Analisis Bivariat Hasil Penelitian

64 pelaksanaan MTBS oleh Kepala Puskesmas menunjukan jumlah responden yang menyatakan evaluasi oleh Kepala Puskesmas tempat bekerja dengan katgeori rendah sejumlah 28 orang 59.6 dan responden yang menyatakan evaluasi Kepala Puskesmas tempat bekerja dengan kategori tinggi sejumlah 19 orang 40.4. 4.2.1.13 Implementasi MTBS Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 47 responden, maka dapat diperoleh distribusi data implementasi MTBS yang dapat dilihat pada tabel 4.14 berikut ini : Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Menurut Implementasi MTBS No Implementasi MTBS Frekuensi Presentase 1 2 Rendah Tinggi 29 18 61.7 38.3 Jumlah 47 100 Berdasarkan tabel 4.14 yang dikelompokkan menurut implementasi MTBS menunjukan jumlah responden yang menyatakan implementasi MTBS di puskesmas rendah sejumlah 29 orang 61.7 dan responden yang menyatakan implementasi MTBS di puskesmas tinggi sejumlah 18 orang 38.3.

4.2.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat secara sendiri-sendiri. Analisis bivariat diperoleh dari data pengetahuan responden, sikap responden, 65 motivasi kerja responden, masa kerja responden, persepsi beban kerja reponden, ketersediaan peralatan pendukung MTBS , ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS, keikutsertaan pelatihan MTBS, kepemimpinan Kepala Puskesmas, supervisi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara dan evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas yang dihubungkan dengan implementasi kegiatan MTBS di puskesmas di Kabupaten Banjarnegera. Uji statistik yang digunakan yaitu Chi-Square menggunakan program SPSS for windows release 16. Berdasarkan perhitungan uji statistik, diperoleh hasil analisis bivariat sebagai berikut : 4.2.2.1 Hubungan atara pengetahuan petugas pelaksana dengan implementasi MTBS Hubungan antara pengetahuan petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.15 sebagai berikut : Tabel 4.15 Hubungan Pengetahuan dengan Implementasi MTBS Pengetahuan Implementasi MTBS Total Nilai P 0,692 Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Cukup Baik 6 23 75 59 2 16 25 41 8 39 100 100 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.15 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 6 orang 75 memiliki pengetahuan yang cukup dan 23 orang 59 memiliki pengetahuan yang baik. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 2 orang 25 memiliki pengetahuan 66 yang cukup dan 16 orang 41 memiliki pengetahuan yang baik. Hasil uji Fisher diperoleh nilai p = 0,692 yang berarti 0,05, sehingga Ha ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara 4.2.2.2 Hubungan atara sikap petugas pelaksana dengan implementasi MTBS Hubungan antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.16 sebagai berikut : Tabel 4.16 Hubungan Sikap dengan Implementasi MTBS Sikap Implementasi MTBS Total Nilai P CC Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Cukup 22 78.6 6 21.4 28 100 0.01 0.388 Baik 7 36.8 12 63.2 19 100 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.16 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 22 orang 78.6 memiliki sikap dengan kategori cukup dan 7 orang 36.8 memiliki sikap dengan kategori baik. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 6 orang 21.4 memiliki sikap dengan kategori cukup dan 12 orang 63.2 memiliki sikap dengan kategori baik Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0,01 yang berarti 0,05, sehingga Ha diterima. Hal ini berarti dapat diketahui ada hubungan antara sikap petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten 67 Banjarnegara. Koefisien Kontingensi CC = 0.388 menunjukkan hubungan yang lemah antara sikap petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas di Kabupaten Banjaregara. 4.2.2.3 Hubungan atara motivasi kerja petugas pelaksana dengan implementasi MTBS Hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.17 sebagai berikut : Tabel 4.17 Hubungan Motivasi Kerja dengan Implementasi MTBS Motivasi Kerja Implementasi MTBS Total Nilai P 0.383 Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Sedang Tinggi 29 63 1 17 100 37 1 46 100 100 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.17 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah seluruhnya 29 orang 63 memiliki motivasi kerja dengan kategori tinggi. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 1 orang 100 memiliki motivasi kerja dengan kategori sedang dan 17 orang 37 memiliki motivasi kerja dengan kategori tinggi. Hasil uji Fisher diperoleh nilai p= 0,383 yang berarti 0,05, sehingga Ha ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui tidak ada hubungan antara motivasi kerja petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 68 4.2.2.4 Hubungan atara masa kerja petugas pelaksana dengan implementasi MTBS Hubungan antara masa kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.18 sebagai berikut : Tabel 4.18 Hubungan Masa Kerja dengan Implementasi MTBS Masa Kerja Implementasi MTBS Total Nilai P CC Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Sedang 22 84.6 4 15.4 26 100 0.001 0.464 Lama 7 33.3 14 66.7 21 100 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.18 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 22 orang 84.6 memiliki masa kerja dengan kategori sedang dan 7 orang 33.3 memiliki masa kerja dengan kategori lama. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 4 orang 15.4 memiliki masa kerja dengan kategori sedang dan 14 orang 66.7 memiliki masa kerja dengan kategori lama. Hasil uji Fisher diperoleh nilai p= 0,001 yang berarti 0,05, sehingga Ha diterima. Hal ini berarti dapat diketahui ada hubungan antara masa kerja petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Koefisien Kontingensi CC = 0.464 menunjukkan hubungan yang cukup kuat antara masa kerja petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 69 4.2.2.5 Hubungan atara persepsi beban kerja petugas pelaksana dengan implementasi MTBS Hubungan antara persepsi beban kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.19 sebagai berikut : Tabel 4.19 Hubungan Persepsi Beban Kerja dengan Implementasi MTBS Persepsi Beban Kerja Implementasi MTBS Total Nilai P Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Tinggi Rendah 13 16 65 59.3 7 11 35 40.7 20 27 100 100 0.923 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.19 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 13 orang 65 memiliki persepsi beban kerja dengan kategori tinggi dan 16 orang 59.3 memiiki persepsi beban kerja dengan kategori rendah . Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 7 orang 35 memiliki persepsi beban kerja dengan kategori tinggi dan 11 orang 40.7 memiliki persepsi beban kerja dengan kategori rendah. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0.923 yang berarti 0,05, sehingga Ha ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui tidak ada hubungan antara persepsi beban kerja petugas pelaksana MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 4.2.2.6 Hubungan atara ketersediaan peralatan pendukung dengan implementasi MTBS Hubungan antara ketersediaan peralatan pendukung pelaksanaan MTBS 70 dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.20 sebagai berikut : Tabel 4.20 Hubungan Ketersediaan Peralatan dengan Implemntasi MTBS Ketersediaan Peralatan Implementasi MTBS Total Nilai P Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Tidak Lengkap Lengkap 6 23 50 65.7 6 12 50 34.3 12 35 100 100 0.493 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.20 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 6 orang 50 menyatakan ketersediaan peralatan pendukung pelaksanaan MTBS tidak lengkap dan 23 orang 65.7 menyatakan ketersediaan peralatan pendukung pelaksanaan MTBS lengkap . Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 6 orang 50 menyatakan ketersediaan peralatan pendukung pelaksanaan MTBS tidak lengkap dan 12 orang 34.3 menyatakan ketersediaan peralatan pendukung pelaksanaan MTBS lengkap. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0.493 yang berarti 0,05, sehingga Ha ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui tidak ada hubungan antara ketersediaan peralatan pendukung pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 4.2.2.7 Hubungan atara ketersediaan obat dengan implementasi MTBS Hubungan antara ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS 71 dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.21 sebagai berikut : Tabel 4.21 Hubungan Ketersediaan Obat dengan Implemntasi MTBS Ketersediaan Obat Implementasi MTBS Total Nilai P CC Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Tidak Lengkap Lengkap 20 9 76.9 42.9 6 12 23.1 57.1 26 21 100 100 0.037 0.329 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.21 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 20 orang 76.9 menyatakan ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS tidak lengkap dan 9 orang 42.9 menyatakan ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS lengkap. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 6 orang 23.1 menyatakan ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS tidak lengkap dan 12 orang 57.1 menyatakan ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS lengkap. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0,037 yang berarti 0,05, sehingga Ha diterima. Hal ini berarti dapat diketahui ada hubungan ketersediaan obat pendukung pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Koefisien Kontingensi CC = 0.329 menunjukkan hubungan yang lemah antara ketersediaan obat pendukung pelaksnaan MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 72 4.2.2.8 Hubungan atara pelatihan dengan implementasi MTBS Hubungan antara keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.22 sebagai berikut : Tabel 4.22 Hubungan Pelatihan dengan Implemntasi MTBS Pelatihan Implementasi MTBS Total Nilai P CC Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Belum Pernah Pernah 24 5 80 29.4 6 12 20 70.6 30 17 100 100 0.002 0.447 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.22 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 24 orang 80 menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan dan 5 orang 29.4 menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 6 orang 20 menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan dan 12 orang 70.6 menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0,002 yang berarti 0,05, sehingga Ha diterima. Hal ini berarti dapat diketahui ada hubungan antara keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Koefisien Kontingensi CC = 0.447 menunjukkan hubungan yang cukup kuat antara pelatihan yang pernah diikuti dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 73 4.2.2.9 Hubungan atara kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS Hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.23 sebagai berikut : Tabel 4.23 Hubungan Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS Kepemimpinan Kepala Puskesmas Implementasi MTBS Total Nilai P Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Cukup Baik 7 22 53.8 64.7 6 12 46.2 35.3 13 34 100 100 0.521 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.23 menunjukan bahwa dari bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 7 orang 53.8 menyatakan kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan kategori cukup dan 22 orang 64.7 menyatakan kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan kategori baik . Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 6 orang 46.2 menyatakan kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan kategori cukup dan 12 orang 35.3 menyatakan kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan kategori baik. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0.521 yang berarti 0,05, sehingga Ha ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui tidak ada hubungan antara kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 74 4.2.2.10 Hubungan atara alokasi dana dengan implementasi MTBS Hubungan antara alokasi dana dari dinas kesehatan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.24 sebagai berikut : Tabel 4.24 Hubungan Alokasi Dana dengan Implemntasi MTBS Alokasi Dana Implementasi MTBS Total Nilai P CC Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Tidak Ada Ada 27 2 69.2 25 12 6 30.8 75 39 8 100 100 0.041 0.324 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.24 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 27 orang 69.2 menyatakan tidak ada alokasi dana untuk MTBS dan 2 orang 25 menyatakan ada alokasi dana untuk MTBS. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 12 orang 30.8 menyatakan tidak ada alokasi dana untukk MTBS dan 6 orang 75 menyatakan ada alokasi dana untuk MTBS. Hasil uji Fisher diperoleh nilai p= 0,041 yang berarti 0,05, sehingga Ha diterima. Hal ini berarti dapat diketahui ada hubungan antara alokasi dana untuk pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Koefisien Kontingensi CC = 0.324 menunjukkan hubungan yang lemah antara alokasi dana untuk pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 75 4.2.2.11 Hubungan atara supervisi oleh Dinas Kesehatan dengan implementasi MTBS Hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan Kabupaten dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.25 sebagai berikut : Tabel 4.25 Hubungan Supervisi dengan Implementasi MTBS Alokasi Dana Implementasi MTBS Total Nilai P Rendah Tinggi Jumlah Jumlah Jumlah Rendah Tinggi 12 17 57.1 65.4 9 9 42.9 36.7 21 30 100 100 0.782 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.25 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 12 orang 57.1 menyatakan supervisi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten rendah dan 17 orang 65.4 menyatakan supervisi oleh Dinas Kesehatan tinggi . Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 9 orang 42.9 menyatakan supervisi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten rendah dan 9 orang 34.6 menyatakan supervisi oleh Dinas Kesehatan tinggi. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0.782 yang berarti 0,05, sehingga Ha ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui tidak ada hubungan antara supervisi oleh Dinaas Kesehatan Kabupaten dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 76 4.2.2.12 Hubungan atara evaluasi oleh Kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS Hubungan antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS dapat dilihat dalam tabel 4.26 sebagai berikut : Tabel 4.26 Hubungan Evaluasi dengan Implementasi MTBS Evaluasi Implementasi MTBS Total Nilai P CC Rendah Tiinggi Jumlah Jumlah Jumlah Rendah Tinggi 22 7 78.6 36.8 6 12 21.4 63.2 28 19 100 100 0. 01 0.388 Jumlah 29 61.7 18 38.3 47 100 Tabel 4.26 menunjukan bahwa dari 29 responden dengan implementasi MTBS yang rendah 22 orang 78.6 menyatakan evaluasi oleh Kepala Puskesmas rendah dan 7 orang 36.8 menyatakan evaluasi oleh Kepala Puskesmas tinggi. Sedangkan dari 18 responden dengan implementasi MTBS yang tinggi 6 orang 21.4 menyatakan evaluasi oleh Kepala Puskesmas rendah dan 12 orang 63.2 menyatakan evaluasi oleh Kepala Puskesmas tinggi. Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p= 0,01 yang berarti 0,05, sehingga Ha diterima. Hal ini berarti dapat diketahui ada hubungan antara evaluasi program MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. Koefisien Kontingensi CC = 0.388 menunjukkan hubungan yang lemah antara evaluasi program MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di puskesmas Kabupaten Banjarnegara. 77 4.2.2.13 Rangkuman Analisis Bivariat antara Variabel Bebas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS Hasil keseluruhan analisis bivariat antara variabel bebas dan variabel terikat menggunakan program SPSS versi 16.0 dapat dilihat dalam tabel 4.27 sebagai berikut : Tabel 4.27 Rangkuman Analisis Bivariat Variabel Bebas p value CC Keterangan Pengetahuan Petugas 0,692 0.123 Tidak Ada Hubungan Sikap Petugas 0.010 0.388 Ada Hubungan Motivasi Kerja Petugas 0.383 0.184 Tidak Ada Hubungan Masa Kerja Petugas 0.001 0.464 Ada Hubungan Persepsi Beban Kerja Petugas 0.923 0.058 Tidak Ada Hubungan Ketersediaan Peralatan 0.493 0.140 Tidak Ada Hubungan Ketersediaan Obat 0.037 0.329 Ada Hubungan Pelatihan MTBS 0.002 0.447 Ada Hubungan Kepemimpinan Kepala Puskesmas 0.521 0.099 Tidak Ada Hubungan Alokasi Dana 0.041 0.324 Ada Hubungan Supervisi oleh Dinkes 0.782 0.084 Tidak Ada Hubungan Evaluasi oleh Kepala Puskesmas 0.010 0.388 Ada Hubungan Berdasarkan tabel 4.27 dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang berhubungan atau berpengaruh dengan implementasi MTBS yaitu sikap petugas, masa kerja petugas, ketersediaan obat, pelatihan MTBS, alokasi dana dan evaluasi oleh Kepala Puskesmas. Variabel bebas yang tidak berhubungan atau tidak berpengaruh dengan implementasi MTBS yaitu pengetahuan petugas, motivasi 78 kerja petugas, persepsi beban kerja petugas, ketersediaan peralatan, kepemimpinan Kepala Puskesmas dan supervisi oleh Dinas Kesehatan. Berdasarkan kerangka teori dapat dikatakan bahwa faktor internal yang berpengaruh terhadap implementasi MTBS yaitu sikap petugas. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap implementasi MTBS yaitu pelatihan yang pernah diikuti, masa kerja, evaluasi oleh Kepala Puskesmas, dan fasilitas yang terdiri dari ketersediaan obat serta alokasi dana. Untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan atau keeratan pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat, digunakan koefisien kontingensi CC. Nilai CC dari yang terkecil sampai terbesar menunjukkan hubungan lemah sampai hubungan yang kuat. Variabel bebas yang memiliki hubungan atau pengaruh lemah dengan implementasi MTBS yaitu sikap petugas, ketersediaan obat, alokasi dana dan evaluasi oleh Kepala Puskesmas. Sedangkan variabel yang memiliki hubungan atau pengaruh cukup kuat dengan implementasi MTBS yaitu masa kerja petugas dan pelatihan MTBS. 79

BAB V PEMBAHASAN