keluarga biasanya merokok dalam rumah pada saat bersantai bersama anggota, misalnya sambil nonton TV atau setelah selesai makan dengan anggota keluarga
lainnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nur 2004 yang menyatakan
ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan penyakit ISPA pada balita. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Karlinda dan Warni
2012 di Bengkulu, yang menyatakan bahwa keberadaan anggota keluarga yang merokok memberi pengaruh besar terhadap kejadian ISPA pada balita. Namun
berbeda pula dengan penelitian Taisir 2005 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna status kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian ISPA
pada bayi dan anak balita.
5.2. Gambaran Pertumbuhan Balita
5.2.1. Pertumbuhan Berat Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 158 balita di Kecamatan Berastagi, diperoleh bahwa terdapat 19 balita yang gizi kurang, 138 balita yang gizi baik dan 1
balita termasuk gizi lebih. Dari 138 balita gizi baik, diantaranya paling banyak terdapat pada keluarga bukan perokok yaitu 75 balita 54,3. Begitu juga dari 19
balita yang termasuk kategori gizi kurang, paling banyak terdapat pada keluarga perokok yaitu 16 balita 84,2. Hal ini disebabkan karna jumlah pengeluaran untuk
bahan makanan pada keluarga perokok lebih kecil dibandingkan pada keluarga perokok. Hal ini menyebabkan pengeluaran untuk bahan makanan pada keluarga
perokok menjadi berkurang dan tidak menutup kemungkinan ketersediaan bahan
Universitas Sumatera Utara
makanan yang bergizi dalam rumah tangga berkurang. Sehingga dapat menyebabkan menurunnya status gizi balita karena asupan makanan yang berkurang.
Kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi kurang akibat belanja tembakau yang sangat menguras ketahanan pangan rumah
tangga. Pertumbuhan anak merupakan indeks kesejahteraan anak, dampak jangka panjang gizi buruk berdampak pada prestasi akademik,kebugaran, dan ketangkasan
Tjiong, 2008.Ketergantungan terhadap rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi pada balita. Dan apabila tidak segera
ditanggulangi maka kondisi ini akan mengancam hilangnya sebuah generasi. Balita dengan gizi kurang berisiko lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan
mental. Selain itu juga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas akibat kerentanan terhadap penyakit. Konsekuensi jangka panjang gizi kurang adalah
prestasi sekolah yang buruk,lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan kerja. Berdasarkan dari tabel 4.11 menunjukkan bahwa dari 138 balita yang
termasuk kategori gizi baik, paling banyak pada balita jenis kelamin laki-laki yaitu 79 balita 57,2. Sedangkan balita termasuk kategori gizi kurang, paling banyak pada
balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu 10 balita 52,6. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Hiswani 2012
yang menyatakan bahwa status gizi baik tertinggi pada anak perempuan 73,8 sedangkan balita status gizi kurang tertinggi pada anak laki-laki 32,8. Namun
dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa tidak terdapat hubungan asosiasi yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi anak balita. Ini mengindikasikan
Universitas Sumatera Utara
bahwa baik anak balita laki-laki maupun perempuan, keduanya mempunyai kemungkinan yang relatif sama mengalami status gizi kurang.
Berdasarkan dari penelitian ini juga diperoleh bahwa dari 19 balita yang gizi kurang, terdapat 17 balita 89,47 yang mengalami ISPA. Sedangkan dari 138 balita
gizi baik, terdapat jumlah paling tinggi balita adalah balita yang tidak menderita ISPA yaitu 72 balita 52,17.Dalam hal ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara
status gizi balita dengan kejadian ISPA. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Nuryanto 2012 yang menyatakan
bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA lebih banyak pada balita yang status gizinya kurang yaitu 88,9 dibandingkan balita yang status gizinya baik yaitu 48,8.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p =0,004, yang berarti terdapat hubunganantara penyakit ISPA dengan status gizi balita. Nilai OR = 8,40 artinya balita dengan status
gizi kurang mempunyai peluang 8,40 kali menderita ISPA dibandingkan balita dengan status gizi baik.
5.2.2. Pertumbuhan Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok