Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan Gangguan Autisme

(1)

GAMBARAN POLA ASUH IBU SUKU BATAK PADA ANAK

LAKI-LAKI DENGAN GANGGUAN AUTISME

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

AYUNDA RAHMAH

081301010

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2011/2012


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN POLA ASUH IBU SUKU BATAK

PADA ANAK LAKI-LAKI DENGAN GANGGUAN AUTISME

Dipersiapkan dan disusun oleh:

AYUNDA RAHMAH 081301010

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 20 Juli 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji 1. Liza Marini, M.Psi, psikolog Penguji I

NIP. 198105202005012003 Merangkap Pembimbing

2. Eka Ervika, M.Si, psikolog Penguji II NIP. 197710142002122001

3. Meutia Nauly, M.Si, psikolog Penguji III NIP. 196711272000032001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan Gangguan Autisme

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2012

AYUNDA RAHMAH NIM : 081301010


(4)

Gambaran pola asuh ibu Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme

Ayunda Rahmah dan Liza Marini

ABSTRAK

Keluarga adalah kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi (Bureau, 2005). Dalam sebuah keluarga orang tua bertanggung jawab memberi pengasuhan kepada anak. Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) didapati 3 jenis pola asuh yaitu, authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi yakni, uninvolved/neglectful. Jenis pola asuh terbentuk dari dua dimensi yaitu, acceptance/responsiveness dan demandingness/control. Umumnya dalam sebuah keluarga, para ibulah yang lebih berkonsentrasi mengasuh anak (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Kemudian, telaah lintas budaya mendapati adanya pengaruh budaya terhadap pola asuh (Dayakisni, 2004). Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia. Dalam budaya Batak didapati nilai hagabeon yang terkait dengan pengharapan orang tua yang besar pada anak, khususnya pada anak laki-laki. Anak pada kenyataannya tidak selalu terlahir dalam kondisi normal, beberapa anak lahir dengan gangguan Autisme. Kondisi Autistik anak akan berpengaruh pula pada pola pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu dengan latar belakang suku Batak, pada anak laki-lakinya yang mengalami gangguan Autisme.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu berlatar belakang suku Batak yang memiliki putra dengan gangguan Autisme. Prosedur pemilihan responden dilakukan berdasarkan konstruk operasional. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, disertai observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung untuk mendukung hasil wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pola pengasuhan ibu Batak kepada putra Autistiknya. Dua orang dari responden secara umum menggunakan pola pengasuhan permissive dengan dimensi acceptance/responsiveness yang tinggi dan dimensi demandingness/control yang rendah. Sedangkan satu orang responden memiliki pola asuh authoritative dengan kedua dimensi acceptance/responsiveness dan demandingness/control yang tinggi. Pemahaman nilai-nilai budaya sebagai wanita berlatar belakang suku Batak juga bervariasi. Hanya satu responden yang masih memahami nilai hagabeon, dua responden lain tidak memahaminya. Perubahan tersebut dipengaruhi pergeseran pola pikir yang lebih modern. Faktor-faktor pendidikan orang tua, kelas sosial ekonomi, konsep tentang peran orang tua, kepribadian orang tua, kepribadian anak dan usia anak juga memberi pengaruh pada pola asuh ibu Batak dengan anak laki-laki Autistik. Kata kunci : pola asuh, autisme, suku Batak.


(5)

The description of Batak‟s mothers parenting style to son with Autism disorders Ayunda Rahmah and Liza Marini

ABSTRACT

Family is a group of two or more individuals related by birth, marriage, or adoption (Bureau, 2005). In a family, parent responsible to provide care to their children. Based on the results of Diana Baumrind research (in Sigelmen, 2002) found three types of parenting style those are, authoritarian, authoritative and permissive. Maccoby & Martin later added one more type of parenting style that is, uninvolved/neglectful. This type of parenting style is formed of two dimensions, acceptance/responsiveness and demandingness/ control. Generally mother who is more concentrated on parenting in a family (Coontz, 2005 in Zinn, Eitzen and Wells, 2009). Then, cross-cultural study found that culture influenced parenting style (Dayakisni, 2004). Batak tribe is one of the tribes in Indonesia. Batak culture has a hagabeon value that associated with a great parental expectations on children, especially boys. In a fact, children are not always born in a normal condition, some children born with Autism disorder. Autistic child's condition will also affect parenting style. This study aims to find a description of parenting style of mothers with Batak ethnic background on her son who had Autism disorder.

This study uses qualitative research methods. Respondents in this study were three mothers with Batak tribe as their background, who had a son with Autism disorder. Respondent selection procedures based on operational constructs. Data collection methods were used interviews, along with observations made during the interview to support the interview.

The results showed variation pattern of parenting style by Batak‟s mothers to their Autistic son. Two of the respondents generally was using a permissive parenting with high level in dimension acceptance/responsiveness and low level in dimension demandingness/control. While one respondent has the authoritative parenting style with both of two-dimensional acceptance/responsiveness and demandingness/control are high. Understanding of cultural values as the women with Batak ethnic background of also varies. Only one respondent who still understand the hagabeon value, with two other respondents did not understand it. These changes influenced a shift in mindset that is more modern. Factors of parental education, socioeconomic class, the concept of the role of parents, parental personality, the personality of the child and the child's age, also influences parenting style of Batak 's mother with Autistic son.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU.

Penulis sangat menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari saat masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini akan sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr Irmawati selaku dekan Fakultas Psikologi USU

2. Kakanda Liza Marini, M.Psi selaku dosen pembimbing, yang telah bermurah hati meluangkan waktu dan membagi ilmunya yang sangat banyak membantu pengerjaan skripsi ini. Terima kasih yang tidak terhingga peneliti haturkan.

3. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog dan ibu Meutia Nauly, M.Si selaku dosen penguji dan membantu memberi bimbingan dalam proses revisi, terima kasih atas keluangan waktunya.

4. Abangda Tarmidi, M.Psi selaku dosen pembimbing akademis, yang telah banyak membantu perjalanan peneliti selama menjadi mahasisiwi.

5. Segenap Ibu/Bapak dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah banyak memberikan bimbingan kepada peneliti mulai masa awal perkuliahan hingga membantu kelancaran skripsi ini, terima kasih atas segenap ilmu


(7)

dan kenangan yang tercurah. Juga kepada seluruh Civitas Academica Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas pelayanan yang bersahabat dan tulus dari semua staf pengelola.

6. Terutama kepada ke dua orang tua terhebat, Yulius Syah, S.E dan Yuniar H Rambey, S.H yang tiada henti memberi dukungan, baik materil maupun moril kepada peneliti. Sehingga peneliti bisa menyelesaikan jenjang pendidikan sampai sejauh ini. Semoga Allah selalu menyayangi dan melindungi keduanya sebagaimana keduanya selalu menyayangi dan melindungi peneliti sejak kecil. Juga tak lupa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ahmad Zakiy dan Suryani Siregar yang banyak memberi dorongan dan bantuan kepada peneliti dalam berbagai hal, khususnya kepada kak Ni‟ yang luar biasa ikhlas.

7. Seorang pria sederhana bernama Aprizal Nasution, yang membantu hampir keseluruhan aspek hidup peneliti, termasuk dalam pembuatan skripsi ini. “Thanks, coz you always be there for me.”

8. Sahabat terbaik di dunia Mawaddah Hasanah, S.Psi, teman berbagi suka dan duka sejak awal menginjakkan kaki di Psikologi USU empat tahun silam. Teman bergadang ketika ujian, teman berdebat berbagai hal menarik, teman yang paling bisa mengerti peneliti.

9. Seorang adik cantik, Rizky Bita Ghaliah Siregar, yang selalu memberi dorongan lewat pertanyaan “kapan wisuda kak?” sehingga peneliti bersemangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.


(8)

10.Teman-teman angkatan 2008 yang luar biasa. Mengukir sejarah bersama, berbagi banyak cerita. Terimakasih untuk empat tahun yang tidak akan terlupakan.

11.Seluruh rekan, kakak, dan abang yang membantu memberi masukan dan informasi dalam pengerjaan skripsi ini. Kususnya kepada abangda Ikbal Sutan Nst, S.Psi, kakanda Risty Desta Mahestri Ginting, S.Psi dan banyak pihak.

12.Tidak lupa, terima kasih yang tak terhingga pula kepada para responden yang telah bersedia untuk diwawancarai. Tanpa kebersedian ibu-ibu semua skripsi ini tidak akan pernah ada.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan mendukung pengerjaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini membawa manfaat bagi orang banyak.

Medan, Juli 2012 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah. ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II LANDASAN TEORI ... 20

A. Pola Asuh ... 20

1. Pengertian Pola Asuh ... 20

2. Dimensi Pola Asuh ... 21

3. Jenis-Jenis Pola Asuh ... 23

4. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh... 25

B. Suku Batak ... 26


(10)

2. Nilai 3H dalam Suku Batak ... 27

C. Autisme ... 30

1. Pengertian Autisme ... 30

2. Gejala-Gejala Autisme ... 31

3. Perkembangan Gangguan Autisme ... 32

D. Ibu ... 34

1. Pengertian Ibu ... 34

2. Ibu Batak ... 35

3. Ibu dengan Anak Autis ... 36

E. Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan Gangguan Autisme ... 39

F. Paradigma Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

A. Pendekatan Kualitatif... 45

B. Responden Penelitian ... 46

1. Karakteristik Responden ... 46

2. Jumlah Responden ... 47

3. Prosedur Pengambilan Responden……….. 48

4. Lokasi Penelitian ... 48

C. Metode Pengambilan Data... 49

1. Wawancara……….. 49


(11)

E. Kredibilitas Penelitian ... 53

F. Prosedur Penelitian ... 54

1. Tahap Awal Penelitian ... 54

2. Pelaksanaan Penelitian ... 56

3. Tahap Pencatatan Data ... 59

4. Teknik dan Prosedur Analisa Data ... 59

BAB IV HASIL ANALISIS DATA ... 64

A. Responden 1 (Ibu Sari Ginting-samaran)... 65

1. Identitas Diri... 65

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 65

3. Data Observasi... 66

4. Data Wawancara... 70

5. Analisis Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki Laki dengan Gangguan Autisme... 115

6. Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh... 132

B. Responden 2 (Ibu Lili Pane-samaran) ... 135

1. Identitas Diri... 135

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 135

3. Data Observasi... 136

4. Data Wawancara... 140

5. Analisis Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki Laki dengan Gangguan Autisme... 201


(12)

6. Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh... 219

A. Responden 3 (Ibu Ela Ginting-samaran) ... 227

1. Identitas Diri... 227

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 227

3. Data Observasi... 228

4. Data Wawancara... 233

5. Analisis Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki Laki dengan Gangguan Autisme... 297

6. Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh... 313

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 318

A. Kesimpulan... 318

B. Saran... 325

DAFTAR PUSTAKA ... x LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh Responden 1 ... 132 Tabel 2 Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh Responden 2 ... 219 Tabel 3 Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh Responden 3 ... 313


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara ... Lampiran 2 Pedoman Observasi ... Lampiran 3 Informed Consent ...


(15)

Gambaran pola asuh ibu Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme

Ayunda Rahmah dan Liza Marini

ABSTRAK

Keluarga adalah kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi (Bureau, 2005). Dalam sebuah keluarga orang tua bertanggung jawab memberi pengasuhan kepada anak. Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) didapati 3 jenis pola asuh yaitu, authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi yakni, uninvolved/neglectful. Jenis pola asuh terbentuk dari dua dimensi yaitu, acceptance/responsiveness dan demandingness/control. Umumnya dalam sebuah keluarga, para ibulah yang lebih berkonsentrasi mengasuh anak (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Kemudian, telaah lintas budaya mendapati adanya pengaruh budaya terhadap pola asuh (Dayakisni, 2004). Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia. Dalam budaya Batak didapati nilai hagabeon yang terkait dengan pengharapan orang tua yang besar pada anak, khususnya pada anak laki-laki. Anak pada kenyataannya tidak selalu terlahir dalam kondisi normal, beberapa anak lahir dengan gangguan Autisme. Kondisi Autistik anak akan berpengaruh pula pada pola pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu dengan latar belakang suku Batak, pada anak laki-lakinya yang mengalami gangguan Autisme.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu berlatar belakang suku Batak yang memiliki putra dengan gangguan Autisme. Prosedur pemilihan responden dilakukan berdasarkan konstruk operasional. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, disertai observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung untuk mendukung hasil wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pola pengasuhan ibu Batak kepada putra Autistiknya. Dua orang dari responden secara umum menggunakan pola pengasuhan permissive dengan dimensi acceptance/responsiveness yang tinggi dan dimensi demandingness/control yang rendah. Sedangkan satu orang responden memiliki pola asuh authoritative dengan kedua dimensi acceptance/responsiveness dan demandingness/control yang tinggi. Pemahaman nilai-nilai budaya sebagai wanita berlatar belakang suku Batak juga bervariasi. Hanya satu responden yang masih memahami nilai hagabeon, dua responden lain tidak memahaminya. Perubahan tersebut dipengaruhi pergeseran pola pikir yang lebih modern. Faktor-faktor pendidikan orang tua, kelas sosial ekonomi, konsep tentang peran orang tua, kepribadian orang tua, kepribadian anak dan usia anak juga memberi pengaruh pada pola asuh ibu Batak dengan anak laki-laki Autistik. Kata kunci : pola asuh, autisme, suku Batak.


(16)

The description of Batak‟s mothers parenting style to son with Autism disorders Ayunda Rahmah and Liza Marini

ABSTRACT

Family is a group of two or more individuals related by birth, marriage, or adoption (Bureau, 2005). In a family, parent responsible to provide care to their children. Based on the results of Diana Baumrind research (in Sigelmen, 2002) found three types of parenting style those are, authoritarian, authoritative and permissive. Maccoby & Martin later added one more type of parenting style that is, uninvolved/neglectful. This type of parenting style is formed of two dimensions, acceptance/responsiveness and demandingness/ control. Generally mother who is more concentrated on parenting in a family (Coontz, 2005 in Zinn, Eitzen and Wells, 2009). Then, cross-cultural study found that culture influenced parenting style (Dayakisni, 2004). Batak tribe is one of the tribes in Indonesia. Batak culture has a hagabeon value that associated with a great parental expectations on children, especially boys. In a fact, children are not always born in a normal condition, some children born with Autism disorder. Autistic child's condition will also affect parenting style. This study aims to find a description of parenting style of mothers with Batak ethnic background on her son who had Autism disorder.

This study uses qualitative research methods. Respondents in this study were three mothers with Batak tribe as their background, who had a son with Autism disorder. Respondent selection procedures based on operational constructs. Data collection methods were used interviews, along with observations made during the interview to support the interview.

The results showed variation pattern of parenting style by Batak‟s mothers to their Autistic son. Two of the respondents generally was using a permissive parenting with high level in dimension acceptance/responsiveness and low level in dimension demandingness/control. While one respondent has the authoritative parenting style with both of two-dimensional acceptance/responsiveness and demandingness/control are high. Understanding of cultural values as the women with Batak ethnic background of also varies. Only one respondent who still understand the hagabeon value, with two other respondents did not understand it. These changes influenced a shift in mindset that is more modern. Factors of parental education, socioeconomic class, the concept of the role of parents, parental personality, the personality of the child and the child's age, also influences parenting style of Batak 's mother with Autistic son.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam suatu tatanan kehidupan sosial. Bureau (2005) mendefinisikan keluarga sebagai kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain. Seiring perkembangan zaman fungsi keluarga juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, pandangan tradisional mengatakan orang mengakui pernikahan hanya untuk memperoleh keamanan ekonomi, penyediaan barang-barang dan jasa, serta untuk memperoleh status sosial, dan juga untuk melanjutkan keturunan. Kemudian terjadi perubahan pandangan mengenai fungsi keluarga, yakni orang menginginkan pernikahan yang dilandasi cinta, keinginan untuk hidup bersama dan memuaskan kebutuhan emosional, mampu membesarkan anak sebagai penerus keturunan, selain juga ingin memiliki keamanan ekonomi. Hal-hal tersebut kini menjadi penting terkait dengan alasan mengapa seseorang menikah, cinta dan afeksi merupakan harapan utama orang dalam pernikahan saat ini (Barich dan Bielby, 1996 dalam Degenova, 2008). Ketika anak hadir sebagai buah dari pernikahan dalam sebuah keluarga, tugas perkembangan dari pasangan yang sudah menikah bertambah menjadi orang tua (Papalia, 2008).

Menjadi orang tua berarti memperoleh peran dan tanggung jawab baru, yaitu sebagai seorang ayah dan seorang ibu. Menurut Hill dan Aldous (dalam


(18)

Akbar, 2008) proses menjadi orang tua meliputi antara lain kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan pada anak. Mengasuh anak dikenal sebagai hal penting yang mempengaruhi pengalaman manusia dan dapat mengubah manusia secara emosional, sosial, dan intelektual. Mengasuh anak adalah sebuah proses yang menunjukkan suatu interaksi antara orang tua dan anak yang berkelanjutan dan proses ini memberikan suatu perubahan, baik pada orang tua maupun anak (Levine dalam Martin & Colbert, 1997). Kewajiban sebagai orang tua secara umum juga diungkapkan Brooks (dalam Akbar, 2008) yaitu dalam mengasuh anak orang tua berkewajiban untuk memelihara, melindungi, dan mengarahkan anak dalam berkembang. Hal ini dipertegas dengan hasil wawancara dengan ibu Risna sebagai berikut,

“Semenjak memiliki anak rasanya semakin bertambah tanggung jawab yang om tante pikul. Tersadar waah sekarang kami sudah jadi orang tua. Bahagia senang rasanya, tapi kami sadar kewajiban jadi orang tua untuk anak-anak kami juga gak mudah, besarkan anak itu gak bisa main-main. Kami selalu berusaha jadi orang tua yang baik, ngasi pengasuhan, pendidikan dan menuhi kebutuhan anak-anak kami, biar anak-anak kami bisa tumbuh besar jadi orang sukses.”

(Komunikasi Personal, 05 November 2011)

Pola asuh yang merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi tidak hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Gunarsa, 2002). Pola pengasuhan menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) mengandung dua dimensi tingkah laku yakni, dimensi acceptance/resposiveness dan dimensi demandingness/control. Dimensi acceptance/resposiveness menggambarkan bagaimana orang tua merespon


(19)

anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua kepada anak-anaknya (Sigelmen, 2002).

Kedua dimensi di atas akan membentuk beberapa jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak. Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) pola asuh terdiri dari tiga jenis yakni, authoritative, authoritarian dan permissive, kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh Neglectful. Authoritarian parenting merupakan pola asuh yang mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya acceptence/responsive. Authoritative parenting; memiliki keseimbangan dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptence/responsive. Selanjutnya pada permissive parenting pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptence/responsive yang tinggi. Terakhir neglectful parenting merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan acceptence/responsive yang rendah pula (Sigelmen, 2002).

Pengasuhan anak adalah tanggung jawab orang tua baik ayah maupun ibu, akan tetapi pada umumnya dalam sebuah keluarga para ibulah yang berkonsetransi pada kewajiban menjaga rumah tangga dan terutama membesarkan ataupun mengasuh anak, sedangkan ayah menyediakan kebutuhan keluarga (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Meski saat ini banyak ditemui keluarga modern yang membagi tanggung jawab pengasuhan anak secara


(20)

seimbang antar ayah dan ibu, karena fenomena banyaknya ibu berkerja saat ini, namun tetap banyak dijumpai para ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga agar dapat total mengurus keperluan keluarga terutama pengasuhan anak. Hal ini juga terkait dengan kepuasan dalam rumah tangga yang dialami ibu. Ibu yang paling tidak puas dengan pernikahan mereka adalah mereka yang melihat diri mereka tidak terorganisir dan tidak mampu menghadapi tuntutan sebagai ibu. Maka harapan dapat mengasuh anak dengan baik dan mengorganisir dirinya serta keluarga dengan baik merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh wanita dewasa menikah yang telah menjadi ibu (Degenova, 2008). Dapat dilihat pada kutipan wawancara dengan ibu Hafni sebagai berikut,

“Kalau nantulang milih fokus jadi ibu rumah tangga aja un, karena pengen bisa 100% ngurus adek-adek apa lagi F kan kayak gini, ngurus tulang dan rumah. Insyaallah dari hasil pencarian tulang udah bisa mencukupi sehari-hari, jadi gak perlu ikut kerja juga.”

(Komunikasi Personal, 03 November 2011)

Bicara mengenai pola asuh secara lebih mendalam ditemukan fakta bahwa dalam pernikahan yang dilangsungkan, terkandung nilai-nilai atau norma-norma budaya yang sangat kuat dan luas (Abu dalam Natalia & Iriani, 2002). Nilai sendiri menurut Kluckhohn (dalam Adisubroto, 1994) merupakan suatu konsepsi yang dapat terungkap secara eksplisit atau implisit, yang menjadi ciri khas individu atau karakteristik suatu kelompok mengenai hal-hal yang diinginkan dan berpengaruh terhadap proses seleksi dan sejumlah modus, cara dan hasil akhir suatu tindakan. Lebih spesifik dikatakan nilai-nilai budaya yang dimiliki orang tua memberi pengaruh tersendiri terhadap bagaimana mereka menjalani sebuah keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak. Telaah lintas budaya juga mendapati


(21)

adanya pengaruh budaya terhadap pola pengasuhan yang juga berdampak besar pada perkembangan anak (Dayakisni, 2004). Darling (1999) juga menyampaikan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yakni jenis kelamin anak, kebudayaan, dan kelas sosial ekonomi.

Mengenai kebudayaan sendiri, Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki kekayaan aneka ragam budaya. Budaya di Indonesia dipengaruhi oleh suku-suku yang ada. Salah satu suku yang mendominasi di Indonesia adalah suku dari Utara pulau Sumatera, yakni suku Batak. Batak terdiri dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing (Tinambunan, 2010). Orang-orang yang bersuku Batak umumnya dijumpai berdomisili di provinsi Sumatera Utara, termasuk di ibukotanya yakni kota Medan. Meski perkembangan zaman mengakibatkan orang-orang Batak juga dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, tetap pada hakikatnya suku Batak berasal dari provinsi Sumatera Utara (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, 1997).

Perkembangan suku Batak sendiri di kota Medan ternyata tidak terlepas dari kebudayaan Melayu yang lebih dominan. Melayu merupakan dinamika yang penting bagi kelompok-kelompok Batak yang berhubungan langsung dengan kebudayaan Melayu di Medan. Sekitar tahun 1920-an dominasi etnik di Medan mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka sekaligus memperlihatkan identitas mereka. Meski dengan melakukan beberapa penyesuaian yang mempengaruhi beberapa aspek dasar suku Batak sendiri. Orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di


(22)

kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan (Hasselgren, 2008)

Masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami perubahan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi oleh orang Kristen Batak Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi berimplikasi bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi lingkungan yang multi-etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, tetapi diantara penduduk urban pribumi juga memiliki rasa kebersamaan. Di dalam berbagai perkembangan ini, tidak tampak adanya etnis yang dominan baik secara suku maupun agama. Kelompok imigran yang banyak dijumpai di kota Medan adalah Batak Toba dan Mandailing (Ibid, 2008).

Tingkat kompetisi yang tinggi pada orang-orang yang bermukim di kota Medan, membuat orang Batak berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive). Berbagai cara dilakukan misalnya sebagian orang menukar identitas mereka agar dapat diterima dengan mudah, atau meleburkan diri terhadap pola dan tatanan hidup pada masyarakat pribumi pertama yang tingga di kota Medan. Tetapi, tetap ditemui orang-orang Batak yang hidup berkelompok dengan membentuk komunitas yang kuat. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan hegemonis marga menurut garis keturunan, kelompok satu daerah asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga jenjang kekeluarga yang sudah menikah. Mereka juga


(23)

aktif membentuk kelompok dalam satu pola pikir dan tujuan yang disbeut dengan partungkoan.

