bahwa baik anak balita laki-laki maupun perempuan, keduanya mempunyai kemungkinan yang relatif sama mengalami status gizi kurang.
Berdasarkan dari penelitian ini juga diperoleh bahwa dari 19 balita yang gizi kurang, terdapat 17 balita 89,47 yang mengalami ISPA. Sedangkan dari 138 balita
gizi baik, terdapat jumlah paling tinggi balita adalah balita yang tidak menderita ISPA yaitu 72 balita 52,17.Dalam hal ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara
status gizi balita dengan kejadian ISPA. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Nuryanto 2012 yang menyatakan
bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA lebih banyak pada balita yang status gizinya kurang yaitu 88,9 dibandingkan balita yang status gizinya baik yaitu 48,8.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p =0,004, yang berarti terdapat hubunganantara penyakit ISPA dengan status gizi balita. Nilai OR = 8,40 artinya balita dengan status
gizi kurang mempunyai peluang 8,40 kali menderita ISPA dibandingkan balita dengan status gizi baik.
5.2.2. Pertumbuhan Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada keluarga perokok, pertumbuhan tinggi badan balitanya lebih banyak yang pendek yaitu 29 balita 64,4 dan yang
sangat pendek ada 6 balita 100. Sedangkan untuk tinggi badan normal lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 63 balita 58,9. Dari hasil penelitian ini dapat
dilihat bahwa ada hubungan antara status merokok keluarga dengan pertumbuhan tinggi badan balita. Balita yang bertubuh pendek lebih banyak terdapat pada keluarga
yang perokok dan balita bertubuh normal lebih banyak pada keluarga bukan perokok.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian Semba 2006 terhadap anak umur 0-59 bulan yang menderita malnutrisi pada keluarga miskin di daerah kumuh urban di Indonesia,
dimana dapat diketahui bahwa anak dengan orang tua yang perokok memiliki resiko bertubuh pendek sebesar 1,11 kali 95 CI 1,08-1,14, P0,0001 dan resiko bertubuh
sangat pendek sebesar 1,09 kali 95 CI 1,04-1,15, P0,001 dibanding anak dengan orang tua yang bukan perokok.
Berdasarkan jenis kelamin balita diperoleh bahwa dari 107 balita yang pertumbuhan tinggi badannya termasuk kategori normal, paling banyak ada pada
balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 58 balita 54,2. Begitu juga dari 6 balita yang pertumbuhan tinggi badannya termasuk kategori sangat pendek, paling banyak
pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 4 balita 67. Untuk balita dengan kategori pendek, jumlah yang paling tinggi ada pada balita dengan jenis kelamin laki-
laki yaitu 26 balita 58. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pertumbuhan tinggi badan balita dengan jenis kelamin.
Berdasarkan tabel 4.15 menunjukkan bahwa dari 6 balita yang sangat pendek, ada 3 balita 50 yang mengalami ISPA dan 3 balita 50 tidak mengalami ISPA.
Dari 45 balita yang pendek, ada 34 balita 75,55 mengalami ISPA. Dan dari 107 balita yang tinggi badannya normal, jumlah paling tinggi adalah balita yang tidak
mengalami ISPA yaitu 59 balita 55,14.Dalam hal ini terlihat bahwa balita yang bertubuh pendek lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang
bertubuh normal lebih banyak tidak mengalami ISPA. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa ada hubungan antara tinggi badan balita dengan kejadian ISPA.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Depkes RI 2004 menyatakan bahwa status gizi berdasarkan indeks PBU
atau TBU menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TBU relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
Status gizi berdasarkan indeks BBPB atau BBTB merupakan indeks yang baik untuk menilai status gizi saatkini sekarang, serta dapat memberikan gambaran
lingkungan yang tidak baik, kemiskinan, dan akibat tidak sehat yang menahun.
5.2.3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok