FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI PUSKESMAS DI KOTA SEMARANG TAHUN 2010

(1)

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI PUSKESMAS DI KOTA SEMARANG

TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

Agita Maris Nurhidayati NIM. 6450405039

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii Agita Maris Nurhidayati.

Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010,

VI + 120 halaman + 23 tabel + 2 gambar + 17 lampiran

Setiap tahun 12 juta anak di dunia meninggal sebelum berusia 5 tahun. Tujuh diantara setiap sepuluh anak ini meninggal oleh karena diare, pneumonia, campak, malaria atau malnutrisi dan sering merupakan kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut. Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/ terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh.

Kegiatan MTBS merupakan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.

Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua petugas pemegang program manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Besar sampel penelitian sebanyak 37 sampel dengan teknik pengambilan sampel secara total sampling. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner. Data primer diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Kota Semarang. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan sikap petugas (p = 0,040), pelatihan MTBS yang diikuti petugas (p = 0,037), kepemimpinan kepala puskesmas (p = 0,032), rapat koordinasi tingkat puskesmas (p = 0,037), sistem pencatatan/ pelaporan MTBS (p = 0,031), pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan (p = 0,036), pelaksanaan evaluasi oleh kepala puskesmas (p = 0,013) dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit, dan tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas tentang MTBS (p=0,160), motivasi kerja petugas (p = 0,180), ketersediaan peralatan (p = 0,630), alokasi dana (p = 0,212) dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit.

Saran yang dapat disampaikan, antara lain: 1). Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang adalah perlunya diadakan pelatihan bagi petugas, peningkatan pelaksanaan supervisi MTBS, dan perlu kiranya membuat suatu kebijakan kesehatan mengenai MTBS. 2). Bagi petugas pemegang program dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit, serta melakukan sosialisasi mengenai MTBS ke masyarakat. 3). Bagi peneliti lain adalah perlunya diadakan penelitian yang lebih mendalam dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan masalah MTBS.

Kata Kunci : Manajemen Terpadu Balita Sakit, Puskesmas, Petugas Kesehatan, Praktik Pelaksanaan MTBS, Implementasi MTBS


(3)

iii Agita Maris Nurhidayati.

Factors Associated with Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) on Public Health Center in the Semarang City in 2010, VI + 120 pages + 2 tables + 23 pictures + 17 appendix

Every year 12 million children in the world die before 5 years old. Seven among every ten children die from diarrhea, pneumonia, measles, malaria or malnutrition and often a combination of these conditions. Integrated Management of Childhood Illness is an integrated approach / integrated in the management of sick infants with a focus on the health of children aged 0-59 months (Children Under Five) thoroughly.

An IMCI activity was an effort aimed at health care to reduce morbidity and mortality while enhancing the quality of health care in primary health outpatient unit. The purpose of this study was to determine factors related to the implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) at Public health centers in the Semarang City in 2010.

This type of research was explanatory research with cross sectional approach. The populations in this study were all officers of integrated management programs holders toddler illness (IMCI) at health centers in the city of Semarang. Large sample study of 37 samples with a total sampling technique of sampling. This research instrument was a questionnaire. Primary data obtained from observations, documentation, and interviews directly. Secondary data obtained from the Central Java Provincial Health Office, Public Health Department Semarang City. Data analysis was performed using univariate and bivariate Chi Square test with degrees of significance (á) = 0.05.

The conclusion of this study was there was a relationship attitude of staff (p = 0.040), followed by IMCI training officers (p = 0.037), head of health center leadership (p = 0.032), Public Health Center Level coordination meetings (p = 0.037), recording system / IMCI reporting (p = 0.031), the implementation of IMCI supervision by the Department of Health (p = 0.036), the evaluation by the head of the health center (p = 0.013) with the implementation of Integrated Management of Childhood Illness, and there is no relationship between of knowledge workers on IMCI (p = 0160),officers work motivation (p = 0.180), availability of equipment (p = 0.630), the allocation of funds (p = 0.212) with the implementation of Integrated Management of Childhood Illness.

Suggestions that could be delivered, among others: 1). For the City Health Department Semarang is the need of holding training for officers, improving supervision of the implementation of IMCI, and it is necessary to create a health policy on IMCI. 2). For a program officer holders are encouraged to improve the quality of care Integrated Management of Childhood Illness, and dissemination of IMCI into the community. 3). For other researchers was the need for a more in-depth research conducted in health-related problems IMCI.

Keywords : Integrated Management of Childhood Illness, Public Health Center, Health Officer, IMCI Implementation Practice, Implementation of IMCI


(4)

(5)

v

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan dan tiada jalan sulit bila dihadapi dengan kesabaran dan ketenangan hati, maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap”(Q.S. Al-Insyiroh: 6-8). “Kejarlah impianmu sampai kau dapat, jangan cepat menyerah walau banyak rintangan menghadang, jangan putus asa disaat kau jatuh, jangan menyerah disaat kau hancur, jadikanlah rintangan adalah awal dari perjuanganmu, tetap semangat walau dalam keadaan apapun, hanya keyakinan dan semangat yang akan membawa kamu menuju kesuksesan”(Penulis).

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada :

1. Ayahanda Tafsir, dan Ibunda Sri Sugiharti (Almh), sebagai Dharma Bakti Ananda

2. Adikku tersayang, Dik A. Rijal Ainun Najib 3. Almamaterku UNNES


(6)

vi

segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010 ” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Sehubungan dengan penyelesaian skripsi ini, dengan rasa rendah hati disampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Drs. Said Junaidi, M.Kes., atas ijin penelitian.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, dr. H. Mahalul Azam M.Kes., atas persetujuan penelitian dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dosen Pembimbing I, dr. H. Mahalul Azam, M.Kes., atas bimbingan, arahan

dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dosen Pembimbing II, dr. Hj. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)., atas bimbingan, arahan dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dosen Jurusan IKM, atas bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama di bangku kuliah.

6. TU Jurusan IKM, Bapak Sungatno atas semua bantuannya dalam mengurus ijin skripsi sampai terselesaikan.


(7)

vii

9. Ayahanda Tafsir dan Ibunda Sri Sugiharti (Almh) terima kasih atas do’a, perhatian, pengorbanan, cinta dan kasih sayang, serta motivasi, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Adikku A. Rijal Ainun Najib atas do’a, dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

11.Masku Aris Solihin atas bantuan, dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

12.Sahabatku (Milly, Tya Cunil, Rifky, Zecky, Upie) atas bantuan, dan semangatnya dalam penyusunan skripsi ini.

13.Semua teman IKM Angkatan 2005, terutama teman-teman bimbingan, atas bantuan dan motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini.

14.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, November 2011 Penyusun


(8)

viii

ABSTRAK ... ii

ABTRACT ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Keaslian Penelitian ... 9

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

2.1 Landasan Teori ... 13


(9)

ix

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 70

3.4 Variabel Penelitian ... 70

3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 72

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 74

3.7 Sumber Data Penelitian ... 75

3.8 Instrumen Penelitian ... 76

3.9 Teknik Pengambilan Data ... 80

3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 81

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 84

4.1 Deskripsi Data Penelitian ... 84

4.2 Hasil Penelitian ... 85

4.2.1 Analisis Univariat ... 85

4.2.2 Analisis Bivariat ... 93

BAB V PEMBAHASAN ... 106

5.1Pembahasan ... 106

5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 106

5.1.2 Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 107


(10)

x

Implementasi Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 110 5.1.5 Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 111 5.1.6 Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam

Pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 112 5.1.7 Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 113 5.1.8 Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 115 5.1.9 Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS

dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 116 5.1.10 Hubungan antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan

dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 117 5.1.11 Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas

dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 118 5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ... 120


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA ... 125 LAMPIRAN ... 129


(12)

xii

Tabel 1.2 Matriks Perbedaan Penelitian ... 11

Tabel 3.1 Definsi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 72

Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Kontingensi ... 83

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden ... 86

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden ... 87

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Responden ... 87

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Pelatihan Responden... 88

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Kepala Puskesmas ... 88

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ketersediaan Peralatan MTBS ... 89

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan ... 89

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas ... 90

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS ... 91

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Supervisi MTBS ... 91

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Evaluasi MTBS ... 92

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Implementasi MTBS ... 92

Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 93


(13)

xiii

Implementasi Manejemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 95 Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Keikutsertaan Pelatihan MTBS oleh

Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 96 Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas

dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit ... 97 Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan

dalam Pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 98 Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan

dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) ... 100 Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas

dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) ... 101 Tabel 4.21 Tabulasi Silang antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan

Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu


(14)

xiv

Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu


(15)

xv

Gambar 2.1 Kerangka Teori ... 67 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 68


(16)

xvi

2. Form Pengajuan Ijin Penelitian ... 130

3. Surat Ijin Permohonan Penelitian untuk Kesbangpolinmas Kota Semarang... 131

4. Surat Ijin Permohonan Penelitian untuk Dinas Kesehatan Kota Semarang... 132

5. Surat Ijin Penelitian dari Kesbangpolinmas Kota Semarang ... 133

6. Surat Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Semarang ... 134

7. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Semarang ... 135

8. Surat Ijin Permohonan Validitas dan Reliablitas untuk Kesbangpolimnas Kabupaten Semarang... 136

9. Surat Ijin Permohonan Validitas dan Reliabilitas untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang ... 137

10.Surat Tugas Panitia Ujian Sarjana ... 138

11.Kuesioner Penelitian ... 139

12.Rekapitulasi Jawaban Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 148

13.Rekapitulasi Data Identitas Responden Penelitian ... 154

14.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pengetahuan Petugas ... 155

15.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Sikap Petugas ... 156


(17)

xvii

Puskesmas ... 159

19.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Ketersediaan Peralatan ... 160

20.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Aloksi Dana dari Dinas Kesehatan ... 161

21.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas ... 162

22.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS ... 163

23.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan ... 164

24.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas ... 165

25.Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Implementasi MTBS ... 166

26.Analisis Univariat dan Bivariat ... 167

27.Peta Kota Semarang ... 182


(18)

1 1.1Latar Belakang

Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) yang dalam bahasa Indonesia disebut Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/ terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/ cara penatalaksanaan balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar (puskesmas dan jaringannya termasuk Puskesmas Pembantu (Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dll) (Departemen Kesehatan RI, 1999).

Pada tahun 1992, WHO mulai mengembangkan cara yang cukup efektif serta dapat dikerjakan untuk mencegah sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita melalui program “Integrated Management of

Childhood Illness (IMCI)” atau dikenal sebagai program Manajemen Terpadu Balita (MTBS) untuk diterapkan dan direplikasikan di negara-negara yang mempunyai angka kematian bayi (AKB) di atas 40 per 1000 kelahiran hidup. Menurut World Health Organization (WHO), bila tatalaksana ini dilakukan dengan baik, akan mampu mencegah kematian balita akibat infeksi saluran


(19)

pernafasan akut (ISPA) hingga sebesar 60-80%, dan mencegah kematian akibat diare sebesar 90%. Penerapan MTBS akan efektif jika ibu/ keluarga segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan yang terlatih serta mendapatkan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu, pesan mengenai kapan ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit merupakan bagian yang penting dalam MTBS (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).

Di Indonesia angka kematian bayi sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian balita sebesar 64 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini yang menyebabkan WHO merekomendasikan untuk melaksanakan program MTBS yang diadaptasikan sesuai dengan permasalahan kesehatan bayi dan balita di Indonesia. Proses adaptasi MTBS berlangsung selama 2 tahun dengan bantuan tenaga Ikatan Dokter Ahli Anak (IDAI) berdasarkan epidemiologi penyakit, sistem pelayanan kesehatan yang berlaku, konseling nutrisi, penggunaan istilah lokal. Sejak Juni 1997 telah dilakukan orientasi MTBS dan fasilitator secara bertahap. Tetapi hasil yang didapatkan belum memenuhi target yaitu 60% dari jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS (Mahmulsyah Munthe, 2006).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pada kelompok bayi (0-11 bulan), penyebab terbanyak kematian adalah penyakit diare sebesar 42% dan pneumonia 24%, sedangkan pada kelompok balita, kematian akibat diare sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah


(20)

sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008).

Bila dilaksanakan dengan baik, pendekatan MTBS tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian bayi dan balita di Indonesia. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya preventif (pencegahan penyakit), perbaikan gizi, upaya promotif (berupa konseling) dan upaya kuratif (pengobatan) terhadap penyakit-penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita. WHO telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan pada bayi dan balita. Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi yang paling cost effective yang memberikan dampak terbesar pada beban penyakit secara global. Bila puskesmas menerapkan MTBS berarti turut membantu dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu (Awi Muliadi Wijaya, 2009).

Menurut data hasil survei yang dilakukan sejak tahun 1990-an hingga saat ini (SKRT 1991, 1995, SDKI 2003 dan 2007), penyakit/ masalah kesehatan yang banyak menyerang bayi dan anak balita masih berkisar pada penyakit/ masalah yang kurang-lebih sama yaitu gangguan perinatal, penyakit-penyakit infeksi dan masalah kekurangan gizi. Berdasarkan kenyataan (permasalahan) di atas, pendekatan MTBS dapat menjadi solusi yang jitu apabila diterapkan dengan benar. Pada sebagian besar balita sakit


(21)

yang dibawa berobat ke puskesmas, keluhan tunggal jarang terjadi. Menurut data WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki beberapa keluhan lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang menjadi fokus MTBS. Hal ini dapat diakomodir oleh MTBS karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/ kondisi yang sering menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan diperiksa (Awi Muliadi Wijaya, 2009).

Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi, namun belum seluruh puskesmas mampu menerapkan. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui pertemuan nasional program kesehatan anak tahun 2010, jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila sudah melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut (Awi Muliadi Wijaya, 2009).

Berdasarkan data kualitas anak dan gambaran program anak Provinsi Jawa Tengah tahun 2009, didapatkan data cakupan jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS di seluruh kabupaten (yang berjumlah 35 kabupaten) dengan cakupan yang berbeda di masing-masing kabupaten tersebut. Namun sebanyak 40% kabupaten diantaranya belum dapat menerapkan MTBS dengan baik, dengan cakupan jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS dibawah 60% seperti yang terjadi pada Kota Semarang yakni 8,25% (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2009).


(22)

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang ”Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1.2.1 Rumusan Masalah Umum

Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus

1.2.2.1 Adakah hubungan antara pengetahuan petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.2 Adakah hubungan antara sikap petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.3 Adakah hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?


(23)

1.2.2.4 Adakah hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.5 Adakah hubungan antara kepemimpinan kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.6 Adakah hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS, seperti: formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.7 Adakah hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.8 Adakah hubungan antara rapat koordinasi tingkat Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.9 Adakah hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.2.2.10 Adakah hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?


(24)

1.2.2.11 Adakah hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan implementasi MTBS di Puskesmas Kota Semarang Tahun 2010.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.2 Untuk mengetahui hubungan antara sikap petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.4 Untuk mengetahui hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?


(25)

1.3.2.5 Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.6 Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS, seperti:formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.7 Untuk mengetahui hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.8 Untuk mengetahui hubungan antara rapat koordinasi tingkat Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.9 Untuk mengetahui hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.10Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.3.2.11Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan


(26)

MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

1.4Manfaat Penelitian

Peneitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak antara lain :

1. Bagi Peneliti

Sebagai latihan dalam memecahkan masalah-masalah pelayanan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan penerapan MTBS dalam mengintegrasikan berbagai teori dan konsep yang didapatkan dalam perkuliahan ke dalam aplikasi penelitian ilmiah., dan hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam memahami permasalahan-permasalahan yang ada di puskesmas. 2. Bagi Puskesmas

Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan guna meningkatkan kinerja petugas dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat, dan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap balita yang sakit.

3. Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk diadakan penelitian selanjutnya mengenai MTBS di wilayah yang lain.


(27)

1.5Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No.

Judul/ Peneliti/

Lokasi Penelitian Tahun Desain Variabel Hasil

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) diare dengan kesembuhan diare akut pada balita di Puskesmas I Kartasura/ Rosyidah Munawarah/ di Puskesmas I Kartasura

2008 Mengguna kan desain penelitian prospektif dengan pendekatan kuantitatif dengan mengukur Chi Square untuk mengukur nilai p

Variabel bebas : Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare

Variabel terikat : kesembuhan diare akut pada balita

Tidak ada hubungan antara penerapan MTBS diare dengan kesembuhan diare akut pada balita di Puskesmas I Kartasura. didapatkan balita yang tidak sembuh berdasarkan MTBS dengan rencana terapi A untuk diare akut tanpa dehidrasi sebesar 13,33% dan balita yang tidak sembuh dengan rencana terapi B untuk diare akut dehidrasi ringan sebesar 50%, tetapi tidak bermakna secara statistik. dan hanya 6,25% balita dengan diare akut yang tidak sembuh dengan terapi tanpa MTBS. 2.

(1)

Evaluasi Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan/ Hari Pratono/ di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan (2) 2007 (3) Deskriptif dengan pendekatan studi kasus (4) Menilai pelaksanaan MTBS dengan pengamatan langsung untuk mengetahui alur pelayanan dan keterpaduan pelayanan. kepatuhan

(5)

Alur pelayanan praktik MTBS sudah mengikuti pola pemeriksaan dengan pelayanan yang terintegrasi yang melibatkan tim yang dikelola oleh seorang case manager serta dengan intervensi yang terintegrasi meliputi pengobatan,


(28)

Petugas Dinilai dengan

Membandingkan dengan Cheklis Berdasarkan Buku Bagan MTBS.

Promosi dan

pencegahan. Kepatuhan terhadap standar MTBS cukup dengan nilai 67%. Praktik MTBS ini mendapat dukungan manajemen dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut. Peran seorang case manager sebagai

penanggungjawab pelaksanaan MTBS yang didukung oleh manajemen Puskesmas menjadikan praktik Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tetap terjaga kelangsungannya.


(29)

Sedangkan perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada matrik dibawah ini:

Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian

No Pembeda Rosyidah

Munawarah Hari Pratono

Agita Maris Nurhidayati

(1) (2) (3) (4 ) (5)

1 Judul Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) Diare dengan Kesembuhan Diare Akut Pada

Balita di Puskesmas I Kartasura

Evaluasi Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan

Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang

2 Tahun dan Tempat Penelitian

2008, Puskesmas I Karatasura

2007, di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan

2010, di Puskesmas di Kota Semarang

3 Rancangan Penelitian

Desain penelitian prospektif dengan pendekatan kuatitatif dengan mengukur Chi Square untuk mengukur nilai p

Deskriptif dengan pendekatan studi kasus

Survey explanatory dengan pendekatann crosss sectional

4 Variabel Penelitian

Variabel bebas :

Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare

Variabel terikat : Kesembuhan diare akut pada balita

Variabel bebas : Menilai Pelaksanaan MTBS dengan Pengamatan Langsung untuk Mengetahui Alur pelayanan dan Keterpaduan

Pelayanan.  Variabel terikat :

Kepatuhan petugas dinilai dengan membandingkan dengan cheklis

berdasarkan buku bagan MTBS.

Variabel Bebas : 1.Pengetahuan petugas

pemegang program MTBS.

2.Sikap petugas pemegang program MTBS.

3.Motivasi kerja petugas pemegang program MTBS. 4.Pelatihan MTBS

yang pernah diiukuti petugas.

5.Kepemimpinan kepala puskesmas. 6.Ketersediaan

peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS. 7.Alokasi dana dari

dinkes untuk kegiatan MTBS.


(30)

(1) (2) (3) (4)

8.Rapat koordinasi tingkat puskesmas

(5)

9.Sistem pencatatan/ pelaporan

pelaksanaan MTBS. 10. Pelaksanaan

supervisi MTBS oleh dinkes terhadap pelaksanaan MTBS. 11. Pelaksanaan evaluasi

(penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS.  Variabel Terikat :

Implementasi

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

1.6Ruang Lingkup Penelitian 1.6.1 Ruang lingkup tempat

Lokasi penelitian dilaksanakan di seluruh puskesmas di Kota Semarang yang berjumlah 37 puskesmas.

1.6.2 Ruang lingkup waktu

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2011.

1.6.3 Ruang lingkup materi

Materi yang dipaparkan adalah materi yang berkenaan dengan bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mencakup tentang Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK), terkait dengan masalah kebijakan pemerintah mengenai penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di pelayanan kesehatan dasar.


(31)

14 2.1Landasan Teori

2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 2.1.1.1Pengertian MTBS

Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya promotif dan preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak balita dan menekan morbiditas karena penyakit tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2).

Manjemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit. MTBS bukan merupakan program vertikal. Manajemen Terpadu Balita Sakit atau IMCI (Integrated Management of Childhood Illness) di Indonesia merupakan bagian dari

primary health care. Oleh karena itu sebagai focal point bagi kegiatan ini adalah Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Direktorat Jenderal Binkesmas, Depkes RI yang dalam hal ini adalah pada Subdirektorat Bina Kesehatan Bayi dan Anak Prasekolah. Langkah-langkah yang diterapkan dalam MTBS, jelas bahwa keterkaitan peran dan tanggung jawab antar petugas kesehatan di


(32)

puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS. Persiapan yang perlu dilakukan oleh setiap puskesmas yang akan mulai menerapkan MTBS dalam pelayanan pada balita sakit meliputi diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas, rencana penerapan MTBS di puskesmas, rencana penyiapan obat dan alat yang akan digunakan dalam pelayanan MTBS, serta pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan MTBS di puskesmas. Kegiatan diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas dilaksanakan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh semua petugas yang meliputi perawat, bidan, petugas gizi, petugas imunisasi, petugas obat, pengelola SP2TP, pengelola program P2M, petugas loket dan lain-lain. Diseminasi informasi dilaksanakan oleh petugas yang lebih dilatih MTBS, bila perlu dihadiri oleh supervisor dari Dinas Kesehatan kabupaten/ kota (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2).

Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu bentuk pengelolaan balita yang mengalami sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak serta kualitas pelayanan kesehatan anak. Bentuk ini sebagai salah satu cara yang efektif untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan pada bayi dan anak, mengingat bentuk pengelolaan ini dapat dilakukan pada pelayanan tingkat pertama seperti di unit rawat jalan, puskesmas, polindes dan lain-lain. Bentuk manajemen ini dilaksanakan secara terpadu tidak terpisah, dikatakan terpadu karena bentuk pengelolaannya dilaksanakan secara bersama dan penanganan kasus tidak terpisah-pisah yang meliputi manajemen anak sakit, pemberian nutrisi, pemberian imunisasi,


(33)

pencegahan penyakit sereta promosi untuk tumbuh kembang (Aziz Alimul Hidayat, 2008: 142).

MTBS merupakan sistem untuk mengklasifikasikan penyakit dan pemberian pengobatan atau tindakan dengan panduan bagan alur MTBS. Bagan alur MTBS memandu petugas kesehatan untuk mengenali gejala-gejala penyakit balita, mengklasifikasikan penyakit tersebut, dan memberikan pengobatan atau tindakan yang diperlukan. Intervensi inti dari MTBS adalah keterpaduan tatalaksana kasus dari 5 penyebab utama dari kematian balita, antara lain ISPA, diare, campak, malaria, dan malnutrisi, serta kondisi yang biasa mengikutinya. Pada setiap negara, kombinasi intervensi yang ada pada MTBS dapat dimodifikasi untuk mencakup kondisi penting lain yang sudah mempunyai cara pengobatan dan/ atau cara pencegahan yang efektif. Intervensi utama dari strategi MTBS global bisa berubah, tergantung adanya data baru hasil penelitian tentang penyebab utama penyakit anak.

Selama ini upaya menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan balita (AKBa) di tingkat pelayanan kesehatan dasar disamping menekankan pencegahan primer melalui upaya-upaya yang bersifat promotif dan preventif, telah memanfaatkan upaya pencegahan sekunder termasuk upaya kuratif dan rehabilitatif di unit rawat jalan.

Pendekatan program perawatan balita sakit di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang dipakai selama ini adalah program intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit. Program intervensi secara vertikal, antara lain pada program pemberantasan penyakit infeksi


(34)

saluran pernafasan akut (ISPA), program pemberantasan penyakit diare, program pemberantasan penyakit malaria, dan penanggulangan kekurangan gizi. Penanganan yang terpisah seperti ini akan menimbulkan masalah kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien yang menderita penyakit lain selain penyakit yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau hampir sama. Untuk mengatasi kelemahan program atau metode intervensi tersebut, pada tahun 1994 WHO dan UNICEF mengembangkan suatu paket yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dengan cara memadukan intervensi yang terpisah tersebut menjadi satu paket tunggal yang disebut

Integrated Management of Chilhood Ilness (IMCI). IMCI yang oleh WHO dikembangkan di negara-negara Afrika dan India telah berhasil memberikan keterampilan terhadap tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan dasar. Keterampilan tersebut antara lain meliputi bagaimana cara melakukan klasifikasi penyakit, menilai status gizi, melakukan pengobatan secara benar, melakukan proses rujukan dengan cepat dan benar dan juga dapat menjadikan pengurangan biaya pada pelayanan kesehatan. Pada tahun 1997 IMCI mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu suatu program yang bersifat menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme, program ini dapat mengklasifikasi penyakit-penyakit secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita sakit, melakukan rujukan secara cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan


(35)

imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga diberikan bimbingan mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan kepada balita tersebut dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali untuk mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar.

2.1.1.2Tujuan MTBS

MTBS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan fasilitas kesehatan dasar, yang pada gilirannya diharapkan mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita. 2.1.1.3Strategi MTBS

MTBS merupakan kombinasi perbaikan tatalaksana balita sakit (kuratif) dengan aspek nutrisi, imunisasi (preventif dan promotif). Penyakit anak dipilih yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan bayi dan anak balita. Diantaranya strategi seperti berikut ini :

1. Kuratif meliputi

a. Pneumonia e. DBD

b.Diare f. Masalah telinga

c. Malaria g. Masalah gizi

d.Campak


(36)

a. Upaya mengurai missed opportunities imunisasi

b.Konseling gizi

c. Konseling pemberian ASI d.Suplemen Vitamin A

Menurut WHO dalam Depkes RI (2006a) implementasi strategi MTBS di seluruh dunia mengikuti tiga komponen, yaitu: memperbaiki keterampilan petugas kesehatan lewat pembekalan tentang petunjuk MTBS dan kegiatan promosi, perbaikan sistem kesehatan yang dibutuhkan untuk pengelolaan anak sakit dengan efektif serta perbaikan kesehatan keluarga dan masyarakat.

Strategi utama dari MTBS adalah pengelolaan masalah penyakit anak di negara berkembang dengan fokus penting pada pencegahan kematian anak. Strategi tersebut meliputi intervensi pada kegiatan preventif dan kuratif dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan di sarana pelayanan kesehatan dan pelayanan rumah. Implementasi MTBS juga berguna untuk memperbaiki keterampilan petugas kesehatan pada tingkat pertama pelayanan kesehatan juga termasuk kemampuan berkomunikasi dan konseling sehingga diharapkan kualitas layanan kesehatan pada anak juga dapat diperbaiki serta komunikasi yang baik pada orang tua. Implementasi MTBS merupakan gabungan antara tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) serta pemecahan masalahnya pada tingkat distrik dan sarana pelayanan kesehatan sekitarnya, petugas kesehatan serta anggota masyarakat yang dilayani.


(37)

Tenaga kesehatan di unit rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat dasar meliputi :

a. Paramedis (bidan, perawat)

b. Dokter puskesmas (karena merupakan supervisor dari paramedis) 2.1.1.5Pelaksanaan MTBS

1. Pelaksanaan Saat Pelatihan

Para fasilitator dari Dinas Kesehatan mengundang tenaga ahli untuk melatih peserta (dokter puskesmas, perawat dan bidan) dilatih selama 48 jam dengan ketentuan 4 hari teori, 2 hari praktek di Puskesmas dan RSUD di bangsal anak dan perinatologi. Dalam pelaksanaan praktek langsung dengan pasien dengan menggunakan formulir MTBS dan MTBM serta bagan, diharapkan dalam pelaksanaan sesuai dengan bagan dan alur MTBS sebagai bahan ajar acuan dalam pelatihan tersebut setiap peserta diberikan modul sebanyak 7 buah dengan materi pada masing-masing modul sebagai berikut:

Modul I memuat tentang pengantar MTBS, modul II memuat tentang penilaian dan klasifikasi anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun, modul III memuat tentang penentuan tindakan dan pemberian obat, modul IV memuat tentang konseling bagi ibu, modul V memuat tentang tindak lanjut yang perlu diberikan, modul VI memuat tentang manajeman terpadu bayi muda umur 1 hari sampai 2 bulan, modul VII memuat tentang pedoman penerapan MTBS di Puskesmas.


(38)

Pelaksanaan MTBS di puskesmas dilakukan setiap hari, tempat pelaksanaannya disediakan ruangan khusus untuk MTBS dimasing-masing puskesmas. Setelah diadakan pelatihan dari dokter puskesmas, perawat dan bidan maka akan diadakan kalakarya yang melibatkan seluruh lapisan organisasi puskesmas mulai dari kepala puskesmas sampai staf walaupun tidak semua nantinya sebagai pelaksana MTBS. Kala karya ini bertujuan untuk menyatukan persepsi, visi dan misi dari semua lapisan organisasi puskesmas yang ada tentang MTBS.

2.1.1.6Indikator Keberhasilan Program MTBS

Indikator prioritas MTBS yang digunakan dalam fasilias pelayanan dasar meliputi keterampilan petugas kesehatan, dukungan sistem kesehatan dalam menjalankan MTBS dan kepuasan ibu balita atau pendamping balita (Departemen Kesehatan RI, 2006a).

Sedangkan Indikator keberhasilan MTBS adalah angka mortalitas dan morbiditas anak balita menurun, juga cakupan neonatal dalam kunjungan rumah meningkat.

2.1.1.7Sasaran Manajeman Terpadu Balita Sakit

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006a), sasaran dari Manajemen Terpadu Balita Sakit, meliputi :

1. Bayi muda umur 1 minggu - 2 bulan 2. Anak umur 2 bulan - 5 tahun


(39)

Pada Manajemen Terpadu Balita Sakit ini model pengelolaannya dapat meliputi :

1. Penilaian adanya tanda dan gejala dari suatu penyakit dengan cara bertanya, melihat dan mendengar, meraba dengan kata lain dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik secara dasar dan anamnesa. 2. Membuat klasifikasi, dengan menentukan tingkat kegawatan dari suatu

penyakit yang digunakan untuk menentukan tindakan bukan diagnosis khusus penyakit.

3. Menentukan tindakan dan mengobati, yakni memberikan tindakan pengobatan di fasilitas kesehatan, membuat resep serta mengajari ibu tentang obat serta tindakan yang harus dilakukan di rumah.

4. Memberikan konseling dengan menilai cara pemberian makan dan kapan anak harus kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan.

5. Memberikan pelayanan tindak lanjut pada kunjungan ulang.

2.1.1.9Penyesuaian Alur Pelayanan MTBS

Salah satu konsekuensi penerapan MTBS di puskesmas adalah waktu pelayanan menjadi lebih lama. Untuk mengurangi waktu tunggu bagi balita sakit, perlu dilakukan penyesuaian alur pelayanan. Khusus untuk pelayananan bayi muda (sehat maupun sakit) dapat dilaksanakan di unit rawat jalan puskesmas ataupun pustu, akan tetapi diutamakan dikerjakan pada saat kunjungan neonatal oleh para bidan di desa.


(40)

Penyesuaian alur pelayanan balita sakit disusun dengan memahami langkah-langkah pelayanan yang diterima oleh balita sakit. Langkah-langkah tersebut adalah sejak penderita datang hingga mendapatkan pelayanan yang lengkap meliputi :

1. Pendaftaran

2. Pemeriksaan dan konseling

3. Tindakan yang diperlukan (di Klinik) 4. Pemberian obat, atau

5. Rujukan, bila diperlukan

2.1.1.10Penatalaksanaan Balita Sakit dengan Pendekatan MTBS

Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut algoritma MTBS untuk melakukan penilaian atau pemeriksaan, yakni dengan cara : menanyakan kepada orang tua/ wali, apa saja keluhan-keluhan/ masalah anak kemudian memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan menentukan jenis tindakan/ pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.

Gambaran tentang begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS dapat dilihat pada item di bawah ini tentang hal-hal yang diperiksa


(41)

pada pemeriksaan dengan pendekatan MTBS. Ketika anak sakit datang ke ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/ wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti :

a. Apakah anak bisa minum/menyusu?

b. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?

c. Apakah anak menderita kejang? Kemudian petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar?

Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain: a. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?

b. Apakah anak menderita diare? c. Apakah anak demam?

d. Apakah anak mempunyai masalah telinga? e. Memeriksa status gizi

f. Memeriksa anemia

g. Memeriksa status imunisasi h. Memeriksa pemberian vitamin A i. Menilai masalah/keluhan-keluhan lain

Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan mengklasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkah-langkah tindakan/pengobatan yang telah ditetapkan dalam penilaian/klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain :


(42)

b. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah

c. Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah, misal aturan penanganan diare di rumah

d. Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat

e. Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan 2.1.1.11Praktik MTBS Di Puskesmas

Pada pelayanan MTBS di puskesmas, petugas puskesmas ikut berperan dalam menentukan kelancaran dan pelaksanaan langkah-langkah dari MTBS tersebut. Oleh karena itu seluruh petugas puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS. Petugas puskesmas tersebut, antara lain: bidan, perawat, petugas gizi, petugas imunisasi, petugas obat, pengelola SP2TP, maupun petugas loket. Pada pelaksanaannya, petugas memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dan disesuaikan dengan jumlah kunjungan balita yang sakit dan juga petugas kesehatan yang ada. Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya maka, petugas harus mengetahui tentang MTBS tersebut. Hal ini berkaitan dengan perilaku dari petugas tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2).

Pemeriksaan balita sakit di puskesmas ditangani oleh tim yang dipimpin oleh pengelola MTBS atau pemegang program MTBS yang berfungsi sebagai case manager. Semua kegiatan pemeriksaan dan konseling tersebut dilakukan di ruang khusus MTBS. Case manager di sini adalah bidan


(43)

yang telah dilatih MTBS yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan kegiatan MTBS.

1. Fungsi dan Kedudukan Case Manager.

Kedudukan case manager tidak ada dalam struktur organisasi puskesmas. Pemilihannya oleh kepala puskesmas berdasarkan pertimbangan pernah mengikuti pelatihan dan sanggup untuk mengelola MTBS. Dalam keseharian pengelola bertanggung jawab kepada koordinator KIA puskesmas. Case manager bertanggung jawab melakukan pemeriksaan dari penilaian membuat klasifikasi serta mengambil tindakan serta melakukan konseling dengan dipandu buku/ bagan dan tercatat dalam formulir pemeriksaan. Case manager bertanggung jawab mengelola kasus balita sakit dari penilaian, membuat klasifikasi, dan menentukan tindakan, serta case manager

menentukan konseling yang diperlukan oleh pasien. Apabila memerlukan konseling gizi, kesehatan lingkungan (kesling), serta imunisasi, petugas mengirim ke petugas yang dibutuhkan dan pasien akan disuruh kembali kepada case manager. Sesudah mendapatkan konseling baru dilakukan penulisan resep serta penjelasan agar ibu/ pengantar balita mematuhi perintah yang diberikan dalam pengobatan di rumah. Konseling mengenai cara pemberian obat, dosis, lama pemberian, waktu pemberian, cara pemberian dan lain-lain menjadi hal yang rutin dilakukan. Hasil kegiatan pemeriksaan dicatat dalam register kunjungan, kemudian direkap setiap akhir bulan untuk laporankegiatan MTBS kepada Dinas Kesehatan.


(44)

Keberadaan tim dalam penanganan balita sakit sangat mendukung praktik MTBS. Tim yang dipimpin oleh seorang manajer kasus (case manager) yaitu seorang bidan yang bertanggungjawab kepada bidan koordinator KIA. Apabila ada masalah yang berkenaan dengan MTBS bidan koordinator mengkonsultasikan kepada kepala puskesmas. Manajer kasus mendistribusikan tugas serta pekerjaan kepada anggota tim lainnya yaitu petugas gizi untuk menangani konseling gizi, petugas imunisasi untuk pemberian imunisasi yang dibutuhkan anak pada saat pemeriksaan serta petugas kesehatan lingkungan yang menangani penyuluhan berkenaan dengan penyakit yang diakibatkan oleh perilaku dan lingkungan. Kejelasan tugas dalam pembagian kerja menyebabkan penanganan kasus lebih efektif. Masing-masing petugas bisa mengerti pekerjaan dan tugas-tugas yang lain sehingga ketika petugas lain yang diperlukan tidakada, petugas yang ada bisa mengambil alih. Sifat yang fleksibelantar anggota tim inilah yang membantu dalam praktik MTBS sehingga pekerjaan terus berlangsung walaupun ada anggota timyang tidak ada.

2.1.2 Pelayanan Kesehatan

2.1.2.1Konsep Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (1973) dalam Azrul Azwar (1996) adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.


(45)

Pelayanan kesehatan adalah segala kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berupaya untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan atau dituntut oleh masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatannya (Budioro B, 1997: 117). Sedangkan menurut (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 5), pelayanan kesehatan adalah tempat atau sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

Menurut Djoko Wijono (2000: 204), pelayanan kesehatan adalah suatu proses kegiatan pemberian jasa atau pelayanan di bidang kesehatan yang hasilnya dapat berupa hasil pelayanan yang bermutu, kurang bermutu, atau tidak bermutu yang tergantung dari proses pelaksanaan kegiatan pelayanan itu sendiri, sumber daya yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi, serta manajemen mutu pelayanan.

Baik atau tidaknya keluaran (output) suatu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh masukan (input), proses (process), dan lingkungan (environment), maka mutu pelayanan kesehatan ada kaitannya dengan unsur-unsur pokok yaitu sebagai berikut (Azrul Azwar, 1996: 46) :

1. Unsur Masukan

Yang dimaksud dengan unsur masukan adalah semua hal yang diperlukan untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan. Unsur masukan ini banyak macamnya, diantaranya meliputi : tenaga (man) yaitu petugas kesehatan, dana (money), manajemen, serta sarana (material) yang mendukung kelancaran kegiatan. Secara umum disebutkan apabila tenaga dan


(46)

sarana (kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of personnels and facilities), serta jika dana yang tersedia tidak sesuai kebutuhan, maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan.

2. Unsur Proses

Yang dimaksud dengan unsur proses adalah semua tindakan yang dilakukan pada pelayanan kesehatan. Tindakan tersebut secara umum dapat dibedakan dua macam yakni tindakan medis (medical procedure) yang bersifat penyembuhan penyakit dan tindakan non-medis (non-medical procedures) yang meliputi pelayanan administrasi, dan pelayanan apotek. Secara umum disebutkan apabila kedua tindakan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of conduct), maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan.

3. Unsur Lingkungan

Yang dimaksud unsur lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi pelayanan kesehatan. Untuk suatu institusi kesehatan, keadaan sekiar yang terpenting adalah kebijakan (policy), organisasi (organization) dan manajemen (management). Secara umum disebutkan apabila kebijakan, organisasi, dan manajemen tersebut tidak sesuai dengan standar atau tidak bersifat mendukung, maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan kesehatan.

4. Unsur Keluaran

Yang dimaksud dengan unsur keluaran adalah yang menunjuk pada penampilan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (performance).


(47)

Penampilan yang dimaksudkan disini banyak macamnya. Secara umum dapat dibedakan atas dua macam. Pertama, penampilan aspek medis (medical performance). Kedua penampilan aspek non-medis (non-medical performance). Secara umum disebutkan apabila kedua penampilan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of performance) maka berarti sulit diharapkan baiknya pelayanan kesehatan yang bermutu (Azrul Azwar, 1996).

Pada output ini yang dimaksud adalah sistem Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada balita yang sedang sakit. Dengan diterapkannya pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di puskesmas diharapkan dapat membantu mempermudah dalam proses anamnesis, pemeriksaan, serta diagnosis penyakit pada balita.

2.1.2.2Macam Pelayanan Kesehatan

Menurut pendapat Hodgetts dan Cascio (1983) dalam Azrul Azwar (1996) bentuk dan jenis pelayanan kesehatan adalah :

a. Pelayanan Kedokteran

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran ( medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi (institution), tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memelihara kesehatan serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.


(48)

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat (public health services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi, tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Sasarannya terutama untuk kelompok dan masyarakat.

Menurut Azrul Azwar (1996: 38) pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat harus memiliki berbagai persyaratan pokok, antara lain :

1. Tersedia dan berkesinambungan (continous and available)

Pelayaan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continous), artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan.

2. Dapat diterima dan wajar (acceptable)

Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.

3. Mudah dicapai (accessible)

Pengertian ketercapaian yang dimaksudkan di sini adalah terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi


(49)

sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.

4. Mudah dijangkau (affordable)

Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini adalah dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.

5. Bermutu (certifiable)

Pengertian mutu yang dimaksudkan di sini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

2.1.3 Standar Pelayanan Kesehatan

Menurut Imbalo S. Pohan (2003: 32) standar pelayanan kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan keluaran atau outcome system pelayanan kesehatan. Sedangkan di kalangan profesi pelayanan kesehatan sendiri terdapat berbagai definisi tentang standar pelayanan kesehatan antara lain : 1. Petunjuk Pelaksanaan


(50)

Pernyataan dari para ahli yang merupakan rekomendasi untuk dijadikan suatu prosedur. Petunjuk pelaksanaan digunakan sebagai referensi teknis yang luwes dan menjelaskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan dalam kondisi klinis tertentu. 2. Protokol

Ketentuan rinci dari pelaksanaan suatu proses atau pelaksanaan suatu kondisi klinis.

3. Standar Prosedur Operasional (SPO)

Pernyataan tentang harapan bagaimana petugas kesehatan melakukan suatu kegiatan yang bersifat administratif.

4. Spesifikasi

Penjelasan rinci dari karakteristik atau ukuran dari suatu produk pelayanan kesehatan atau keluaran (outcome).

2.1.4 Indikator Pelayanan Kesehatan

Pada dasarnya indikator mutu pelayanan kesehatan dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

1. Indikator Subyektif

Indikator ini tergantung dari pendapatan atau pandangan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Pada umumnya indikator ini berupa keluhan atau ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.


(51)

Indikator ini berhubungan erat dengan asuhan keperawatan, karena dalam hal ini sangat berkaitan erat dengan kehendak atau keinginan pemenuhan kebutuhan dan keinginan kelompok atau perseorangan dari konsumen. Maka tolok ukurnya adalah profesional, yaitu standar praktek asuhan keperawatan yang telah ditetapkan.

Menurut Lori Di Prete dalam Imbalo S. Pohan (2003: 19) terdapat dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu :

1. Kompetensi Teknik

Kompetensi teknik menyangkut keterampilan, kemampuan, dan penampilan atau kinerja pemberi pelayanan kesehatan.

2. Keterjangkauan atau Akses terhadap Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan itu harus dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa. 3. Efektifitas Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan itu harus efektif artinya pelayanan kesehatan harus mampu mengobati atau mengurangi keluhan yang ada, mencegah terjadinya penyakit serta berkembangnya dan atau meluasnya penyakit yang ada.

4. Efisiensi Pelayanan Kesehatan

Sumber daya kesehatan itu sangat terbatas, oleh sebab itu dimensi efisiensi ini sangat penting dalam pelayanan kesehatan.


(52)

Artinya pasien harus dapat dilayani sesuai kebutuhannya, termasuk rujukan jika diperlukan tanpa mengulangi prosedur diagnosis dan terapi yang tidak perlu.

6. Keamanan

Dimensi keamanan pelayanan kesehatan itu harus aman, baik bagi pasien, bagi pemberi pelayanan kesehatan atau masyarakat sekitarnya. Pelayanan kesehatan yang bermutu harus aman dari resiko cedera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang ditimbulkan oleh pelayanan kesehatan itu sendiri.

7. Kenyamanan

Kenyamanan tidak berhubungan langsung dengan efektivitas pelayanan kesehatan, namun mempengaruhi kepuasan pasien. Sehingga mendorong pasien untuk datang berobat kembali ke tempat tersebut. Kenyamanan juga terkait dengan penampilan fisik pelayanan kesehatan, pemberi pelayanan, peralatan medik dan non medik.

8. Informasi

Pelayanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi yang jelas tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana pelayanan kesehatan itu dilaksanakan.

9. Ketepatan Waktu

Agar berhasil pelayanan kesehatan itu harus dilaksanakan dalam waktu dan cara yang tepat. Oleh pemberi pelayanan yang tepat dan


(53)

menggunakan peralatan dan obat yang tepat serta dengan biaya yang efisien (tepat).