Suku Batak terkenal sangat menjujung tinggi budaya yang mereka anut (Gultom, 1992). Banyak nilai-nilai dari suku Batak yang masih diterapkan oleh orang Batak dalam menjalani kehidupannya. Suku Batak juga memiliki nilai atau keyakinan yang masih dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat atau keluarga berlatar belakang suku Batak khususnya Batak Toba sampai dengan saat ini. Dikenal 7 filsafah kehidupan Batak yakni; Mardebata, Marpinompar, Martutur, Maradat, Marpangkirimon, Marpatik dan Maruhum. Salah satu keyakinan yang terkandung dalam filsafah Marpangkirimon yang juga masih dipegang teguh oleh orang Batak adalah sebuah tujuan hidup yang lebih dikenal dengan istilah 3H, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Tujuan hidup 3H ini terbentuk dalam lingkungan suku Batak karena merupakan wujud dari kebudayaan yang terus menerus terwaris dan mendarah daging bagi masyarakat Batak dan memberi banyak pengaruh terhadap kehidupan orang Batak, termasuk dalam perjalanan rumah tangga (Tinambunan, 2010).

Nilai yang pertama yaitu hamoraon. Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan dalam bahasa Batak, Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya) (Tinambunan, 2010).

Selanjutnya hagabeon adalah kebahagiaan dalam keturunan artinya keturunan memberi harapan hidup, karena keturunan itu ialah suatu kebahagiaan


(24)

yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Bagi orang Batak, kebahagiaan dalam berketurunan (gabe) ini terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sebuah keluarga Batak belum dikatakan gabe kalau hanya memiliki anak laki-laki atau hanya ada anak perempuannya saja (Harahap & Siahaan dalam Irmawati, 2007). Menjadi penekanan dalam nilai ini selanjutnya adalah bagi orang tua anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, terlihat pula dari perbandingan jumlah anak laki-laki yang diinginkan lebih banyak dari anak perempuan (Tinambunan, 2010). Dapat diperkuat dari hasil wawancara dengan ibu Hafni dan ibu Risna berikut,

“Pada dasarnya tulang dan nantulang menerima saja apa pemberian Allah, tapi memang ada kebahagiaan tersendiri ketika tahu anak kami laki-laki. Kan sebagai orang Batak punya anak laki-laki itu hal yang membanggakan. Sebagai anak laki-laki, kami berharap dek F bisa tumbuh menjadi orang yang bisa bertahan dalam kehidupan, membawa nama baik keluarga khusunya marga Rambe.”

Ibu Hafni (Komunikasi Personal, 03 November 2011)

“Waktu hamil tante kepikirannya anak laki-laki terus, apa lagi waktu anak pertama, jadi pas lahir laki-laki rasanya senang bangga. Om juga bangga ada yang neruskan marga „Manik‟, apalagi ompungnya senang kali. Yah ternyata memang dikabulkan laki-laki tapi dengan kondisi Autis ini. Tante mikirnya ini cobaan, gimanapun kami tetap sayang, D tetap anak laki-laki kebanggan kami.”

Ibu Risna (Komunikasi Personal, 05 November 2011)

Pardosi (1989) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki yaitu: (a) anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah), (b) anak laki-laki dapat menggantikan


(25)

kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan (c) anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak.

Nilai terakhir dari konsep 3H adalah hasangapon. Hasangapon (kemuliaan dan kehormatan) merupakan suatu kedudukan seseorang yang dimilikinya di dalam lingkungan masyarakat (Tinambunan, 2010). Simanjuntak (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora).

Filasafah hidup yang diyakini orang-orang dengan latar belakang suku Batak akan memberi kekhasan tersendiri bagi orang tua suku Batak termasuk dalam pengasuhan anak-anak mereka. Khususnya terkait pada nilai 3H yang sudah dipaparkan di atas, pengharapan yang sangat besar pada anak terlihat pada nilai hagabeon, orang tua Batak menggantungkan harapan hidup mereka pada anak khususnya anak laki-laki sebagai penerus marga (Tinambunan, 2010).

Penelitian oleh Irmawati (2002) menghasilkan kesimpulan kekayaan (hamoraon), anak (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon) sangatlah penting bagi keluarga Batak. Namun diantara nilai-nilai tersebut, anak (hagabeon) merupakan nilai yang paling penting. Dalam nilai gabe, juga tercakup unsur-unsur kaya dan kehormatan. Aspirasi orangtua mengenai pendidikan anak ternyata agar anaknya mampu bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi. Pembentukan motivasi berprestasi pada anak-anak Batak Toba sekalipun pada awalnya bersifat ekstrinsik namun kemudian hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi ini terinternaiisasi menjadi motivasi intrinsik. Berbicara mengenai pola pengasuhan, orangtua cenderung bergaya authoritative. Sekalipun demikian, gaya


(26)

authoritarian tetap masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak dibidang pendidikan/akademik berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu.

Sebuah seminar nasional peringatan 100 tahun gugurnya pahlawan Raja Sisingamangaraja XII dengan pembicara Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., juga menyampaikan bahwa nilai dalam keluarga Batak berpusat pada 3H yakni hagabeon-hamoraon-hasangapon yang harus dijunjung tinggi, sehingga harus menjaga kesehatan agar panjang umur dan berketurunan, harus kerja keras dan hemat agar dapat sejahtera, dan harus ditambah sifat penolong, idaman masyarakat, dan berpengetahuan luas supaya terhormat. Pengasuhan anak menjadi faktor penting dalam keluarga, orang tua Batak harus mampu mengasuh anak-anaknya dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka akan mampu membawa nama baik keluarga Batak. Penekanan pada prestasi anak menjadi hal yang sangat penting dalam pengasuhan orang tua Batak. Anak dituntun untuk dapat berprestasi dan sukses di masa depannya, dan orang tua berperan aktif sebagai fasilitator keberhasilan anak.

Khusus pada ibu dalam keyakinan suku Batak wanita sangat dijunjung tinggi kehormatannya, ibu merupakan tonggak penting dalam sebuah keluarga, dimana ibu adalah kekuatan dalam keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam keluarga batak ibu yang bekerja keras demi keluarganya. Disatu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah dan di sisi lain juga mengatur segala


(27)

keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya (Tinambunan, 2010). Tugas wanita Batak dalam keluarga sudah diasosiasikan semenjak mereka anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang „mengagungkan‟ anak laki -laki, ibu dituntun oleh keluarga harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga (Maulina dan Sutatminingsih, 2005). Terlihat jelas bahwa latar belakang suku orang tua, dalam hal ini suku Batak, memberikan banyak pengaruh pada orang tua dalam menjalani keluarga dan mengasuh anak. Dimana nilai-nilai yang dibawa orang tua sebagai orang Batak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua pada anak-anak mereka. Keluarga Batak sendiri khususnya orang tua terhubung dengan nilai 3H yakni hagabeon-hamoraon-hasangapon.

Ternyata dalam perjalanan sebuah keluarga, ketika sang anak hadir dalam keluarga anak-anak yang dilahirkan tidak selalu normal seperti adanya. Ditemui pula anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus. Pada dasarnya setiap orang tua berharap akan memiliki anak-anak yang bertumbuh kembang secara normal. Seorang anak dikatakan normal apabila mampu berkembang dengan baik dan seimbang seiring pertumbuhannya dan berlangsung seperti individu lain pada umumnya. Sedangkan pada kondisi anak-anak dengan kebutuhan khusus akan mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh kembangnya, salah satunya Autisme (Papalia, 2008).

Autisme merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interaksi sosial), gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya


(28)

kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama (Yusuf, 2003). Anak-anak dengan Autisme mengalami kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan Autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi dan lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki (APA, 1995).

Akhir-akhir ini kasus Autisme menunjukkan peningkatan di Indonesia. Bila Amerika dapat menentukan bahwa kejadian di negaranya adalah 1:150 (satu anak Autistik per seratus lima puluh anak) dan Inggris berani mengeluarkan angka 1:100, tidak demikian dengan Indonesia. Meskipun beberapa profesional memperkirakan angka tersebut tidak banyak berbeda dengan di Indonesia, tapi hal tersebut tidak mungkin dipastikan tanpa data-data yang akurat. Saat ini di Indonesia sedang dilakukan pendataan mengenai jumlah penderita Autisme (Yayasan Autisma Indonesia, 2009).

Orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme akan memiliki tantangan tersendiri dalam membesarkan sang anak. Reaksi pertama orang tua ketika anaknya didiagnosa mengalami Disabilities adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak, tidak mudah bagi orang tua untuk mengalami fase ini (Pueschel, Bernier, & Wiedenman 1988). Hal ini umunya menjadi lebih kompleks dan dirasakan secara mendalam oleh pihak ibu, diperkuat berdasarkan kutipan wawancara dengan 2 orang orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme, yakni dengan ibu Risna dan ibu Hafni sebagai berikut,

“...terkadang masih merasa seperti bermimpi, nantulang merasa sulit menerima kenyataan dek F mengalami gangguan Autisme, sesak di dada


(29)

kalau teringat. Ini lagi terus berusaha ikhlas, tawakal sama ketetapan Allah.”

Ibu Hafni (Komunikasi Personal, 03 November 2011)

“Kami merasa takut menghadapi kenyataan, bingung karena tidak paham apa itu “Autis”. Bertanya–tanya dalam hati, ini kesalahan siapa? Juga marah pada diri sendiri dan tante juga takut untuk hamil lagi.”

Ibu Risna (Komunikasi Personal, 05 November 2011)

Sebagai ibu, meski memiliki anak dengan gangguan Autisme tentunya kewajibannya memberi pengasuhan yang baik pada anak harus tetap dilaksanakan. Salah satu jurnal oleh Rachmayanti membahas penerimaan orang tua terhadap anak dengan gangguan Autisme, yang juga terkait dengan pola asuhnya, menggunakan tori Ross (2004, dalam bukunya “On Death and Dying”) digambarkan reaksi-reaksi orang tua kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus. Penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus terbagi menjadi lima tahap sebagai berikut; tahap pertama adalah Denial (menolak menerima kenyataan), kemudian kedua adalah tahap Anger (marah), ketiga tahap Bargaining (menawar), tahap keempat yakni Depression (depresi) dan tahapan terakhir adalah Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan).

Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak ”sempurnaan” anak mereka (bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Demikian pula pada tahap awal. Ada juga orang tua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak menerima kenyataan (denial). Kondisi orang tua berpengaruh terhadap


(30)

pengasuhannya pada anak, maka pada dasarnya pola pengasuhan orang tua khususnya pada anak dengan gangguan Autisme dapat berubah sesuai kondisi. Dikatakan pula orang tua cenderung over protektif dalam pengasuhannya pada anak Autis yang mengarah pada gaya pengasuhan permissive (Rachmayanti, 2004).

Peran dan tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua akan lebih besar apabila anak yang dilahirkan berkebutuhan khusus (Heward, 1996, dalam Akbar 2008). Diperkuat dengan wawancara pada ibu Hafni berikut,

“Banyak yang udah kami coba lakukan untuk membantu F, seperti mendatangkan terapis ke rumah, mengajak F berolah raga di lapangan, mengajak F berenang, mengajak F jalan-jalan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keperluannya, juga yang pasti terus berusaha menjadi orang tua yang baik, meski terasa sulit. Kadang rasanya pengen nyerah karena perkembangan F juga begitu-begitu saja, tapi nantulang langsung istighfar. F titipan Allah nantulang harus tanggung jawab, besarkan F sebaik mungkin, biarlah Allah yang nentukan akhirnya, yang penting sebagai orang tua nantulang harus tetap berusaha demi F.”

(Komunikasi Personal, 03 November 2011)

Kehadiran anak dengan kebutuhan khusus dalam sebuah keluarga secara umum menimbulkan reaksi emosional pada orang tua, merupakan pengalaman stres yang tidak biasa, khususnya bagi para ibu (Hutt dan Gibby, 1979) yang secara tidak langsung akan terkait dengan bagaimana sang ibu memberi pengasuhan pada anaknya yang mengalami Autisme.

Merupakan sebuah fakta bahwa beberapa anak terlahir dengan gangguan Autisme, hal ini tidak terkecuali dapat terjadi pada keluarga Batak. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya salah satu nilai terpenting yang diyakini orang Batak adalah nilai hagabeon, yang terkait erat dengan kebahagiaan dalam memperoleh keturunan. Dikatakan bahwa keturunan memberi harapan hidup,


(31)

maka sangat besar keinginan untuk memiliki keturunan pada suku Batak khususnya berjenis kelamin laki-laki (Tinambunan, 2010). Namun ketika pasangan suku Batak telah berhasil memiliki keturunan anak laki-laki, tetapi dengan kondisi memiliki gangguan Autisme, tentu saja orang tua dengan latar belakang suku Batak tetap berkewajiban memberi pengasuhan terbaik terhadap anaknya. Terlihat dari kutipan wawancara dengan ibu Hafni berikut,

“...kalau bicara sebagai orang Batak kami ya orang tua senang punya anak laki-laki salah satunya F sebagai penerus marga, walaupun dengan kekurangannya. Kami akan terus berusaha membesarkan F sebaik mungkin, Nantulang selalu berdoa sama Allah semoga masih ada harapan, semoga kerja keras kami sebagai orang tua memberi hasil suatu saat.” (Komunikasi Personal, 01 November 2011)

Sebuah penelitian oleh Martina V Sianipar mengenai ibu dengan anak berkebutuhan khusus, di dalamnya didapati kutipan komunikasi personal peneliti pada 2 Januari 2007 dengan B. Samosir yang mengatakan bahwa dalam masyarakat Batak Toba jika memiliki anak yang abnormal biasanya akan dianggap sebagai karma atas dosa yang dilakukan oleh orang tua atau nenek moyang anak yang bersangkutan dan keadaan ini dapat membuat keluarga khususnya ibu yang bertanggung jawab penuh pada pengasuhan anak menjadi malungun (sedih). Tetapi bila dilihat lebih dalam nilai-nilai budaya dapat memberi pengaruh yang bervariasi. Ketika ibu menggunakan konsep positif dari hagabeon yang mengatakan anak sebagai harapan bagi orang tua dan penekanan suku Batak pada keberhasilan anak, maka akan memberi semangat tersendiri pada ibu untuk memberi pengasuhan terbaik yang dapat membantu perkembangan anak. Anak meski dengan keterbatasan Autistiknya harus tetap dapat berhasil dan berprestasi sesuai konsep dasar hagabeon. Akan tetapi bila ibu Batak lebih fokus pada rasa


(32)

gagal memberi keturunan seperti pemaparan B. Samosir, maka dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pula pada pengasuhannya.

Semakin terlihat bahwa beberapa faktor khususnya budaya dan kondisi anak mempengaruhi pola asuh. Kondisi keterbatasan anak dengan gangguan Autismenya serta pengaruh nilai-nilai budaya suku Batak yang menjadi latar belakang ibu membuat semakin komplekslah tugas pengasuhan anak oleh ibu suku Batak. Saat ini jutaan keluarga menghadapi tantangan sehari-hari dalam membesarkan anak dengan gangguan Autisme, termasuk keluarga-keluarga berlatar belakang suku Batak. Mengingat keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan terpenting bagi seorang anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya (Degenova, 2008).

Berdasarkan fenomena tersebut peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan bagaimana seorang ibu berlatar belakang suku Batak dengan latar belakang budayanya serta dengan nilai-nilai yang diyakininya memenuhi tugas perkembangannya sebagai orang tua dalam mengasuh anak laki-lakinya yang dilahirkan dengan gangguan Autisme. Sangat diharapkan penelitian ini akan bermanfaat dalam memberikan gambaran pola pengasuhan yang baik bagi anak laki-laki dengan gangguan Autisme oleh ibunya yang berlatar belakang suku Batak, agar membantu perkembangan keduanya ke arah kondisi yang lebih baik.


(33)

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas maka, peneliti merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu,

a. Bagaimana gambaran pola asuh ibu suku Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pola asuh ibu suku Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme.

D. MANFAAT PENELITIAN

Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu: D.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

a) Dapat memberikan masukan yang bermanfaat dan memperluas serta menambah informasi dari segi teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan. Secara lebih spesifik pada aspek pola asuh terkait dengan pengaruh budaya.

b) Dapat menjadi masukan dan referensi untuk bahan penelitian bagi peneliti selanjutnya, terkait pola asuh dan budaya.


(34)

D.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat mengenai gambaran pola asuh oleh ibu khususnya yang berlatar belakang suku Batak, pada anak Autis khususnya anak laki-laki.

b) Memberi sumbangan informasi yang bermanfaat kepada para orang tua terkait pola pengasuhan anak, khususnya pada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme dan pada orang tua dengan latar belakang suku Batak agar dapat memberi pengasuhan yang tepat.

c) Memberikan informasi kepada masyarakat yang belum menikah mengenai gambaran-gambaran kemungkinan yang ada di dalam pernikahan. Khususnya ketika menjadi orang tua, termasuk kemungkinan memiliki anak Autis sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menghadapi kondisi tersebut dan proses belajar untuk nantinya menjalani sebuah keluarga.

d) Memberikan informasi dan masukan kepada para professional atau para ahli termasuk Psikolog, khususnya yang berkonsentrasi pada perkembangan anak Autistik dalam membantu mencari data-data untuk menyelesaikan masalah pola asuh oleh orang tua khususnya oleh ibu suku Batak.


(35)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur

dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian mengenai hasil penelitian, analisis data dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan saran, berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.


(36)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. POLA ASUH

A.1. Pengertian Pola Asuh

Hetherington & Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik bagi anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya.

Menurut Gunarsa (2002) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

Menurut Wahyuning (2003) pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh) yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.


(37)

Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu proses interaksi total orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti memelihara, memberi makan, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan terkait dengan kondisi psikologis bagaimana cara orang tua mengkomunikasikan afeksi (perasaan) dan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

A.2. Dimensi Pola Asuh

Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni;

1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-anaknya,

2) sensitif terhadap emosi anak, 3) memperhatikan kesejahteraan anak,


(38)

5) serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dan sering tersenyum, memeberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka. Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.

Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni;

1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,

2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua,

3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan,

4) campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam


(39)

keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak.

5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua. Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anak-anak mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.

A.3. Jenis-Jenis Pola Asuh

Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) dikatakan terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh uninvolved/ neglectful.

1. Authoritarian parenting; pola asuh ini mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya acceptance/responsive. Orang tua memaksakan banyak peraturan, mengharapkan kepatuhan yang ketat, jarang menjelaskan mengapa anak harus memenuhi peraturan-peraturan tersebut,


(40)

dan biasanya mengandalkan taktik kekuasaan seperti hukuman fisik untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel; mereka mengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka juga menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptance/responsive. Mereka membuat peraturan yang jelas dan secara konsisten melakukannya, mereka juga menjelaskan rasionalisasi dari peraturan mereka dan pembatasannya. Mereka juga responsif pada kebutuhan anak-anak mereka dan sudut pandang anak, serta melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga. Mereka dapat diterima secara rasional dan demokratis dalam pendekatan mereka, meski dalam hal ini jelas mereka berkuasa, tetapi mereka berkomunikasi secara hormat dengan anak-anak mereka.

3. Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive yang tinggi. Orang tua permisif penyabar, mereka membuat beberapa pengendalian pada anak-anak untuk berperilaku matang, mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan dan dorongan mereka dan jarang menggunakan kontrol pada prilaku mereka.

4. Neglectful parenting; merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan acceptance/responsive yang rendah pula. Secara relatif tidak melibatkan diri pada pengasuhan anak mereka mereka terlihat tidak terlalu perduli pada anak-anak mereka dan bahkan


(41)

mungkin menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan dengan masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan menegakkan aturan.

A.4. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:

1. Jenis kelamin anak

Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

2. Kebudayaan

Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.

3. Kelas sosial ekonomi

Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.


(42)

B. SUKU BATAK

B.1. Pengertian Suku Batak

Batak merupakan salah satu suku di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah, Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, 1997)

Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut ajaran ini sudah semakin berkurang (Tinambunan, 2010).

Orang Batak khususnya Batak Toba menyebutkan kampung halaman mereka sebagai Bonani Pasogit atau tanah Batak yaitu daerah kelahiran. Selain itu suku bangsa Batak dari berasal dari Sumatra Utara memiliki daerah asal kediaman yang juga dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah administratif, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, 1997).


(43)

B.2. Nilai 3H dalam Suku Batak

Masyarakat Batak memiliki nilai-nilai, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yang sangat di junjung tinggi. Menurut Tinambunan (2010), orang Batak berpegang teguh pada nilai-nilai yang ditanamkan kepada mereka melalui 7 falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup, yakni; Filsafah Mardebata (Punya Tuhan), Filsafah Marpinompar (Punya Keturunan), Filsafah Martutur (Punya Kekerabatn), Falsafah Maradat (Punya Adat Istiadat), Falasafah Marpangkirimon (Punya Pengharapan), Filsafah Marpatik (Punya Aturan), dan Filsafah Maruhum (Punya Hukum).

Nilai falasafah Marpangkirimon yang artinya mempunyai pengharapan (cita-cita) secara lebih spesifik memiliki pemaknaan yakni mencapai hamoraon (pencapaian harta/materi), hagabeon (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan), dan hasangapon (punya kedudukan dan dihormati dalam lingkungan masyarakat).

Tujuan hidup yang lebih dikenal dengan 3H ini yang pertama yaitu hamoraon. Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan bahwa : Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya).

Nilai yang kedua Hagabeon adalah kebahagiaan dalam keturunan artinya keturunan memberi harapan hidup, karena keturunan itu ialah suatu kebahagiaan yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Kebahagiaan dalam


(44)

berketurunan (gabe) ini terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sebuah keluarga Batak belum dikatakan gabe kalau hanya ada anak perempuannya saja atau anak laki-laki saja. Berkaitan dengan nilai hagabeon ini, ada satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra 17 dan putri 16 (Harahap & Siahaan dalam Irmawati, 2007). Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih banyak. Bagi seorang “bapak” maka anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru (Tinambunan, 2010).

Nilai terakhir dari konsep 3H adalah hasangapon. Hasangapon (kemuliaan dan kehormatan) merupakan suatu kedudukan seseorang yang dimilikinya di dalam lingkungan masyarakat. Simanjuntak (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Orang kaya tetapi tidak mempunyai keturunan kurang dihormati dan tidak mempunyai kewenangan dalam upacara-upacara adat, karena hanya orang kaya dan berketurunan yang dipandang mampu dan layak memberi restu kepada orang lain. Orang yang banyak keturunan tapi miskin juga dikategorikan sebagai tidak terhormat karena seseorang dihormati apabila memiliki keturunan juga kekayaan. Senada dengan hal itu, Sibarani (2007) (dalam Tinambunan, 2010) menambahkan bahwa


(45)

hasangapon merupakan status tertinggi dalam kehidupan orang Batak khususnya Batak Toba karena di dalam hasangapon sudah terdapat hamoraon dan hagabeon.

Masih bicara mengenai kedudukan anak laiki-laki yang sangat di inginkan, (dalam Tinambunan, 2010) secara lengkap Pardosi (1989) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki yaitu: (a) anak laki dianggap penerus keturunan (marga ayah), (b) anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan (c) anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba.

Kekayaan (hamoraon), anak (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon) sangatlah penting bagi keluarga Batak. Namun di antara nilai-nilai tersebut, anak (hagabeon) merupakan nilai yang paling penting. Dalam nilai gabe, juga tercakup unsur-unsur kaya dan kehormatan. Aspirasi orangtua mengenai pendidikan anak ternyata agar anaknya mampu bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi. Pembentukan motivasi berprestasi pada anak-anak Batak Toba sekalipun pada awalnya bersifat ekstrinsik namun kemudian hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi ini terinternaiisasi menjadi motivasi intrinsik. Berbicara mengenai pola pengasuhan, orangtua cenderung bergaya authoritative. Sekalipun demikian, gaya authoritarian tetap masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak dibidang pendidikan/akademik berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan, yang mereka


(46)

perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu (Irmawati, 2002).

C. AUTISME

C.1. Pengertian Autisme

Autisme berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti self (diri). Kata Autisme ini digunakan didalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala menarik diri (Budhiman, 2002 dalam Yusuf, 2003). Dalam kamus psikologi umum (1982), Autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita Autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri (Yusuf, 2003).

Autisme pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun 1943. Dia mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidak mampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan bahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Safaria, 2005).

Autisme menurut istilah kedokteran, psikiatri, dan psikologi termasuk pada gangguan perkembangan pervasif (pervasive devlopmental disorders) (DSM IV, 1995). Secara khas gangguan yang termasuk dalam katagori ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi


(47)

perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas dan gerakan-gerakan motorik (Davison, 2006).

C.2. Gejala-Gejala Autisme

Anak-anak yang mengalami gangguan Autisme menunjukkan kurang respon terhadap orang lain, mengalami kendala berat dalam kemampuan komunikasi, dan memunculkan respon yang aneh terhadap berbagai aspek di lingkungan sekitarnya, yang kesemua ini berkembang pada masa 30 bulan pertama anak. Para ahli gangguan perkembangan anak menjelaskan gangguan ini dengan nama Autism Infantil (Safaria, 2005).

Secara umum ada beberapa gejala Autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, (Budiman, 1998 dalam Yusuf, 2003) yaitu;

1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya, dan seterusnya.

2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dan seterusnya.

3. Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan


(48)

permainan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dan lainnya, yang dibawanya kemana-mana.

4. Gangguan pada bidang perasaan atau emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi, kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

5. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dan lain sebagainya.

Gejala - gejala tersebut di atas tidak harus ada semuanya pada setiap anak Autisme, tergantung dari berat-ringannya gangguan yang diderita anak.

C.3. Perkembangan Gangguan Autisme

Pada penyandang Autisme, tanda-tanda hambatan perkembangan telah mulai tampak pada masa bayi, dikatan oleh Miller dalam Wenar, 1994 (dalam Yusuf, 2003), terdapat ciri-ciri seperti kurangnya kontak mata, kurangnya reaksi pada saat akan digendong, kurang mampu tersenyum meski pada orang terdekatnya, kecemasan yang aneh dan kekurang mampuan bermain “cilukba”. Tubuh bayi juga terkesan “kaku” sehingga sulit untuk direngkuh dalam pelukan.

Pada masa kanak-kanak dan prasekolah, penyandang Autisme kurang menunjukkan respon sosial yang positif. Anak kurang lekat pada orang tua, ia tidak mengikuti orang tua jika pergi, jarang mengekspresikan kasih sayang atau


(49)

mencari perlindungan bila terluka bahkan cenderung menarik diri dan menghindar. Selanjutnya penguasaannya akan bahasa dan pemahaman komunikasi juga mengalami hambatan. Tidak ada komunikasi timbal balik dengan orang lain. Selain itu anak juga kurang mampu melakukan “imitasi sosial” atau meniru perilaku orang lain pada usianya. Kemampuannya untuk bermainnya juga terbatas pada bermain sendiri (solitary play) dan permainan tersebut cenderung terbatas dan diulangulang secara kaku (Yusuf, 2003).

Pada pertengahan masa kanak-kanak, anak penyandang Autisme menunjukkan kecenderungan untuk tidak berteman, tidak kooperatif dan kurang mampu berempati pada orang lain. Respon sosial mereka terkesan aneh dan kurang pada tempatnya sehingga mereka mengalami masalah dalam penyesuaian sosialnya. Aktivitasnya bersifat ritualistik dan rutin serta mereka mengalami stress jika terjadi perubahan dari aktivitas biasa yang dilakuka (Yusuf, 2003).

Selanjutnya menurut Kanner, Rodriquest dan Ansheden (dalam Wenar, 1994) masa remaja merupakan masa perkembangan yang paling dramatik. Periode ini dapat merupakan masa yang menunjukkan perbaikan yang signifikan. Beberapa remaja mulai menyadari bahwa tingkah lakunya menyimpang dan secara sadar berusaha memperbaiki diri dan tampil sesuai dengan perilaku sosial yang diharapkan. Sekitar 5 – 15 persen anak Autistik mampu mencapai kemampuan penyesuaian sosial yang diharapkan dengan atau tanpa terapi. Meski dalam berkomunikasi, vokalisasinya masih belum sempurna namun sudah cukup dapat dipahami. Mereka tetap kurang mampu menunjukkan empati dan peran seksual yang sesuai, namun sisi positifnya mereka kaku dalam memegang aturan


(50)

dan mampu masuk kelingkungan sosial yang birokratis. Namun disisi lain, mayoritas anak Autisme akan terus berkembang dengan gangguan perkembangan yang parah. Mereka tetap hidup dalam alamnya sendiri namun tidak menjadi schizophrenia dalam arti mengalami delusi dan halusinasi (Yusuf, 2003).

D. IBU

D.1. Pengertian Ibu

Erikson memandang perkembangan hubungan intim sebagai tugas krusial bagi seorang dewasa awal. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat, dan saling peduli merupakan motivator terkuat perilaku manusia dalam memustukan menikah termasuk pada seorang wanita. Pernikahan (dalam berbagai bentuknya) adalah sesuatu yang universal dan memenuhi kebutuhan dasar ekonomis, emosional, seksual, sosial, dan pengasuhan anak (Papalia, 2008).

Pernikahan yang membentuk sebuah keluarga menghasilkan tugas-tugas perkembangan baru, salah satunya adalah menjadi orang tua. Fokus pada peran yang diemban oleh pihak wanita, peran tersebut umumnya dikenal dengan nama atau sebutan „ibu‟. Ibu berperan mulai dari kehamilan, kelahiran, hingga membesarkan anak (Papalia, 2008).

Umumnya dalam sebuah keluarga dijumpai para ibulah yang berkonsetransi pada kewajiban menjaga rumah tangga dan terutama membesarkan ataupun mengasuh anak, sedangkan ayah menyediakan kebutuhan keluarga (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Kepuasan perkawinan bisa menurun sepanjang tahun-tahun membesarkan anak. Wanita yang telah menikah


(51)

dan menjadi ibu dapat mengalami hal-hal yang mengakibatkan stres. Dikatakan dalam Degenova (2008) ibu yang paling tidak puas dengan pernikahan mereka adalah mereka yang melihat diri mereka tidak terorganisir dan tidak mampu menghadapi tuntutan sebagai ibu. Maka harapan dapat mengasuh anak dengan baik dan mengorganisir dirinya serta keluarga dengan baik merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh wanita dewasa menikah yang telah menjadi ibu.

D.2. Ibu Batak

Suku Batak sangat menjunjung tinggi kehormatan wanita, konsep Dalihan Na Tolu menggambarkan dengan jelas bahwa kedudukan wanita sangat dihormati. Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat khusunya terkait kekerabatan, dan salah satu aspek penting di dalamnya terkait dengan posisi wanita. Dalihan Na Tolu terdiri dari unsur-unsur hula-hula (pemberi gadis), boru (penerima gadis), dan dongan sabutuha (kerabat semarga). Pihak keluarga dari isteri menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak. Kepada wanita dengan marga yang sama para pria Batak juga memberi penghormatan dan menganggap wanita tersebut saudari kandung meski pada dasarnya hanya terikat marga yang sama tanpa hubungan darah (Gultom, 1992).

Penghormatan juga sangat dijunjung tinggi pada ibu dalam sebuah keluarga Batak. Meski keluarga Batak memiliki konteks patrenial tetapi peran ibu tetap sangat penting. Ibu merupkan tonggak dalam sebuah keluarga, dimana ibu adalah kekuatan dalam keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam keluarga batak ibu


(52)

yang bekerja keras demi keluarganya. Disatu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah menjaga nama baik keluarga dan membantu kondisi keluarga, di sisi lain juga berperan aktif mengatur segala keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya. Ibu Batak mendapat banyak sorotan dari seluruh keluarga, mengingat budaya Batak yang lebih pada Extended Family, dimana baik keluarga pihak laki-laki maupun perempuan menaruh perhatian lebih, mulai dari pengharapan akan mampunya seorang wanita Batak memberi keturunan laki-laki dan perempuan, serta kemampuan mendidik anak hingga sukses (Tinambunan, 2010).

Tugas wanita Batak dalam keluarga ini sudah diasosiasikan semenjak mereka anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang „mengagungkan‟ anak laki-laki, ibu mendapat tuntutan yang tegas dari keluarga untuk harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga (Maulina dan Sutatminingsih, 2005).

D.3. Ibu Dengan Anak Autis

Kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan Autisme. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Khusus pada para ibu yang memiliki anak dengan gangguan Autisme perasaan bersalah dan merasa tidak percaya lebih mereka rasakan (Pueschel, Bernier, & Wiedenman 1988).


