambah informasi dan wawasan penulis mengenai bidang kajian media cetak yang menyangkut pemaknaan foto.

Sedangkan bagi pembaca, diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para praktisi, fotografer dan sebagai pedoman untuk para jurnalis media massa khususnya surat kabar yang tentunya berhubungan dengan foto jurnalistik sehingga foto yang dihasilkan dan yang didapat dapat memberikan informasi dan sarat akan nilai budaya.

D. Metodologi Penelitian a. Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian. Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar dari jalur cara berpikir penelitiannya.13

Paradigma yang digunakan pada penulisan ini adalah paradigma konstruksivisme. 14 Paradigma ini memandang bahwa kenyataan itu hasil

13

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2009), h.5.

14

Zainal Arifin, Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2012), h. 140.


(21)

konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruksivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek.15

Hal ini berarti, bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah cara pandang penulis dalam melakukan penelitiannya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif dengan jenis kualitatif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi dan samplingnya sangat terbatas.16

Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang medasari dalam perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.17

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif

15

Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, h. 141. 16

Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2006), h. 56. 17


(22)

memusatkan perhatian pada gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat.18

Secara umum, teknik analisis data dengan alur yang lazim digunakan dalam metode penulisan kualitatif adalah mengidentifikasi objek yang diteliti untuk dipaparkan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan maknanya.19 Alur prosedur yang berpola melingkar (siklis) ini dimulai dari pemilihan topik dan atau masalah penelitian (biasanya bersifat deskriptif), melacak gejala-gejala

dengan pokok pertanyaan “bagaimana”. Dari sini peneliti

merumuskan/menyusun pertanyan-pertanyaan yang terarah kepada penemuan jawaban atau masalah. Dengan bekal pertanyaan-pertanyaan ini peneliti mengumpulkan data, tegasnya melakukan pengamatan.

Gambar 1: Alur Penelitian Kualitatif untuk Gambar/Foto (Isi Media)20

Data yang dimaksud terutama adalah bersifat kualitatif (berupa kategori-kategori substantif) tetapi bukan berarti mengabaikan data kualitatif yang

18

Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theory and Methods (Boston: Allyn and Bacon. Inc, 1982), h. 11.

19

HB Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif (Surakarta: Pusat Penelitian UNS, 1988), h. 20. 20 Firman Eka Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), h. 48.


(23)

dinilai penting untuk dicatat dan dianalisis. Peran informasi dari sumber kepustakaan sangat menentukan, oleh karena itu dari sinilah acuan, rujukan dan referensi dihadirkan untuk „mengomentari‟ data yang ada.

c. Metode Penelitian

Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode untuk menganalisis suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam menelaah masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan secara lebih gamblang.

Metode penulisan merupakan cara teknis yang dilakukan dalam proses penulisan untuk memperoleh fakta dan prinsip secara sistematis.21 Penulis menggunakan metode semiotik Roland Barthes yang menganggap makna tidaklah berada dalam teks itu sendiri. Produksi makna merupakan tindakan dinamis yang setiap unsur didalamnya sama-sama memberikan kontribusi.22

Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto berita yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai budaya.

Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.

21

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), h. 119. 22


(24)

Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir.23

Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tandatanda dari sistem denotasi. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan makna.24 Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.25

Mitos, menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos adalah naratif yang dikonstruksikan dengan wacana dialektis dan eksposisi, mitos bersifat orasional dan intuitif, bukan uraian filosof yang sistematis.26

Makna konotasi mengacu pada enam prosedur, yaitu:27

1. Rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas itu sendiri, terdiri dari:

23

Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 39.

24

Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 39. 25

Sunardi, Semiotika Negativa, h. 155. 26

Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. 27


(25)

a. Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil.

c. Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI)

pada sebuah gambar/foto.

2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah ―estetis, terdiri dari:

a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring

(keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze

(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya.

b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi.

Penelitian ini tidak hanya mencari makna atas tanda yang ada dalam foto, melainkan juga untuk menjabarkan mitos ke arah nilai budaya dengan menggunakan enam nilai budaya, yaitu:28

28

Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 142.


(26)

a. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar

b. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspel progresif dari kebudayaan.

c. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Mahagaib, maka manusia mengenal nilai agama.

d. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan. e. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti

pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.

f. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.


(27)

Hal ini guna memperkaya dan memperdalam hasil bedah foto agar tidak sebatas menemukan makna yang terbangun.

Gambar 2: Bagan Metodologis29

d. Subjek dan Objek Penulisan

Subjek penulisan bisa diartikan sebagai penentu sumber data, artinya darimana data itu diperoleh. Subjek penulisan ini bisa berarti orang, atau apa saja yang menjadi sumber penulisan.30 Adapun yang menjadi sumber dalam penulisan ini meliputi:

1. Sejumlah orang yaitu wartawan foto jurnalistik atau fotografer di Surat Kabar Harian Kompas

2. Redaktur foto jurnalistik atau editor foto jurnalistik di Surat Kabar Harian Kompas

29Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi,” h. 48.

(Diolah lagi oleh Penulis).

30

Suharsimi Ari Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Binika Cipta, 1991), h. 32.


(28)

Objek penulisan adalah masalah yang akan diteliti atau yang akan dijadikan objek penulisan.31 Dalam penelitian ini, penulis mengambil objek foto headline harian Kompas edisi Ramadan, yaitu tanggal 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.

e. Tempat dan Waktu Penulisan

Penulisan ini dilakukan di kantor redaksi surat kabar harian Kompas yang beralamat di Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37 dalam waktu selama empat bulan, mulai dari bulan Februari-Juni 2014.

f. Teknik Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Dokumentasi

Berupa data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual.32 Dalam hal ini berupa foto, dokumen, arsip, atau catatan-catatan yang terdapat di harian Kompas.

b. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara seorang atau beberapa orang yang diwawancarai.33 Dalam wawancara ini penulisakan mewawancarai redaktur foto dan fotografer yang mempunyai peran aktif dalam pengambilan foto ataupun yang berurusan dengan foto jurnalistik.

31

Tatang M Anirin, Menyusun Rencana Penulisan (Jakarta: PT Raja Grafika Persada, 1995), h. 15.

32

Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, h. 77. 33


(29)

Wawancara dilakukan kepada dua bagian yang berkepentingan dalam skripsi ini, yaitu:

Tabel 1: Daftar Narasumber yang diwawancarai

Nama Jabatan Tujuan

Johnny T.G Ketua Desk Foto Harian

Kompas

Perihal kebijakan

redaksional

Lasti Kurnia Fotografer Kompas Perihal pengambilan

foto beserta maknanya.

c. Studi Kepustakaan (Library Research)

Penulis mengumpulkan dan mempelajari data melalui literatur dan sumber bacaan, seperti buku-buku yang relevan dengan masalah yang dibahas dan mendukung penulisan

g. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka hasil pengumpulan data kemudian dianalisis berdasarkan analisis Semiotika. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah Semiotika Roland Barthes. Studi Semiotika mengambil fokus penulisan pada seputar tanda.34 Sedangkan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam mencari jawaban dari rumusan masalah yang penulis teliti, meliputi:

a. Mengidentifikasi foto headline di harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. Dalam proses identifikasi diperlukan pendataan terhadap semua permasalahan di lapangan untuk menghindari permasalahan yang melebar supaya penulisan dapat terjawab.

34


(30)

b. Penyajian data, yaitu hasil dari analisa dan interpretasi tersebut di atas, selanjutnya penulis sajikan dengan menggunakan metode deskriptif, yakni menggambarkan atau memaparkan apa adanya.

c. Menganalisis dan menginterpretasi data, analisa adalah proses memisahkan mengelompokkan permasalahan pokok yang mengarah kepada jawaban rumusan masalah dengan penulisan ini, untuk kemudian diinterpretasikan. Interpretasi adalah proses pemberian makna terhadap data dari peristiwa atau situasi problematis, yang telah ditemukan guna memberikan jawaban dari peristiwa yang terdapat dalam foto.

E. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.35

F. Tinjauan Pustaka

Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum penulis menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu penulis melakukan literatur dalam penulisan ini di beberapa perpustakaan. Maksud pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya.

35

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) (Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).


(31)

Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu dan buku-buku serta artikel-artikel yang membahas tentang analisis Semiotika maupun nilai budaya. Pada penelitian ini akan disampaikan analisis Semiotika dalam perspektif nilai budaya pada foto headline surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 1434 H./2013 M. Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, seperti penelitian mengenai:

a. Skripsi yang disusun oleh Firman Eka Fitriadi dengan judul “Foto Jurnalistik Bencana Alam gempa Bumi,” Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2010.36

b. Skripsi “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi

Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah),” karya Ali Abdul Rodzik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008.37

c. Skripsi oleh Arga Sumantri berjudul “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013).” UIN Syarif Hudayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Jurusan Jurnalistik tahun 2014.38

36Fitriadi, “Foto Jurn

alistik Bencana Alam Gempa Bumi.”

37 Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa

(Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan

Srengseng Sawah,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 38Arga Sumantri, “Citra B

uruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik: Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei

2013,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif


(32)

d. Skripsi berjudul “Analisis Semiotika Headline Harian Tempo” oleh Angga Rizal Nur Huda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi tahun 2009.39

e. Skripsi dengan judul “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun

Kedung Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten

Wonogiri” oleh Hihmatun Hayu Pusporini dari Universitas Negeri

Yogyakarta jurusan pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni tahun 2012.40

f. Tesis Robi Irsyad berjudul “Representasi tentara Amerika Serikat dalam

foto berita surat kabar nasional: Analisis Semiotika foto berita tentang tentara Amerika Serikat selama 21 hari pertama perang Irak di halaman satu surat kabar Republika.” Universitas Indonesia, tahun 2005.41

g. Jurnal Mahrus Ali berjudul “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana”

Universitas Islam Indonesia fakultas Hukum tahun 2010.42

h. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2005 berjudul “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Budaya Lokal (Kasus pada Keluarga Inti Orang Menes di Banten)” oleh Achmad Hufad.43

39 Angga Rizal Nurhuda, “Analisis Semiotik Headline Harian Kompas,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).

40 Hihmatun Hayu Pusporini, “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di D

usun Kedung

Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri,” (Skripsi S1 Fakultas

Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012).

41 Roby Irsyad, “Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar nasional: Analisis Semiotika foto berita tentang tentara Amerika Serikat selama 21 hari pertama

perang Irak di halaman satu surat kabar Republika,” (Tesis Universitas Indonesia, 2005). 42 Mahrus Ali, “Akomodasi Nilai

-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana,” (Jurnal Universitas Islam Indonesia, 2010).

43 Achmad Hufad, “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai

-niali Budaya Lokal: Kasus pada


(33)

i. Jurnal berjudul “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo)” oleh Rasid Yunus dari Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2012.44

Beberapa contoh skripsi dan satu tesis di atas memiliki kesamaan membahas mengenai makna dan simbol pada foto jurnalistik dengan menggunakan analisis Semiotika dan nilai budaya. Tetapi foto yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda.

G. Sistematika Penulisan

Guna membuat penulisan skripsi ini semakin terarah, penulis membuat sistematika penulisan yang disesuaikan dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi lima bab yang masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

Penulis memulai dengan Pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Latar Belakang masalah, yaitu menjelaskan mengenai fotografi, foto jurnalistik, foto headline, alasan mengapa mengambil surat kabar harian Kompas, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penulisan, Pedoman Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika penulisan.

Selanjutnya, penulis elaborasi dengan Landasan teori. Dalam bab dua ini, penulis menguraikan tentang teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan

44 Rasid Yunus, “Transfor

masi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan

Karakter Bangsa: Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo,” (Jurnal Universitas


(34)

permasalahan. Seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto Roland Barthes, serta menambahkan penjelasan tentang nilai budaya.

Khususnya untuk Profil, penulis menguraikan tentang Surat kabar harian

Kompas, tentang riwayat singkat Kompas, perkembangannya, visi misi, serta susunan redaksional Kompas, ditempatkan pada BAB III.

Sebagai inti skripsi, maka BAB IV merupakan analisis penelitian, yang membahas hasil penelitian yang berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto headline dalam Surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 2013 dengan menggunakan teori Roland Barthes yaitu denotatif, konotatif dan mitos.

Akhirnya, penulis tutup dengan Kesimpulan dari hasil penelitian serta Saran untuk penggiat fotografi dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya Program Studi Jurnalistik tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik dari foto jurnalistik.


(35)

Gambar 3: Bagan Teoritis

Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto

headline yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai budaya yang terdiri dari enam unsur, yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas.

Penulis membaca nilai budaya yang timbul dari hasil pembacaan semiotik foto, itulah mengapa penulis memposisikan nilai budaya setelah melihat pesan yang timbul lewat metode semiotiknya, karena nilai budaya itu muncul setelah mitos. Konotasi dan mitos adalah dua inti semiotika Barthes yang penulis pakai di skripsi ini, dan mitos merupakan puncak pembacaan pesan dalam foto. Jadi setelah mitos terbaca, saat itulah penulis mengkorelasikannya dengan nilai budaya. Skripsi ini adalah skripsi semiotik, dan nilai budaya jadi satu tambahan wacana yang ingin penulis angkat. Hal ini guna memperkaya dan memperdalam hasil bedah foto agar tidak sebatas menemukan makna yang terbangun.


(36)

A. Fotografi Jurnalistik

1. Pengertian Fotografi Jurnalistik

Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik atau foto berita. Dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu: What, Who, When, Where, Way + How, asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto.1

Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.2 Sehingga dapat diasumsikan bahwasanya foto jurnalistik atau foto berita dapat memiliki peran ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, selanjutnya disisi lain dapat menjadi berita itu sendiri.

Sejarah mencatat, surat kabar harian The Daily Graphic, pada hari Senin tanggal 16 April 1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu yang disebut taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik, merupakan embrio foto jurnalistik.3

1

Frank P. Hoy, Photo Journalism The Visual Approach (New Jersey America: Practice – Hall, 1986), h. 5.

2

Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010), h. 91. 3


(37)

Kemudian pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat, majalah tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam penyajian beritanya. Wilson Hicks merupakan pelopor foto jurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada tahap ini, foto jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena kehadirannya telah menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.4

Dalam buku Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern yang ditulis oleh Atok Sugiarto, dikatakan bahwa seiring perjalananya, keberadaan foto memang bisa sejajar dengan berita tulis, bahkan sering dikatakan bahwa sebuah foto dapat lebih hebat dari ribuan kata-kata karena mampu menggambarkan atau menceritakan suatu kejadian dengan amat baik.5

Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah peristiwa.6 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca.

Seiring berjalannya waktu, ketika foto telah mengisi setiap halaman pada surat kabar, kehadiran foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak

4

Onong Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 38.

5

Atok Sugiarto, Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), h. 89.

6


(38)

pakar Ilmu Komunikasi. Selain karena foto mampu membekukan suatu peristiwa, bahkan merekam peristiwa yang berdurasi hanya sekejap, sifatnya yang statis juga membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video yang sifatnya lebih dinamis atau sepintas lalu, yang pada akhirnya sebuah foto dapat menampilkan gambar lebih detail dari suatu peristiwa.7 Oleh karenanya foto dapat lebih mudah dicerna berbagai kalangan dan dapat menimbulkan efek psikologis secara langsung terhadap pembaca surat kabar.

2. Jenis Foto Jurnalistik

World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain:8

Spot Photo atau Foto Berita

Yang dimaksud dengan foto berita adalah foto tunggal yang menyajikan satu peristiwa yang berdiri sendiri.9 Artinya, tanpa keterangan yang berbelit-belit dan panjang lebar, pembaca surat kabar dapat atau mudah menangkap kesan adanya peristiwa yang bernilai berita. Misalnya foto tentang pejabat menggunting pita, akan menimbulkan kesan adanya peresmian suatu tempat. Walaupun foto seperti itu dapat dikatakan sebagai foto berita, tetapi nilai beritanya (news value) sangat rendah. Kadangkala bahkan foto seperti iu tidak dimasukkan dalam foto jurnalistik. Hal itu disebabkan oleh faktor seringnya atau mudah diperolehnya foto seperti itu.

Nilai berita pada foto jurnalistik itu terletak pada keanehan atau ketepatan perekaman suatu peristiwa. Sebagai contoh tentang tabrakan. Apabila foto tersebut hanya menyajikan peristiwa sesudah tabrakan ada

7

Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77-79. 8

Alwi, Foto Jurnalistik, h.5. 9


(39)

mobil penyok, disampingmya beberapa orang terkapar dan telah banyak orang mengerumuninya, foto tersebut tidak terlalu banyak berkata-kata. Apalagi bila dalam gambar itu tidak ada identitas yang dapat menyatakan tempat kejadian, pembaca akan langsung mengatakan, itu tabrakan. Tanpa keterangan lebih lanjut yang ditulis, hanya kesan tabrakan itu yang dapat ditangkap. Tetapi seandainya ada identitas yang dapat menjelaskan peristiwa itu, akan banyak menolong pembaca untuk memahaminya. Identitas yang dimaksudkan misalnya, nomor plat mobil yang menunjukkan asal mula mobil tersebut, rambu-rambu lalu lintas atau tempat kejadian misalnya pagar jalan atau gedung yang menjadi latarbelakang kejadian dan seterusnya yang dengan mudah dapat diketahui oleh pembaca.

Identitas-identitas yang ditonjolkan membuat berita yang akan disampaikan kepada pembaca melalui foto itu semakin banyak. Itu seperti didalam menyajikan foto, harus diusahakan sesedikit mungkin memberikan penjelasan bersifat tulisan. Melalui foto tersebut, pembaca disodori sebanyak mungkin fakta.10 Foto jurnalistik yang paling tinggi atau bobot beritanya selalu menyangkut suatu kejadian dan tepat waktu.11 Misalnya tentang tabrakan. Di Saat tabrakan itu terjadi ada faktor lain yang memperkuat atau menambah nilai berita. Faktor-faktor penunjangnya adalah ekspresi orang yang melihatnya, yang ada disekitar tempat itu. Foto jenis ini harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.

Ketepatan itu yang seringkali tidak dapat direncanakan dan lebih banyak ditentukan oleh faktor kebetulan dan keberuntungan. Faktor itu yang

10

Alwi, Foto Jurnalistik, h. 3. 11


(40)

membuat nilai foto itu menjadi tinggi. Adegannya tidak dapat diulang dan tidak dilakukan dengan pura-pura ia ada sebagaimana adanya.12

General News Photo

Adalah foto yang yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi dan humor.

People in The News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita, yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.

Daily Life Photo atau Human Interset

Adalah foto jurnalistik yang dapat digolongkan pada jenis ini berkaitan erat dengan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ia tidak terlalu asing bagi masyarakat. Hidup ditengah-tengah masyarakat dan dapat dilihat setiap saat. Tetapi foto ini menyajikan fakta yang menggugah emosi kemanusiaan, yang menyadarkan masyarakat akan harkat dan martabat manusia.Ada pesan kuat yang ingin disampaikan melaui foto jenis ini, yaitu pesan kemanusiaan.13 Misalnya foto tentang kegiatan pagi hari ditepi kali. Dalam foto itu digambarkan keadaan kali yang sangat kotor tetapi ada yang mandi, gosok gigi, mencuci dan buang hajat. Dengan foto seperti itu kesadaran masyarakat akan kebersihan digugah, agar masalah tersebut menjadi pemikiran semua orang.

Dengan demikian, foto jurnalistik jenis ini tidak harus memperhitungkan nilai berita atau kehangatan sebagaimana foto-foto berita. Walau pun

12

Alwi, Foto Jurnalistik, h. 8. 13


(41)

kadang-kadang ia harus mampu berdiri sendiri tanpa harus bersandar pada penjelasan tertulis yang barangkali perlu ditambahkan adalah keterangan mengenai lokasi dan waktu pengambilan gambar. Tetapi hal itu pun tidak perlu dilakukan apabila kita dapat merekam keterangan-keterangan itu dalam foto. Misalnya dengan latar belakang gedung-gedung atau tulisan tertentu.

Yang penting dalam foto jenis ini adalah kedekatan masalah yang ingin disajikan dengan masyarakat. Sangat banyak permasalahan yang dapat kita sajikan tanpa harus mengada-ada. Sering pula masyarakat menyaksikan kejadian yang kita rekam dalam foto itu sehingga dianggap biasa. Tetapi dengan foto jenis human interest itu kita justru menyajikan hal yang biasa itu menjadi tidak biasa. Ada pesan lain yang akan kita sampaikan dari hal yang biasa itu.14

Portrait

Adalah foto yang menampilkan seseorang secara personal sesuai karakter ketokohannya. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya.

Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.

Science and Technology Photo

Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

14


(42)

Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.

Social and Environment

Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.

Feature

Foto feature bukan sekedar snapshot, tapi usaha wartawan untuk memilih sudut pandang yang khas dan bukan sekedar didikte oleh peristiwa itu sendiri, sehingga memberi makna lebih dalam terhadap sebuah peristiwa. Sebagai contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api yang menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan api, tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih kehilangan tempat tinggal.15

Essay Foto

Yang dimaksud dengan foto essay adalah serangkaian gambar atau foto yang merupakan essay. Kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang menyertainya. Foto kategori ini sering

dianggap “otaknya” foto jurnalistik. Foto-foto ini menyajikan beerbagai

aspek dari suatu masalah yang ingin dibahas.16 Misalnya rangkaian foto terdiri dari :

- Anak-anak sekolahan (dengan seragam sekolah) bergerombol di depan kios persewaan buku.

15

Yuniadhi Agung, Pengantar Fotografi Jurnalistik (Jakarta: T.pn., 2004), h. 23. 16Fotomedia, “Foto Jurnalistik Gabungan Gambar dan Kata,”


(43)

- Segerombolan anak sekolah yang secara sembunyi-sembunyimembaca buku porno.

- Anak-anak sekolahan berada dikomplek pelacuran.

Dari tiga foto itu pembaca diajak untuk merenungkan kejadian-kejadian tersebut. Hal yang ingin kita sajikan dengan essay foto itu menyangkut kerawanan buku porno dikalangan pelajar. Bisa juga essay foto itu dibuat tanpa harus merupakan rentetan peristiwa dengan tokoh yang sama. Tetapi pesan yang ingin disampaikan utuh. Misalnya foto:

- Tawar-menawar antara dua orang di suatu tempat yang tersembunyi - Foto poster tentang bahaya narkotika

- Foto seorang remaja sedang menghisap rokok dan teler.

Dari rangkaian foto yang tidak ada hubungannya antara satu dengan yang lain, kita dapat menyampaikan pesan tentang bahaya narkotika. Apabila kita dapat menyajikan rangkaian foto secara menarik, pesan yang akan kita sampaikan melalui essay foto itu akan lebih mudah ditangkap pembaca daripada kita menyampaikannya dalam tulisan.

Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita terbagi menjadi dua, yaitu:17

1. Foto Tunggal (single photo): Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh kehadiran foto lainnya.

17


(44)

2. Foto Seri (Foto Story): Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita. Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan lengkap tentang suatu peristiwa.

Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of message), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak tersurat.18 Dalam hal ini, isi pesan yang dimaksud adalah isi (content) dari foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang berbentuk foto begitu juga konteks yang menyertainya.

3. Proses Teknik Foto Jurnalistik

Seorang fotografer jurnalistik harus mengetahui beberapa proses teknik foto jurnalistik yang baik. Yang dimaksud dengan proses teknik foto jurnalistik yaitu urutan atau tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer sehingga menghasilkan sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan perasaan dan menggugah emosi pembaca. Foto jurnalistik yang baik tidak hanya sekedar fokus secara teknis, namun juga fokus secara cerita. Fokus dengan teknis adalah gambar yang mengandung tajam dan kekaburan yang beralasan.19 Ini dalam artian memenuhi syarat secara teknis fotografi. Fokus secara cerita, kesan, pesan dan misi yang akan disampaikan kepada pembaca mudah dimengerti dan dipahami. Sementara dari konsep pemaknaan sudut

18

Onong Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 38. 19

SK Patmono, Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996), h. 109.


(45)

pengambilan gambar yang dikutip dari konvensi menurut Berger,20 sebagai berikut:

Tabel 2

Signifier (Penanda)

Sudut Pengambilan

foto

Definisi Signified( Petanda)

Close-up (CU) Hanya wajah Keintiman

Medium shot (MS) Hampir seluruh tubuh Hubungan personal

Long shot (LS) Setting dan karakter Konteks, skope,

jarak publik

Full shot (FS) Keseluruhan Hubungan sosial

Low Angle (LA) Kamera melihat ke

Bawah

Kekuasaan, kekuatan

High Angle (HA) Kamera melihat ke atas Kelemahan,

Ketidakberdayaan

Eye Level Kamera sejajar dengan

mata objek

Kesejajaran

a. Close Up (CU)

Shot yang menampilkan objek pada gambar lebih dekat. Misalnya dari batas bahu sampai atas kepala. Pengambilan gambar close up ini, biasanya menampilkan identifikasi psikologi sebuah karakter yang memerlukan perkuatan rincian detail berbagai aksi. Pengambilan gambar secara close up berguna juga untuk menekankan detil.

b. Medium Shot (MS)

Medium Shot, dapat dikategorikan sebagai komposisi “Potret setengah

badan”, dengan background yang masih dapat dinikmati. Pengambilan gambar

ini memperdalam gambar dengan lebih menunjukkan profil dari obyek yang diambil. Tampilan background menjadi hal kedua yang diperhatikan, yang

20


(46)

terpenting adalah profil, bahasa tubuh dan ekspresi tokoh utama dalam bingkai gambar ini dapat terlihat dengan jelas.

c. Long Shot (LS)

Untuk mengikuti area yang lebar dan menunjukkan dimana objek berada/menujukkan tempat. Long shot menunjukkan progres bagaimana posisi subjek memiliki hubungan dengan yang lain.

d. Full Shoot (FS)

Pengambilan gambar penuh dari kepala hingga kaki. Fungsinya memperlihatkan objek beserta lingkungannya.

e. Low Angle (LA)

Pengambilan gambar teknik ini yakni mengambil gambar dari bawah objek. Kesan yang ditimbulkan yaitu keagungan atau kejayaan. Biasanya teknik ini sering di gunakan untuk membuat sebuah karakater monster atau manusia raksasa.

f. High Angle

Teknik pengambilan gambar dengan sudut tepat diatas objek. Sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari low angle. Pengambilan gambar yang seperti ini memilki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil.

g. Eye Level Angle

Teknik pengambilan gambar ini dilakukan dengan posisi kamera berada sejajar dengan obyek dalam pandangan mata secara horizontal, dimana dalam praktek pengambilannya bisa berada di kiri, kanan, depan maupun dibelakang obyek tergantung dari fotografer. Fungsi dari teknik ini cocok dipakai untuk menerangkan kegiatan apa saja dalam dari obyek yang dibidiknya.