10.Hubungan Antar Manusia

Hubungan antar manusia merupakan interaksi pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien atau konsumen, antar sesama pemberi pelayanan kesehatan, hubungan atasan-bawahan, Dinas Kesehatan, rumah sakit, puskesmas, pemerintah daerah, LSM, masyarakat, dan lain-lain.

Hubungan antara manusia yang baik akan menimbulkan kepercayaan atau kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling menghormati, responsif, dan memberi perhatian.

2.1.5 Mutu Pelayanan

Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar, atau ketetapan manajemen. Mutu berdasarkan pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif (Djoko Wijono, 1999: 3). Mutu pelayanan kesehatan adalah hasil akhir (outcome) dari interaksi dan ketergantungan antara berbagai aspek, komponen atau unsur organisasi pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem (Djoko Wijono, 1999: 38).

Djoko Wijono (1999) mengatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat semata-mata dimaksudkan dari aspek teknis medis yang hanya berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja, atau mutu


(54)

pelayanan kesehatan dari sudut pandang sosial dan sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan, termasuk akibat-akibat manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya. Juga dikatakan bahwa pembahasan tentang kualitas pelayanan kesehatan yang baik mengenal dua pembatasan, yaitu:

1. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien

Kualitas pelayanan kesehatan yang baik adalah apakah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan tersebut dapat menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien dengan tingkat kepuasan pasien rata-rata pendidikan yang menjadikan sasaran utama pelayanan kesehatan tersebut.

2. Pembatasan pada upaya yang dilakukan

Kualitas pelayanan kesehatan yang baik adalah apabila tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar serta kode etik profesi yang telah ditetapkan.

Mutu pelayanan kesehatan dapat diukur melalui tiga cara (Imbalo S. Pohan, 2003: 85), yaitu :

1. Pengukuran mutu prospektif

Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sebelum pelayanan kesehatan diselenggarakan.

2. Pengukuran mutu konkuren

Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan selama pelayanan kesehatan sedang berlangsung.


(55)

3. Pengukuran mutu pelayanan retrospektif

Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sesudah pelayanan kesehatan selesai dilaksanakan.

Pada umumnya untuk meningkatkan mutu pelayanan ada dua cara (Djoko Wijono, 1999: 37-38) :

1. Meningkatkan mutu dan kuantitas sumber daya, tenaga, biaya, peralatan, perlengkapan dan materi yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input atau struktur, namun cara ini mahal.

2. Memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki proses pelayanan organisasi pelayanan kesehatan.

Mutu produk dan jasa pelayanan secara langsung dipengaruhi oleh 9 faktor fundamental (Djoko Wijono, 1999: 10) :

1. Men : kemajuan teknologi, komputer dan lain-lain memerlukan pekerja-pekerja spesialis yang makin banyak.

2. Money : meningkatnya kompetisi disegala bidang memerlukan penyesuaian pembiayaan yang luar biasa termasuk untuk mutu.

3. Materials : bahan-bahan yang semakin terbatas dan berbagai jenis material yang diperlukan.

4. Machines dan mechanization : selalu perlu penyesuaian-penyesuaian seiring dengan kebutuhan kepuasan pelanggan.


(56)

5. Modern information methods : kecepatan kemajuan teknologi komputer yang harus selalu diikuti.

6. Markets : tuntutan pasar yang semakin tinggi dan luas.

7. Management : tanggung jawab manajemen mutu oleh perusahaan.

8. Motivation : meningkatnya mutu yang kompleks perlu kesadaran mutu bagi pekerja-pekerja.

9. Mounting product requirement : persyaratan produk yang meningkat yang diminta pelanggan perlu penyesuaian mutu terus-menerus.

Menurut Prof. A. Donabedian dalam Djoko Wijono (1999: 48), ada tiga pendekatan evaluasi (penilaian) mutu yaitu dari aspek :

1. Standar struktur

Adalah standar yang menjelaskan peraturan dan sistem, misalnya personel, peralatan, gedung, rekam medis, keuangan, obat, dan fasilitas. 2. Standar proses

Yaitu menyangkut semua aspek pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, melakukan prosedur dan kebijakan.

3. Luaran atau outcome

Adalah hasil akhir atau akibat dari pelayanan kesehatan. Standar luaran akan menunjukkan apakah pelayanan kesehatan berhasil atau gagal.

Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan,


(57)

dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Dengan demikian maka peningkatan kualitas fisik serta faktor-faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi. Selanjutnya proses pemberian pelayanan ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan sebagaimana diuraikan di atas (Departemen Kesehatan RI, 1999: 25).

2.1.6 Karakteristik Mutu Pelayanan Kesehatan

Menurut Zethamal, Parasuraman dan Berry (1985) yang dikutip dalam Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2001: 27), bahwa lima kelompok karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa/ pelayanan kesehatan, yaitu :

1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi, yang semuanya dapat dirasakan langsung oleh pelanggan.

2. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan dapat memuaskan pelanggan.

3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu kemampuan dari karyawan memberikan pelayanan kepada pelanggan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat dan tepat, serta mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukan pelanggan.

4. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, yaitu bebas dari bahaya, risiko dan keragu-raguan. Karakteristik jaminan ini merupakan gabungan dari


(58)

dimensi kompetensi (ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan) dan dimensi kesopanan.

5. Empati (emphaty), meliputi kemampuan membina hubungan, komunikasi yang baik, perhatian dan memahami kebutuhan pelanggan. Karakteristik perhatian ini merupakan gabungan dari akses (kemudahan untuk memanfaatkan jasa), komunikasi (kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan/ memperoleh masukan), pemahaman pada pelanggan (usaha untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan).

2.1.7 Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) 2.1.7.1Pengertian Puskesmas

Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan tumpuan masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar selain pangan dan juga pendidikan. Pelayanan kesehatan bukan salah monopoli rumah sakit saja. Penduduk Indonesia yang jumlahnya melebihi 200 juta jiwa tidak mungkin harus bergantung dari rumah sakit yang jumlahnya sedikit dan tidak merata penyebarannya.


(59)

Pelayanan kesehatan yang bermutu masih jauh dari harapan masyarakat, serta berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu, maka UU Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, khususnya ditingkat Puskesmas.

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tesebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan puskesmas biasanya berada di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota.

2.1.7.2Fungsi Puskesmas

Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), puskesmas sebagai fasilitan pelayanan kesehatan tingkat pertama mempunyai tiga fungsi sebagai berikut :

a. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan

Puskesmas harus mampu membantu menggerakkan (motivator, fasilitator) dan turut serta memantau pembangunan yang diselenggarakan di tingkat kecamatan agar dalam pelaksanaannya mengacu, berorientasi serta dilandasi oleh kesehatan sebagai faktor pertimbangan utama.


(60)

b. Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga

Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat non instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat atau keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan mengambil keputusan untuk pemecahannya dengan benar.

c. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Upaya pelayanan kesehatan tingkat pertama yang diselenggarakan puskesmas bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan medik. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan.

