hendaknya memperhatikan empat hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi, durasi, dan intensitasnya Wilmore, 1994.
7. Waktu Kerja
Menurut Harrington 2005, lama bekerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatanpekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan
jam. Budiono 2003 menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya time
exposure.
Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per
minggu UU Nomor 13, 2003.
8. Masa Kerja
Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat. Menurut Suma’mur 1994 semakin lama seseorang dalam bekerja maka
semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan
fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi
Universitas Sumatera Utara
dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada
pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun Khumaidah, 2009. 9.
Riwayat Penyakit Gangguan Pernafasan
Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit Ganong,
2002. Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung yang menimbulkan kongesti paru dan pada kelemahan otot
pernapasan Price Wilson, 1995.
Mukono 1997 mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan antara Force Vital Capacity FVC dan Vital Capacity VC, sedangkan pada
keadaan kelainan obstruksi terdapat berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity VC merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau
kekakuan pergerakan dinding toraks. Vital Capacity VC yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan
pemenuhan compliance paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan
sedikit atau mungkin normal.
10. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat
Universitas Sumatera Utara
kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel debu, kabut, asap dan uap logam, pencemaran oleh gas atau uap. Alat pelindung pernafasan adalah
bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat
bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90 kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia
beracun atau korosi lewat saluran pernafasan Milos, 1991. Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup
wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi
dan berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut. Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Milos, 1991 :
a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.
b. Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara Suplai udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat
pernapasan yang mengandung udara self contained breathing apparatus.
Universitas Sumatera Utara
c. Respirator dengan Suplai Oksigen Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas
pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat
terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel- partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari
kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai
kapasitas vital paru dapat diminimalisir. Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung
debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi Suma’mur, 1996.
b. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja
Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban. Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1.
Ventilasi Ventilasi industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara
dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi dan kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk
menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja.
Prinsip sistem ventilasi yang digunakan dalam suatu industri adalah membuat prinsip suatu proses pertukaran udara di dalam ruang kerja. Pertukaran udara
dan mengganti udara segar yang dilaksanakan secara bersama-sama. Jika tidak ada sistem pertukaran udara, kontaminan yang ada akan bergerak perlahan di
dalam udara ruang kerja. Sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar sumber dan di daerah sekitar pernafasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi
Khumaidah, 2009. Pertukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan
peralatan mekanik. Pertukaran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan, dimana udara bergerak dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah
yang tekanannya rendah. Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi ruangan panas. Dengan kondisi panas udara akan memuai dan naik lalu keluar
melalui vena di atap. Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar yang masuk melalui lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang
terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan. Pertukaran udara secara mekanik
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan cara memasang sistem pengeluaran udara exchaust system dan pemasukan udara supply system dengan menggunakan fan. Exhaust
system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta kontaminan yang ada sekitar ruang kerja, biasanya ditempatkan disekitar ruang kerja atau dekat
dengan sumber dimana kontaminan dikeluarkan. Supply system dipasang untuk memasukkan udara ke dalam ruangan, umumnya digunakan untuk menurunkan
tingkat konsentrasi kontaminan di dalam lingkungan kerja Khumaidah, 2009.
2.
Suhu Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja
adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 18
C sampai 31 C. Suhu yang rendah dapat
menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar, sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu
polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang
menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi pekerja. Bila suhu udara 31
C perlu menggunakan alat penata udara seperti air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar 18
C perlu menggunakan alat pemanas ruangan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13MENX2011.
Universitas Sumatera Utara
3.
Kelembaban Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air dalam yang
terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu
menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 - 95 . Udara yang lembab
menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel
tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara
yang relatif rendah yaitu kurang dari 20 dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan Suma’mur, 1996. Bila kelembaban udara ruang kerja 95
perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja 65 perlu menggunakan humidifier Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1405MENKESSKXI2002.
