Pengaruh Terapi Panas, Dingin, dan Panas-Dingin Terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back Pain (LBP) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

(1)

PENGARUH TERAPI PANAS, DINGIN, DAN

PANAS-DINGIN TERHADAP INTENSITAS NYERI

PADA PASIEN LOW BACK PAIN (LBP)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

Dr. PIRNGADI MEDAN

TESIS

Oleh

CHAIRANUR DARA PHONNA

127046048 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH TERAPI PANAS, DINGIN, DAN

PANAS-DINGIN TERHADAP INTENSITAS NYERI

PADA PASIEN LOW BACK PAIN (LBP)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

Dr. PIRNGADI MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M. Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHAIRANUR DARA PHONNA

127046048 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 19 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp. BS Anggota : 1. Ikhsanuddin A. Harahap, S. Kp, MNS

2. Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp. KK 3. dr. Dedi Ardinata, M. Kes


(5)

(6)

Judul Tesis : Pengaruh Terapi Panas, Dingin, dan Panas-Dingin Terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back Pain (LBP) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

Nama Mahasiswa : Chairanur Dara Phonna Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Low back pain (LBP) adalah nyeri, ketegangan otot atau kekakuan yang terletak di bawah batas kosta dan di atas lipatan glutealis inferior, dengan atau tanpa sakit kaki (sciatica). LBP dapat diatasi secara farmakologi dan non farmakologi. Penggunaan terapi panas dan terapi dingin adalah salah satu terapi modalitas manajemen nyeri non farmakologis yang dapat digunakan oleh perawat untuk mengatasi nyeri khususnya nyeri pada pasien LBP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi panas, dingin, dan panas - dingin terhadap intensitas nyeri pada pasien LBP di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan menggunakan pendekatan pre

and post test without control group design. Sampel penelitian berjumlah 99

responden, yang diambil dengan cara consecutive sampling. Berdasarkan uji


(7)

nyeri yang signifikan sebelum dan sesudah terapi panas (z = -5,040; p = 0,000), dingin (z = -5,074; p = 0,000) dan panas-dingin (z = -5,036; p = 0,000). Berdasarkan uji kruscal wallis terhadap selisih nilai mean tiga kelompok intervensi terdapat perbedaan yang signifikan ketiga terapi terhadap intensitas nyeri pada pasien LBP (chi-square = 41,652; p = 0,000) dimana selisih mean score dan mean rank terapi panas-dingin (4,09; 64,50) lebih tinggi dari kedua kelompok terapi lainnya. Terapi panas menurunkan intensitas nyeri lebih bermakna pada pasien LBP dibandingkan terapi dingin, namun terapi panas-dingin lebih bermakna menurunkan intensitas nyeri pada pasien LBP dibandingkan terapi panas atau dingin. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan keperawatan untuk menjadikan terapi panas-dingin menjadi salah satu intervensi keperawatan mandiri dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien LBP.

Kata kunci : terapi panas, terapi dingin, terapi panas-dingin, intensitas nyeri,


(8)

Thesis Title : The influence of Hot, Cold, and Hot-Cold therapies on the Intensity of Pain in the Patients with Low Back Pain (LBP) in Dr. Pirngadi General Hospital Medan

Name : Chairanur Dara Phonna

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Low Back Pain (LBP) is pain, muscle tension or rigidity that is located below the costal margin and above the inferior gluteal folds, with or without leg pain (sciatica). LBP can be overcome pharmalogically and non-pharmalogically. The use of heat therapy and cold therapy is one of non-pharmalogical pain management modality therapies that can be used by nurses to cope with pain, especially the pain in the patients with LBP. The purpose of this quasi experimental study with pre and post test without control group design was to find out the influence of hot, cold, and hot-cold therapies on the intensity of pain in the LBP patients in the Neurology Polyclinic, Dr. Pirngadi General Hospital Medan. The respondents for this study were 99 patients selected through consecutive sampling technique. The result of Wilcoxon test showed that there was a significant difference of pain intensity before and after being given hot therapy (z


(9)

= -5.040; p = 0.0000), cold therapy (z = -5.074; p = 0.000), and hot - cold therapy (z = -0.5036; p = 0.000). The result of Kruscal Wallis test on the difference of the mean values of the three intervention groups showed that there was significant difference in the three therapies on pain intensity in the LBP patients (Chi-square = 41.652; p = 0.000) in wich the difference between mean score and mean rank of hot – cold therapy (4.09; 64.50) was higher than that og the other two therapy groups. Hot therapy significantly minimizes the intensity of pain in the LBP patients compared to cold therapy does, but hot-cold therapy minimizes the intensity of pain in the LBP patients more significantly compared to either hot therapy or cold therapy. The result of this study can be the input for nursing care service to make the hot-cold therapy as one of the independent nursing intervention in providing nursing care to the LBP patients.

Keywords : hot therapy, cold therapy, hot – cold therapy, pain intensity, low back pain.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Terapi Panas, Dingin, Dan Panas – Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Low Back Pain (LBP) Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Dedi Ardinata, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan dan sekaligus sebagai Penguji II yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

2. Setiawan, S. Kp, MNS, Ph. D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S. Kep, Ns, MNS, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp. BS, selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis hingga dapat selesai tepat pada waktunya.

5. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S. Kp, MNS, selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis hingga dapat selesai tepat pada waktunya.


(11)

6. Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp. KK, selaku Penguji I yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

7. Seluruh staff dosen yang telah banyak membantu selama menjalani pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

8. Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan melakukan penenelitian.

9. Hj. Masneli Lubis, Mars, selaku Wakil Direktur Bidang Sumber daya manusia (SDM) dan Pendidikan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah banyak membantu dan mendukung penulis selama menjalani pendidikan dan melakukan penelitian.

10. Kedua Orang Tua, H. Chalid AR dan Hj. Nurmadiah Usman serta Mertua H. Machmud dan Hj. Chadijah A. Rani, yang selalu mendo’akan dan mendukung penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

11. Suami tercinta, Ir. Sarifuddin, MP, yang menjadi teman sekaligus sahabat

yang selalu berbagi, yang selalu menjadi motivator dan selalu mendukung dan mencari solusi terbaik sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini dengan baik.

12. Putri tercinta, Alifa Azzalia Rasya, yang menjadi sumber kekuatan yang menguatkan penulis dalam suka dan duka untuk selalu melakukan yang


(12)

13. Teman-teman di RSUD Dr. Pirngadi Medan, Hj. Rohayati, Purida Panjaitan, dr. Saut Adi Pane, Hj. Parmi, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

14. Teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat menyelesaikan tesis dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna serta masih sangat membutuhkan masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khusunya profesi keperawatan.

Medan, 19 Agustus 2014 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Chairanur Dara Phonna

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 25 Februari 1979

Alamat : Jln. Mesjid No. 52 Helvetia Timur Medan 20124 No. Telp / Hp : 061-8446527 / 081361697422

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Muhammadiyah 02 Medan 1991

SMP MTs Ulumul Qur’an Langsa 1994

SMA MA Ulumul Qur’an Langsa 1997

D3 Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan 2000

S1 Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan 2002

Ners Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan 2003

S2 Prodi Magister Ilmu Keperawatan 2014

Fakultas Keperawatan USU Medan

Riwayat Pekerjaan :

Staf Pengajar pada Program Studi D3 Keperawatan Stikes Binalita Sudama Medan Desember 2004 - Sekarang.


(14)

Kegiatan Akademik Penunjang Studi :

Peserta pada seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Bidang Kesehatan, 18 Desember 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada seminar Pendekatan Holistik Keperawatan Pada Perawatan Stoma, 6 Januari 2013, Medan, Sumatera Utara.

Peserta pada seminar Nursing Leadership Menyongsong Asean Comunity 2015, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Peserta pada workshop Analisis Data Kualitatif Dengan Metode Content Analysis

& Software Weft-QDA, 31 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada seminar Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-39 PPNI Provinsi Sumatera Utara, 23 Pebruari 2013, Raz Plaza, Medan, Sumatera Utara. Peserta pada seminar 2013 Medan International Nursing Conference; The

Application of Caring Science in Nursing Education Advanced Reseach

and Clinical Practice, 1-2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan,

Sumatera Utara.

Peserta pada seminar Aplikasi Knowledge Management Dalam Administrasi Keperawatan Di Rumah Sakit, 13 Mei 2013, RSUD Dr. Pirngadi, Medan, Sumatera Utara.


(15)

Peserta pada seminar dan workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA

Basic, 24 November 2013, Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera

Utara.

Peserta pada seminar Kiat Sukses Menyusun Skripsi, Tesis Dan Disertasi, 19 April 2014, Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 7

1.4. Hipotesis... 9

1.5. Manfaat Penelitian... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Konsep Nyeri... 11

2.2. Konsep Low Back Pain... 42

2.3. Konsep Terapi Panas dan Terapi Dingin... 58

2.4. Landasan Teori... 70

2.5. Kerangka Konsep... 73

BAB 3. METODE PENELITIAN... 75

3.1. Jenis Penelitian... 75

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 75

3.3. Populasi dan Sampel... 75

3.4. Metode Pengumpulan Data... 78

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 83

3.6. Metode Pengukuran... 84

3.7. Metode Analisis Data... 85

3.8. Pertimbangan Etik... 88

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 92

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 92

4.2. Karakteristik Responden... 93

4.3. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Dan Sesudah Intervensi Terapi Panas, Dingin Dan Panas-Dingin... 98

4.4. Pengaruh Terapi Panas, Dingin Dan Panas-Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP... 100 4.5. Perbedaan Pengaruh Terapi Panas, Dingin, Dan


(17)

BAB 5. PEMBAHASAN... 103

5.1. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Terapi Panas... 103

5.2. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sesudah Terapi Panas... 103

5.3. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Terapi Dingin... 104

5.4. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sesudah Terapi Dingin... 104

5.5. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Terapi Panas- Dingin... 105

5.6. Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sesudah Terapi Panas-Dingin... 106

5.7. Perbedaan Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Dan Sesudah Terapi Panas... 106

5.8. Perbedaan Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Dan Sesudah Terapi Dingin... 108

5.9. Perbedaan Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Dan Sesudah Terapi Panas-Dingin... 109

5.10. Perbedaan Intensitas Nyeri Pasien LBP Pada Kelompok Terapi Panas, Dingin Dan Panas-Dingin... 110

5.11. Keterbatasan Penelitian... 112

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 113

6.1. Kesimpulan... 113

6.2. Saran... 114

. DAFTAR PUSTAKA... 116


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Behavioral Pain Assesment Scale ... 27 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 82 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Usia di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 92 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 93 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Pendidikan di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 94 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Pekerjaan di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 94 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

IMT di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 95 Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Klasifikasi LBP di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 96 Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Pencetus LBP di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi

Medan... 96 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP

Sebelum Intervensi TP, TD dan TPD di Poli Neurologi


(19)

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sesudah Intervensi TP, TD dan TPD di Poli Neurologi

RSUD Dr. Pirngadi Medan... 98 Halaman Tabel 4.10 Hasil Analisis Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah

Intervensi TP, TD dan TPD Pada Pasien LBP di Poli

Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan... 99 Tabel 4.11 Hasil Analisis Uji Wilcoxon Sign Rank Test Terhadap

Perbedaan Rata-rata Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Intervensi TP, TD dan TPD Pada Pasien LBP Di Poli

Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan... 100 Tabel 4.12 Hasil Analisis Uji Kruscal Wallis Test Perbedaan Rataan

Selisih Nilai Mean Intensitas Nyeri Pada Pasien LBP Sebelum Dan Sesudah TP, TD dan


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pain Numerical Rating Scale ... 26

Gambar 2.2 Integral Nursing Theory ... 70

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian ... 72

Gambar 2.4 Kerangka Penelitian ... 74


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian 123

Lampiran 2 Izin Penelitian 132


(22)

Judul Tesis : Pengaruh Terapi Panas, Dingin, dan Panas-Dingin Terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back Pain (LBP) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

Nama Mahasiswa : Chairanur Dara Phonna Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Low back pain (LBP) adalah nyeri, ketegangan otot atau kekakuan yang terletak di bawah batas kosta dan di atas lipatan glutealis inferior, dengan atau tanpa sakit kaki (sciatica). LBP dapat diatasi secara farmakologi dan non farmakologi. Penggunaan terapi panas dan terapi dingin adalah salah satu terapi modalitas manajemen nyeri non farmakologis yang dapat digunakan oleh perawat untuk mengatasi nyeri khususnya nyeri pada pasien LBP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi panas, dingin, dan panas - dingin terhadap intensitas nyeri pada pasien LBP di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan menggunakan pendekatan pre

and post test without control group design. Sampel penelitian berjumlah 99

responden, yang diambil dengan cara consecutive sampling. Berdasarkan uji


(23)

nyeri yang signifikan sebelum dan sesudah terapi panas (z = -5,040; p = 0,000), dingin (z = -5,074; p = 0,000) dan panas-dingin (z = -5,036; p = 0,000). Berdasarkan uji kruscal wallis terhadap selisih nilai mean tiga kelompok intervensi terdapat perbedaan yang signifikan ketiga terapi terhadap intensitas nyeri pada pasien LBP (chi-square = 41,652; p = 0,000) dimana selisih mean score dan mean rank terapi panas-dingin (4,09; 64,50) lebih tinggi dari kedua kelompok terapi lainnya. Terapi panas menurunkan intensitas nyeri lebih bermakna pada pasien LBP dibandingkan terapi dingin, namun terapi panas-dingin lebih bermakna menurunkan intensitas nyeri pada pasien LBP dibandingkan terapi panas atau dingin. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan keperawatan untuk menjadikan terapi panas-dingin menjadi salah satu intervensi keperawatan mandiri dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien LBP.

Kata kunci : terapi panas, terapi dingin, terapi panas-dingin, intensitas nyeri,


(24)

Thesis Title : The influence of Hot, Cold, and Hot-Cold therapies on the Intensity of Pain in the Patients with Low Back Pain (LBP) in Dr. Pirngadi General Hospital Medan

Name : Chairanur Dara Phonna

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Low Back Pain (LBP) is pain, muscle tension or rigidity that is located below the costal margin and above the inferior gluteal folds, with or without leg pain (sciatica). LBP can be overcome pharmalogically and non-pharmalogically. The use of heat therapy and cold therapy is one of non-pharmalogical pain management modality therapies that can be used by nurses to cope with pain, especially the pain in the patients with LBP. The purpose of this quasi experimental study with pre and post test without control group design was to find out the influence of hot, cold, and hot-cold therapies on the intensity of pain in the LBP patients in the Neurology Polyclinic, Dr. Pirngadi General Hospital Medan. The respondents for this study were 99 patients selected through consecutive sampling technique. The result of Wilcoxon test showed that there was a significant difference of pain intensity before and after being given hot therapy (z


(25)

= -5.040; p = 0.0000), cold therapy (z = -5.074; p = 0.000), and hot - cold therapy (z = -0.5036; p = 0.000). The result of Kruscal Wallis test on the difference of the mean values of the three intervention groups showed that there was significant difference in the three therapies on pain intensity in the LBP patients (Chi-square = 41.652; p = 0.000) in wich the difference between mean score and mean rank of hot – cold therapy (4.09; 64.50) was higher than that og the other two therapy groups. Hot therapy significantly minimizes the intensity of pain in the LBP patients compared to cold therapy does, but hot-cold therapy minimizes the intensity of pain in the LBP patients more significantly compared to either hot therapy or cold therapy. The result of this study can be the input for nursing care service to make the hot-cold therapy as one of the independent nursing intervention in providing nursing care to the LBP patients.

Keywords : hot therapy, cold therapy, hot – cold therapy, pain intensity, low back pain.


(26)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nyeri adalah fenomena multifaktor (Bryant, 2007), merupakan sensasi yang tidak mengenakkan dan pengalaman emosional yang diasosiasikan dengan ada atau tidak adanya kerusakan jaringan (Gililland, 2008). Menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2010) nyeri lebih dari sebuah gejala, nyeri merupakan masalah yang memiliki prioritas tinggi, selain itu nyeri juga merupakan salah satu gejala yang membawa pasien mencari pertolongan kepada tenaga kesehatan (Rafianto, 2008).

Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah adalah salah satu alasan

paling umum seseorang mendatangi penyedia pelayanan kesehatan (Ignatavicius & Workman, 2010). LBP merupakan salah satu keluhan muskuloskeletal yang paling umum di jumpai, dimana banyak orang pernah mengalaminya di sepanjang kehidupan mereka (Walker, 2012). LBP adalah nyeri dan kekakuan pada punggung belakang bawah (The Sports Medicine Patient Advisor [SMPA], 2013), nyeri dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang kaki serta bagian samping luar kaki (Rafianto, 2008). International Association for The

Study of Pain (IASP dalam Yuliana, 2011) membagi LBP ke dalam tiga

kelompok yaitu LBP akut, LBP kronik dan LBP subakut.

LBP sangat biasa dialami oleh seseorang, diperkirakan lebih 90% orang pernah mengalami LBP pada suatu waktu dalam hidup mereka (Medical


(27)

Associates Clinic & Health Plans [MACHP], 2012). Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, dan Camera (2011) menyatakan bahwa 80 % orang dewasa di Amerika Serikat melaporkan pernah mengalami penyakit ini. Penyakit ini juga mempengaruhi lebih dari 70% populasi di negara-negara maju dan penyakit LBP menyumbang angka 13% dari absen sakit di Inggris (Speed, 2004), serta merupakan salah satu dari kebanyakan alasan orang untuk tidak masuk kerja (Phillips,Chi’en, Norwood, & Smith, 2003).

LBP telah menjadi masalah kesehatan utama di negara-negara industri (Quinn, Baxter, & Hughes, 2008). Penyakit ini merupakan masalah umum dan diperkirakan sepertiga dari populasi orang dewasa di United Kingdom menderita LBP setiap tahunnya (National Collaborating Centre for Primary Care [NCCPC], 2009). Jumlah kunjungan ke dokter akibat LBP merupakan yang kedua setelah penyakit saluran napas atas (Smeltzer, 2002), sementara Schoen (2004) menyatakan bahwa keluhan penyakit ini ini ternyata menempati urutan kedua tersering setelah nyeri kepala.

Keterbatasan yang diakibatkan oleh LBP pada seseorang sangat berat. Kerugian ekonomis, dalam hal ini hilangnya produktivitas, bisa mencapai milyaran dolar (Smeltzer, 2002). Zundert dan Kleef (2005) melaporkan biaya pengobatan yang dihabiskan pasien LBP di Belgia mencapai 20.1 juta euro setiap tahunnya atau setara dengan 321,6 milyar rupiah dengan kurs 1euro sama dengan 16 ribu rupiah, ini hanya biaya obat analgesik saja belum termasuk obat non analgesik yang biayanya bisa mencapai 34.7 juta euro atau 555,2 milyar rupiah.


(28)

LBP selalu menjadi perhatian pada saat ini, meskipun banyak teori, teknik dan treatmens telah dianjurkan, LBP tetap menjadi dilema besar bagi kalangan praktisi kesehatan karena LBP merupakan penyebab paling umum pembatasan aktivitas pada orang dibawah usia 45 tahun di negara Amerika Serikat berdasarkan data yang didapat dari National Centre For Health Statistic (Schoen, 2004). LBP dapat menjadi masalah yang berpotensi melemahkan yang memiliki dampak besar pada kualitas hidup, dan perawat memainkan peran kunci untuk menasehati pasien baik dalam pengelolaan kondisi penyakit maupun dalam pencegahan kekambuhan (Perry, 2013).

Data epidemiologi mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40% penduduk Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah menderita penyakit ini, prevalensi pada laki-laki 18,2% dan pada wanita 13,6%. Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17% (Sadeli & Tjahjono, 2001). Berdasarkan Medikal Record Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Pirngadi Medan, data kunjungan pasien di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan selama tahun 2013 menunjukkan jumlah kunjungan pasien LBP mencapai 930 orang terhitung dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2013.

Penanganan LBP dapat dilakukan dengan berbagai cara, menurut Airaksinen, Brox, Cedraschi, Hildebrandt, Klaber-Moffet, Kovacs, Mannion, Reis, Staal, Ursin dan Zanoli (2006) penatalaksanaan LBP dapat dilakukan dengan cara konservatif, farmakologis dan invasif. Gatlin dan Schulmeister (2007) menyatakan bahwa manajemen nyeri non farmakologis dapat digunakan untuk


(29)

mengatasi nyeri ketika pemakaian obat-obatan saja tidak cukup meredakan nyeri, selain itu Gatlin dan Schulmeister juga menjelaskan bahwa ketika pasien takut akan ketergantungan obat dan efek samping pengobatan maka manajemen nyeri non farmakologis dapat diterapkan untuk mengatasi nyeri seperti mengatur posisi yang nyaman, aplikasi panas dan dingin, terapi pijat dan lain sebagainya.

Terapi panas superfisial pada permukaan kulit telah digunakan selama beberapa dekade untuk mengurangi nyeri (Heinrichs, 2003). Nadler, Wilingand, dan Kruse (2004) menyatakan bahwa terapi dingin (cyrotherapy) dan terapi panas (thermotherapy) merupakan terapi yang biasa digunakan untuk menangani cedera muskuloskeletal.

Philips, et al., (2003) menyatakan bahwa manajemen LBP salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan kompres panas dan kompres dingin, selain itu, Rolanda (dalam Walker, 2012) juga menyatakan hal yang sama, bahwa penggunaan kompres panas dan dingin dapat diberikan untuk meredakan nyeri. Terapi panas atau terapi dingin adalah alat manajemen nyeri yang efektif, keduanya mudah didapat dan mudah untuk dilakukan (DeLaune & Ladner, 2011).