2.1.7.3Program Pokok Puskesmas

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh (comprehensive health care services) kepada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya, puskesmas menjalankan beberapa usaha pokok yang meliputi 6 (enam) program wajib yaitu :

a. Upaya Promosi Kesehatan b. Upaya Kesehatan Lingkungan

c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular f. Upaya Pengobatan


(61)

Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di puskesmas dikembangkan berdasarkan program pokok pelayanan kesehatan dasar seperti yang dianjurkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang dikenal dengan “basic seven” WHO. Basic seven tersebut terdiri dari : 1) Maternal and Child Health Care, 2) Medical Care, 3) Environmenial Sanitation, 4) Health Education, untuk kelompok, kelompok masyarakat, 5) Simple Laboratory, 6)

Communicable Disease Control, dan 7) Simple Statistic, atau pencatatan dan pelaporan. Dari ke-12 program pokok puskesmas, basic seven WHO harus lebih diprioritaskan untuk dikembangkan sesuai dengan masalah kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di wilayah kerjanya, kemampuan sumber daya manusia (staf) yang dimiliki oleh puskesmas, dukungan sarana/ prasarana yang tersedia di puskesmas, dan peran serta masyarakat (Azrul Azwar, 1996: 125).

2.1.7.4Manajemen Puskesmas

Manajemen telah ada sejak lama, dikatakan demikian oleh karena pengertian pokok dari manajemen adalah mencapai tujuan yang telah dikehendaki dengan jalan menggunakan orang atau orang lain untuk bekerja, guna mendapat hasil yang dicita-citakan (Hani T. Handoko, 2001: 76).

Pengertian lain dari manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan manajemen adalah terciptanya pengelolaan semua program-program secara baik dan teratur


(62)

berdasarkan urutan-urutan kebutuhan dan waktu pelaksanaan (Malayu S.P. Hasibuan, 2009: 2).

Sedangkan menurut A. A. Gde Muninjaya (1999: 15), manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan pengertian tersebut, manajemen mengandung tiga prinsip pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu efisien dalam pemanfaatan sumber daya, efektif dalam memilih alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi, dan rasional dalam pengambilan keputusan.

Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan manajemen yang baik, akan memudahkan terwujudnya tujuan suatu organisasi, sehingga daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan. Adapun unsur-unsur manajemen itu meliputi unsur 5M yaitu: man, money, methode, machines, dan materials.

Agar dapat memberi pelayanan dengan baik maka dibutuhkan berbagai sumber daya yang harus diatur dengan proses manajemen secara baik (Tjandra Yoga A, 2002: 15). Dibidang kesehatan manajemen diartikan sama dengan administrasi kesehatan yaitu suatu proses yang menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, tata cara dan kesanggupan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan terhadap kesehatan, perawatan kedokteran serta lingkungan yang sehat dengan jalan menyediakan dan menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan yang ditujukan kepada


(63)

perseorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat (Azrul Azwar, 1996: 5).

Dari uraian tersebut jelas bahwa peranan kantor dalam Sistem Kesehatan Indonesia tidak hanya sebagai pelaksana fungsi administrasi saja tetapi juga sebagai pelaksana fungsi pelayanan kesehatan. Dengan kata lain kantor Departemen Kesehatan dan atau Kantor Dinas Kesehatan yang terdapat di kabupaten juga bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat. Sedangkan pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat sehari-hari dipercayakan kepada puskesmas yang oleh pemerintah didirikan di semua kecamatan. Puskesmas merupakan suatu unit pelaksanaan fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan yaitu dalam rangka fungsi promotif (penyuluhan) dan pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah (advokasi) yang mengarah pada usaha preventif (pencegahan) serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu dan berkeseimbangan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu (Azrul Azwar, 1996: 119). Agar dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya, maka puskesmas didukung oleh suatu sistem manajemen yang sebenarnya sudah dibakukan oleh Depkes. Pada hakikatnya puskesmas :

a. Melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti P1 (Perencanaan), P2 (Pelaksanaan dan Penggerakan), P3 (Pengarahan, Pengawasan, dan Penilaian).


(64)

b. Dengan dukungan sumber daya seperti tenaga, dana, peralatan, teknologi, informasi, dan lain-lainnya, yang biasanya terbatas, dan karena itu harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

c. Untuk dapat menghasilkan kegiatan-kegiatan pokok yang telah ditetapkan.

d. Agar tercapai target atau sasaran yang telah direncanakan.

Ada beberapa komponen kegiatan dalam manajemen puskesmas yang pedoman pelaksanaannya sudah digariskan untuk dapat dilaksanakan oleh puskesmas agar dapat berfungsi secara optimal. Komponen manajemen puskesmas tersebut antara lain :

1. Perencana Tingkat Puskesmas (PTP)

Perencanaan tingkat puskesmas dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan sistematis untuk menyusun atau menyiapkan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh puskesmas pada tahun berikutnya untuk meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam upaya mengatasi masalah-masalah kesehatan setempat. Maksud dari kegiatan PTP ini adalah untuk dapat disusunnya 2 rumusan perencanaan, yaitu: Rencana Usulan Kegiatan (RUK) dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK).

2. Penggerakan dan Pelaksanaan (Mini Lokakarya)

Maksud dari mini lokakarya adalah untuk melaksanakan fungsi manajemen P2 (Penggerakan dan Pelaksanaan), yaitu untuk meningkatkan kemampuan tenaga puskesmas untuk bekerja sama dalam tim, baik lintas


(1)

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std. Error(a)

Approx.

T(b) Approx. Sig.

Nominal by Nominal Phi -.344 .036

Cramer's V .344 .036

Contingency Coefficient .325 .036

Interval by Interval Pearson's R -.344 .154 -2.167 .037(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.344 .154 -2.167 .037(c)

N of Valid Cases 37

a Not assuming the null hypothesis.

b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

11.

CR0SSTAB PELAKSANAAN EVALUASI MTBS OLEH KEPALA PUSKESMAS

DENGAN IMPLEMENTASI MTBS

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS

37 100.0% 0 .0% 37 100.0%

Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation

Implementasi MTBS Total

rendah tinggi

Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas

rendah Count

10 2 12

Expected Count 6.5 5.5 12.0

% within Pelaksanaan Evaluasi

MTBS oleh Kepala Puskesmas 83.3% 16.7% 100.0%

tinggi Count 10 15 25

Expected Count 13.5 11.5 25.0

% within Pelaksanaan Evaluasi

MTBS oleh Kepala Puskesmas 40.0% 60.0% 100.0%

Total Count 20 17 37

Expected Count 20.0 17.0 37.0

% within Pelaksanaan Evaluasi

MTBS oleh Kepala Puskesmas 54.1% 45.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.130(b) 1 .013

Continuity Correction(a) 4.510 1 .034

Likelihood Ratio 6.585 1 .010

Fisher's Exact Test .017 .015

Linear-by-Linear

Association 5.965 1 .015

N of Valid Cases 37

a Computed only for a 2x2 table


(2)

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std. Error(a)

Approx. T(b)

Approx. Sig.

Nominal by Nominal Phi .407 .013

Cramer's V .407 .013

Contingency Coefficient .377 .013

Interval by Interval Pearson's R .407 .138 2.636 .012(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .407 .138 2.636 .012(c)

N of Valid Cases 37

a Not assuming the null hypothesis.

b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.


(3)

PETA KOTA SEMARANG

KETERANGAN :

Kota Semarang terletak antara garis 6º50’

-

7º10’ Lintang Selatan dan

garis

109º35’

-

110º50’ Bujur Timur.

Luas Wilayah

: 373,70 km

2

Jumlah Kecamatan

: 16 Kecamatan

Jumlah Kelurahan

: 177 Kelurahan

Jumlah Puskesmas

: 37 Puskesmas


(4)

DOKUMETASI PENELITIAN

Dokumentasi 1

Wawancara dan Pengisian Kuesioner oleh Responden

Dokumentasi 2


(5)

Dokumentasi 3

Pemeriksaan Balita Sakit oleh Petugas

Dokumentasi 4


(6)

Dokumentasi 5

Salah Satu Lokasi Penelitan (Puskesmas Mijen)

Dokumentasi 6