Keluarga Perokok dan Keluarga Bukan Perokok

d. Tingkat Pendidikan Ibu Rendah Dalam Juli Soemirat Slamet 2002, menyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatan lingkungan, dan informasi yang dapat diperoleh tentang kesehatan. Semakin rendah pendidikan ibu, semakin tinggi prevalensi ISPA pada balita. e. Tingkat Sosial Ekonomi Rendah Bayi yang lahir di keluarga yang tingkat sosial ekonominya rendah maka pemenuhan kebutuhan gizi dan pengetahuan tentang kesehatannya juga rendah sehingga akan mudah terjadi penularan penyakit termasuk ISPA Juli Soemirat Slamet, 2002.

2.5. Keluarga Perokok dan Keluarga Bukan Perokok

Keluarga perokok adalah sebuah keluarga yang terdapat satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun pria. Merokok sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah. Sedangkan keluarga bukan perokok adalah sebuah keluarga yang tidak ada anggota keluarganya yang merokok. Dalam keluarga ini dana yang dialokasikan ke makanan jauh lebih besar dibandingkan pada keluarga perokok. Dan tingkat terpenuhinya asupan makanan untuk balita jauh lebih tinggi. Dan balita yang tinggal bersama keluarga perokok status gizinya lebih baik. Universitas Sumatera Utara Rokok menyebabkan ketergantungan yang menjerat konsumennya tanpa pandang status sosial ekonomi penggunanya. Konsumen rokok tidak lagi mempunyai pilihan untuk menentukan apakah merokok atau menunda rokoknya demi memenuhi kebutuhan makan bagi keluarganya. Akibat ketergantungan pada rokok, kebutuhan asupan makanan bergizi bagi anak balita dalam keluarga miskin seringkali dikorbankan. Merokok merupakan kebiasaan yang memiliki daya merusak cukup besar terhadap kesehatan. Hubungan antara merokok dengan berbagai macam penyakit seperti kanker paru, penyakit kardiovaskuler, risiko terjadinya neoplasma laryng, esophagus dan sebagainya, telah banyak diteliti. Banyak pengetahuan tentang bahaya merokok dan kerugian yang ditimbulkan oleh tingkah laku merokok, meskipun semua orang tahu akan bahaya merokok, perilaku merokok tampaknya merupakan perilaku yang masih ditoleransi oleh masyarakat Depkes,2008. Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap lainnya akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Secara tidak langsung, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok tersebut terhirup oleh ibu melalui saluran pernapasan dan masuk ke dalam ASI yang kemudian akan diminum oleh anak. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh anak dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil Hidayat, 2005. Bagi suku karo kebiasaan merokok sudah merupakan suatu kebudayaan yang sangat sulit untuk di ubah. Dan hal sangat memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan anak balita yang tinggal bersama keluarga yang perokok. Karna balita Universitas Sumatera Utara yang tinggal bersama anggota keluarganya yang perokok perlu diperhatikan bagaiman perkembangan pertumbuhannya. Karna jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama sangat member pengaruh besar terhadap status gizi balita. Berdasarkan penelitian Sudaryati 2013, proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 62,5 rumah tangga yang baik dan 45 37,55 rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan konsumsi pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga 40,8, dan 71 keluarga 59,2 berada dalam kategori faktor pangan kurang

2.5. Antropometri