FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS ) PADA PETUGAS PELAKSANA DI PUSKESMAS KABUPATEN BANJARNEGARA.
i
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS )
PADA PETUGAS PELAKSANA DI PUSKESMAS
KABUPATEN BANJARNEGARA
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh Hotmi Umi Arifah NIM. 6411412166
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
(2)
ii
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang
Juni 2016
ABSTRAK
Hotmi Umi Arifah
Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara
xvii + 113 halaman + 30 tabel + 2 gambar + 13 lampiran
Jumlah kematian balita di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 6,6 juta pada tahun 2012. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2014), angka kematian balita 13.90 per kelahiran hidup yang masih jauh dari target SPM bidang kesehatan yaitu 9.8 per kelahiran hidup. WHO mengembangkan cara untuk mencegah sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Cakupan pelaksanaan MTBS di Kabupaten Banjarnegara belum memenuhi target WHO . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan crosssectional.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puksesmas Kabupaten Banjarnegara terdiri dari faktor sikap (p=0.010), masa kerja (p=0.001), pelatihan yang pernah diikuti tentang MTBS (p=0.002), ketersediaan obat (p=0.037), alokasi dana (p=0.041) dan evaluasi oleh Kepala Puskesmas (p=0.010). Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terdiri dari faktor pengetahuan (p=0.692), motivasi kerja (p=0.383), persepsi beban kerja (p=0.923), ketersediaan peralatan (p=0.493), kepemimpinan Kepala Puskesmas (p=0.521), dan supervisi oleh Dinas Kesehhatan Kabupaten (p=0.782).
Saran yang dapat disampaikan anatara lain, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara perlu meningkatkan pengawasan kelengkapan fasilitas pendukung pelaksanaan MTBS seperti ketersediaan obat, serta perlu diadakan pelatihan bagi petugas yang belum pernah mengikuti dan mendapatkan pelatihan. Puskemas diharapkan meningkatkan kualitas pelayanan MTBS.
Kata Kunci : Implementasi, Manajemen Terpadu Balita Sakit, Petugas Pelaksana. Kepustakaan : (1992 - 2015)
(3)
iii
Public Health Science Departement Faculty of Sport Science Semarang State University June 2016 ABSTRACT
ABSTRACT
Hotmi Umi Arifah
Factors Affecting the Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) among Staff in Public Health Center in Banjarnegara Regency.
xvii + 113 pages + 30 tables + 2 pictures + 13 enclosures
The number of under-five deaths in Indonesia is still high at 6.6 million in 2012. Report from Banjarnegara District Health Office (2014) mentions in child mortality 13.90/live birth is still far from SPM target of health sector is 9.8 per live births. In 1992, WHO develop a pretty effective way and can be done to prevent most causes of death of infants and toddlers through the program "Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)". Coverage of IMCI in the District Banjaregara not meet the WHO target of 60%. The purpose of this study was to determine the factors that affect the implementation of IMCI in the executive officer at district health centers Banjaregara. This type of research is explanatory research with cross sectional approach.
The conclusion of this study are the factors that affected the implementation of IMCI on the executive officer in health centers Banjarnegara district consists of the attitude factor (p = 0.010), age (p = 0.001), trainings have been followed IMCI (p = 0.002), the availability of drugs ( p = 0.037), the allocation of funds (p = 0.041) and evaluation by the Head of Puskesmas (p = 0.010). While the factors that have no effect consists of knowledge (p = 0.692), work motivation (p = 0.383), the perception of the workload (p = 0.923), availability of equipment (p = 0493), the leadership of the Head of health centers (p = 0521), and supervised by the District Health Office (p = 0782).
Suggestions can be delivered among other things, Banjarnegara District Health Office needs to improve oversight of the completeness of supporting facilities such as IMCI drug availability, as well as the need to hold training for officers who have not completed and received training. Puskemas IMCI is expected to improve service quality. Keywords : Implementation, Integrated Management of Childhood Illness,
Executive Officer, Bibliography: (1992 - 2015)
(4)
(5)
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto :
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.(QS.94:6) Percaya bahwa hasil tak pernah mengkhianati usaha.
Bersyukurlah selalu karena Allah SWT memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
Persembahan :
Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Alloh SWT, skripsi ini penulis persembahkan untuk :
1. Ibu (Susmirah) dan Almarhum Bapak (Saliman) tercinta atas doa, cinta, kasih sayang, nasehat, serta dukungan tulus yang tak pernah putus. 2. Kakak-kakakku dan keluarga besar atas doa dan
dukungan yang tulus.
3. Almamater Universitas Negeri Semarang, khususnya Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) pada Petugas Pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara” dapat terselesaikan. Penyelesaian skripsi ini dimaksudkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
Keberhasilan penyelesaian penelitian sampai dengan tersusunya skripsi ini atas bantuan dari berbagai pihak, dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang atas ijin penelitian yang diberikan.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, atas persetujuan penelitian .
3. Pembimbing skripsi Bapak Drs. Bambang Wahyono, M.Kes atas arahan dan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.
4. Penguji I, Bapak Dr. Bambang Budi Raharjo,M.Si dan penguji II, Bapak Irwan Budiono, S.KM, M.Kes atas saran, bimbingan, dan arahannya dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bekal ilmu pengetahuan yang diberikan selama di bangku kuliah.
(7)
vii
6. Staff Tata Usaha Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Staf Tata Usaha Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah membatu dalam segala urusan administrasi dan perijinan penelitia.
7. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara atas ijin penelitian yang diberikan.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara atas ijin penelitian yang diberikan.
9. Kepala Puskesmas tempat penelitian di Kabupaten Banjarnegara atas ijin penelitian, bantuan yang diberikan.
10. Ibu (Susmirah) dan Almarhum Bapak (Saliman) tercinta atas seluruh doa, dukungan, kasih sayang dan nasehat yang telah diberikan.
11. Kedua kakakku (Abdul Aziz Effendi dan Nahdiyanto Effendi) dan keluarga besar atas segala doa, dukungan, dan perhatian yang telah diberikan.
12. Teman-temanku yang telah membantu selama penyusunan skripsi hingga penelitian di lapangan.
13. Teman-temanku peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan IKM 2012 atas penglaman, motivasi, bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
14. Teman-temanku jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat 2012 atas penglaman, motivasi, bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
15. Semua pihak yang terlibat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
(8)
viii
Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis tetap menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, sehingga masukan dan kritikan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semarang,01 Juni 2016
(9)
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan ... 5
1.3.1 Tujuan Umum ... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ... 5
1.4 Manfaat ... 7
1.4.1 Bagi Puskesmas ... 7
1.4.2 Bagi Pembaca ... 7
1.4.3 Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat ... 7
1.5 Keaslian Penelitian ... 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 9
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat... 9
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu ... 9
1.6.3 Ruang Lingkup Materi ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
(10)
x
2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 10
2.1.1.1 Pengertian MTBS ... 10
2.1.1.2 Tujuan MTBS ... 11
2.1.1.3 Strategi MTBS... 12
2.1.1.4 Indikator dan Sasaran MTBS ... 13
2.1.1.5 Langkah-langkah Pelaksanaan MTBS ... 14
2.1.1.6 Praktik MTBS di Puskesmas ... 15
2.1.2 Konsep Puskesmas ... 16
2.1.2.1 Pengertian Puskesmas ... 16
2.1.2.2 Fungsi Puskesmas ... 17
2.1.2.3 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas ... 18
2.1.2.4 Manajemen Puskesmas ... 19
2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi MTBS ... 20
2.1.3.1 Pengetahuan ... 20
2.1.3.2 Sikap ... 22
2.1.3.3 Motivasi Kerja ... 23
2.1.3.4 Masa Kerja ... 25
2.1.3.5 Persepsi Beban Kerja ... 25
2.1.3.6 Ketersediaan Peralatan ... 26
2.1.3.7 Ketersediaan Obat ... 27
2.1.3.8 Pelatihan ... 27
2.1.3.9 Kepemimpinan ... 29
2.1.3.10 Alokasi Dana ... 30
2.1.3.11 Supervisi ... 31
2.1.3.12 Evaluasi ... 31
2.2 Kerangka Teori ... 34
BAB III METODE PENELITIAN ... 35
3.1 Kerangka Konsep ... 35
3.2 Variabel Penelitian. ... 35
3.2.1 Variabel Bebas ... 35
(11)
xi
3.3 Hipotesis Penelitian ... 36
3.3.1 Hipotesis Mayor ... 36
3.3.2 Hipotesis Minor ... 36
3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 38
3.5 Jenis dan Rancangan Penelitan ... 43
3.6 Populasi dan Sampel ... 43
3.6.1 Populasi ... 43
3.6.2 Sampel ... 43
3.7 Sumber Data ... 45
3.7.1 Data primer... 45
3.7.2 Data Sekunder ... 45
3.8 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data ... 45
3.8.1 Instrumen Penelitian ... 45
3.8.2 Teknik Pengambilan Data ... 50
3.9 Prosedur Penelitian... 50
3.9.1 Tahap Pra Penelitian ... 50
3.9.2 Tahap Penelitian ... 51
3.9.3 Tahap Analisis Data ... 51
3.10 Teknik Analisis Data ... 51
3.10.1 Pengolahan Data... 51
3.10.2 Analisis Data ... 52
3.10.2.1 Analisis Univariat ... 52
3.10.2.2 Analisis Bivariat ... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 54
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54
4.2 Hasil Penelitian ... 56
4.2.1 Analisis Univariat ... 56
4.2.2 Analisis Bivariat ... 64
BAB V PEMBAHASAN ... 79
(12)
xii
5.1.1 Hubungan Antara Pengetahuan Petugas Pelaksana dengan
Implementasi MTBS ... 79
5.1.2 Hubungan Antara Sikap Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 80
5.1.3 Hubungan Antara Motivasi Kerja Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 81
5.1.4 Hubungan Antara Masa Kerja Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 82
5.1.5 Hubungan Antara Persepsi Beban Kerja Petugas Pelaksana dengan Implementasi MTBS ... 83
5.1.6 Hubungan Antara Ketersediaan Peralatan Penduung dengan Implementasi MTBS ... 83
5.1.7 Hubungan Antara Ketersediaan Obat Pendukung dengan Implementasi MTBS ... 85
5.1.8 Hubungan Antara Pelatihan Yang Pernah Diikuti dengan Implementasi MTBS ... 86
5.1.9 Hubungan Antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dngan Implementasi MTBS ... 87
5.1.10 Hubungan Antara Alokasi Dana dengan Implementasi MTBS ... 88
5.1.11 Hubungan Antara Supervisi Oleh Dinas Kesehatan dengan Implementasi MTBS ... 88
5.1.12 Hubungan Antara Evaluasi Oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS ... 89
5.2 Kelemhan/Keterbatasan Penelitian... 90
5.2.1 Hambatan Penelitian ... 90
5.2.2 Kelemahan Penelitian ... 90
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 92
6.1 Simpulan ... 92
6.2 Saran ... 92
(13)
xiii
6.2.2 Bagi Puskesmas ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN ... 98
(14)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian... 7
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel... 38
Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien ... 53
Tabel 4.1 Struktur Penduduk Kabupaten Banjarnegara Menurut Golongan Umur Tahun 2011-2014 ... 55
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Menurut Pengetahuan ... 57
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Menurut Sikap ... 57
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Menurut Motivasi Kerja ... 58
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Menurut Masa Kerja ... 59
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Menurut Persepsi Beban Kerja ... 59
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Menurut Ketersediaan Peralatan... 60
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Menurut Ketersediaan Obat ... 60
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Menurut Pelatihan ... 61
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Menurut Kepemimpinan Kepala Puskesmas 62 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Menurut Alokasi Dana ... 62
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Menurut Supervisi Dinas Kesehatan ... 63
Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Menurut Evaluasi Kepala Puskesmas ... 63
Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Menurut Implementasi MTBS ... 64
(15)
xv
Tabel 4.16 Hubungan Sikap dengan Implementasi MTBS ... 66
Tabel 4.17 Hubungan Motivasi Kerja dengan Implementasi MTBS ... 67
Tabel 4.18 Hubungan Masa Kerja dengan Implementasi MTBS ... 68
Tabel 4.19 Hubungan Persepsi Beban Kerja dengan Implementasi MTBS .. 69
Tabel 4.20 Hubungan Ketersediaan Peralatan dengan Implementasi MTBS . 70 Tabel 4.21 Hubungan Ketersediaan Obat dengan Implementasi MTBS ... 71
Tabel 4.22 Hubungan Pelatihan dengan Implementasi MTBS ... 72
Tabel 4.23 Hubungan Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS ... 73
Tabel 4.24 Hubungan Alokasi Dana dengan Implementasi MTBS ... 74
Tabel 4.25 Hubungan Supervisi dengan Implementasi MTBS ... 75
Tabel 4.26 Hubungan Evaluasi dengan Implementasi MTBS ... 76
(16)
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori... 34 Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 35
(17)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Tugas Pembimbing... 98
Lampiran 2 Surat Uji Validitas dan Reliabilitas dari Fakultas ... 99
Lampiran 3 Surat Uji Validitas dan Reliabilitas dari Tempat Uji ... 100
Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian dari Fakultas ... 101
Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian dari BAPPEDA Kabupaten Banjarnegara ... 102
Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian dari DINKES Kabupaten Banjarnegara ... 103
Lampiran 7 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 104
Lampiran 8 Permohonan Sebagai Responden Penelitian... 105
Lampiran 9 Instrumen Penelitian ... 106
Lampiran 10 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 117
Lampiran 11 Data Mentah Hasil Penelitian ... 124
Lampiran 12 Hasil Output Analisis Data Penelitian ... 142
(18)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Balita adalah anak usia dibawah lima tahun yang berumur 0 – 4 tahun 11 bulan, masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa balita menjadi penentu perkembangan anak diperiode selanjutnya. Balita akan menjadi penentu masa depan suatu bangsa dan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia baik dari fisik, psikis maupun intelegensi, sehingga kesehatannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan .Lebih dari 12 juta anak di negara berkembang setiap tahunnya meninggal sebelum usia lima tahun.(Depkes RI,2008)
Pada umumnya angka kematian balita dapat ditangani dengan perawatan yang baik, sehingga perlu diselenggarakan upaya intervensi yang sistematis dan efektif untuk menurunkan angka kematian balita melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit. Tahun 1992 WHO mengembangkan cara yang cukup efektif serta dapat dikerjakan untuk mencegah sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita melalui program “Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)” atau dikenal sebagai program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) .WHO dan UNICEF memperkenalkan satu set pedoman terpadu yang menjelaskan secara dini penanganan penyakit-penyakit tersebut. Selanjutnya dikembangkan paket pelatihan untuk melatih proses manajemen terpadu balita sakit kepada tenaga kesehatan yang bertugas menangani anak sakit. Metode ini dikenal dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit . (Depkes RI,2008)
(19)
MTBS merupakan pedoman terpadu yang menjelaskan secara rincian penanganan penyakit yang banyak terjadi pada balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian balita dan menekan morbiditas penyakit. (Depkes RI, 2008).
Menurut World Health Organization (WHO), bila tatalaksana ini dilakukan dengan baik, akan mampu mencegah kematian balita akibat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) hingga sebesar 60-80%, dan mencegah kematian akibat diare sebesar 90%. Penerapan MTBS akan efektif jika ibu/ keluarga segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan yang terlatih serta mendapatkan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu, pesan mengenai kapan ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit merupakan bagian yang penting dalam MTBS (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan permenkes RI No.70 tahun 2013, MTBS juga diselenggarakan dengan berbasis masyarakat, yaitu pendekatan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita terintegrasi dengan melibatkan masyarakat sesuai standar Managemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).Tujuan penyelenggaraannya yaitu untuk meningkatkan akses pelayanan balita sakit di tingkat masyarakat pada daerah yang sulit akses terhadap pelayanan kesehatan.
Di Indonesia menurut laporan United Nations Children’s Fund ( UNICEF ) (2013) jumlah kematian balita setiap tahun turun dari estimasi 12,6 juta pada
(20)
3
tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012, namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian balita Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 11,85/1.000 kelahiran hidup, dengan wilayah tertinggi kedua yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan jumlah 19.5 per 1000 kelahiran hidup. Tahun 2014 angka kematian balita Provinsi Jawa Tengah yaitu 11.54% menurun dari tahun 2013 yaitu 11,80%. (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2015). Sedangkan angka kematian balita di Kabupaten Banjarnegara tahun 2014 yaitu 13.90 per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya tetapi masih cukup jauh dari target SPM (Standar Pelayanan Minimum) bidang kesehatan Kabupaten Banjarnegara yaitu 9.8 per 1000 kelahiran hidup.
Upaya peningkatan kesehatan bayi dan balita di Indonesia menggunakan indikator yang dapat menjadi ukuran, salah satunya yaitu pelayanan kesehatan anak balita yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pelayanan kesehatan anak balita yang diberikan antara lain penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan minimal 8 kali setahun, pemberian vitamin A 2 kali setahun, stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang minimal 2 kali setahun serta pelayanan balita sakit sesuai standar MTBS. (Kemenkes RI, 2013) Di Indonesia cakupan pelayanan kesehatan anak balita tahun 2013 yaitu sebesar 69,75% belum memenuhi target renstra yaitu 83%. Sedangkan di provinsi jawa tengah cakupan pelayanan kesehatan anak balita yaitu sebesar 76,12 % juga belum memenuhi target renstra 83% tahun 2013. Untuk cakupan pelayanan kesehatan anak balita di Kabupaten Banjarnegara berada diurutan kedua terendah di Jawa Tengah yaitu sebesar 46,70% belum memenuhi target renstra 83% dan belum memenuhi target
(21)
SPM bidang kesehatan Kabupaten Banjarnegara yaitu 100%. ( Kemenkes RI, 2013 )
Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS apabila memenuhi kriteria melaksanakan/melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut (Depkes RI,2008). Berdasarkan survey pendahuluan didapatkan informasi bahwa pelaksanaan program MTBS di Kabupaten Banjarnegara dimulai tahun 2005, tetapi tahun 2007 hingga 2012 tidak seluruh puskesmas aktif menjalankan MTBS. Cakupan pelaksanaan MTBS tahun 2013 juga masih belum mencapai indikator 60% yaitu sebesar 55%. Sedangkan laporan bulanan hasil pelaksanaan MTBS hanya 41,5% puskesmas yang rutin melapor tahun 2013, dan 55% tahun 2014 ( Dinkes Kabupaten Banjarnegara,2015)
Keberhasilan implementasi kegiatan MTBS memerlukan kemampuan atau perilaku kerja yang baik dari petugas pelaksana di setiap puskesmas . Perilaku kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam diri dan juga faktor dari luar. Berdasarkan data diperoleh bahwa cakupan pelaksanaan MTBS tahun 2013 dan 2014 masih belum mencapai indikator 60%, serta ketaatan puskesmas dalam memberikan laporan bulanan hanya 41,5% tahun 2013 dan 55% tahun 2014, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi implementasi manajemen terpadu balita sakit pada petugas pelaksana di puskesmas Kabupaten Banjarnegara, untuk selanjutnya dapat dilakukan evaluasi agar dapat meningkatan program tersebut agar dapat mencapai target dan membantu menurunkan angka kematian balita
(22)
5
agar dapat mencapai target SPM bidang kesehatan di Kabupaten Banjarnegara. 1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu, “ Faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kegiatan MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara ?”.
1.2TUJUAN PENELITIAN 1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi kegiatan MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Untuk mengetahui pengaruh faktor pengetahuan petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.2 Untuk mengetahui pengaruh faktor sikap petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.3 Untuk mengetahui pengaruh faktor motivasi kerja petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
(23)
terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.5 Untuk mengetahui pengaruh faktor persepsi beban kerja petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara
1.2.2.6 Untuk mengetahui pengaruh faktor ketersediaan peralatan pendukung kegiatan MTBS di Puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.7 Untuk mengetahui pengaruh faktor ketersediaan obat di Puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.8 Untuk mengetahui pengaruh faktor pelatihan yang pernah diikuti oleh petugas MTBS terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.9 Untuk mengetahui pengaruh faktor kepemimpinan kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.10 Untuk mengetahui pengaruh faktor alokasi dana MTBS dari Dinas Kesehatan terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.2.2.11 Untuk mengetahui pengaruh faktor supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
(24)
7
1.2.2.12 Untuk mengetahui pengaruh faktor evaluasi yang dilakukan oleh kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
1.3 MANFAAT PENELITIAN 1.3.1 Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan guna meningkatkan kinerja petugas dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat dan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap balita sakit.
1.3.2 Manfaat bagi pembaca
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang faktor yang mempengaruhi perilaku kerja petugas pelaksana terhadap penerapan MTBS.
1.3.3 Manfaat bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai MTBS di wilayah lain.
(25)
1.4 KEASLIAN PENELITIAN
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No Judul
Penelitia n
Nama
Peneliti Tahun dan Tempat Penelitian
Rancangan
Penelitian PenelitianVariabel PenelitianHasil
1 Faktor Yang Berhubun gan Dengan Implement asi Manajeme n Terpadu Balita Sakit (Mtbs) Di
Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010 Agita Maris Nurhid ayati 2010,
Puskesmas di Kota
Semarang
Cross
sectional Variabel Terikat:pen getahuan,si kap,motiva si,pelatihan ,kepemimpi nan,alat,da na,rapat koordinasi, sistem pencatatan, supervisi,e valuasi Variabel Bebas: Implement asi MTBS Ada hubungan antara sikap,pelatih an,kepemim pinan,rapat koordinasi,si stem pencatatan,e valuasi dengan implementas i MTBS, Tidak ada hubungan antara pengetahuan ,motivasi,ala t,dana dengan implementas i MTBS 2 Hubungan Pengetahu an Dan Motivasi Petugas Kesehatan Terhadap Pelaksana an Manajeme n Terpadu Balita Sakit Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Eva Sulistia ny, Saiful Oetama 2013, Puskesmas Langsa Lama Cross
sectional Variabel Terikat: Pengetahua n dan Motivasi Petugas Variabel Bebas: Pelaksaaan MTBS Tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas dengan pelaksaan MTBS, Ada hubungan antara motivasi petugas dengan pelaksanaan MTBS
(26)
9 Lama Tahun 2013 3 Pengaruh Pengetahu an Sikap dan Motivasi Trehadap penatalaks anaan Manajeme n Terpadu Balita Sakit(MT BS) pada Petugas kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali Sri
Hastuti 2010,Puskesmas Kabupaten Boyolali
Cross
sectional Variabel Terikat : pengetahua n,sikap,mot ivasi petugas Variabel
Bebas :
Penatalaksa naan MTBS Ada pengaruh antara pengetahuan , sikap, dan motivasi petugas dengan penatalaksan aan MTBS
Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada variabel bebas yang diteliti . Variabel yang berbeda dengan penelitian terdahulu adalah , ketersediaan obat, masa kerja, dan persepsi beban kerja.
1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Lokasi penelitian dilaksanakan di Puskesmas yang aktif melaksanakan pelayanan MTBS di Kabupaten Banjarnegara.
(27)
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – April 2016 .
1.6.3 Ruang Lingkup Materi
Materi yang dipaparkan adalah materi yang berkenaan dengan bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mencakup tentang Administrasi Kebijakan Kesehatan, terkait dengan masalah kebijakan pemerintah mengenai MTBS.
(28)
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANDASAN TEORI2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS )
2.1.1.1 Pengertian MTBS
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah pendekatan yang terintegrasi atau terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus pada kesehatan anak usia 0-59 bulan atau balita yang dilaksanakan secara menyeluruh. MTBS merupakan suatu pendekatan atau cara menatalaksana balita sakit. Upaya dalam pendekatan MTBS tergolong lengkap untuk dapat mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian balita di Indonesia. Upaya yang dilaksanakan meliputi upaya preventif ( pencegahan penyakit ), perbaikan gizi, upaya promotif ( konseling ), dan upaya kuratif ( pengobatan ) terhadap penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita. ( Depkes RI, 2008 )
Manajemen Terpadu Balita Sakit di Indonesia merupakan bagian dari primary health care atau pelayanan kesehatan primer. Keterkaitan peran dan tanggung jawab antar petugas kesehatan di puskesmas, serta perlunya memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS. Persiapan yang perlu dilakukan oleh setiap puskesmas yang akan mulai menerapkan MTBS dalam pelayanan pada balita sakit meliputi diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas, rencana penerapan MTBS di puskesmas, rencana penyiapan obat dan alat yang akan digunakan dalam pelayanan MTBS, serta pencatatan dan
(29)
pelaporan hasil pelayanan MTBS di puskesmas. (Depkes RI,2006)
MTBS merupakan sistem untuk mengklasifikasikan penyakit dan pemberian pengobatan atau tindakan dengan panduan bagan alur MTBS. Bagan alur MTBS memandu petugas kesehatan untuk mengenali gejala-gejala penyakit balita, mengklasifikasikan penyakit tersebut, dan memberikan pengobatan atau tindakan yang diperlukan. Intervensi inti dari MTBS adalah keterpaduan tatalaksana kasus dari 5 penyebab utama dari kematian balita, antara lain ISPA, diare, campak, malaria, dan malnutrisi, serta kondisi yang biasa mengikutinya.(Depkes RI,2006)
2.1.1.2 Tujuan MTBS
MTBS bertujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit yang banyak terjadi pada balita. Penyakit tersebut adalah penyakit yang menjadi penyebab utama kematian balita antara lain, pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang diperberat oleh masalah gizi (malnutrisi dan anemia). Langkah pendekatan pada MTBS adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan untuk mengatasi masalah kesakitan pada balita. Beberapa tujuan pelaksanaan MTBS, antara lain :
1. Menurunkan secara bermakna angka kematian dan kesakitan yang terkait penyakit tersering pada balita.
2. Memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak.
Menurut data Riskesdas tahun 2007, penyebab kematian perinatal 0 – 7 hari terbanyak adalah gangguan/kelainan pernapasan (35,9 %), prematuritas
(30)
12
(32,4 %), sepsis (12,0 %).Kematian neonatal 7– 29 hari disebabkan oleh sepsis (20,5 %), malformasi kongenital (18,1 %) dan pneumonia (15,4 %).Kematian bayi terbanyak karena diare (42 %) dan pneumonia (24 %), penyebab kematian balita disebabkan diare (25,2 %), pneumonia (15,5 %) dan DBD (6,8 %).MTBS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan fasilitas kesehatan dasar, yang pada gilirannya diharapkan mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita. (Depkes RI,2008)
2.1.1.3 Strategi MTBS
MTBS merupakan kombinasi perbaikan tatalaksana balita sakit (kuratif) dengan aspek nutrisi, imunisasi (preventif dan promotif). Penyakit anak dipilih yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan bayi dan anak balita. Strategi pada MTBS memiliki tiga komponen, meliputi :
1. Komponen I : Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit ( selain dokter, petugas kesehatan non dokter juga dapat memeriksa dan menangani pasien dengan catatan sudah dilatih ). Peningkatan keterampilan petugas kesehatan yang dimaksud yaitu antara lain dengan peningkatan standar dan pedoman tatalaksana kasus, peningkatan pelatihan petugas di fasilitas kesehatan primer, peningkatan peran MTBS untuk pemberi pelayanan swasta serta menjaga kompetensi petugas kesehatan yang terlatih.
2. Komponen II : Memperbaiki sistem kesehatan ( terutama di tingkat kabupaten/kota ). Peningkatan sistem kesehatan dapat dilakukan dengan cara perencanaan dan manajemen di tingkat kabupaten/kota, ketersediaan obat
(31)
MTBS, peningkatan kualitas supervisi, alur rujukan dan pelayanan serta peningkatan sistem informasi kesehatan.
3. Komponen III : Memperbaiki praktik keluarga dan masyarakat dalam perawatan dirumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat), atau yang dikenal dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat ( MTBS-M ).
Strategi utama dari MTBS adalah pengelolaan masalah penyakit anak di negara berkembang dengan fokus penting pada pencegahan kematian anak. Strategi tersebut meliputi intervensi pada kegiatan preventif dan kuratif dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan di sarana pelayanan kesehatan dan pelayanan rumah. Implementasi MTBS merupakan gabungan antara tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit serta pemecahan masalahnya pada tingkat distrik dan sarana pelayanan kesehatan sekitarnya, petugas kesehatan serta anggota masyarakat yang di layani. ( Depkes RI,2006 )
2.1.1.4 Indikator dan sasaran MTBS
Indikator keberhasilan MTBS adalah angka mortalitas dan morbiditas anak balita menurun, juga cakupan neonatal dalam kunjungan rumah meningkat. Sedangkan indikator prioritas MTBS yang digunakan dalam fasilitas pelayanan dasar meliputi keterampilan petugas kesehatan, dukungan sistem kesehatan dalam menjalankan MTBS dan kepuasan ibu balita atau pendamping balita .Sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun dan dibagi menjadi dua kelompok sasaran yaitu kelompok usia 1 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2008).
(32)
14
2.1.1.5 Langkah-langkah pelaksanaan MTBS
Balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut algoritma MTBS untuk melakukan penilaian atau pemeriksaan, yaitu dengan cara :
1. menanyakan kepada orang tua/ wali, apa saja keluhan-keluhan/ masalah anak 2. memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'.
3. mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya - jawab dan pemeriksaan.
4. menentukan jenis tindakan/ pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.
Tindakan yang dilakukan antara lain yaitu mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah, mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah, menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah, seperti aturan penanganan diare di rumah, memberikan konseling bagi ibu misalnya anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat, serta menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan. (Depkes RI,2006)
2.1.1.6 Praktik MTBS di Puskesmas
Selain ketrampilan yang harus benar-benar dijaga oleh petugas dan pola perawatan di rumah yang benar oleh ibu balita bagi bayi dan balitanya, program MTBS juga memerlukan persiapan untuk penerapannya di Puskesmas.Penerapan
(33)
kegiatan MTBS di Puskesmas meliputi :
1. Diseminasi informasi mengenai MTBS kepada seluruh petugas puskesmas 2. Persiapan penilaian dan penyiapan logistik, obat-obat dan alat yang
diperlukan dalam pemberian pelayanan 3. Persiapan / pengadaan formulir
4. Persiapan dan penilaian serta pengamatan terhadap alur pelayanan, sejak penderita datang, mendapatkan pelayanan hingga konseling serta
5. Melaksanakan pengaturan dan penyesuaian dalam pemberian pelayanan. 6. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan dan penerapan
pencatatan dan pelaporan untuk pelayanan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Pondok Bersalin Desa/ PKD.
7. Penerapan MTBS di puskesmas dilaksanakan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan rawat jalan di tiap puskesmas.
Di beberapa puskesmas diadakan pemisahan khusus untuk poli MTBS atau poli anak. Khusus penerapan pada bayi muda, penatalaksanaan bayi muda lebih di titik beratkan pada saat petugas kesehatan (pada umumnya bidan di desa) melakukan kunjungan neonatal yaitu 2 kali selama periode neonatal. Kunjungan pertama dilaksanakan pada 7 hari pertama dan kunjungan kedua pada hari 8 - 28 hari. ( Depkes RI,2006 )
Pada pelayanan MTBS di puskesmas, petugas puskesmas ikut berperan dalam menentukan kelancaran dan pelaksanaan langkah-langkah dari MTBS tersebut. Oleh karena itu seluruh petugas puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS. Pada pelaksanaannya, petugas
(34)
16
memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dan disesuaikan dengan jumlah kunjungan balita yang sakit dan juga petugas kesehatan yang ada. Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya maka, petugas harus mengetahui tentang MTBS tersebut. Hal ini berkaitan dengan perilaku dari petugas tersebut (Depkes RI, 2006).
2.1.2 Konsep Puskesmas
2.1.2.1 Pengertian Puskesmas
Puskesmas merupakan salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memiliki peranan penting dalam sistem kesehatan nasional, khususnya subsistem upaya kesehatan. Berdasarkan Permenkes No.75 tahun 2014 yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan yaitu suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Sedangkan puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan tumpuan
masyarakat.Pelayanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar selain pangan dan juga pendidikan. Pelayanan kesehatan bukan salah monopoli rumah sakit saja.Penduduk Indonesia yang jumlahnya melebihi 200 juta jiwa tidak mungkin harus bergantung dari rumah sakit yang jumlahnya sedikit dan tidak
(35)
merata penyebarannya. Puskesmas juga merupaakan satu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembagan kesehatan masyarakat dan membina peran serta masyarakat, disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh setiap puskesmas berbeda-beda sesuai dengan tenaga dan fasilitas yang dimiliki. ( M.Fais,2009)
2.1.2.2 Fungsi Puskesmas
Berdasarkan Permenkes RI No.75 tahun 2014, puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut puskesmas menyelenggarakan fungsi yaitu :
1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya
UKM atau Upaya Kesehatan Masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.
2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Upaya Kesehatan Perseorangan atau UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan.
(36)
18
1. Sebagai pusat pembagunan kesehatan di wilayah kerjaya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjaya.
2.1.2.3 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas
Berdasarkan Permenkes RI No.75 tahun 2014, prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi :
1. Prinsip paradigma sehat, yaitu puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. 2. Prinsip pertanggungjawaban wilayah, yaitu puskesmas menggerakkan
danbertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayahkerjanya. 3. Prinsip kemandirian masyarakat, yaitu Puskesmas mendorong kemandirian
hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
4. Prinsip Pemerataan, yaitu puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.
5. Prinsip teknologi tepat guna, yaitu puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
(37)
6. Prinsip keterpaduan dan kesinambungan, yaitu Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program danlintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen Puskesmas.
2.1.2.4 Manajemen Puskesmas
Manajemen adalah suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan yang dimulai dari penentuan tujuan sampai pengawasan, dimana masing-masing bidang digunakan baik ilmu pengetahuan maupun keahlian yang diikuti berurutan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. (Fathoni, 2012). Sedangkan manajemen puskesmas merupakan rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan keluaran puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis tersebut dilaksanakan puskesmas dan membentuk fungsi-fungsi manajemen. Terdapat tiga fungsi manajemen puskesmas yang dikenal, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Seluruh fungsi tersebut harus dilaksanakan secara terkait dan berkesinambungan di puskesmas. (Sulaeman, 2011)
Manajemen puskesmas diselenggarakan sebagai proses pencapaian tujuan, penyelarasan tujuan organisasi dengan tujuan pegawai, pengelolaan dan pemberdayaan suber daya puskesmas, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, kerjasama, serta pengelolaan lingkungan. Untuk mencapai tujuan puskesmas yang efektif dan efisien pimpinan puskesmas harus melaksanakan fungsi-fungsi manajemen puskesmas secara terorganisasi, berurutan, dan berkesinambungan. Fungsi manajemen yang digunakan diadaptasi dari fungsi
(38)
20
manajemen yang dikemukakan oleh Terry, yaitu meliputi Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating (penggerakan pelaksanaan), Controlling ( pengawasan/pembimbingan ), dan Evaluating (penilaian). (Sulaeman, 2011) 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi MTBS
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan MTBS di puskesmas sangat didukung oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor sumber daya manusia dalam hal ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya menyangkut kegiatan MTBS. Pelaksanaan MTBS ini terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik. Keberhasilan implementasi MTBS dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Notoatmodjo(2010) faktor yang mempengaruhi perilaku kerja seseorang yaitu faktor internal ( pengetahuan, persepsi beban kerja, sikap, dan motivasi ) , dan faktor eksternal yang terdiri dari fasilitas (ketersediaan peralatan, ketersediaan obat, dan alokasi dana ), serta faktor lain meliputi masa kerja, pelatihan yang pernah diiukti, kepemimpinan kepala puskessmas , supervisi dari Dinas Kesehatan dan evaluasi oleh Kepala Puskesmas.
2.1.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu berkenaan dengan hal tertentu ( Kamus Besar Bahasa Indonesia,2010 ). Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek. Pengetahuan
(39)
merupakan doman yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman langsung dan pengalaman orang lain.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan awal pemicu dari tingkah laku termasuk tingkah laku dalam bekerja. Pengetahuan yang baik tentang pekerjaan akan membuat seseorang menguasai bidangnya. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas/tingkatan, secara garis besar dapat dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan, yaitu :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya) misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solvingcycle)
(40)
22
di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4. Analisis (analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dari suatu bentuk keseluruhan yang baru.Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden, kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2012).
2.1.3.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
(41)
belum merupakan suatu tindakan atu aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu : menerima atau receiving terhadap stimulus, merespons atau responding, menghargai atau valuing, dan bertanggung jawab atau responsible. (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Allport (1954) sikap terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu kepercayaan,ide,dan konsep terhadap suatu obyek, kehidupan emosional terhadap objek serta kecenderungan untuk bertindak. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau petanyaann responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilaukan dengan pertanyaan - pertanyaan hipotesis, lalu ditanyakan pendapat responden. (Notoatmodjo, 2012).
2.1.3.3 Motivasi kerja
Motivasi dapat diartikan sebagai kondisi internal,kejiwaan,dan mental manusia yang mendorong individu untuk berperilaku kerja guna mencapai kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan. Motivasi juga dapat didefinisikan sebagai kesiapan khusus seseorang untuk melakukan atau melanjutkan serangkaian aktivitas yang ditujukan untuk mencapai beberapa sasaran yang telah ditetapkan. Motivasi adalah aktivitas perilaku yang bekerja dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan. Motivasi kerja merupakan sesuatu yang berasal dari internal individu yang menimbulkan dorongan atau semangat bekerja keras. Motivasi sangat terkat dengan produktivitas, peningkatan
(42)
24
motivasi kerja akan mempengaruhi peningkatan produktivitas dan sebaliknya. (Fahmi,2014 )
Dorongan - dorongan yang ada pada diri seseorang mengarahkan tercapainya tujuan. Dorongan yang paling kuat menghasilkan adanya perilaku, baik berupa aktivitas terarah ke tujuan atau aktivitas tujuan. Suatu motivasi cenderung mengurangi kekutannya manakala tercapainya suatu kepuasan, terhalangnya pencapaian kepuasan, perbedaan kognisi, frustasi, atau karena kekuatan motivasinya bertambah. Motivasi seseorang tergatung pada kekuatan dari motivasi itu sendiri. Dorongan yang menyebabkan mengapa sesorang itu berusaha mencapai tujuannya baik sadar atau tidak sadar. Dorongan ini pula yag menyebabkan seseorang itu berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan dan yang menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut. (Thoha, 2012)
Motivasi kerja berperan menggerakan fungsi manajemen yaitu membuat manusia untuk bertindak atau berperilaku dalam cara-cara menggerakan arah tertentu kepada tenaga kerja sampai pada tujuan yang telah ditentukan. Motivasi merupakan daya dorong untuk bergerak, sehingga motivasi dapat dikatakan suatu keadaan yang menggerakan atau mengarahakan seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan. Keberhasilan hasil motivasi seseorang dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki. Pencapaian tujuan motivasi kerja diharapkan menghasilkan efektivitas, produktivitas, dan hasil kerja yang efisiensi baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi organisasi. ( Fathoni,2012 )
(43)
2.1.3.4 Masa kerja
Masa kerja atau yang sering disebut senioritas menunjukan hubungan positif dengan produktifitas pekerjaan. Masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja menjadi dasar pikiran yang baik terhadap produktifitas karyawan. Perilaku di masa lalu adalah dasar perikiraan paling baik dari perilaku di masa depan, hal ini terkait dengan lama atau konsisten seseorang terhadap pekerjaannya. Semakin lama masa kerja petugas maka semakin terampil petugas tersebut dalam melaksanakan tugasnya karena memiliki banyak pengalaman. Masa kerja yang pendek dan lama memiliki pengaruh terhadap pengalaman seorang karyawan. Semakin lama masa kerja seorang karyawan, maka pengalaman yang dimiliki juga semakin matang. Dengan pengalaman yang matang, karyawan dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik dibandingkan karyawan dengan pengalaman yang kurang. (Fahmi,2014 )
2.1.3.5 Persepsi beban kerja
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses kognitif dimana seorang individu memilih, mengorganisasikan dan memberikan arti kepada stimulus lingkungan. Ada beberapa subproses dalam persepsi, pertama yaitu stimulus atau situasi yang hadir, selanjutnya yaitu registrasi, interpretasi, dan umpan balik. Subproses tersebut dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang yaitu psikologi, keluarga, dan kebudayaan. ( Thoha, 2012 )
Menurut Siagian, sangat sukar memberikan definisi yang pasti tentang persepsi, tetapi persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses
(44)
26
melalui mana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorinya dalam usahanya memberikan sesuatu makna tertentu pada lingkungannya. Interpretasi seseorang tersebut akan berpengaruh pada perilakunya dan pada gilirannya menentukan faktor-faktor apa yang dipandangnya sebagai faktor motivasional yang kuat. Seseorang dengan persepsi beban kerja yang baik akan cenderung mempunyai motivasi kerja yang baik. (Faridah, 2009)
2.1.3.6 Ketersediaan peralatan
Sarana pendukung pelaksanaan MBTS dalam penelitian yang dilakukan oleh Hidayati di Kabupaten Semarang terbukti mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita ( Hidayati,2011 ). Peralatan penunjang pemeriksaan balita sakit yang digunakan dalam penerapan MTBS antara lain : timer ISPA atau arloji dengan jarum detik, tensimeter dan manset anak, gelas, sendok, dan teko tempat air matang dan bersih untuk membuat oralit, infuse set dengan wing needles, semprit dan jarum suntik, timbangan bayi, termometer, kasa/ kapas, pipa lambung, alat penumbuk obat, alat pengisap lendir, RDT (Rapid Diagnostic Test) untuk malaria. Peralatan lain yang menunjang pelaksanaan MTBS yaitu :
1. Formulir tatalaksana MTBS yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS
Penyiapan formulir tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Kartu Nasihat Ibu (KNI) perlu dilakukan untuk memperlancar pelayanan. Formulir tatalaksana MTBS digunakan oleh petugas dalam memberikan pelayanan terhadap balita yang sakit.
2. Kartu Nasihat Ibu (KNI) yang digunakan dalam kegiatan MTBS
(45)
mudah dalam mengingat konseling atau nasehat mengenai cara perawatan anak dan pemberian obat di rumah sesuai dengan yang disampaikan oleh bidan/ petugas kesehatan di puskesmas. (Depkes RI, 2006)
2.1.3.7 Ketersediaan obat
Adapun obat-obatan yang digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim ada dan telah termasuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Obat-obat yang diperlukan adalah kotrimoksazol tablet dewasa atau tablet atau sirup, sirup amoksilin atau tablet amoksilin, kaplet ampisilin, kapsul tetrasiklin, tablet asam nalidiksat, tablet klorokuin, tablet primakuin, tablet sulfaduksin pirimetamin (fansidar), tablet kina, diazepam suppositoria, suntikan kloramfenikol, suntikan gentamisin, suntikan penisilin prokain, suntikan ampisilin, suntikan kinin, suntikan fenobarbital, diazepam infeksi (5 mg dan 10 mg), tablet nistatin, tablet parasetamol atau sirup, tetrasiklin atau kloramfenikol salep mata, gentian violet 1% (sebelum digunakan, harus diencerkan menjadi 0,25% atau 0,5% sesuai kebutuhan), sirup besi (sulfat ferosus) atau tablet besi, vitamin A 200.000 IU dan 100.000 IU, tablet pirantel pamoat, aqua bides untuk pelarut, oralit 200cc, cairan infuse: ringer laktat, dextrose 5% NaCl, alkohol 70%, glycerin, povidone iodine. (Depkes RI,2006)
2.1.3.8 Pelatihan
Pelatihan merupakan suatu kegiatan peningkatan kemampuan karyawan dalam suatu institusi sehingga akan menghasilkan perubahan perilaku pegawai/karyawan. Perubahan yang dimaksud yaitu berbentuk peningkatan
(46)
28
kemampuan dan sasaran atas karyawan yang bersangkutan. Pelatihan dalam pengembangan sumber daya manusia adalah suatu siklus yang harus terjadi secara terus-menerus untuk mengantisipasi perubahan diluar organisasi tersebut ( Notoatmodjo,2010).
Program pelatihan dapat mempengaruhi perilaku kerja dalam dua cara. Yang paling jelas adalah dengan langsung memperbaiki keterampilan yang diperlukan untuk karyawan itu agar berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Peningkatan kemampuan memperbaiki potensi karyawan itu untuk berkinerja pada tingkat yang lebih tinggi. Apakah potensi tersebut bisa terealisasi sebagian besar merupakan soal motivasi. Manfaat kedua adalah bahwa pelatihan itu meningkatkan keefektifan diri seorang karyawan. Petugas yang baru saja ditunjuk untuk melakukan suatu jenis kegiatan, jarang secara tepat sesuai kebutuhan, mereka harus dilatih agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan efektif. Karyawan dengan keefektifan diri yang tinggi mengandung harapan yang kuat mengenai kemampuan mereka untuk sukses berkinerja dalam situasi baru. Tujuan dari dilaksanakannya pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) secara umum adalah mengajarkan proses manajemen kasus kepada perwat, bidan, dokter dan tenaga kesehatan lain yang menangani balita sakit dan bayi muda di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Pelatihan pada petugas MTBS juga akan mempengaruhi pada ketepatan pemberian dosis obat pada balita sakit. Petugas yang mengikuti pelatihan in-service dengan alat bantu kerja dan kunjungan tindak lanjut dengan umpan balik 4-6 minggu setelah pelatihan memiliki ketepatan pemberian dosis yang baik serta memiliki kualitas pelayanan yang baik saat
(47)
melaksanakan MTBS ( Joseph,et al, 2006).
Upaya pelatihan harus dapat memberikan pengalaman belajar yang baik bagi petugas. Pelatihan dapat meyakinan bahwa, :
a. Dalam mempelajari sesuatu yang mereka yakini, pasti mengandung manfaat. b. Proses belajar dapat memberikan keterampilan, dan apabila keterampilan
tersebut semakin sering dipraktikkan, akan semakin tinggi tingkat keterampilannya.
c. Keterampilan yang dipraktikkan dengan baik akan mendapat imbalan yang setimpal sebagai umpan balik.
d. Imbalan yang diperoleh dapat berasal dari berbagai sumber.
Tujuan dari pelatihan ini yaitu dihasilkannya petugas kesehatan yang terampil menangani bayi dan balita sakit dengan menggunakan tatalaksana MTBS. Sasaran utama pelatihan MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan tetapi dokter puskesmas pun perlu terlatih MTBS agar dapat melakukan supervisi penerapan MTBS di wilayah kerja puskesmas.( Notoatmodjo,2010 )
2.1.3.9 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi prestasi kerja organisasi karena kepemimpinan merupakan aktifitas yang utama agar tujuan organisasi tercapai. Kepemimpinan adalah bagaimana mendapat sesuatu yang sudah ditetapkan dalam organisasi dengan memanfaatkan orang lain. Kepemimpinan merupakan suatu ilmu yang mengkaji secara komprehensif tentang bagaimana mengarahkan, mempengaruhi dan mengawasi orang lain untuk mengerjakan tugas sesuai dengan perintah yang
(48)
30
direncanakan. ( Fahmi, 2014 ). Seorang manajer yang ingin kepemimpinannya lebih efektif, ia harus mampu :
a. Memotivasi dirinya sendiri untuk bekerja dan banyak membaca
b. Memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap permasalahan organisasi. Ia harus selalu merasa ditantang untuk mengatasi hambatan kerja yang dapat menjadi penghalang tercapainya tujuan organisasi yang ia pimpin.
c. Menggerakkan (memotivasi) stafnya agar mereka mampu melaksanakan tugas pokok organisasi sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya dan tanggung jawab yang melekat pada setiap tugas.
Dalam suatu organisasi fungsi dan peran pemimpin dalam mendorong pembentukan organisasi yang diharapkan menjadi dominan. Pada era globalisasi kepemimpinan yang dibutuhkan adalah yang memiliki nilai kompetensi tinggi, dan kompetensi itu bisa diperoleh jika pemimpin tersebut telah memiliki pengalaman dan pengetahuan maksimal. Seorang pemimpin memiliki pengaruh besar dalam mendorong peningkatan kinerja karyawan. Peningkatan kualitas kerja bawahan memiliki pengaruh pada penciptaan kualitas kerja sesuai dengan pengharapan. Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan bawahanya untuk memiliki kompetensi dalam bekerja. Dalam menerapkan prosedur MTBS komitmen pemimpin atau kepemimpinan kepala puskesmas dapat berupa perhatian yang diberikan terhadap pelaksanaan implementasi MTBS. Perhatian tersebut dapat diwujudkan melalui pengarahan dan evaluasi MTBS.(Fahmi, 2014)
2.1.3.10 Alokasi dana
(49)
Dinas Kesehatan Kabupaten, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Departemen Kesehatan RI berusaha mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana MTBS. Sudah dijelaskan kepada pihak puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat berlangsung terus menerus sehingga diharapkan puskesmas dapat sedikit demi sedikit memenuhi kebutuhan sarana penunjang MTBS. Sarana yang sudah tersedia antara lain tenaga paramedis, dan medis terlatih, alat bantu hitung napas, kartu nasehat ibu, pencatatan formulir serta obat-obatan. (Depkes RI,2008)
2.1.3.11 Supervisi
Supervisi dapat merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training. Supervisi harus dilaksanakan pada setiap tingkatan dan di semua pelaksana,karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang penampilan kerja mereka harus selalu diberikan untuk meningkatkan kinerja petugas. Supervisor harus memantau pengawasan, memahami pengaruh yang berkembang dan menggunakan sumber daya serta wewenang mereka untuk mempromosikan pengawasan dan menghapus hambatan untuk pengawasan ( Alexander,et al, 2010 ).
2.1.3.12 Evaluasi
Menurut WHO, evaluasi adalah suatu cara yang sistematis untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan sekarang serta untuk meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi secara seksama alternatif-alternatif tindakan yang akan datang. Ini menyangkut analisa yang kritis
(50)
32
mengenai berbagai aspek pengembangan dan pelaksanaan suatu program dan kegiatan-kegiatan yang membentuk program itu, relevansinya, rumusannya, efisiensinya dan efektivitasnya, biayanya dan penerimaannya oleh semua pihak yang terlibat. Evaluasi ditujukan untuk megetahui sejauh mana kegiatan pogram berjalan dengan baik dan apakah tujuan program telah tercapai serta faktor apa saja yang perlu mendapat perhatian khusus dan perbaikan untuk pengembangan program selanjutnya. ( Notoatmodjo,2010 )
Pada umumnya evaluasi dilaksanakan terhadap program-program pembangunan kesehatan khususnya evaluasi/ penilaian terhadap pembangunan kesehatan di tingkat kabupaten/ dati II, rumah sakit pemerintah dengan instrumen stratifikasi rumah sakit atau akreditasi rumah sakit swasta serta penilaian terhadap puskesmas dengan instrumen sratifikasi puskesmas.Menurut Mubarak (2009), evaluasi merupakan kegiatan menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Adapun tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :
1. Membantu perencanaan di masa yang akan datang.
2. Mengetahui apakah sarana yang tersedia dimanfaatkan dengan sebaik- baiknya. 3. Menentukan kelemahan dan kekuatan daripada program , baik dari segiteknis maupun administratif yang selanjutnya diadakan perbaikan-perbaikan.
