BAB III HAL-HAL PENTING DALAM ASURANSI KECELAKAAN
A. Pejanjian Asuransi dan pengaturannya
Dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian atau persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Ada yang berpendapat bahwa definisi dalam Kitab Undang-
Undang Perdata tersebut tidak jelas karena : 1.
Kata suatu “perbuatan” menimbulkan kesan seolah-olah perjanjian tersebut dapat dilakukan untuk seluruh perbuatan, tanpa ada batasan larangan
perbuatan-perbuatan tertentu yang memang tidak boleh diperjanjikan; 2.
Kata “mengikatkan diri” menimbulkan kesan bahwa perjanjian tersebut dilakukan, yang seharusnya dirumuskan dengan kata “saling mengikatkan
diri”.
56
Untuk itu R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, mendefinisikan yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji
kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
57
56
H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Op.Cit., Hal 56.
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian
asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian tetap pada pengertian dasar dari perjanjian. Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara
lain sebagai berikut : 1.
Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
2. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu yang
berpiutang atau kreditur berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. yang berhubungan atau debitur yang juga berkewajiban melaksanakan dan
bertanggung jawab atas suatu prestasi.
58
Sebagai suatu perjanjian, asuransi juga tunduk pada ketentuan-ketentuan dasar yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata
buku III bab Kedua. Asuransi dikatakan suatu perjanjian jelas ditentukan dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD. Sebagai suatu
perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu : 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3.
Mengenai suatu hal tertentu
57
Ibid
58
Sri Rejeki Hartono, Op.Cit., Hal 82
4. Suatu sebab yang halal.
59
Dalam hukum perjanjian atau persetujuan dikenal dengan asas perjanjian, yang harus ditaati oleh semua pihak untuk membuat perjanjian atau persetujuan.
Terdapat 5 lima asas perjanjian, yaitu : 1.
Asas kebebasan berkontrak Kebebasan berkontrak tercemin dari bunyi pasal 1338 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak bebas untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjia;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa saja;
c. Menetapkan substansi perjanjian, baik mengenai persyaratan, hak dan
kewajiban para pihak, maupun pelaksananya; serta d.
Menetapkan model, bentuk dan jenis perjanjian baik tertulis maupun lisan. Kebebasan membuat perjanjian tentang hal-hal apa saja dibolehkan
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dengan demikian sekali para pihak sudah membuat perjanjian,
maka perjanjian tersebut akan mengikat para pihak karena perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang bagi para pihak.
2. Asas konsensualisme
59
Ibid , Hal 83.
Sesuai dengan pasal 1320 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian terbentu ketika para pihak telah mencapai kata
sepakat mengenai segala hal dari perjanjian tersebut. Dalam pasal 1320 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya empat
syarat yang telah disebutkan di atas. Seperti diuraikan di atas bahwa perjanjian dapat dibuat baik secara
tertulis maupun lisan. Namun demikian ada beberapa undang-undang yang membuat pengecualian dengan menetapkan bahwa suatu perjanjian harus
dibuat secara tertulis seperti perjanjian perdamaian atau dibuat dengan akta oleh perjabat berwenang seperti akta jual beli tanah. Berdasarkan asas tersebut
salah satu sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan bahwa sahnya
perjanjian harus dilakukan secara tertulis, salah satunya dengan membubuhkan tanda tangan para pihak tersebut maka isi perjanjian yang telah ditulis tersebut
berarti telah mendapat persetujuan para pihak. 3.
Asas kepastian hukum pacta sunt servanda Asas ini tercermin dalam pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang para pihak. Bahkan hakim dan pihak ketiga harus
menghormati substansi perjanjian tersebut. Hakim atau pihak ketiga, tidak dapat mencampuri substansi perjanjian. Yang berangkutan tidak boleh
menambah, mengurangi atau menghapuskan hak dan kewajiban yang diakibatkan dalam perjanjian tersebut. Dengan demikian asas kepastian hukum
dapat diakatakan pula sebagai asas yang membuat kekuatan mengikatnya perjanjian dan ini sebagai jaminan bagi para piha terhadap kepastian hukum.
Mengingat para pihak wajib menaati substansi perjanjian yang telah dibuat, maka perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan sepihak. Jika akan dibatalkan
maka harus terdapat kesepakatan dari para pihak atau dengan alasan undang- undang yang menyatakan hal untuk itu.
4. Asas itikad baik goede Trouw
Asas itikad baik dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang menyebutkan perjanjian harus dilakukan dengan
itikad baik. Itikad baik merupakan salah satu sendi penting dalam perjanjian. Pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus tidak boleh merugikan para pihak
dan harus memperhatikan norma kepatutan dan kesusilaan. Apabila dikemudian hari dalam pelaksanaan perjanjian tersebut merugikan salah satu
pihak karena melakukan cidera janji wanprestasi maka pihak yang melakukan hal tersebut berarti melanggar itikad baik.
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti dari ketentuan ini bahwa seseorang tidak dapat menadakan perjanjian
hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.
Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya, namun demikian dalam pasal 1317 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat
untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam pasal 1318 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
dari padanya.
60
1. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan insurable principle
Adapun prinsip-prinsip dasar perjanjian asuransi itu adalah sebagai berikut :
Dalam hukum asuransi, ditentukan bahwa apabila seseorang menutup perjanjian asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap
obyek yang diasuransikannya. Mengenai hal ini di atur dalam pasal 250 KUHD yang berbunyi “Apabila seseorang telah mengadakan suatu perjanjian asuransi
untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai suatu
60
H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Op.Cit., Hal 56-57.
kepentingan terhadap barang yang diasuransikannya itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian”.
Jelas dari ketentuan tersebut bahwa kepentingan merupakan syarat mutlak essential vereiste untuk dapat diadakan perjanjian asuransi. Bila hal
itu tidak dipenuhi, penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian. Menurut molengraaff, kepentingan dirumuskan sebagai kekayaan atau
bagian dari kekayaan tertanggung yang apabila terkena bencana dapat diterima, dengan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kekayaan dalam definisi
dimaksud harus diartikan secara luas. Hal itu berarti meliputi kekayaan yang dapat dinilai dengan uang atau tidak, baik berupa benda berwujud maupun
tidak berwujud. Bertitik tolak dari rumusan demikian, hak dan kewajiban seseorang dapat merupakan kepentingan, sehingga dapat menjadi obyek
asuransi. Masalah selanjutnya adalah mengenai kapan kepentingan itu harus ada.
Apabila memperhatikan pasal 250 KUHD, jelas dikatakan bahwa kepentingan harus ada pada saat diadakan perjanjian asuransi. Akan tetapi, sebagian besar
sarjana Volmar, Dorhout Mees, dan Emmy Pangaribuan Simanjuntak berpendapat bahwa pengertian kepentingan harus ada pada pasal 250 KUHD,
harus diartikan bukan waktu perjanjian asuransi diadakan, melainkan pada waktu kerugian terjadi. Diharuskan ada kepentingan dalam perjanjian asuransi
dengan maksud mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian.
2. Prinsip itikad baik yang sempurna principle of utmost good faith
Istilah prinsip itikad baikyang sempurna, terkadang disebut juga dengan istilah asas kejujuran yang sebaik-baiknya. Ini merupakan padanan istilah dari
principle of utmost good faith Inggris atau uberrimae fidei Latin.
Penerapan asas itikad baik yang sempurna di dalam hukum Inggris bertitik tolak dari sifat khusus perjanjian asuransi sebagai perjanjian alletoir
bersyarat, sehingga hukum asuransi dianggap perlu menyimpang dari asas hukum yang menguasai perjanjian lainnya seperti asas caveat emptor atau let
the buyer be aware . Tetapi karena sifatnya yang khusus, maka di dalam
perjanjian asuransi pihak tertanggunglah yang memberikan segala keterangan informasi mengenai keadaan obyek atau benda yang akan diasuransikan. Jadi,
perjanjian asuransi didasarkan pada asuransi bahwa calon tertanggung pada waktu akan menutupasuransi mengetahui semua keadaan dan risiko yang akan
diasuransikan, sedangkan penanggung tidak mengetahuinya, dan bagi pihak penanggung dalam menganalisa risiko yang akan diasuransikan sangat
bergantung pada informasi yang diberikan oleh calon tertanggung tersbut. Dengan demikian asas itikad baik yang sempurna di atas menyangkut
kewajiban yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian asuransi. Hal ini berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1338 ayat 3 KUH
Perdata yang menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata
tersebut terletak pada pelaksanaan perjanjian. Menurut H. Gunanto, dalam kenyataannya asas yang oleh hukum
inggris disebut sebagai principle of utmost good faith bukan soal itikad baik
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, melainkan menyangkut soal “cacat kehendak”.
Berkaitan dengan asas itikad baik yang sempurna ini, diatur dalam Pasal 251 KUHD, yang berbunyi, “Setiap keterangan yang keliru atau tidak
benar, atau setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung betapa pun itikad baik itu ada padanya, yang demikian sifatnya
sehingga seandainya penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau ditutupnya dengan syarat-syarat yang
sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan”. Pasal 251 KUHD di atas menekankan kewajiban tertanggung untuk memberitahukan atau memberikan
segala informasi yang benar fakta materil menganai obyek asuransi kepada penanggung.
3. Prinsip ganti kerugian indemmity principle
Pada hakekatnya, fungsi asuransi adalah mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh tertanggung karena terjadi
suatu peristiwa yang tidak pasti. Oleh karena itu, besarnya ganti kerugian yang diterima oleh tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang dideritanya.
Hal ini merupakan inti dari prinsip ganti kerugian atau keseimbangan. Prinsip ini tercermin dalam Pasal 246 KUHD, yaitu pada bagian kalimat “...untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya
karena suatu peristiwa yang tidak pasti”.
Untuk dapat mengadakan keseimbangan antara kerugian yang diderita oleh tertanggung dengan ganti kerugian yang diberikan oleh penanggung, harus
diketahui berapa nilai atau harga dari obyek yang diasuransikan. Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip ganti kerugian hanya berlaku bagi asuransi yang
kepentingan dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi kerugian schade verzekering
. Kepentingan di dalam asuransi jumlah sommen verzekering tidak
dapat dinilai dengan uang, sehingga diadakan tidak dengan tujuan mengganti suatu kerugian yang diderita oleh tertanggung. Dengan perkataan lain, prinsip
ganti kerugian tidak berlaku bagi asuransi jumlah. 4.
Prinsip subrogasi subrogation principle Di dalam pelaksanaan perjanjian asuransi, kemungkinanperistiwa
kerugian terjadi disebabkan perbuatan pihak ketiga. Dalam keadaan biasa, kerugian yang ditimbulkan oleh pihak ketiga tersebut mengakibatkan harus
dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Dengan kata lain, pemilik barang dapat melakukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut untuk memberikan
ganti kerugian atas perbuatannya. Mengenai hal ini, dapat diperhatikan, ketentuan pasal 1365 KUH Perdata. Akan tetapi, persoalannya menjadi lain
dalam perjanjian asuransi. Apabila tertanggung yang telah mendapat ganti kerugian dari penanggung, juga diperkenankan menuntut ganti kerugian
kepada pihak ketiga yang menyebabkan timbulnya kerugian tersebut, maka tertanggung dapat menerima ganti kerugian yang melebihi kerugian yang
dideritanya. Jika hal ini terjadi tentu akan bertolak belakang dengan prinsip
ganti kerugian atau indenmitas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Untuk menghindarkan hal tersebut, dalam KUHD diatur mengenai subrogasi
bagi penanggung dalam pasal 284 KUHD diatur mengenai subrogasi bagi penanggung dalam pasal 284 KUHD yang berbunyi sebagai berikut, “seorang
penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap
orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat
merugikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga itu”. Dapat diketahui bahwa subrogasi adalah penggantian kedudukan
tertanggung oleh penanggung yang telah membayar ganti kerugian, dalam melaksanakan hak-hak tertanggung kepada pihak ketiga yang menybabkan
terjadinya kerugian. Akan tetapi, kemungkinan terjadi kerugian yang diderita oleh tertanggung tidak diganti sepenuhnya oleh penanggung. Apabila
dilaksanakan secara ketat ketentuan pasal 284 KUHD, maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi tertanggung sebab ia kehilangan haknya
untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga, sedangkan asuransi mempunyai tujuan memberikan ganti kerugian yang diderita tertanggung
prinsip indemnitas. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tepat apa kata Emmy Pangaribuan Simanjuntak bahwa untuk subrogasi haruslah bersifat
terbatas. Hal itu berarti, apabila penggantian kerugian hanya sebagian saja diberikan oleh penanggung maka hanya dapat disubrogasikan untuk sejumlah
kerugian yang telah dibayarnya. Hak-hak selebihnya dari tertanggung terhadap
pihak ketiga menyebabkan terjadinya kerugian masih dipegang tertanggung sendiri. Singkatnya, subrogasi penuh menurut pasal 284 KUHD hanya
diterapkan apabila penanggung telah membayar semua kerugian yang diderita tertanggung.
B. Syarat-Syarat yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Asuransi