2.3.4 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru
Menurut Pinzon 1999, kapasitas vital paru prediksi untuk pria adalah 27,63- 0,112 U TB, sementara pada wanita adalah 21,78-0,101 U TB dimana U adalah
umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam centimeter.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koesyanto 2005 nilai standar kapasitas vital paru dibagi kedalam perbedaan jenis kelamin adalah seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Usia Tahun
Nilai Standar Kapasitas Vital Paru ml
Usia Tahun
Nilai Standar Kapasitas Vital Paru ml
Laki-laki Perempuan
Laki-Laki Perempuan
17 4100
2750 27
4180 2740
18 4200
2800 28
4150 2720
19 4300
2800 29
4120 2710
20 4320
2800 30
4100 2700
21 4320
2800 31-35
3990 2640
22 4300
2800 36-40
3800 2520
23 4280
2790 41-45
3600 2390
24 4250
2780 46-50
3410 2250
25 4220
2770 51-55
3240 2160
26 4200
2760 56-60
3100 2060
Sumber : Koesyanto 2005
Berdasarkan American Thoracic Society 1995 nilai prediksi kapasitas vital paru dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan tinggi badan. Adapun nilai prediksi
kapasitas vital paru estimated vital capacity untuk pria adalah seperti terdapat pada tabel 2.3 lampiran 1.
2.3.5 Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru
Pemeriksaan kapasitas vital paru adalah suatu pemeriksaan yang sering digunakan secara klinik sebagai indeks fungsi paru Ganong, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan
praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal
Yunus, 2006. Cara kerja spirometer adalah dengan cara menarik nafas dan menghembuskan
nafas dalam keadaan hidung ditutup, sementara itu drum pencatat bergerak sesuai jarum jam sehingga pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi
udara. Dengan spirometri ini dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi
Price and Wilson, 1992 : 1. Vital Capacity VC, adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah
inspirasi maksimal 2. Force Vital Capacity FVC, adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada
ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin. 3. Forced Expiratory Volume in One Second FEV1, adalah volume udara yang dapat
diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC . Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru dengan
menggunakan Spirometer, maka kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain Aurorina, 2003 :
Universitas Sumatera Utara
1. Normal bila FEV1FVC ≥ 75 dan FVC ≥ 80
2. Gangguan restriksi bila FEV1FVC ≥ 75 dan FVC 80
3. Gangguan obstruktif bila FEV1FVC 75, FVC ≥ 80 dan FEV1
95 prediksi.
4. Gangguan campuran restriksi dan obstruktif bila FEV1FVC 75 dan FVC 80.
Hasil pengukuran kapasitas vital paru tersebut dapat diklasifikasikan seperti pada gambar 2.4 dibawah ini.
Gambar 2.4 Klasifikasi Penilaian Faal Paru
Sumber : American Thoracic Society, 1995 Menurut Alsagaf 2004 Forced Expiratory Volume in 1 Second FEV adalah
besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat
mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80 dari nilai FVC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan
FEV1FVC Normal
75 Obstruksi
80 FVC
Restriksi
Obstuksi Restriksi
Universitas Sumatera Utara
didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak
didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEVFVC lebih dari 75 berarti normal. Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik
atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital kapasitas vital mungkin normal sehingga rasio FEV1FVC kurang 80.
2.3.6 Penyakit Gangguan Faal Paru
Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami oleh paru- paru yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus, bakteri, debu maupun
partikel lainnya. Penyakit-penyakit pernapasan yang diklasifikasikan karena uji spirometri ada 2 macam, yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan
ventilasi obstruktif dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ventilasi restriktif Guyton, 1994.
1.
Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun
Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun PPOM merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara Suyono, 1995. Menurut Guyton 1994, penyakit-penyakit yang terrmasuk PPOM yaitu:
a.
Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam
Universitas Sumatera Utara
setahun. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang terdapat pada daerah industri.
b.
Emfisema Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas paru
dan luas permukaan Alveolus. Resiko primer untuk emfisema adalah merokok. Pajanan berulang ke asap rokok perokok pasif juga dapat menyebabkan
emfisema. Selain itu terdapat suatu suatu bentuk emfisema familial yang timbul pada orang-orang yang tidak terpajan asap rokok.
c.
Asma Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-
cabang takeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan
reversibel akibat bronkospasme.
d.
Bronkiektasis Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis yang menyebabkan atau
mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk, demam, dan dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau.
2.
Penyakit Pernapasan Restriktif
Menurut Suyono 1995, ada beberapa macam penyakit pernapasan restriktif, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Sarkoidosis Penyakit ini relatif sering ditemukan yang ditandai dengan grunuloma non-
kaseosa pada jaringan manapun. Paru adalah tempat yang biasa terkena, secara karakteristik granuloma tersebar difus menunjukkan gambaran retikuloduner
pada foto sinar X dan tidak terlihat secara makroskopik kecuali fokus granuloma yang berpadu. Lesi paru condong untuk penyembuh sehingga
mungkin terlihat sebagai parut secara mikroskopik. b. Fibrosis Paru Idiopatik
Kelainan yang ditandai oleh fibrosis interstinum paru progresif yang menyebabkan hipoksia. Penyakit ini progresif pada kebanyakan kasus,
berakibat insufisiensi paru, kor pulmonaler dan payah jantung. c. Pneumokoniosis
Pneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi debu organik dan anorganik tertentu. Penyakit ini sering dikaitkan dengan
penyakit akibat kerja. Bahan-bahan lain yang dapat menyebabkan pneumokoniosis antara lain silika, batu bara, besi, asbes. Pneumokoniosis
hanya timbul setelah terpajan bertahun-tahun. d. Pneumonitis Hipersensitivitas
Kelainan karena faktor imunologik ini disebabkan oleh debu atau antigen terinhalasi, misalnya spora pada jerami, protein bulu dan bakteri termofilik.
Universitas Sumatera Utara
e. Eosinofilia Paru Bermacam-macam kondisi klinikopatologik yang ditandai oleh sebutan
infiltrasi eosinofil dalam interstinum paru danatau ruang alveolus, meliputi eosinofilia paru sederhana, eosinofilia tropikal, eosinofilia paru kronik
sekunder, pneumonia eosinofilia kronik idiopatik. f. Bronkiolitis Obliterans atau Pneumonia Terorganisasi
Respons yang terjadi terhadap infeksi atau jejas radang pada paru, secara klinis terkait dengan batuk, sesak napas, dan sering dengan infeksi paru yang baru,
hubungan etiologi lain adalah toksin terinhalasi, obat, dan penyakit vaskuler- kolagen.
g. Hemoragi Paru Difus Komplikasi yang serius pada beberapa penyakit paru interstisial, terutama
yang disebut sindrom paru hemoragik, termasuk dalam penyakit ini adalah sindrom goodpasture, hemosiderosis pulmonal idiopatik dan pendarahan yang
berkaiatan dengan vaskulitis. h. Proteinosis Alveolar Paru
Penyakit ini dapat terjadi setelah pemaparan debu dan bahan kimia yang menyebabkan iritasi dan pada penderita yang tertekan kemampuan
imunologiknya. Bersifat progresif pada kebanyakan penderita, tetapi beberapa penderita dapat mengalami perjalanan-perjalanan penyakit yang ringan dan
akhirnya terjadi resolosilesi.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Landasan Teori
Analisis Pengaruh karakteristik pekerja dan paparan debu serta karakteristik fisik lingkungan kerja terhadap kapasitas vital paru pekerja di PT. Perkebunan
Nusantara III Persero PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2013 dilakukan mengacu kepada Teori Simpul Achmadi, 2008 yaitu proses kejadian
penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul sebagai berikut :
1. Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit yaitu risk agent berupa adanya bahan pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari debu sawit hasil pengolahan
Tandan Buah Segar TBS.
2. Simpul 2 merupakan media transmisi penyakit yaitu udara lingkungan kerja yang
telah tercemar dengan debu, suhu dan kelembaban udara lingkungan kerja.
3. Simpul 3 adalah perilaku pemajanan host yaitu dalam penelitian ini adalah
karakteristik pekerja.
4. Simpul 4 adalah dampak kesehatan bagi manusia yaitu pekerja yang akan dinilai
fungsi faal parunya dengan indikator kapasitas vital paru.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum kerangka teori dapat disampaikan seperti dibawah ini.
Gambar 2.5 Kerangka Teori
Kapasitas Vital Paru Pekerja
Karakteristik Pekerja : Umur
Masa kerja Waktu kerja
Penggunaan APD Kebiasaan merokok
Kebiasaan berolah raga Proses Pengolahan Kelapa Sawit
Bahan Baku
Proses Produksi
Hasil Produksi
Limbah
Kondisi Fisik Pekerja Udara
Lingkungan Kerja
Debu : Sifat debu
Kadar debu Kompisi kimia
Ukuran partikel
Normal atau terjadi gangguan
Simpul 1
Simpul 2
Kadar Debu di Lingkungan Kerja
Paparan Debu ke Saluran Pernafasan
Anatomi Paru Sistem pertahanan tubuh
Status Gizi Penyakit gangguan
pernafasan Jenis Kelamin
Faktor Genetik
Simpul 4 Simpul 3
Kondisi fisik lingkungan Kerja :
Suhu Kelembaban
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Kapasitas
Vital Paru Responden
Karakteristik Responden :
1. Umur 2. Masa Kerja
3. Penggunaan APD 4. Kebiasaan Merokok
Kondisi Fisik Lingkungan Kerja PKS :
1. Suhu