4. Membantu menentukan strategi, artinya mengevaluasi apakah cara yang telah dilaksanakan selama ini masih bisa dilanjutkan, atau perlu diganti.
5. Mendapatkan dukungan dari sponsor (pemerintah atau swasta), berupa dukungan moral maupun material.
(51)
6. Motivator, jika program berhasil , maka akan memberikan kepuasan dan rasa bangga kepada para staf, hingga mendorong mereka bekerja lebih giat lagi.
Informasi dari hasil evaluasi dapat memberi kesempatan untuk melakukan analisis lebih lanjut tentang pola pelaksanaan suatu program. Hasilnya dapat dijadikan bahan bagi perencanaan untuk memperbaiki rancangan dasar program baru. Evaluasi juga dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana dan mengapa program tertentu berhasil, sedangkan program lain tidak. Dalam implementasi program MTBS di puskesmas, evaluasi dilakukan oleh kepala puskesmas untuk mengetahui bagaimana penerapan program yang dilakukan oleh petugas pelaksana MTBS. ( Notoatmodjo,2010 )
(52)
34
2.2KERANGKA TEORI
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Depkes RI (2008), Notoatmodjo ( 2010 )
Faktor Eksternal, Fasilitas yaitu :
Ketersediaan perlatan
Ketersediaan obat Aloksi dana
Faktor Eksternal : Kepemimpinan Supervisi Pelatihan yang
pernah dikuti Masa kerja Evaluasi
Faktor Internal : Pengetahuan Persepsi beban
kerja
Sikap
Motivasi Kerja
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) di Puskesmas
(53)
35
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 KERANGKA KONSEPGambar 3.1 Kerangka Konsep
3.2VARIBEL PENELITIAN
3.2.1 Variabel Bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat ( Sugiyono,2009). Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu, pengetahuan, pelatihan yang pernah diikuti, masa kerja, persepsi beban kerja, sikap, motivasi kerja, kepemimpinan, ketersediaan peralatan, ketersediaan obat, alokasi dana, supervisi dan evaluasi.
3.2.2 Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi Variabel Bebas :
Pengetahuan
Pelatihan yang pernah dikuti Masa kerja
Persepsi beban kerja Sikap
Motivasi Kerja
Kepemimpinan
Ketersediaan perlatan Ketersediaan obat Aloksi dana Supervisi Evaluasi
Variabel Terikat : Implementasi Kegiatan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) pada Petugas Pelaksana
(54)
36
akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono,2009). Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada petugas pelaksana.
3.3 HIPOTESIS PENELITIAN 3.3.1 Hipotesis Mayor
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2 Hipotesis Minor
3.3.2.1 Faktor pengetahuan petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.2 Faktor sikap petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.3 Faktor motivasi petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.4 Faktor masa kerja petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.5 Faktor persepsi beban kerja petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
(55)
pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.7 Faktor ketersediaan obat memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.8 Faktor pelatihan yang diikuti petugas MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.9 Faktor kepemimpinan kepala Puskesmas memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.10 Faktor alokasi dana untuk MTBS memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.11 Faktor supervisi oleh Dinas Kesehatan memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.3.2.12 Faktor evaluasi oleh kepala Puskesmas memiliki pengaruh dalam implementasi MTBS pada petugas pelaksana di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
(56)
38
3.4 DEFINISI OPERASIONAL DAN SKALA PENGUKURAN VARIABEL Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
N
o Variabel Definisi Opersional Teknik Pengukura n
Instrume
n Kategori Skala
1 Pengetahua n Pemahaman petugas kesehatan dalam penatalaksanaa n MTBS, meliputi tujuan MTBS, alur MTBS, klasifikasi dan penilaian MTBS. Wawancar a Kuesione r 1.Kurang baik (Nilai <56%) 2.Cukup (Nilai 56%-76% ) 3.Baik (Nilai 76% -100%) (Arikunto 2006 dalam A Wawan 2011) Ordinal
(57)
2 Sikap Reaksi atau respon petugas dalam penatalaksanaan MTBS, meliputi sikap petugas terhadap praktik MTBS dan sikap petugas saat penatalaksanaan MTBS. Wawancar a Kuesione r 1.Cukup ,j ika total scoring < rerata. 2.Baik, jika total scoring ≥ rerata. (Novitasar i,2014) Ordinal N
o Variabel Definisi Opersional Teknik Pengukura n
Instrume
n Kategori Skala
3 Motivasi Kerja
Suatu dorongan kerja yang timbul pada diri petugas pemegang program MTBS untuk menerapkan MTBS guna mencapai indikator keberhasilan program MTBS Wawancar a Kuesione r Kategori diperoleh dari total scoring jawaban responden kemudian dicari rerata : 1. Rendah : 16-37 2. Sedang: 38-59 3. Tinggi : 60-80 (Azwar, 2008 dalam Agita 2011) Ordinal
(58)
40
4 Masa Kerja Lama
responden bekerja sebagai petugas MTB di pusksmas. Wawancar a Kuesione r 1.Sedang, jika masa kerja 1-5 tahun 2.Lama, jika masa kerja lebih dari 5tahun (Carina,A goestin I W, 2013 )
Ordinal
N
o Variabel Definisi Opersional Teknik Pengukura n
Instrume
n Kategori Skala
5 Persepsi Beban Kerja Interpretasi petugas MTBS terhadap keseluruhan tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab di puskesmas. Wawancar a Kuesione r Kategori diperoleh dari total scoring jawaban responden kemudian dicari rerata : 1. Rendah : 0-2 2. Sedang: 3-5
3. Tinggi : 6-8 (Azwar, 2008 dalam Agita 2011) Ordinal
(59)
6 Ketersediaa n Peralatan Seluruh peralatan yang digunakan untuk kegiatan MTBS, yang terdiri atas: formulir MTBS dan Kartu Nasihat ibu, serta logistik (peralatan dan obat yang mendukung dalam kegiatan pemeriksaan. Wawancar a Kuesione r 1. Tidak Lengkap, jika skor < rerata 2.
Lengkap, jika skor ≥ rerata (Irianto, 2007 dalam Agita 2011) Nomina l N
o Variabel Definisi Opersional Teknik Pengukura n
Instrume
n Kategori Skala
7 Ketersediaa n Obat Seluruh obat yang dibutuhkan untuk mendukug pelaksanaan MTBS di puskesmas. Wawancar a Kuesione r 1. Tidak Lengkap, jika skor < rerata 2. Lengkap, jika skor ≥rerata (Irianto, 2007 dalam Agita 2011) Nomina l
(60)
42
8 Pelatihan Pelatihan merupakan proses atau cara yang perlu diikuti oleh petugas terlebih dahulu sebelum melaksanakan suatu jenis kegiatan MTBS Wawancar a Kuesione r 1. Pernah, jika nilai yang didapatkan dari kuesioner =1 2. Belum Pernah, jika nilai yang didapatkan dari kuesioner =0 Nomina l 9 Kepemimpi nan Kemampuan seseorang Kepala Puskesmas untuk memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku staffnya baik secara langsung maupun tidak, agar kegiatan organisasi terebut dapat berjalan dengan baik. Wawancar a Kuesione r 1.Cukup, jika total scoring jawaban < rerata 2. Baik, jika total coring jawaban ≥ rerata. (Novitasar i,2014) Ordinal N
o Variabel Definisi Opersional Teknik Pengukura n
Instrume
n Kategori Skala
10 Alokasi Dana
Dana dari Dinas Kesehatan yang digunakan untuk pelaksanaa kegiatan MTBS Wawancar a Kuesione r
1. Ada, jika nilai yang didapatkan dari kuesioner =1 2. Tidak ada, jika nilai yang didapatkan dari kuesioner =0 Nomina l
(61)
11 Supervisi Ada tidaknya pembinaan, bimbingan dan pengawasan pro-gram MTBS yang dilakukan oleh Dinkes Wawancar a Kuesione r 1. Rendah, jika skor < rerata 2. Tinggi, jika skor ≥rerata (Irianto, 2007 dalam Agita 2011) Ordinal
12 Evaluasi Ada tidaknya penilaian hasil pelaksanaan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Wawancar a Kuesione r 1. Rendah, jika skor < rerata 2. Tinggi, jika skor ≥rerata (Irianto, 2007 dalam Agita 2011) Ordinal
13 Penatalaksa naan MTBS Penerapan dan pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) oleh petugas pelaksana di puskesmas. Wawancar a Kuesione r 1. Rendah, jika skor < rerata. 2. Tinggi, jika skor ≥rerata (Irianto, 2007 dalam Agita 2011) Ordinal
3.5 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian penjelasan ( explanatory research) karena bersifat menjelaskan pengaruh antara variabel-varabel penelitian dengan pengujiaan hipotesis. Pendekatan yang digunakan yatu pendekatan cross
(62)
44
sectional atau potong lintang.
3.6 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.6.1 Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu (Sugiyono,2009). Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh petugas pelaksana MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara.
3.6.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karateristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu dalam hal ini sampel berkaitan dengan kegiatan MTBS (Sugiyono,2009). Sampel dalam penelitian ini yaitu petugas MTBS di puskesmas yang aktif menjalankan program MTBS di Kabupaten Banjarnegara. Sampel dihitung dengan menggunakan rumus untuk sampel tunggal dengan hipotesis proporsi suatu populasi (Sudigdo, 2006 )
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
{ √( ) √( ) ( )}
Keterangan :
(63)
Z1-α/2 : 1,96 (jika α : 5%) Z1-β : 1,64 (jika β : 5%)
p1 : Proporsi paparan pada kelompok terpapar (a/a+b) p2 : Proporsi paparan pada kelompok tidak terpapar (c/c+d)
Berdasarkan rumus diatas, maka besar sampel minimal yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu :
{ √( ) √( ) ( )}
{ √ √ }
Besar sampel minimal yang digunakan dalam penelitian yaitu sejumlah 47. 3.7 SUMBER DATA
(64)
46
dan data sekunder.
3.7.1
Data PrimerData primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan sendiri oleh peneliti dari responden selama penelitian. Data primer diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung dengan menggunakan lembar kuesioner . Pengisian kuesioner dilakukan dengan metode wawancara terhadap responden. Kuesioner berisi pertanyaan yang sudah terdapat alternatif jawabannya.
3.7.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari orang lain yang dalam penelitian ini berasal dari instansi-instansi kesehatan yaitu dari Kementrian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara.
3.8 INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN DATA 3.8.1 Instrumen Penelitian
. Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data berdasarkan pertanyaan dan pernyataan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dan menjadi kendala implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara.
(65)
memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Untuk itu kuesioner tersebut harus di uji coba ” trial” lapangan.
1) Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut benar -benar mengukur apa yang diukur. Kuesioner diujikan pada petugas pemegang program MTBS di 8 Puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Magelang,yaitu Puskesmas Secang I, Pusskesmas Secang II, Puskesmas Mertoyudan I, Puskesmas Kota Mungkid, Puskesmas Mungkid, Puskesmas Muntilan II, Puskesmas Bandongan, dan Puskesmas Kaliangkrik dimana di wilayah kerja tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan wilayah Kabupaten Banjarnegara yaitu memiliki angka kematian balita yang hampir sama sebesar 13.88% tahun 2014. Uji validitas yang digunakan yaitu korelasi pearson product moment sehingga akan diperoleh koefisien korelasi atau r hitung pada setiap soal per variabel. Instrumen atau soal dinyatakan valid, jika koefisien korelasi atau r hitung lebih besar dari r tabel. (Sugiyono,2009)
Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini menggunakan program SPSS versi 16.00, dimana hasil akhirnya (r hitung) dibandingkan dengan nilai r tabel product moment pearson, dimana untuk uji validitas dengan N = 24 dan taraf signifikansi 5% diketahui bahwa nilai r tabel = 0,404. Jika r hitung > r tabel = 0,404, maka butir atau variabel pertanyaan tersebut dinyatakan valid.
Dari hasil perhitungan uji validitas seluruh jumlah soal yang berjumlah 58 butir soal, yang terdiri dari 9 butir soal untuk variabel pengetahuan petugas, 8 butir soal untuk variabel sikap petugas, 13 butir soal untu variabel motivasi kerja
(66)
48
petugas, 1 butir soal untuk variabel masa kerja petugas, 5 butir soal untuk variabel persepsi beban kerja petugas, 5 butir soal untuk variabel ketersediaan peralatan dan obat, 2 butir soal untuk variabel pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, 7 butir soal untuk variabel kepemimpinan kepala puskesmas, 1 butir soal untuk variabel alokasi dana, 2 butir soal untuk variabel supervisi oleh Dias Kesehatan , 2 butir soal untuk variabel evaluasi oleh Kepala Puskesmas, 3 butir soal untuk variabel implementasi MTBS.
Uji validitas dan reliabilitas yang dilakukan melalui program SPSS versi 16.00 diperoleh hasil 53 butir soal dinyatakan valid, dan 5 butir soal tidak valid Soal yang tidak valid terdiri dari 1 butir soal untuk variabel pengetahuan petugas, 2 butir soal utuk variabel sikap petugas, 1 butir soal untuk variabel motivasi kerja petugas dan 1 butir soal untuk variabel kepemimpinan Kepala Puskemas. Sehingga dilakukan uji validitas kembali yaitu dengan menghilangkan 5 butir soal yang tidak valid tersebut, dan dilakukan perhitungan uji validitas terhadap 53 butir soal kembali. Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas dari 53 butir soal tersebut dengan menggunakan program SPSS versi 16.00, maka diperoleh koefisien korelasi (rxy ) atau r hitung untuk variabel pengetahuan petugas pada butir soal no.1 = 0,407, soal no.2 = 0,602, soal no.3 = 0,589, soal no.4 = 0,506, soal no.5 = 0,539, soal no.6= 0,411, soal no.7 = 0,548, soal no.8 = 0,555. Pada variabel sikap petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,723, soal no.2 = 0,664, soal no.3 = 0,747, soal no.4 = 0,468, soal no.5 = 0,443, dan soal no.6 = 0,739. Pada variabel motivasi kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,525, dan soal no.2 = 0,611. soal no.3 =
(67)
0,610, soal no.4 = 0,507, soal no.5 = 0,610, soal no.6 = 0,545, soal no.7 = 0,610, soal no.8 = 0,565, soal no.9 = 0,685, dan soal no.10 = 0,612, soal no.11 = 0,727, soal no.12 = 0,431. Pada variabel masa kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,612. Pada variabel persepsi beban kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk buti soal no.1 = 0,628, soal no.2 = 0,579, soal no.3 = 0,600, soal no.4 = 0,500, dan soal no.5 = 0,646. Pada variabel ketersediaan peralatan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,541, soal no.2 = 0,683, dan soal no.3 = 0,541.
Pada variabel ketersediaan obat untuk pelaksanaan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,541, dan soal no.2 = 0,635. Pada variabel pelatihan yang pernah diikuti petugas MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,426 dan soal no.2 = 0,426. Pada variabel kepemimpinan kepala puskesmas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,633, soal no.2 = 0,682, soal no.3 = 0,410, soal no.4 = 0,648, soal no.5 = 0,560, dan soal no.6 = 0,465. Pada variabel alokasi dana dari Dinas Kesehatan diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,698. Pada variabel pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,548, dan soal no.2 = 0,509. Pada variabel pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,413, dan soal no.2 = 0,547. Pada variabel implementasi MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,788, soal no.2 = 0,884, dan soal no.3 = 0,748. Sehingga semua butir soal yang berjumlah 54
(1)
% within Supervisi Dinas
Kesehatan Kabupaten 57.1% 42.9% 100.0%
Tinggi Count 17 9 26
Expected Count 16.0 10.0 26.0
% within Supervisi Dinas
Kesehatan Kabupaten 65.4% 34.6% 100.0%
Total Count 29 18 47
Expected Count 29.0 18.0 47.0
% within Supervisi Dinas
Kesehatan Kabupaten 61.7% 38.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .334a 1 .563
Continuity Correctionb .076 1 .782
Likelihood Ratio .333 1 .564
Fisher's Exact Test .763 .391
Linear-by-Linear Association .327 1 .568
N of Valid Casesb 47
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,04. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .084 .563
(2)
12. Crosstab Variabel Evaluasi dengan Implementasi MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Evaluasi Kepala Puskesmas
* Implementasi MTBS 47 100.0% 0 .0% 47 100.0%
Evaluasi Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS
Total Rendah Tinggi
Evaluasi Kepala Puskesmas Rendah Count 22 6 28
Expected Count 17.3 10.7 28.0
% within Evaluasi Kepala
Puskesmas 78.6% 21.4% 100.0%
Tinggi Count 7 12 19
Expected Count 11.7 7.3 19.0
% within Evaluasi Kepala
Puskesmas 36.8% 63.2% 100.0%
Total Count 29 18 47
Expected Count 29.0 18.0 47.0
% within Evaluasi Kepala
Puskesmas 61.7% 38.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 8.341a 1 .004
Continuity Correctionb 6.669 1 .010
Likelihood Ratio 8.453 1 .004
Fisher's Exact Test .006 .005
Linear-by-Linear Association 8.164 1 .004
(3)
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,28. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .388 .004
(4)
Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian
Wawancara dengan salah satu responden (Puskesmas Klampok I)
(5)
Wawancara dengan salah satu responden (Puskesmas Purwonegoro II)
(6)