(47)

B. Headline

Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau lebih

populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang di halaman depan, dengan judul yang menarik perhatian dan menggunakan tipe huruf yang relative besar. Pendeknya, berita yang istimewa.21

Sementara Onong Uchjana Efendy mengatakan, Headline News atau berita utama adalah berita suratkabar, majalah, radio, atau televise, yang dinilai terpenting untuk suatu masa penyiaran.22

Menurut A.M. Hoeta Soehoet, pengertian berita utama adalah:

Berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri.

Headline biasanya terdiri dari 3, 4, atau 5 kolom.23

Sebuah foto headline harus mudah diingat dan punya kesan mendalam sehingga pertama kali melihat orang tersebut langsung tahu apa yang terjadi dan mengetahui kejadian yang ditampilkan foto tersebut. Foto headline harus menarik berbeda dari yang lain, aktual, informatif dan lain sebagainya.Hanya dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanyatanya apa sebenarnya yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, dimana terjadinya peristiwa itu dan siapa orang yang ada di foto itu.24 Setidaknya itu yang ada dibenak pembaca saat pertama kali melihat foto headline. Jika tidak muncul rasa seperti itu,

21

Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 257.

22

Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensi Komunikasi (Bandung: Mandar Maju, 1981), h. 160.

23

A. M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003), h. 78.

24

Moeljadi Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu? (Surabaya: Fakultas Seni dan Desain UK Petra, 2000), h. 76-79.


(48)

maka gambar yang tepampang di headline tidak memenuhi kriteria sebuah foto. Sebab, foto yang baik adalah foto yang menarik. Apabila kita membuat foto yang sama dengan yang lain maka foto tersebut akan terlihat biasa saja dan dianggap tidak menarik.

Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami karena melibatkan usnur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca.

Berdasarkan isinya, headline dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan terus terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional. Daya tarik rasional membangkitkan kepentingan–diri audience. Daya tarik rasional menunjukkan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang dikatakan.25 Contohnya adalah headline yang menunjukkan kualitas, nilai ekonomis, manfaat, atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis dan psikografis, tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling respontif terhadap headline ini.

Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam memberi informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik emosional. Daya tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau negatif yang akan memotivasi pembelian.26 Dalam hal ini headline memiliki asosiasi yang unik bagi audience yang secara emosional mampu mendorong munculnya suatu image yang baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu

25

Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, h. 75. 26


(49)

dapat dicapai dengan menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa bersalah, dan malu agar orang berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Selain itu, juga dapat digunakan daya tarik emosional yang positif seperti humor, cinta, kebanggaan, dan kebahagiaan.

C. Semiotik Model Roland Barthes

Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.27

Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan.28

Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.

27

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261.

28


(50)

Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes29 1. Signifier

(Penanda)

2. Signified

(Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGN

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.

Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.

29


(51)

Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif.30

Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signified (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi.31 Seperti pada gambar di bawah:

Gambar 4: Tatanan Penandaan Barthes32

Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.33

Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.

30

John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), h. 121. 31

Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: PT Serambi Ilmu, 2008), h. 14.

32

Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 22. 33


(52)

Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan makna.34 Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.35

Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut:

Tabel 4: Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif36

KONOTASI DENOTASI

Pemakaian figur Literatur

Petanda Penanda

Kesimpulan Jelas

Memberi kesan tentang makna Menjabarkan

Dunia Mitos Dunia keberadaan/eksistensi

Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:37

34

Fiske, Cultural and communication Studies, h. 122. 35

Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 36

Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media, h. 55. 37

Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h. 77-78.


(53)

a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.

b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:38

Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil.

 Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest

(POI) pada sebuah gambar/foto.

38


(54)

Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),

bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya.39

Tabel 5: Pemaknaan Photogenia dalam menganalisis foto40 TANDA

MAKNA KONOTASI

Photogenia Teknis Fotografi

Pemilihan lensa

Normal Normalitas keseharian

Lebar Dramatis

Tele Tidak personal, voyeuritis

Shot size

Close up Intimate, dekat

Medium up Hubungan personal dengan subjek

Full shot Hubungan tidak personal

Long shot Menghubungkan subjek dengan

konteks, tidak personal

Sudut pandang

High angle Membuat subjek tampak tidak berdaya,

didominasi, dikuasai, kurang otoritas

Eye level

Khalayak tampil sejajar dengan subjek, memberi kesan sejajar, kesamaan, sederajat.

Low angle

Menambah kesan subjek berkuasa, mendominasi, dan memperlihatkan otoritas

Pencahayaan

High Key Kebahagiaan, cerah

Low key Suram, muram

Datar Keseharian, realistis

Penempatan subjek/objek pada

bidang foto

Atas Memberi kesan subjek berkuasa

Tengah Subjek penting

Bawah Subjek tidak penting

Pinggir Subjek tidak penting

39

Sunardi, Semiotika Negativa, h. 174. 40

M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 43.


(55)

Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

 Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption ialah:  Fungsi Penambat/ Pembatasa (anchorage) agar pokok pikiran dari

pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya  Fungsi Pemancar/Percepatan (relay) agar langsung dipahami

maksud dari pesan yang disampaikan.41

John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto

yang memunculkan pertanyaan „ini foto apa‟, sedangkan konotasi adalah

bagaimana ini bisa difoto? Atau menitikberatkan pertanyaan „mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?.‟42 Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang.43 Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika

41

Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. 42

Fiske, Cultural and Communication Studies, h. 48. 43


(56)

segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland Barthes pernah

mengatakan “Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh

kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.44

Menurut Barthes, mitos memiliki empat ciri, yaitu:45

1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.

2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu. 3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita

menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.

4. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai

44

Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.

45 “Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes),” Media Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, h. 4.


(57)

kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya.

Dalam penelitian ini, penulis merumuskan bagaimana pembacaan nilai budaya dalam foto jurnalistik yang terdapat dalam foto headline koran Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. Selanjutnya, untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek),

photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).

D. Konsep Nilai Budaya 1. Nilai

Nilai (value) berasal dari bahasa latin “valere” yang berarti berguna,

berdaya, dan berlaku. Dalam hal ini mengandung beberapa pengertian, bahwa nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang disukai, diinginkan, dimanfaatkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.46

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai berarti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Misalnya dalam konteks keagamaan, ini merupakan konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok di kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.47

Seperti yang dikutip Andreas A. Danandjaja berpendapat bahwa nilai adalah pengertian-pengertian (conception) yang dihayati seseorang mengenai

46

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Golo Riwu, 2000), h. 721.

47


(58)

apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar.48 Masih dalam buku yang sama, J. M Soebijanta menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam sebuah model metodologis:

Gambar 5: Model Metodologis Nilai

Nilai Sikap Tingkah Laku

Sebuah nilai dapat dikategorikan sebagai:49 a. Nilai Subjektif

Sesuatu yang oleh seseorang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya pada suatu waktu dan oleh karena itu (seseorang tadi) berkepentingan atasnya (sesuatu itu), disebut bernilai atau mengandung nilai bagi orang yang bersangkutan. Oleh karena itu ia dicari, diburu, dan dikejar dengan menggunakan berbagai cara dan alat. Dalam hal ini nilai dianggap subjektif dan ekstrinsik. Nilai ekstrinsik sesuatu atau suatu barang berbeda menurut seseorang dibanding orang lain.

b. Nilai Objektif

Nilai yang didasarkan pada standar dan kriteria tertentu, yang objektif, yang disepakati bersama atau ditetapkan oleh lembaga berwenang. Dalam hal ini nilai dianggap intrinsik.

Dari beberapa definisi nilai yang telah disebutkan di atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang

48

Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 18. 49


(59)

membuat sesuatu itu dihargai dan nilai tinggi sebagai suatu kebaikan dan dapat dijadikan pedoman oleh seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku.50

2. Budaya

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.51

Menurut Tylor, “culture is the complex whole which includes knowledge,

belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities acquired by man

as a member of society.”52

Sedangkan menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan samua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.53

Menurut Elvio, “Culture is a set of learned adaptive techniques.”54 Jika

bicara masalah budaya, bukan hal yang secara singkat dapat dipahami, ini menyangkut masalah bagaimana budaya berangsur-angsur secara pasti terbentuk melalui proses interaksi manusia dengan alam atau manusia dengan manusia itu sendiri.

50

Bagus, Kamus Filsafat, h. 713. 51

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 181.

52

Fri Suhara, Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan Untuk Mahasiswa (Bogor: Maharani Press, 1998), h. 72.

53

Yan Mujianto, dkk., Pengantar Ilmu Budaya (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), h. 1.

54

Elvio Angeloni dan Clyde Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology (Pasadena: Mc Graw Hill, 2008), h. 4.


(1)

131

Wawancara Tahap 2 dengan Johnny T.G (Ketua Desk Foto Kompas)


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)