(1)

dimensi acceptance/responsiveness dan control/demandingness. Sulitnya anak untuk diajak berinteraksi atau diberi pemahaman melalui komunikasi hendaknya tidak membuat orang tua memilih tidak mengontrol perilaku anak dan membiarkan anak berprilaku sesuka hati mereka yang terkadang justru dapat memperburuk kondisi anak.

Terkait hambatan-hambatan dalam pengasuhan, orang tua hendaknya meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan informasi mengenai Autisme. Dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti membaca buku, bertanya kepada ahli yang lebih memahami Autisme, atau sekedar berbagi informasi dengan sesama orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme. Agar orang tua lebih mampu menangani masalah-masalah pengasuhan pada anak-anak dengan gangguan Autisme. Meski menemui banyak hambatan diharapkan orang tua tetap optimis dan tidak mudah menyerah.

Pemberian penanganan dan intervensi yang tepat juga sangat disarankan untuk kemajuan anak. Oleh sebab itu hendaknya orang tua aktif ikut serta dalam penanganan kondisi Autistik anak. Diharapkan lebih kooperatif dalam melakukan komunikasi dengan para terapis atau Psikolog. Mengikuti perkembangan anak baik di rumah maupun di tempat terapi atau di sekolah. Juga membantu proses terapi dengan tetap mengulang pelajaran anak di rumah.


(2)

2. Saran penelitian lanjutan

Pemilihan partisipan sebaiknya lebih bervariasi, misalnya terkait tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, latar belakang keluarga dan sebagainya. Sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih beragam. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara yang lebih banyak, misalnya melalui observasi atau diskusi kelompok agar data yang diperoleh semakin kuat.

Penelitian sebaiknya menggunakan literatur yang lebih banyak mengingat referensi yang digunakan dalam penelitian ini sangat terbatas.

Sebagai sebuah penelitian kualitatif, pada hakekatnya penelitian ini belumlah selesai dan perlu untuk dikaji ulang di masa mendatang. Pada penelitian ini, tentulah didapati kekurangan dan kelemahannya. Hal-hal seperti, seberapa besar nilai-nilai suku Batak mempengaruhi pola asuh orang tua? Hal-hal apa yang benar-benar menghambat orang tua Batak dan membentuk pemilihan pola asuh tertentu? Adakah pengaruh urutan kelahiran anak Autistik pada pemilihan pola asuh? dan lain sebagainya. Berbagai pertanyaan inilah yang harus semakin menggugah para peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan di masa mendatang secara lebih mendalam dengan aspek-aspek penelitian yang lebih luas.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

APA. (1995). DSM IV. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fourth Edition. Washington DC.

Akbar, Muh. Arista. (2008). Gambaran Stress dan Strategi Coping pada Orangtua dengan Anak Tunaganda. Skripsi strata satu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Berkell, D. E (ed). (1992). Autism Identification, Education and Treatment. Hillsdale, New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publisher. Brooks, Jane B. (1991). The Processof Parenting. 3rd ed. USA : Mayfield

Publishing.

Budhiman, M. (2002). Makalah: Autistic Spectrum Disorder. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia.

Budiman Melly. (1998). Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme. Makalah Simposium, Surabaya

Darling, N. (1999). Parenting Style and Its Corelates. (online).

http://www.athealth.com/practitioner/ceduc/parentingstyles.htm Diakses pada 23 Juli 2012.

Davison, Gerald C., John M. Neale., & Ann M.Kring. (2006). Psikologi Abnormal, Edisi ke-9. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Dayakisni, Tri & Yuniardi S. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.

Degenova, Maty Kay. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families. The NewYork : Mc Graw – Hill Companies.

Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln (Eds.). (2009). Handbook of Qualitative Reserch. Yogyakarta: Pustka Pelajar.

Duvall, E.M.,& Miller, B.C. (1985). Marriage and Family Development. 6th Edition. New York : Harper & Row Publishers.

Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. (1997). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(4)

Gunarsa, S. D. (2000). Psikologi Praktis : Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulya.

Graduate. (2008). Pola Asuh Orang Tua pada Subjek yang Menggunakan Napza, Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Ejournal Gunadarma

(Online). Available FTP:

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Art ikel_10500364.pdf. Diakses pada 30 Oktober 2011.

Heterington, M. E & Porke, R. D. (1999). Child Psychology A Contemporary New Point 4 th. New York : Mc Graw Hill. Inc

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hutt, Max L. & Robert G. G. (1979). The Mentally Retarded Child: Development, Training, and Eucation (Fourth Edition). Boston : Allyn and Bacon, Inc. Irmawati. (2004). Motivasi Berprestasi dan Pola Pengasuhan pada Suku Batak Toba di Desa Parpareran II Tapanuli Utara. Available FTP: http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/moti_berpres_irma.pdf. Diakses pada 20 November 2011

Irmawati. (2007). Keberhasilan Suku Batak Toba (Tinjauan Psikologi Ulayat). Available FTP: http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/irma_batak_toba.pdf. Diakses pada 16 Desember 2011.

Martin, Carole A & Colbert, Karen K. (1997). Parenting: A Lifespan Perspective. USA : Mc Graw Hill Inc.

Marini, Liza., & Elvi Andriani (2005). Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. PSIKOLogia. Vol: 1, No: 2

Matsumoto, D. & L. Juang. (2008). Culture and Psychology. United States: Wadsworth.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rodakarya Offset.

Natalia, D., & Iriani, F. (2002). Penyesuaian Perempuan Non-Batak Terhadap Pasangan Hidupnya Yang Berbudaya Batak. Jurnal Ilmiah Psikologi. No.VII.27-36.

Papalia, Diane E. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta : Kencana.


(5)

Prasetyawati, Wuri. (2000). Hubungan persepsi terhadap pola Asuh orangtua dengan penyesuaian diri pada mahasiswa Universitas Indonesia. Skripsi strata satu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Pratiwi, Nine Is. (2007). Pola Asuh Anak Pada Pernikahan Beda Agama. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Ejournal Gunadarma (Online).

Available FTP:

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2007/Art ikel_10500279.pdf. Diakses pada 20 November 2011.

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (2007, Juni). RAJA SISINGAMANGARAJA XII NILAI BUDAYA DAN NILAI-NILAI KELUARGA. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahalawan Raja Sisingamangaraja XII, Pesantren KAUTSAR

AL-AKBAR. Available FTP:

http://images.sibabiat.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SLGUn

QoKCn8AADzbO8Y1/Raja%20Sisingamangaraja%20XII-

Nilai%20Budaya%20Dan%20Nilai-nilai%20Keluarga.pdf?key=sibabiat:journal:203&nmid=112091835. Diakses pada 30 Oktober 2011

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan.

Pueschel, Siegfried M., Barnier, James C., & Wiedenman, Lrslie E. (1998). A source book of children with developmental Disabilities. Paul H. Brookes Publishing Co.: Baltimore.

Rachmayanti, Sri. JURNAL Gambaran Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak Autisme Serta Peranannya Dalam Terapi Autisme. Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma. Available FTP:

http://papers.gunadarma.ac.id/index.php/psychology/article/view/193/194. Diakses pada 30 Oktober 2011.

Ratnadewi. (2008). Jurnal Peran Orangtua Pada Terapi Biomedis Untuk Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Ejournal Gunadarma

(Online). Available FTP:

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Art ikel_10504147.pdf. Diakses pada 30 Oktober 2011.

Safaria, Triantoro. (2005). AUTISME: Pemahan Baru untuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Santrock, John W. (2009). Life Span Development (12th Ed). New York: McGraw-Hill International.


(6)

Sigelman, Carol K & Elizabeth A Rider. (2002). Life Spent Human Development 4th Edition. USA: Thomson-Wadsworth.

Silalahi, Karlinawati & Eko A. Meinarno. (2010). Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: Rajawali Pers.

Tinambunan, Djapiter. (2010). Orang Batak Kasar? Membangun Citra dan Karakter. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Wenar. C. (1994). DEVELOPMENTAL PSYCHOPATOLOGY. From Infancy to Adolescence. New York : Mc. Graw Hill Inc.

Yusuf, Elvi Andriani. (2003). Jurnal Autisme : Masa Kanak. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Available FTP: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3635/1/psikologi-elvi.pdf. Diakses pada 30 Oktober 2011.