85
MTBS dan kartu nasihat ibu, serta logistik peralatan yang mendukung dalam kegiatan pemeriksaan MTBS pada balita sakit, yang meliputi : thermometer,
stetoskop, dan timer ISPA atau arloji. Sarana tersebut hampir sama dengan sarana yang dibutuhkan pada puskesmas atau poli pongobatan pada umumnya.
5.1.7 Hubungan Antara Ketersediaan Obat Pendukung dengan Implementasi MTBS
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Hal ini didasarkan pada hasil uji Chi
-
Square diperoleh nilai p value = 0, 037 . Nilai p value kurang dari 0,05 sehingga Ha diterima. Nilai
koefisien kontingensi diperoleh 0.329, yang berarti variabel ketersediaan obat memiliki pengaruh yang lemah dalam implementasi MTBS pada peugas
pelaksana di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Hasil penelitian ini sejalan dengan Firdaus, 2013 yang menyatakan
bahwa ketersediaan fasilitas pendukung MTBS menjadi salah satu faktor dalam implementasi MTBS di Kabupaten Pasuruan. Belum semua puskesmas memiliki
sarana pendukung seperti ketersediaan obat – obatan sehingga program MTBS berjalan tidak maksimal. Sering terjadi kekurangan beberapa jenis obat yang
dibutuhkan oleh balita sakit. Obat-obatan yang digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim ada dan telah termasuk dalam Daftar
Obat Esensial Nasional DOEN Depkes RI, 2008
86
5.1.8 Hubungan Antara Pelatihan Yang Pernah Diikuti dengan Implementasi MTBS
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelatihan yang pernah diikuti tentang MTBS dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Hal ini didasarkan pada hasil uji Chi
-
Square diperoleh nilai p value = 0, 002 . Nilai p value kurang dari 0,05 sehingga Ha diterima. Nilai
koefisien kontingensi diperoleh 0.447, yang berarti variabel pelatihan MTBS yang pernah diikuti petugas memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam
implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Agita M, 2010 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pelatihan yang pernah diikuti dengan
implementasi MTBS di puskesmas Kota Semarang. Penelitian Firdaus, 2013 juga menyatakan bahwa pelatihan merupakan faktor dalam implementasi MTBS
di puskesmas wilayah Kabupaten Pasuruan, dimana belum semua petugas mendapatkan pelatihan MTBS.
Menurut Notoatmodjo,2010 pelatihan merupakan suatu kegiatan peningkatan kemampuan karyawan dalam suatu institusi sehingga akan
menghasilkan perubahan perilaku pegawaikaryawan. Tujuan dari pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS yaitu dihasilkannya petugas kesehatan
yang terampil menangani bayi dan balita sakit dengan menggunakan tatalaksana MTBS. Sasaran utama pelatihan MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan tetapi
87
dokter puskesmas pun perlu terlatih MTBS agar dapat melakukan supervisi penerapan MTBS di wilayah kerja puskesmas.
5.1.9 Hubungan Antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS