Faktor – faktor yang berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) pada pekerja di industri percetakan Mega Mall Ciputat tahun 2013

(1)

MEGA MALL CIPUTAT

TAHUN 2013

Skripsi

Oleh

AHMAD HASYIM RASYID 107101001768

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

(5)

iii

Nama : Ahmad Hasyim Rasyid

TTL : Jakarta, 4 April 1989 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Ponsel : +6281282061995

Alamat : Apartemen Taman Rasuna Tower 9 lt.16E, Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan

E-mail : hasyim_elmahdy@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

2007 – Sekarang : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2004 – 2007 : Madrasah Aliyah Pondok Pesantren An-Nahdlah UP MKS 2001 – 2004 : Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren UP MKS

1996 – 2001 : SDN 13 Biru Watampone SUL-SEL

PENGALAMAN ORGANISASI

2012 – Sekarang : Wakil Bendahara Pimpinan Pusat IPNU Masa Khidmat 2012 - 2015

2011 – 2012 : Bendahara Umum PC PMII Ciputat Masa Khidmat 2011-2012

2009 – 2012 : Staff Ahli LAN (Lembaga Anti Narkoba) PP. IPNU Masa Khidmat 2009 – 2012


(6)

iv

2009 – 2010 : Menteri Litbang (Penelitian dan Pengembangan) BEMJ Kesehatan Masyarakat

2008 – 2009 : Ketua Umum PMII KOMFAKKES Masa Khidmat 2008 - 2009


(7)

v

Segala puji kehadirat Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan selalu dekat dengan hamba-Nya. Syukur senantiasa terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Salawat teriring salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang dan kaya akan imu pengetahuan.

Skripsi dengan judul ”Faktor – faktor yang berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) pada pekerja di industri percetakan Mega Mall Ciputat tahun 2013” ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di kawasan Mega Mall Ciputat selama kurang lebih 2 bulan. Skripsi ini disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis, melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi serta semangat. Untuk itu penulis merasa pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, sebagai dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

vi

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pembimbing akademik. 3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS dan Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK

sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orang tua tercinta (ummi dan etta) yang tak henti-hentinya membimbing, memotivasi dan mendo’akan. Terima kasih atas dukungan moril maupun materilnya, perhatian serta kasih sayang yang telah diberikan begitu besar selama ini.

6. Sahabat tercinta Frita Nindya Aliftia yang setiap saat ada disampingku untuk membantu dan memotivasi penulis. Terima kasih atas semua pengorbanannya.

7. Bang Omat dan Pak Gozali yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat Nur Najmi Laila yang senantiasa memberikan informasi dan menemani penulis saat penelitian.


(9)

vii Hidup OPUS!

Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan magang ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca lain.

و ا اسل كي ع ةمحرو ا ه و رب اك هت

Jakarta, Agustus 2013


(10)

viii

Skripsi, 13 Mei 2013

Ahmad Hasyim Rasyid, NIM : 107101001768

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja di Industri Percetakan Mega Mall, Ciputat Tahun 2013.

xvii + 109 halaman, tabel, gambar, lampiran Abstrak

Penurunan Kapasitas vital paru dapat diakibatkan oleh pencemaran partikel debu, hal ini dapat dialami oleh para pekerja percetakan dengan gangguan restriktif, obstruktif serta campuran terutama pada industri percetakan di sektor informal yang masih belum memiliki pengendalian bahaya untuk menurunkan resiko penurunan KVP. Adapun berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja percetakan di kawasan Mega Mall Ciputat, diketahui bahwa pekerja percetakan yang mengalami gangguan sebanyak 9 orang. Berdasarkan hal di atas perlu dibuktikan apa saja faktor-faktor yang berhubungan terhadap kapasitas vital paru di dalam suatu penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2013 pada industri percetakan di kawasan Mega Mall Ciputat, Tangerang Selatan. Faktor-faktor yang diteliti adalah kondisi lingkungan kerja (kadar debu total dan ventilasi ruangan) dan kondisi pekerja (umur, masa kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit dan jens kelamin. Sampel Penelitian sebanyak 70 orang pekerja percetakan. Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa Spirometer, Haz Dust Model EPAM 5000, timbangan injak, microtoise, meteran dan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus Chi Square dan Mann Whitney.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pekerja yang mengalami gangguan KVP sebanyak 50 pekerja (71,4 %). Berdasarkan hasil analisis uji statistik diketahui faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan KVP adalah kondisi lingkungan kerja (kadar debu total dan ventilasi ruangan) dan kondisi pekerja (riwayat penyakit, masa kerja, kebiasaan merokok dan kebiasaan olahraga. Kadar debu total (Pvalue = 0,036), ventilasi ruangan (Pvalue = 0,025, riwayat penyakit (Pvalue = 0,027), masa kerja (Pvalue = 0,000), kebiasaan merokok (Pvalue = 0,000) dan kebiasaan olahraga (Pvalue = 0,000).

Untuk menurunkan resiko gangguan KVP pada pekerja percetakan, disarankan bagi para pekerja yang memiliki kebiasaan merokok, untuk berhenti merokok. Semua pekerja baik yang laki-laki atau perempuan harus rajin berolahraga minimal 3-5 kali dalam seminggu dengan durasi 20-60 menit per hari. Sebagai wujud


(11)

ix Daftar bacaan : 46 (1990 – 2012)


(12)

x

Ahmad Hasyim Rasyid, Reg.Number : 107101001768

Factors Related to the Pulmonary Vital Capacity of Laborer in Printing Industrial of Mega Mall, Ciputat of 2013

xvii + 109 pages, table, figure, appendix

Abstrack

The decline of pulmonary vital capacity can be caused by the dust pollution, this case is experienced by printing laborer with restrictive, obstructive and mixing disturbance mainly at printing industrial in informal sector is still not have dangerous controlling to reduce the risk of KVP decline. Based on the result of initial study was carried out of 10 printing laborer in Mega Mall area of Ciputat, is known that the printing laborer who experience disturbance as much 9 peoples. Based on the above need to prove what the factors related to the pulmonary vital capacity in a study.

This study was quantitative, with cross sectional approach. This study was carried out at February-March 2013 at printing industrial in Mega Mall area of Ciputat, south Tangerang. The factors studied area work environment condition (total-dust level,and room ventilation) and laborer condition (ages, working life, smoking habits, exercises habits, nutrient status, disease history and sex). Sample of study was 70 people of printing laborer. The data collecting using research instrument such as Spirometer, Haz Dust Model EPAM 5000, pedal scales, microtoise, meter and questionnaire. Then, the data obtained was done statistical test by using chi-square and Man hitney equations.

Result of study shows that laborer who experience KVP disturbance of 50 laborer (71,4%). Based on the result of statistical test is known factors that have relationship with KVP was work environment condition (total-dust level and room ventilation) and laborer condition (disease history, working life, smoking habit, and exercise habit). Total-dust level (p-value = 0,036), room ventilation (p-value = 0,025), disease history (p-value = 0,027), working life (p-value = 0,000), smoking habit (p-value = 0,000) and exercise habit (p-value = 0,000).

To reduce the risk of KVP disturbance of printing laborer is recommended for laborer who has smoking habit to stop smoke. All laborer both man or women must be diligent in exercise at least 3 – 5 times a week with duration 20 – 60 minutes per day, in order to improve KVP of laborer. As realization of KVP disturbance controlling is recommended for supplying, utilization and APD (mask) maintenance


(13)

xi References : 46 (1990-2012).


(14)

xii

LEMBAR PERNYATAAN ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

1. Tujuan Umum Penelitian ... 9

2. Tujuan Khusus Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kapasitas Vital Paru ... . 13

B. Sistem Pernafasan Manusia ... 14

C. Volume dan Kapasitas Vital Paru ... 16

D. Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru ... 18


(15)

xiii

Industri Percetakan ... 35

H. Pengendalian untuk Meminimalisir Penurunan Fungsi Paru ... 54

I. Kerangka Teori ... 56

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konsep ... 57

B. Defenisi Operasional ... 59

C. Hipotesis ... 62

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 63

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 63

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 63

D. Instrumen Penelitian ... 66

E. Pengumpulan Data ... 67

F. Pengolahan Data ... 71

G. Teknik Analisis Data ... 73

BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisis Univariat ... 75

B. Analisis Bivariat ... 83

BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ... 89

B. Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja ... 90

C. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru ... 92


(16)

xiv

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 107 B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

xv

Halaman

Tabel 2.1. Nilai Restriktif Kapasitas Vital Paru (KPV) ... 21

Tabel 2.2. Nilai Obstruktif Kapasitas Vital Paru (KPV) ... 22

Tabel 2.3. Aktifitas fisik/kegiatan olahraga ... 47

Tabel 2.4. Batas Ambang IMT (orang Indonesia) ... 50

Tabel 3.1. Defenisi Operasional ... 59

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Percetakan di Kawasan Mega Mall Ciputat Tahun 2013 ... 75

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Lingkungan Kerja Percetakan Berdasarkan Karakteristiknya, Ciputat Tahun 2013... 76

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pekerja Percetakan Berdasarkan Karakteristiknya, Ciputat Tahun 2013 ... ... 78

Tabel 5.4. Distribusi Kebiasaan Olahraga Pekerja Percetakan Berdasarkan Jenis, Frekensi dan Durasi, Ciputat Tahun 2013... 81

Tabel 5.5. Distribusi Umur Pekerja Pekerja Percetakan Berdasarkan Karakteristiknya, Ciputat Tahun 2013 ... 82

Tabel 5.6. Hubungan antara Karakteristik Lingkungan Kerja dengan KVP Pekerja Percetakan di Kawasan Mega Mall Ciputat Tahun 2013 ... 82

Tabel 5.7. Hubungan antara Karakteristik Pekerja dengan KVP Pekerja Percetakan di Kawasan Mega Mall Ciputat Tahun 2013 ... 84


(18)

(19)

xvii

Halaman


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kapasitas vital paru adalah jumlah udara maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu tarikan napas. Kapasitas ini mencakup volume cadangan inspirasi, volume tidal dan cadangan ekspirasi. Nilainya diukur dengan menyuruh individu melakukan inspirasi maksimum, kemudian menghembuskan sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur (Corwin, 2001). Menurut Tambayong (2001), kapasitas vital paru adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah udara dipenuhi secara maksimal.

Pada tahun 1999, ILO (International Labor Organization) mendata penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan antara lain 34% disebabkan karena kanker, kecelakaan sebanyak 25%, penyakit saluran pernapasan kronis 21%, penyakit kardiovaskuler 15%, dan lain-lain sebanyak 5% (Sulistomo, 2002). Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat yang serius. Lebih dari 3% kematian akibat penyakit paru di New York adalah berhubungan dengan pekerjaan (Ikhsan, 2002).

Inggris melakukan penelitian pada tahun 1989 dengan nama The Surveillance of Work Related and Occupational Respiratory Disease (SWORD). Dari data tahun 1996 ditemukan 3300 kasus baru penyakit paru yang berhubungan dengan pekerjaan. Sedangkan di Indonesia belum ada data resmi tentang berapa banyak angka kejadian kasus penyakit paru akibat kerja, tetapi


(21)

dari beberapa penelitian yang dilakukan cukup banyak dijumpai kasus penyakit paru akibat kerja (Ikhsan, 2002).

Berbagai partikel berbahaya di tempat kerja dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan tenaga kerja seperti debu kertas dan tinta. Debu kertas dan tinta yang berada di udara tempat kerja dapat berpotensi masuk ke dalam paru-paru melalui inhalasi, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada jaringan paru sampai pada berkurangnya fungsi paru atau lebih dikenal dengan penurunan fungsi paru yang bersifat restriktif (Siregar,2004).

Suatu penelitian yang dilakukan di Cina pada tahun 1996 menunjukkan bahwa lebih dari 7 juta tenaga kerja telah terpajan oleh bahaya debu, ditemukan sekitar 400.000 kasus pneumoconiosis dan mengakibatkan kurang lebih 80.000 kematian. Hal ini merupakan salah satu contoh risiko kesehatan yang dihubungkan dengan pencemaran udara di lingkungan kerja (Wang Sheng, 1997 dalam Siregar, 2004).

Debu dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis apabila terinhalasi selama bekerja terus menerus. Bila alveoli mengeras, akibatnya mengurangi elastisitas dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun (Depkes RI, 2003). Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Suma’mur, 1988).

Tinta merupakan campuran bahan kimia yang sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan di berbagai industri. Tinta cetak berupa partikel halus


(22)

yang dapat terhisap ke dalam saluran nafas. Lokasi deposisi partikel di saluran nafas ditentukan oleh konsentrasi, kelarutan, dan ukurannya.Partikel dengan ukuran yang kecil akan mudah terhisap, sehingga potensial merupakan pajanan khususnya terhadap kesehatan paru. Tinta cetak juga dapat mempengaruhi beberapa organ lain seperti susunan saraf pusat, hati, ginjal, kulit, mata, organ reproduksi, jantung, dan paru (Wahyuningsih,2003).

Partikel berukuran 10 μm atau lebih akan mengendap di hidung dan

faring, yang berukuran kurang dari 5 μm dapat penetrasi sampai ke alveoli, dan

partikel berukuran sedang (5-10 μm) akan mengendap di beberapa tempat di saluran nafas besar. Lokasi deposisi partikel akan memberikan respon atau penyakit yang berbeda. Faktor manusia juga berperan penting dalam berkembangnya penyakit, seperti kebiasaan merokok, kecepatan aliran udara pernafasan, ukuran paru dan faktor genetik (Levi,1994).

Industri percetakan yang kini banyak termasuk dalam industri sektor informal. Industri sektor informal adalah sektor kegiatan ekonomi marginal atau kecil-kecilan. Ciri-ciri kegiatan ekonomi marginal yang dikategorikan ke dalam sektor informal antara lain sebagai berikut: 1) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaan, 2) Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, 3) Modal, peralatan, dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian, 4) Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggal, 5)


(23)

Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar, 6) Pada umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah, 7) Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan dan 8) Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga dari lingkungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama (Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990).

Menurut Iryanti (2010), Direktur Tenaga Kerja dan Penciptaan Kesempatan Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa timbulnya sektor informal ini adalah akibat dari rendahnya peluang kerja di sektor formal sehingga pertumbuhan angkatan kerja tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja. Akibatnya, banyak pencari kerja yang mengadu nasib di sektor informal, saat ini ada sekitar 70 % pekerja Indonesia yang bekerja di sektor informal. Akan tetapi, kelompok masyarakat pekerja sektor informal masih belum memperoleh perhatian dalam hal kesehatan kerjanya. Selama ini mereka hanya memperoleh pelayanan kesehatan secara umum, namun belum dikaitkan dengan pekerjaannya. Seperti tindakan pencegahan dan pengendalian yang ada belum di sesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja. Pada umumnya fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja lebih banyak dinikmati oleh tenaga kerja yang bekerja pada industri berskala besar (jumlah pekerja lebih dari 500 orang). Pada industri berskala kecil dan menengah,


(24)

fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja masih bersifat parsial dan mungkin tidak ada sama sekali (Nur, 2005).

Menurut Khumaidah (2009), kapasitas vital paru dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, riwayat penyakit dan pekerjaan, kebiasaan merokok dan olahraga, serta status gizi dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwasanya ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khumaidah (2009), menunjukkan ada hubungan antara kadar debu, masa kerja, penggunaan APD, kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru pada pekerja mebel PT Kota Jati Furnindo desa Suwawal kecamatan Mlonggo kabupaten Jepara.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2007) didapatkan bahwa ada hubungan antara penggunaan masker dan masa kerja dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengecatan mobil di Kota Semarang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2007) diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok, dan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru.

Lingkungan kerja yang sering dipenuhi oleh debu, dapat mengganggu produktivitas dan mengganggu kesehatan di pihak lain. Hal ini sering menyebabkan gangguan pernapasan ataupun dapat mengganggu kapasitas vital

paru (Suma’mur, 1996). Dalam kondisi tertentu, debu merupakan bahaya yang


(25)

gangguan fungsi faal paru bahkan dapat menimbulkan keracunan umum (Depkes RI, 2003).

Setelah peneliti melakukan observasi di lapangan, kondisi ruang kerja industri percetakan di kawasan Mega Mall Ciputat yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan terhadap pekerja diantaranya adalah ruang kerja berdebu yang berasal dari debu kertas. Hasil dari pemotongan kertas membuat udara di dalam ruangan bercampur dengan debu kertas yang dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis apabila terinhalasi selama bekerja terus menerus. Sedangkan debu dari tinta cetak yang begitu menyengat memperburuk kualitas udara di dalam ruang kerja ditambah lagi dengan tidak ada satu orang pun dari pekerja yang menggunakan alat pelindung diri (APD)/masker. Kondisi luas ruangan yang sempit dan tata ruang yang tidak teratur dapat menghambat sirkulasi udara. Sedangkan ventilasi yang ada tidak cukup membantu sebagai media keluar masuknya udara bersih guna menjaga agar ruangan tetap nyaman bagi pekerja. Dikarenakan ventilasi yang ada tidak memperhatikan luas ruangan yang ada untuk kemudian disesuaikan dengan luas ventilasi pada setiap ruangan. Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan. Hasil studi pendahuluan pada tanggal 13 Mei 2013 yaitu kepada 10 pekerja percetakan dengan menggunakan alat Spirometer, 5 diantaranya mengalami restriksi ringan. Sedangkan 2 diantaranya mengalami restriksi sedang. Responden yang lain masing-masing mengalami gangguan obstruksi


(26)

sedang berat dan restriksi berat. Sedangkan dari 10 responden yang diteliti hanya 1 yang dalam kondisi faal paru dalam batas normal.

Dengan latar belakang inilah peneliti ingin meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru (KVP) pada pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

B. Rumusan Masalah

Berbagai partikel berbahaya di tempat kerja dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan tenaga kerja seperti debu kertas dan tinta. Debu kertas dan tinta yang berada di udara tempat kerja dapat berpotensi masuk ke dalam paru-paru melalui inhalasi, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada jaringan paru sampai pada berkurangnya fungsi paru atau lebih dikenal dengan penurunan fungsi paru yang bersifat restriktif.

Di industri percetakan, kondisi lingkungan kerja yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap pekerja diantaranya adalah paparan debu padat yang bersumber dari kertas dan tinta yang dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis apabila terinhalasi selama bekerja terus menerus. Faktor ventilasi sebagai media keluar masuknya udara bersih agar ruangan tetap nyaman bagi pekerja belum diperhatikan secara optimal oleh pemilik percetakan dan para pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri (APD)/masker dalam bekerja.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja percetakan di kawasan Mega Mall Ciputat, diketahui pekerja percetakan yang


(27)

mengalami restriksi kapasitas vital paru ringan sebanyak 5 orang atau sebesar 50% dan restriksi kapasitas vital paru sedang sebanyak 2 orang atau sebesar 20%. Sedangkan masing-masing 1 orang yang mengalami obstruksi kapasitas vital paru sedang berat dan restriksi berat atau sebesar masing-masing 10 %. Sedangkan dari 10 responden yang diteliti hanya 1 orang atau 10% memiliki kapasitas vital paru normal. Artinya dari 10 pekerja percetakan diketahui mayoritas pekerja percetakan yang diteliti mengalami restriksi kapasitas vital paru.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pada pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013?

2. Bagaimana gambaran umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, masa kerja dan jenis kelamin pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013?

3. Bagaimana gambaran kadar debu total dan ventilasi ruangan di lingkungan kerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013?

4. Apakah ada hubungan antara umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, masa kerja dan jenis kelamin pekerja dengan


(28)

Kapasitas Vital Paru pada pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013?

5. Apakah ada hubungan antara kadar debu total dan ventilasi ruangan dengan Kapasitas Vital Paru pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Penelitian

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

2. Tujuan Khusus Penelitian

a. Diketahuinya gambaran kapasitas vital paru pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

b. Diketahuinya gambaran umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, masa kerja dan jenis kelamin pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

c. Diketahuinya gambaran kadar debu total dan ventilasi ruangan pada lingkungan kerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

d. Diketahuinya hubungan antara umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, masa kerja dan jenis kelamin pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.


(29)

e. Diketahuinya hubungan antara kadar debu total dan ventilasi ruangan dengan kapasitas vital paru pekerja percetakan di Mega Mall Ciputat tahun 2013.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Industri Percetakan

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan masukan mengenai gambaran kapasitas vital paru pada pekerja dan faktor-faktornya sehingga dapat menjadi bahan proses penetapan kebijakan kesehatan kerja di industri percetakan.

2. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti lain, untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru.

3. Bagi Penulis

Diharapkan melalui penelitian ini, peneliti mengimplementasi keilmuan K3 yang telah diperoleh selama perkuliahan, khususnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru.


(30)

F. Ruang Lingkup Penelitian

Topik penelitiaan ini tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja di industri percetakan. Penelitiaan ini pelaksanaannya di industri percetakan Mega Mall Ciputat Jalan Ir.H. Juanda Ciputat, Tangerang Selatan. Pada bulan Februari sampai Maret tahun 2013, oleh mahasiswa semester XII peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain studi Cross Sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja di industri percetakan Mega Mall Ciputat. Sasaran penelitian adalah pekerja percetakan yang ada di kawasan Mega Mall Ciputat dengan jumlah sampel 70 orang. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja percetakan di kawasan Mega Mall Ciputat, diketahui 5 diantaranya mengalami restriksi ringan. Sedangkan 2 diantaranya mengalami restriksi sedang. Responden yang lain masing-masing mengalami gangguan obstruksi sedang berat dan restriksi berat. Sedangkan dari 10 responden yang diteliti hanya 1 yang dalam kondisi faal paru dalam batas normal.

Data-data yang diperoleh berasal dari data primer dengan pengukuran Kapasitas Vital Paru (KVP) dengan alat Spyrometer, kadar debu total dengan alat Huz Dust Model EPAM 5000, pengukuran berat badan dengan timbangan badan, pengukuran tinggi badan dengan Microtoa, pemeriksaan kesehatan oleh dokter dan quesioner pada pekerja di industri percetakan Mega Mall


(31)

Ciputat. Data tersebut disajikan dalam tabel distribusi frekuensi, kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chisquare untuk melihat hubungan antara variabel independen (umur, masa kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, jenis kelamin, kadar debu total dan luas ventilasi ruangan) dengan variabel dependen (kapasitas vital paru).


(32)

13

A. Kapasitas Vital Paru (KVP)

Kapasitas vital paru adalah jumlah udara maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu tarikan napas. Kapasitas ini mencakup volume cadangan inspirasi, volume tidal dan cadangan ekspirasi. Nilainya diukur dengan menyuruh individu melakukan inspirasi maksimum, kemudian menghembuskan sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur (Corwin, 2001). Menurut Tambayong, kapasitas vital paru adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah udara dipenuhi secara maksimal (Tambayong, 2001).

Sedangkan menurut Suma’mur (1998), kapasitas fungsi paru

merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru-paru adalah:

a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity=IC) adalah volume udara yang masuk paru setelah inspirasi maksimal atau sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal (IC=IRV+TV).

b. Kapasitas Vital (Vital Capacity), volume udara yang dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah sebelumnya melakukan inspirasi maksimal. Kapasitas vital besarnya sama dengan volume inspirasi cadangan ditambah volume tidal (VC=IRV+ERV+TV).


(33)

c. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity=TLC) adalah kapasitas vital ditambah volume sisa (TLC=VC+RV atau TLC=IC+ERV+RV)

d. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity=FRC) adalah volume ekspirasi cadangan ditambah volume sisa(FRC=ERV+RV)

Berdasarkan hasil penelitian Rini (1998) di Mojokerto menunjukan bahwa penurunan kapasitas vital paru pada pekerja pemecah batu, dengan gangguan restriksi sebesar 67%, ia menyimpulkan bahwa penurunan kapasitas vital paru terjadi karena penurunan elastisitas paru yang di sebabkan oleh fibrosis akibat pajanan debu yang diduga mengandung silica. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Adi (2007) pada pabrik pembuatan genteng, diketahui 35 (85%) pekerja mengalami restriksi dari 41 orang pekerja.

B. Sistem Pernafasan Manusia

1. Pengertian saluran pernafasan

Saluran pernafasan adalah saluran yang mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, yaitu tempat terakhir yang merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat berlangsung (Thabrani,1996).

2. Fungsi pernafasan

Fungsi utama pernafasan adalah untuk pertukaran gas yakni untuk memperoleh oksigen agar dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeleminasi karbondioksida yang dihasilkan oleh sel (Thabrani,1996).


(34)

3. Jalur pernafasan

Saluran pernafasan berawal dari saluran hidung (nasal). Dari hidung berjalanke faring (tenggorokan) yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem pernafasan maupun sistem pencernaan. Dari faring kemudian laring atau kotaksuara yang dapat menghasilkan berbagai macam bunyi. Dari laring menuju ketrakea yang terbagi menjadi dua cabang utama bronkus kanan dan kiri. Dalamsetiap paru bronkus terus bercabang menjadi slauran nafas yang makin sempit. Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus, tempat terkumpulnya alveoluskantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas antar udara dan darah (Thabrani,1996).

4. Pertahanan paru

Paru-paru mempunyai pertahanan yang khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan tarjadi kontak dengan alergen dalam mempertahankan tubuh, sebagaimana mekanisme tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan humoral. Mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru terbagi atas (Thabrani,1996):

a) Filtrasi udara pernafasan

Hembusan udara yang melalui rongga hidung mempunyai berbagai ukuran. Partikel berdiameter 5 – 7 μ akan bertahan di orofaring, diameter

0,5 –5 μ akan masuk sampai ke paru-paru dan diameter 0,5 μ dapat masuk


(35)

b) Pembersihan melalui mukosilia c) Sekresi oleh humoral lokal d) Fagositosis

C. Volume dan Kapasitas Vital paru

Volume paru dan kapasitas vital paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas vital paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi ventilisator paru.

1. Volume Paru

Selama pernapasan berlangsung, volume selalu berubah-ubah. Dimana mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi. Dalam keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung

hampir tanpa disadari (Suma’mur, 1988). Beberapa parameter yang

menggambarkan volume paru adalah:

- Volume Tidal (Tidal Volume=TV), adalah volume udara masuk dan keluar pada pernapasan. Besarnya TV orang dewasa sebanyak 500 ml.

- Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume=IRV), volume udara yang masih dapat dihirup kedalam paru sesudah inspirasi biasa, besarnya IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml.


(36)

- Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume=ERV), volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa, besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml.

- Volume Residu (Residual Volume=RV), udara yang masih tersisa didalam paru sesudah ekspirasi maksimal. TV, IRV dan ERV dapatdiukur dengan spirometer, sedangkan RV=TLC-VC.

2. Kapasitas Paru

Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai berikut: a) Kapasitas inspirasi

Jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 mL).

b) Kapasitas residu fungsional

Jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 mL).

c) Kapasitas paru total

Volume maksimum dimana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 mL).


(37)

D. Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan kapasitas vital paru adalah spirometri. Pemeriksaan dengan spirometri ini adalah tes yang berhubungan dengan fungsi ventilasi paru-paru dan dinding dada, dengan menggunakan alat spirometer yang mengukur arus dalam satuan isi dan waktu. Uji ini sangat menguntungkan karena terbukti dapat diandalkan untuk tujuan epidemiologi.

Dikenal beberapa jenis spirometer antara lain: water sealed spirometer. Alat ini terdiri dari alat untuk bernafas, penangkap CO2 (soda lime), alat pencatat

spirogram (kimograf), alat ini terdiri dari penghisap (piston) didalam silinder, diantara piston dan silinder terdapat semacam lapisan plastik. Sedangkan spirometer wedge, spirometer piston, spirometer bellows, terdiri dari alat yang dapat mengembang dan mengempis akibat pernafasan, terbuat dari karet dan plastik. Alat ini dihubungkan dengan pena untuk mencatat pergerakan pada kertas grafik yang berputar dengan kecepatan tetap. Spirometer elektronik, alat ini mudah dibawa serta mudah digunakan dan hasilnya langsung tertera setelah pemeriksaan (Ahmadi, 1990).

Menurut Ahmadi (1990) Ada empat volume paru utama serta empat kapasitas paru utama yang diukur dengan spirometer. Pemeriksaan volume paru utama yaitu :

1. Volume alur nafas (tidal volume), adalah jumlah udara yang masuk ke dalam dan ke luar paru pada pernafasan nomal.


(38)

2. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume), adalah jumlah udara yang masih dapat masuk kedalam paru pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa.

3. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume), adalah jumlah udara yang dikeluarkan secara aktif dari dalam paru setelah ekspirasi biasa.

4. Volume residu (residual volume), adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi maksimal.

Hasil dari tes kapasitas vital paru tidak dapat untuk mendiagnosis suatu panyakit paru-paru tapi hanya memberikan gambaran gangguan fungsi paru yang dapat dibedakan atas (Price, 1995):

1. Kelainan obstruktif (kelainan pada ekspirasi)

Adalah setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran nafas. Kelainan obstruktif akan mempengaruhi kemampuan ekspirasi.

2. Kelainan restriktif (kelainan pada inspirasi)

Adalah gangguan pada paru yang menyebabkan kekakuan paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru. Gangguan restriktif mempengaruhi kemampuan inspirasi.

Oleh karena itu untuk menetapkan lokasi dari kelainan ini beberapa tes perlu dilakukan antara lain (Price, 1995):

1. Kapasitas vital (vital capacity)


(39)

3. Fungsi difusi 4. Analisis gas

Angka-angka yang didapat dari pemeriksaan kapasitas vital paru mempunyai beberapa kategori, yaitu (Price, 1995):

1. Angka yang ditentukan oleh berat badan, luas permukaan tubuh, tinggi badan dan usia.

2. Angka-angka yang didapatkan mempunyai variabilitas.

3. Setiap pemeriksaan mempunyai angka yang “predicted”, yakni angka yang

dianggap sebagai pembagi dari angka pemeriksaan.

4. Untuk menggambarkan fungsi paru adalah angka yang diperoleh dibagi dengan angka”predicted” dalam 100%.

Dasar pemeriksaan kapasitas vital paru, terbagi dua yaitu nilai restriktif dan nilai obstruktif, kriterianya seperti pada tebel berikut (McKay, 1994):

Tabel 2.1 Nilai Restriktif KVP

No %FEV1/FVC %FVC Kesimpulan

1 2 3 4

> 75

> 80 60 – 79 30 – 59 < 30

Normal Restriktif ringan Restriktif sedang Restriktif berat


(40)

Tabel 2.2. Nilai Obstruktif KVP

No %FVC %FEV/FVC Kesimpulan

1 2 3 4 > 75 > 75 60 – 74 30 – 59 < 30

Normal Obstruktif ringan Obstruktif sedang Obstruktif berat

Sumber: McKay, 1994

1. Prosedur Pemeriksaan Spirometri

Menurut Charles (1993), langkah-langkah persiapan pemeriksaan spirometri mencakup antara lain :

a. Persiapan alat yang digunakan termasuk akurasi dan ketepatan alat spirometer.

b. Persiapan tenaga kerja yang akan diperiksa, baik fisik maupun mental. c. Penjelasan-penjelasan mengenai pemeriksaan dan cara-cara pemeriksaan

yang akan dihadapi.

d. Latihan tenaga kerja mengenai cara pemeriksaan bagi tenaga kerja.

Sedangkan menurut Depnakertrans (2005) dalam Modul Pelatihan Pemeriksaan Kesehatan Kerja, sebelum melakukan pemeriksaan spirometri ada beberapa hal yang harus disiapkan antara lain :

a. Siapkan alat spirometer dan kalibrasi harus dilakukan sebelum pemeriksaan.


(41)

b. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi saluran nafas bagian atas, dan hati-hati pada penderita asma karena dapat memicu serangan asma.

c. Masukkan data yang diperlukan, yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan untuk mengetahui nilai prediksi.

d. Beri petunjuk dan demonstrasikan manuver pada tenaga kerja, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup mouth tube.

e. Tenaga kerja dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernafasan biasa, tiga kali berturut-turut, kemudian langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth tube.

f. Manuver dilakukan tiga kali untuk mengetahui FVC dan FEV1.

g. Hasilnya dapat dilihat pada print out.

Charles (1993) menuliskan bahwa untuk melakukan pemeriksaan adalah dengan cara sebagai berikut :

a. Memasukkan mouth piece/alat peniup ke dalam mulut sepanjang lebih kurang setengahnya, harus tepat dan rapat.

b. Tenaga kerja menarik napas semaksimal mungkin, kemudian dilepaskan sekaligus dengan meniupnya melalui alat peniup ke dalam spirometer. c. Hal ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan hasil yang terbaik


(42)

d. Spirometer akan merekam hasil yang terbaik dari pemeriksaan yang dilakukan.

2. Parameter-parameter Faal Paru

Ada banyak jenis parameter pemeriksaan faal paru, namun pada penelitian ini hanya satu parameter yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu kapasitas vital paksa (forced vital capacity)

a. Vital capacity (VC)

Kapasitas vital sama dengan volume cadangan inspirasi ditambahkan dengan volume tidal dan volume cadangan ekspirasi. Ini adalah volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan oleh seseorang dari paru,setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian mengeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600ml) (Guyton, 1994).

Ada dua macam kapasitas vital berdasarkan cara pengukurannya (Hasjim dan Jazir, 1983):

1. Vital Capacity (VC): pada pengukuran jenis ini penderita tidak perlu melakukan aktivitas pernafasan dengan kekuatan penuh

2. Forced Vital Capacity (FVC): pada pengukuran ini pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan maksimal


(43)

Pada orang normal tidak ada perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas vital paksa, tetapi pada keadaan ada gangguan obstruktif terdapat perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas vital paksa.

b. Kapasitas Vital Paksa (forced vital capacity)

Adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin. Volume udara ini dalam keadaan normal nilainya kurang lebih sama dengan kapasitas vital. Pada penderita obstruktif saluran nafas akan mengalami pengurangan yang jelas karena penutupan pengatur saluran nafas. Dalam melakukan kapasitas vital paksa tekniknya mula-mula orang tersebut inspirasi maksimal sampai kapasitas paru total, kemudian ekspirasi ke dalam spirometer dengan ekspirasi maksimal paksa secepatnya dan sesempurna mungkin. Kapasitas vital kuat hampir sama, hanya terdapat perbedaan pada volume dasar paru antara orang normal dan penderita obstruktif.

Sebaliknya terdapat pebedaan besar pada kecepatan aliran maksimal yang dapat dikeluarkan seseorang terutama selama detik pertama. Oleh karena itu biasanya merekam volume ekspirasi paksa selama detik pertama (FEV 1) dan membandingkan antara yang normal dan abnormal. Pada orang normal persentase kapasitas vital kuat yang dikeluarkan pada detik pertama (FEV1/FVC%) adalah 80%. Pada obstruksi saluran nafas yang serius, yang sering terjadi pada asma akut, kapasitas ini dapatberkurang menjadi kurang dari 20% (Guyton, 1994).


(44)

c. Makna kapasitas vital paksa

Selain nilainya bergantung dari bentuk anatomi seseorang, faktor – faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah (Guyton, 1994): 1. Posisi seseorang ketika kapasitas ini diukur

2. Kekuatan otot-otot pernafasan

3. Daya renggang/ pengembangan paru-paru dan rangka dada yang

disebut “compliance paru”.

Besarnya kapasitas vital pada pria dewasa muda ± 4,6 lt dan pada wanita dewasa muda kira-kira 3,1 lt. Orang yang tinggi kurus biasanya mempunyai kapasitas vital lebih besar dari orang yang gemuk pendek , sedangkan keadaan latihan olah raga dapat menambah VC sebesar 30-40% di atas nilai normal yaitu mencapai 6-7 lt.

Penurunan kapasitas vital disebabkan oleh berkurangnya compliance paru.Faktor apapun yang mengurangi kemampuan paru untuk mengembang juga menurunkan kapasitas vital, seperti tuberkulosis (TB paru), asma kronik, bronchitis kronik dan pleuritis fibrosis. Oleh karena itu pengukuran kapasitas vital merupakan salah satu pengukuran yang terpenting dan paling sederhana dari semua pengukuran (McKay, 1994).

Perubahan kapasitas akibat bendungan paru pada payah jantung kiri atau penyakit lain yang menyebabkan bendungan pembuluh darah paru dan edema, kapasitas vital menjadi menurun, karena kelebihan cairan dalam paru mengurangi compliance (McKay, 1994).


(45)

E. Debu Industri

Paparan debu dalam industri percetakan antara lain dihasilkan oleh proses pemotongan kertas dan tinta cetak. Debu kertas dan tinta cetak merupakan debu yang dihasilkan dari proses produksi percetakan.

1. Golongan Debu

Menurut Ahmadi (1990), golongan debu terdiri atas dua, yaitu: a. Padat (solid)

- Dust

Terdiri atas berbagai ukuran mulai dari yang sub mikroskopik sampai yang besar. Yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhisap kedalam sistem penafasan (<100 mikron) bersifat dapat terhisap ke dalam tubuh.

- Fumes

Adalah partikel padat yang terbentuk dari proses evaporasi atau kondensasi. Pemanasan berbagai logam menghasilkan uap logam yang kemudian berkondensasi menjadi partikel-partikel metal fumes contoh: Cd dan Pb.

- Smoke

Adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan berukuran 0,5 mikron.


(46)

b. Cair (Likuid)

Partikel cair biasanya disebut mist atau fog (awan) yang dihasilkan melalui proses kondensasi atau atomizing. Contoh: hair spray atau obat nyamuk semprot.

2. Debu yang terdapat di udara terbagi dua yaitu :

a. Particulate matter

Adalah partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan segera mengendap karena daya tarik bumi.

b. Suspended particulate matter

Adalah debu yang tetap berada diudara dan tidak mudah mengendap.

3. Sifat - sifat Debu

Menurut Muchtler (1973), sifat – sifat debu dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan sebagai berikut :

a. Sifat pengendapan (setting rate)

Sifat debu cenderung selalu mengendap karena adanya gaya gravitasi bumi. Namun karena kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di udara, debu yang mengendap mempunyai proporsi partikel lebih banyak daripada yang ada di udara.


(47)

b. Sifat permukaan basah (wetting)

Sifat permukaan debu cenderung selalu basah karena dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis.

c. Sifat penggumpalan (floculation)

Permukaan debu dapat menempel satu dengan yang lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan pembentukan penggumpalan.

d. Sifat optis (opticalproperties)

Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang bisa terlihat dalam kamar gelap.

e. Sifat listrik (electrical)

Sifat listrik tetap yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan, ini mempercepat penggumpalan debu.

4. Macam-macam debu

Pembagian debu didasarkan pada sifat dan efeknya. Menurut Ahmadi (1990), secara garis besar ada tiga macam debu, yaitu:

a. Debu organik, seperti debu kapas, debu kertas, debu daun-daunan tembakau dan sebagainya.

b. Debu mineral yang mempunyai senyawa komplek seperti SiO0, SiO3,

arang batu dan sebagainya


(48)

5. Ukuran partikel debu

a. Ukuran 5-10 μ akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas. b. Ukuran 3-5μ ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. c. Ukuran 1-3 μ langsung kepermukaan alveoli paru-paru.

d. Ukuran 0,1-1 μ bergerak keluar masuk alveoli sesuai gerakan brown.

6. Pengaruh debu terhadap kesehatan

a. Keracunan lokal

b. Debu penyebab fibrosis, karena sifatnya yang tidak larut dapat masuk kedalam nafas besama-sama udara pernafasan, diendapkan dalam paru-paru dan diselimuti oleh jaringan yang mengeras

c. Debu inert yaitu debu yang tidak berbahaya tetapi dapat menganggu kenyamanan kerja (contoh debu tanah).

d. Debu alergen, yaitu debu penyebab alergi ( debu organik).

e. Debu iritan, iritan debu yang dapat mengakibatkan luka secara lokal (contoh debu flour).


(49)

7. Nilai Ambang Batas (NAB) Debu

Debu, aerosol dan gas iritan kuat menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian pernapasan). Kalau zat-zat ini menembus ke dalam paru-paru dapat terjadi bronkhitis toksik, edema paru atau pneumonitis (WHO, 1993). Berdasarkan Kepmenkes RI NO. 1405/MENKES/SK/XI/2002, tanggal 19 November 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja di perkantoran yaitu meliputi semua ruangan, halaman, dan area sekelilingnya yang merupakan bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja untuk perkantoran. Kandungan debu maksimal di dalam udara ruangan dalam pengukuran rata-rata 8 jam adalah sebesar 0,15 mg/m3 untuk debu total dengan suhu 18-28oC (Depkes RI, 2002).

F. Dampak Inhalasi Tinta Cetak Terhadap Kesehatan Paru

Tinta merupakan campuran bahan kimia yang sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan di berbagai industri. Tinta cetak banyak digunakan di industri-industri percetakan dan sablon. Tinta cetak mengubah substansi menjadi aerosol, yaitu kumpulan partikel halus berupa cair atau padat. Aerosol dengan ukurannya yang kecil akan mudah terhisap, sehingga potensial merupakan pajanan khususnya terhadap kesehatan paru. Selain itu juga berpotensi menyebabkan penyakit paru akibat kerja, antara lain kanker, asma, dan pneumonitis hipersensitivitas. Tinta cetak juga dapat mempengaruhi beberapa


(50)

organ lain seperti susunan saraf pusat, hati, ginjal, kulit, mata, organ reproduksi, jantung, dan paru (Wahyuningsih,2003).

Tinta cetak berupa partikel halus yang dapat terhisap ke dalam saluran nafas. Lokasi deposisi partikel di saluran nafas ditentukan oleh konsentrasi, kelarutan, dan ukurannya. Partikel berukuran 10 μm atau lebih akan mengendap di hidung dan faring, yang berukuran kurang dari 5 μm dapat penetrasi sampai ke alveoli, dan partikel berukuran sedang (5-10 μm) akan mengendap di beberapa tempat di saluran nafas besar. Lokasi deposisi partikel akan memberikan respon atau penyakit yang berbeda. Faktor manusia juga berperan penting dalam berkembangnya penyakit, seperti kebiasaan merokok, kecepatan aliran udara pernafasan, ukuran paru dan faktor genetik (Levi,1994).

Paru sebagai organ dengan permukaan yang luas, aliran darah yang cepat dan epitel alveolar yang tipis merupakan tempat kontak yang penting dengan substansi yang berasal dari lingkungan. Tinta cetak dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui inhalasi, kontak kulit dan oral, yang merupakan pajanan potensial (WHO,1995).


(51)

Tinta cetak berisi bahan dasar air atau minyak, yang terdiri dari beberapa unsur. Diantaranya adalah:

1. Zat warna (pigment)

Zat warna atau pigmen adalah unsur dalam tinta yang terlihat sebagai warna hitam, putih atau kelabu. Pigmen dalam cat berguna untuk mewarnai dan meningkatkan ketahanan cat. Banyak jenis pigmen merupakan bahan berbahaya yaitu:

a. Lead chromate

Digunakan untuk memberi warna hijau, kuning dan merah dapat menyebabkan kerusakan saraf pusat.

b. Chromium

Memberikan warna hijau, kuning, dan oranye; dapat menyebabkan kanker paru dan iritasi kulit, hidung, dan saluran nafas atas.

c. Cadmium

Memberi warna hijau, kuning, oranye dan merah; dapat menyebabkan kanker paru (Wahyuningsih, 2003).


(52)

2. Bahan pengikat (vehicle)

Bahan pengikat memuat zat warna dan mengikatnya dengan bahan-bahan cetak. Bahan pengikat biasanya menentukan penyediaan, penyebaran, pemindahan dan daya penutupan dari tinta, serta menentukan cara atau kecepatan pengeringannya. Pada tahun-tahun terakhir ini damar sintetis telah menggantikan minyak pengering. Untuk Fotografur digunakan suatu bahan pengikat khusus yaitu alkohol atau aseton yang menyebabkan tinta mengering sebagian karena penyerapan dan sebagian karena penguapan. Tinta Fotografur cepat menguap namun kilaunnya kurang dan berbahaya bagi kesehatan karena uap yang dihasilkan dapat menimbulkan bahaya kebakaran.

3. Bahan pencair (thinner)

Pencair ini membantu kerja pada mesin. Pencair ini biasanya dipisahkan dari bahan pengikatnya, mempengaruhi ketahanan, peresapan, penggilapan, pengeringan dan pelekatan tinta. Semua tinta mengandung pelarut/ solvent yang biasanya berupa tiner. Tiner akan menguap segera setelah tinta digunakan dalam proses industri, saat itu pekerja percetakan dapat menghisap bahan berbahaya yang terkandung dalam solvent. Pajanan terhadap solvent dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, masalah reproduksi dan kanker (Holmberg, 1994).


(53)

4. Bahan pengering (drier)

Bahan pengering ini ditambahkan kepada tinta cetak untuk membantu pengeringan secara oksidasi. Kebanyakan bahan pengering berunsur cobalt merupakan bahan berawrna keputih-putihan seperti besi, nikel, mangan, timah, yang dapat larut kedalam berbagai bahan pengikat. Bahan pengering bekerja seiring dengan peningkatan suhu sehingga tinta lebih cepat mengering pada suhu panas dari pada suhu dingin.

5. Pengubah (modifier)

Pengubah berbentuk seperti malam dan minyak untuk mengontrol pengeringan, kekenyalan, ketahanan, kekilapan dan kemampuan bertahan terhadap gesekan. Jika bahan pembungkus mentega, daging, buah, sayur- sayur, dan lain-lain dicetak, maka pengubah ( modifier ) dapat mengatur bau dari pada tinta.


(54)

G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Industri Percetakan

Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi paru khususnya pada aspek tenaga kerja adalah usia tenaga kerja saatbekerja,jenis kelamin, masa kerja, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), kebiasan merokok, kebiasaan olahraga , status gizi dan riwayat penyakit. Adapun faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi paru pekerja pada aspek non – pekerjaan adalah paparan kadar debu total serta luas ventilasi udara dalam ruangan.

1. Umur

Umur merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur, terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu penyakit,maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru dapat terjadi lebih besar.

Seiring dengan pertambahan umur, kapasitas paru juga akan menurun. Kapasitas paru orang berumur 30 tahun ke atas rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang berusia 50 tahunan kapasitas paru kurang dari 3.000 ml (Guyton,1994).

Secara fisiologis dengan bertambahnya umur maka kemampuan organ-organ tubuh akan mengalami penurunan secara alamiah tidak terkecuali fungsi paru. Kondisi seperti ini akan bertambah buruk dengan keadaan lingkungan


(55)

yang berdebu dan faktor-faktor lain seperti kebiasaan merokok, tidak tersedianya masker juga penggunaan yang tidak disiplin, lama paparan serta riwayat penyakit yang berkaitan dengan saluran pernafasan. Rata-rata pada umur 30 – 40 tahun seseorang akan mengalami penurunan fungsi paru yang dengan semakin bertambah umur semakin bertambah pula gangguan yang terjadi (Price,1995).

Dalam penelitian Siti M (2006), semakin bertambah usia maka akan dapat menurunkan kapasitas vital paru seseorang. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan Yulaekah (2007) pada pekerja industri batu kapur menunjukan ada hubungan yang bermakna antara umur seseorang dengan kapasitas vital paru.

2. Jenis kelamin

Menurut Guyton (1997) volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dari pada pria, dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Menurut Tambayong (2001) disebutkan bahwa kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8 L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 L.

Kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter. Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan kapasitas residu


(56)

fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter (Antarudin,2002). Dalam penelitian Yulaekah (2007) mengatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kapasitas vital paru pada pekerja.

3. Masa Kerja

Menurut Mila (2006), masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja bekerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Dalam peneiltian Setiyani (2005), dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan. Menurut Fahmi (1990) yang dikutip oleh Solech (2001), menyebutkan bahwa masa kerja dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:

1. Masa kerja baru (< 5 tahun ) 2. Masa kerja lama (≥ 5 tahun )

Bermacam bahan baku di industri percetakan merupakan bahan karsinogen yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti kanker paru. Pajanan kronik dari bahan karsinogen membutuhkan waktu lama untuk dapat menyebabkan kanker. Lama waktu pajanan akan meningkatkan risiko kanker paru.

Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut


(57)

Bandung, mengatakan bahwa masa kerja di suatu perusahaan yang mengandung banyak debu mempunyai resiko tinggi untuk timbulnya pneumkoniosis.

4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif pengendalian (secara tehnik dan administratif) yang bisa dilaksanakan, namun mempunyai beberapa kendala. Pilihan yang sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dijadikan suatu kebiasaan dan keharusan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 1 Th 1970 tentang keselamatan kerja khususnya pasal 9, 12 dan 14 yang mengatur penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja baik pengusaha maupun tenaga kerja.

Menurut Suma’mur (1988), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Jadi, alat pelindung diri merupakan salah satu cara untuk mencegah kecelakaan, dan secara teknis APD tidaklah sempurna dapat melindungi tubuh akan tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan yang terjadi.

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan.


(58)

Namun, kadang-kadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri. Alat pelindung diri haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan

yang efektif (Suma’mur, 1996).

Pilihan peralatan di bidang ini amat luas, mulai dari masker debu sekali pakai biasa sampai ke alat pernapasan isi sendiri dan banyak kebingungan kapan alat itu dipakai dan untuk bahaya apa. Jika pilihan keliru, dapat membahayakan pemakai dan dapat menyebabkan apiksia. Pelatihan pemakian juga diperlukan, tak tergantung pada alat apa yang dipakai, demikian juga harus tersedia fasilitas pemeliharaan dan pembersihan (Gill, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Adi (2007) menunjukan ada hubungan antara penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru.

a. Jenis Alat Pelindung Diri (APD)

1) Masker

Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan, dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.

a) Masker penyaring debu

Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari asap pembakaran, dan debu.


(59)

b) Masker berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron.

c) Masker bertabung

Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker barhidung. Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu.

2) Respirator

a) Respirator sekali pakai, dari bahan filter cocok bagi debu pernapasan. Bagian muka alat bertekanan negatif karena paru menjadi penggeraknya.

b) Respirator separuh masker, yang dibuat dari karet atau plastik dan dirancang menutupi hidung dan mulut. Alat ini memiliki cartridge yang sesuai, alat ini cocok untuk debu, gas serta uap.Bagian muka bertekanan negatif, karena hisapan dari paru.

c) Respirator seluruh muka, dibuat dari karet atau plastik dan dirancanguntuk menutupi mulut, hidung dan mata. Medium filter dipasang didalam kanister yang langsung disambung dengan sambungan lentur.Dengan kanister yang sesuai, alat ini cocok untuk debu, gas dan uap.Bagian muka mempunyai tekanan negatif, karena paru menghisap disana.


(60)

d) Respirator berdaya, dengan separuh masker atau seluruh muka, dibuat dari karet atau plastik yang dipertahankan dalam tekanan positif dengan jalan mengalirkan udara melalui filter, dengan bantuan kipas baterai. Kipas itu, filter dan baterainya biasa dipasang disabuk pinggang, dengan pipa lentuk yang disambung untuk membersihkan udara sampai ke muka.

e) Respirator topeng muka berdaya mempunyai kipas dan filter yang dipasang pada helm, dengan udara ditiupkan ke arah bawah, diatas muka pekerja di dalam topeng yang menggantung. Topeng dapat dipasang bersama tameng-tameng pinggir, yang dapat diukur untuk mencocokkan dengan muka pekerja.Baterai biasanya dipasang pada sabuk. Sedangkan filter dan adsorbent tersedia dan jenis untuk pengelas juga tersedia (Gill, 2005).

5. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko pada penyakit paru obstruktif kronis, dimana kecenderungan semakin banyak merokok makin banyak gangguan pada parunya termasuk kanker paru. Asap rokok mengandung banyak zat kimia beracun yang sangat berbahaya bagi kesehatan sistem respirasi, seperti : nikotin, tar, karbonmonoksida, dan zat-zat beracun lainnya.


(61)

Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung bahan toksik dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya sebanyak 1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak merokok terhadap kesehatan paru-paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar (hipertropi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hyperplasia). Pada saluran nafas kecil terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jarimgan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segalamacam gejala klinisnya.

Hubungan antara merokok dan kanker paru-paru telah diteliti dalam 4-5 dekade terakhir ini. Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok terutama sigaret dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru. Partikel asap rokok seperti onpyrene, dibenzapyrene dan urethan dikenal sebagai bahan karsinogen. Bahan tar berhubungan dengan risiko terjadinya kanker paru.

Hasil penelitian Sasaki, menunjukkan kebiasaan merokok mempunyai kecenderungan terjadinya obstruksi, namun gangguan paru akibat rokok baru diketahui setelah umur 40 tahun. Penelitian Hisyam et. al, ditemukan penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) perokok 41,6 %, merokok


(62)

mempunyai risiko untuk menderita PPOK 2,6 kali lebih besar dibandingkan bukan perokok (Antarudin, 2002). Sedangkan pada penelitian Budiono (2007) terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru.

Tenaga kerja yang mempunyai kebiasaan merokok dapat mempunyai risiko atau pemicu timbulnya keluhan subyektif saluran pernafasan dan gangguan ventilasi paru pada tenaga kerja (Giarno, 1995). Sementara Lubis (1989) menyatakan tenaga kerja yang sebagai perokok merupakan salah satu faktor risiko penyebab penyakit saluran pernafasan.

Raharjoe dkk (1994)megungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri.


(63)

Yunus (1997) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut. Beberapa penelitian tentang bahaya merokok terhadap kesehatan dan gangguan ventilasi paru dikemukakan oleh Mangesiha dan Bakele (1998) terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan gangguan saluran pernafasan.

Adapun untuk mengukur derajat berat merokok biasanya dilakukan dengan menghitung derajat berat merokok (Indeks Brinkman), yaitu perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari kemudian dikalikan dengan lama merokok dalam tahun (PDPI, 2001). Nilai yang dihasilkan dari perhitungan tersebut akan dimasukkan kedalam tiga kategori yaitu:

a. Ringan : 0-200 b. Sedang : 200-600 c. Berat : > 600

6. Kebiasaan Olahraga

Kebiasaan olah raga dapat membantu meningkatkan fungsi paru. Individu yang mempunyai kebiasaan olah raga memiliki tingkat kesegaran jasmani yang baik Penelitian Schenker et al (2004) pada pekerja pertanian di Kosta Rika menunjukkan bahwa pekerja yang mempunyai tingkat kesegaran


(64)

jasmani yang baik, dapat menjadi faktor protektif terhadap penurunan fungsi paru. Sementara itu penelitian Debray et al (2002) di India pada pekerja yang terpapar debu juga menunjukkan bahwa hasil yang sama.

Kebiasaan berolahraga akan menimbulkan Force Vital Capacity (FVC) seperti yang terjadi pada seorang atlet FVC akan meningkat 30% sampai dengan 40 % (Talini, 1998). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khumaidah (2009) terdapat hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru.

Menurut Wilmore (1994) secara umum olah raga akan meningkatkan total fungsi paru. Pada banyak individu yang melakukan olah raga secara teratur maka kapasitas fungsi paru akan meningkat meskipun hanya sedikit, tetapi pada saat yang bersamaan residual volume atau jumlah udara yang tidak dapat berpindah atau keluar dari paru akan menurun. Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas fungsi paru, olah raga yang dilakukan hendaknya mempehatikan 3 hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi dan durasinya (Budiono, 2007).

a. Jenis olahraga

Secara umum aktivitas yang terdapat dalam kegiatan olahraga terdiri dari kombinasi 2 jenis aktivitas, yaitu aktivitas yang bersifat aerobik dan anaerobik. Aktivitas aerobik merupakan aktivitas yang bergantung terhadap ketersediaan oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber


(65)

energi, sehingga akan bergantung terhadap kerja optimal dari organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, dan pembuluh darah untuk dapat mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan dengan sempurna. Aktivitas ini biasanya merupakan aktivitas olahraga dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinyu dalam waktu yang cukup lama seperti jalan kaki, senam, bersepeda atau juga jogging (Irawan, 2007). Sedangkan aktivitas anaerobik adalah merupakan aktivitas yang dimana kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi oleh seluruh anggota tubuh seperti angkat besi, lari sprint 100 m, tenis lapangan dan bulu tangkis.

Menurut Giam (1996) dalam ilmu kedokteran olahraga terdapat perbedaan dalam tingkat dan komponen-komponen kebugaran fisik yang ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(66)

Tabel 2.3 Aktifitas Fisik/Kegiatan Olahraga No. Aktivitas Kebugaran Aerobik*

1 Senam Sangat baik

2 Bulutangkis Sangat baik

3 Basket Sangat baik

4 Binaraga Minimal

5 Bowling Minimal

6 Bersepeda Sangat baik

7 Golf (18 hole) Minimal 8 Jogging/lari Sangat baik

9 Beladiri Baik

10 Sepak takraw Baik

11 Sepak bola Sangat baik 12 Berenang Sangat baik 13 Tenes meja Baik

14 Tenes Baik

15 Bola volley Baik 16 Berjalan Baik

Catatan: Kebugaran aerobik* : kebugaran dari paru, jantung dan peredaran darah. Kebiasaan berolahraga tersebut dilakukan 3-5 kali seminggu.

Sumber : Giam.C.K, Teh.K.C. Ilmu Kedokteran Olahraga, Binarupa Aksara, Jakarta,1996

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa olahraga yang sangat baik untuk pernapasan adalah senam, bulu tangkis, basket, bersepeda, jogging, sepak bola dan renang. Di negara berkembang seperti Indonesia, senam dan jogging merupakan pilihan paling tepat karena jauh lebih murah, mudah dan berguna untuk memperkuat otot pernapasan.


(67)

b. Frekuensi olahraga

Frekuensi olahraga adalah berapa kali seminggu olahraga dilakukan agar memberi efek latihan. Berbagai penelitian menunjukan frekuensi latihan minimal 3 kali seminggu pada hari yang bergantian artinya selang sehari. Hal tersebut dikarenakan karena tubuh memerlukan pemulihan selesai berolahraga sehingga otot dan persendian diberi kesempatan untuk memulihkan diri. Dalam penelitian Cooper (1994) pernah menganjurkan untuk melakukan olahraga setiap hari, namun setelah ia melakukan pengamatan yang cukup lama ia kembali berkesimpulan bahwa olahraga 3 kali seminggu sudah cukup. Olahraga yang dilakukan melebihi 5 kali seminggu akan menimbulkan berbagai komplikasi baik secara psikologis maupun fisiologis (Ambarkati, 2012).

c. Durasi olahraga

Ada beberapa rekomendasi yang dianjurkan lamanya olahraga : ACSM (American Collegeof Sports Medicine ) menganjurkan 20-60 menit perhari. Eropa menganjurkan 3-4 hari tiap minggu selama 30 menit dengan 50-80% denyut nadi maksimal atau tiap hari dalam seminggu selama 30 menit dengan denyut nadi maksimal kurang dari 50% (Sugenghartono, 2012).


(68)

Dalam hal ini penulis menggunakan standar durasi olahraga menurut standar ACSM yaitu selama 20-60 menit setiap kali olahraga.

7. Status gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan zat-zat gizi. Indeks standar yang sekarang dipakai untuk menilai perkembangan gizi adalah Berat Badan (BB) terhadap Tinggi Badan (TB) yang ditinjau dari penggunaannya lebih mudah dan praktis serta tetap mempunyai dasar ilmiahnya atas dasar penelitian Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan. Dalam hal ini status gizi dapat dibedakan menjadi: status gizi kurang, status gizi baik/normal dan status gizi lebih. Cara melakukan penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Berat Minimal dan Berat Maksimal untuk ukuran tinggi badan tertentu merupakan batas badan terendah dan tertinggi untuk ukuran tinggi badan tersebut. Bila berat badan dalam batas-batas tersebut maka anak dinyatakan mempunyai gizi baik/normal.

b. Bila untuk tinggi badan tertentu mempunyai berat badan yang kurang dari berat badan minimal maka dinyatakan gizi kurang.

c. Bila tinggi badan tertentu mempunyai berat badan yang melebihi berat maksimal maka dinyatakan gizi lebih.

Keadaan kesehatan tersebut pada suatu waktu tertentu dapat ditentukan dengan Indeks Masa Tubuh (IMT). Indeks Masa Tubuh untuk orang Indosnesia adalah sebagai berikut:


(69)

Tabel 2.4 Batas Ambang IMT (orang Indonesia)

Keadaaan Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan

< 17,0 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan badan tingkat berat

25,1 – 27,0 >27,0

Sumber: Pedoman Usaha Kesehatan Sekolah Dep Kes RI (2002)

Rumus untuk mengetahui IMT

IMT = Berat Badan (Kg) Tinggi Badan2 (m)

Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Orang kurus tinggi biasanya memiliki kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek, status gizi yang berlebihan dengan adanya timbunan lemak dapat menurunkan compliance dinding dada dan paru sehingga ventilasi paru akan terganggu akibatnya kapasitas vital paru akan menurun (Nyoman, 2001). Dengan kesimpulan bahwa orang kurus dan gemuk lebih beresiko terkena gangguan kapasitas vital paru dibandingkan dengan orang yang memiliki IMT normal.


(70)

Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa status gizi ternyata berhubungan dengan gangguan fungsi paru. Diantaranya penelitian Budiono (2007) pada pekerja pada pengecatan mobil menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan kapasitas vital paru.

8. Riwayat Penyakit

Dalam beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru (Bannet,1997). Dari hasil penelitian Sudjono (2002) dan Nugraheni (2004) dalam Irwan Budiono (2007) diperoleh hasil bahwa pekerja yang mempunyai riwayat penyakit paru mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami gangguan fungsi paru. Sedangkan penelitian Budiono (2007) menyebutkan terdapat hubungan antara orang yang memiliki riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru.

Riwayat penyakit sangat penting diketahui dan dinilai untuk mengetahui apakah suatu penyakit berhubungan erat dengan pekerjaan. Guna mengetahui kondisi fisik pekerja, diperlukan anamnesis secara umum dan khusus serta pemeriksaan jasmani secara umum dan khusus. Berbagai macam penyakit khususnya yang menyerang pernapasan seperti asma (sesak nafas), bronkitis kronik (batuk berdahak), pneumonia (paru-paru basah) , dan fibrosis paru-paru mengakibatkan berkurangnya daya kembang paru-paru serta terhambatnya jalur difusi gas (Danusantoso, 2000 dalam Aurorina, 2003). Apabila pekerja mempunyai riwayat penyakit lampau yang berhubungan


(71)

dengan pernapasan, maka kemungkinan penyakit tersebut akan timbul kembali atau bahkan penyakit tersebut sudah menimbulkan kecacatan pada paru.

Seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa penyakit emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberkulosis (TBC/flek paru) dan sianosis akan memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh debu organik dan anorganik (Price,1995).

9. Paparan Kadar Debu Total

Debu yang dihasilkan dari aktivitas percetakan digolongkan sebagai penyebab langsung dari terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Partikel debu sebagai paparan utama dalam aktivitas percetakan tersebut untuk dapat menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas vital paru dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:

a. Kadar debu dalam udara

b. Dosis paparan kumulatif (penjumlahan kadar dalam udara dan lamanya paparan)


(72)

Berdasarkan Kepmenkes RI NO. 1405/MENKES/SK/XI/2002, tanggal 19 November 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja di perkantoran yaitu meliputi semua ruangan, halaman, dan area sekelilingnya yang merupakan bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja untuk perkantoran. Kandungan debu maksimal di dalam udara ruangan dalam pengukuran rata-rata 8 jam adalah sebesar 0,15 mg/m3 untuk debu total dengan suhu 18-28oC. (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan hasil dari penelitian Khumaidah (2009) menyebutkan ada hubungan paparan kadar debu yang diterima oleh pekerja mebel dengan kapasitas vital paru.

10. Luas Ventilasi Udara dalam Ruangan

Ventilasi industri atau pertukaran udara di dalam industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi atau kenyamanan pekerja. Disamping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja (Van Wicklen, 2006).

Ventilasi ruang percetakan haruslah didesain secara cukup. Akibat dari ventilasi yang tidak adekuat akan menyebabkan konsentrasi debu meningkat. Udara segar harus diatur agar dapat menggantikan udara dalam ruangan yang


(1)

jenis kelamin responden * kapasitas vital paru responden Crosstabulation

kapasitas vital paru responden

Total ada gangguan

tidak ada gangguan

jenis kelamin responden laki-laki Count 45 18 63

% within jenis kelamin

responden 71.4% 28.6% 100.0%

perempuan Count 5 2 7

% within jenis kelamin

responden 71.4% 28.6% 100.0%

Total Count 50 20 70

% within jenis kelamin

responden 71.4% 28.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .000a

1 1.000

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .000 1 1.000

Fisher's Exact Test 1.000 .684

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000

N of Valid Casesb 70

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for jenis kelamin responden (laki-laki / perempuan)

1.000 .178 5.632

For cohort kapasitas vital paru responden = ada gangguan

1.000 .610 1.639

For cohort kapasitas vital paru responden = tidak ada gangguan

1.000 .291 3.437


(2)

UMUR*KPV

Ranks

kapasitas vital paru

responden N Mean Rank Sum of Ranks

umur responden ada gangguan 50 35.60 1780.00

tidak ada gangguan 20 35.25 705.00

Total 70

Test Statisticsa

umur responden

Mann-Whitney U 495.000

Wilcoxon W 705.000

Z -.065

Asymp. Sig. (2-tailed) .948

a. Grouping Variable: kapasitas vital paru responden

MASA KERJA*KPV

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

masa kerja responden * kapasitas vital paru responden

70 100.0% 0 .0% 70 100.0%

masa kerja responden * kapasitas vital paru responden Crosstabulation

kapasitas vital paru responden

Total ada gangguan

tidak ada gangguan

masa kerja responden lama Count 34 1 35

% within masa kerja

responden 97.1% 2.9% 100.0%

baru Count 16 19 35

% within masa kerja

responden 45.7% 54.3% 100.0%

Total Count 50 20 70

% within masa kerja


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 22.680a 1 .000

Continuity Correctionb 20.230 1 .000

Likelihood Ratio 26.413 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 22.356 1 .000

N of Valid Casesb 70

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.00. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for masa kerja

responden (lama / baru) 40.375 4.960 328.667

For cohort kapasitas vital paru responden = ada gangguan

2.125 1.474 3.063

For cohort kapasitas vital paru responden = tidak ada gangguan

.053 .007 .372

N of Valid Cases 70

KEBIASAAN MEROKOK*KPV

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

status merokok responden * kapasitas vital paru

responden


(4)

status merokok responden * kapasitas vital paru responden Crosstabulation

kapasitas vital paru responden

Total ada gangguan

tidak ada gangguan

status merokok responden merokok Count 33 2 35

% within status merokok

responden 94.3% 5.7% 100.0%

tidak merokok Count 17 18 35

% within status merokok

responden 48.6% 51.4% 100.0%

Total Count 50 20 70

% within status merokok

responden 71.4% 28.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 17.920a 1 .000

Continuity Correctionb 15.750 1 .000

Likelihood Ratio 19.934 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 17.664 1 .000

N of Valid Casesb 70

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.00. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for status merokok responden (merokok / tidak merokok)

17.471 3.621 84.286

For cohort kapasitas vital paru responden = ada gangguan

1.941 1.367 2.756

For cohort kapasitas vital paru responden = tidak ada gangguan

.111 .028 .443


(5)

KEBIASAAN OLAHRAGA*KPV

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kebiasaan olahraga responden * kapasitas vital paru responden

70 100.0% 0 .0% 70 100.0%

kebiasaan olahraga responden * kapasitas vital paru responden Crosstabulation

kapasitas vital paru responden

Total ada gangguan

tidak ada gangguan kebiasaan olahraga

responden

tidak Count 45 9 54

% within kebiasaan olahraga

responden 83.3% 16.7% 100.0%

ya Count 5 11 16

% within kebiasaan olahraga

responden 31.2% 68.8% 100.0%

Total Count 50 20 70

% within kebiasaan olahraga

responden 71.4% 28.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 16.406a

1 .000

Continuity Correctionb 13.953 1 .000

Likelihood Ratio 15.222 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 16.172 1 .000

N of Valid Casesb 70

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.57. b. Computed only for a 2x2 table


(6)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for kebiasaan olahraga responden (tidak / ya)

11.000 3.069 39.429

For cohort kapasitas vital paru responden = ada gangguan

2.667 1.277 5.570

For cohort kapasitas vital paru responden = tidak ada gangguan

.242 .123 .479