Kulisch, Bender, Nemeth, dan Szekeres (2009) menyatakan bahwa penggunaan air hangat dengan suhu 34 °C selama 20 menit dapat menurunkan tingkat nyeri pada pasien LBP. Sementara Masuda, Koga, Hattanmaru, Minagoe, dan Tei (2005) mengkombinasikan terapi panas/dingin secara berulang dengan

cognitive behavioral therapy (CBT), rehabilitasi dan exercise therapy dalam pananganan LBP.


(30)

Yuswanto, Soemantri dan Rahmawati (2008) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi keefektifan kompres hangat dalam menurunkan nyeri pada pada pasien LBP dengan 14 responden. Penelitian ini menemukan bahwa lebih dari setengah responden (57,14 %) mengalami nyeri di tingkat ringan dan tidak merasakan nyeri setelah dikompres hangat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi kompres hangat pada pasien LBP (t = 10,617, p = 0,000).

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Barry, Gill, Kerns dan Reid (2005) dari 272 responden didapatkan bahwa 28 % responden (69 orang) melaporkan menggunakan terapi panas atau dingin sebagai strategi yang efektif untuk mengurangi nyeri menempati urutan ketiga terbanyak setelah penggunaan obat analgesik (59 %, n = 146) dan pembatasan aktifitas/istirahat (38%, n = 94).

Garra, Singer, Leno, Taira, Gupta, Mathaikutty dan Thode (2010) melakukan penelitian yang bertujuan untuk membandingkan efektifitas analgesik dengan kompres panas dan efektifitas analgesik dengan kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri. Hasil penelitian diperoleh bahwa nilai p = 0,56 sebelum intervensi dan nilai p = 0, 75 setelah intervensi hal ini berarti bahwa kedua intervensi efektif dalam menurunkan nyeri namun diantara kedua kelompok intervensi tidak ditemukan perbedaan intervensi manakah yang paling efektif dalam menurunkan nyeri.

Penggunaan terapi panas atau terapi dingin untuk mengatasi nyeri pada pasien LBP telah ditemukan dalam beberapa penelitian terdahulu, dimana kedua terapi tersebut efektif menurunkan nyeri, akan tetapi kombinasi kedua terapi


(31)

secara bersamaan dalam mengatasi nyeri pada pasien LBP masih belum ditemukan atau didapatkan penelitian yang spesifik.

Terapi panas bekerja dengan cara meningkatkan aliran darah, melebarkan pembuluh darah, meningkatkan oksigen dan pengiriman nutrisi ke jaringan lokal, dan mengurangi kekakuan sendi dengan cara meningkatkan elastisitas otot (Gatlin & Sculmeister, 2007), meningkatkan metabolisme jaringan, nenurunkan

vasomotor tone, dan meningkatkan viskoelastisitas koneksi jaringan,

menjadikannya efektif untuk mengatasi kekakuan sendi dan nyeri (DeLaune & Ladner, 2011), sementara itu DeLaune dan Ladner menjelaskan bahwa terapi dingin bekerja dengan cara mengurangi aliran darah, meniadakan inflamasi, mengurangi spasme otot, menaikkan ambang batas nyeri sebagai mekanisme penurunan kecepatan konduksi saraf.

Terapi panas yang dilanjutkan dengan terapi dingin pada saat yang bersamaan yang selanjutnya disebut sebagai terapi panas-dingin diharapkan akan menurunkan nyeri pada pasien LBP lebih baik.

Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan upaya penelitian untuk melihat pengaruh terapi panas, terapi dingin dan terapi panas–dingin terhadap penanganan nyeri pada pasien LBP.

1.2. Permasalahan

Penatalaksanaan LBP dapat dilakukan dengan terapi panas dan terapi dingin. Terapi panas bekerja dengan cara meningkatkan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah peradangan dan penurunan viskositas darah. Aliran darah


(32)

sakit dan membersihkannya dari penyebab penyakit. Terapi dingin bekerja dengan cara menyebabkan vasokonstriksi pembuluh dara lokal dan meningkatkan viskositas darah. Aliran darah menurun dan metabolisme yang lebih lambat menumpulkan respon inflamasi, membatasi pembengkakan, mengurangi konsumsi oksigen, dan mengontrol perdarahan (Metules, 2007).

Terapi panas dan dingin merupakan salah satu terapi komplementer atau

complementary modality dalam teori holistic nursing (American Holistic Nurses Association [AHNA], 2014).

Terapi panas dan dingin dipilih sebagai terapi komplementer atau terapi pelengkap medis konvensional untuk mengatasi nyeri pada pasien LBP karena keduanya mudah didapat, tidak memerlukan biaya mahal atau murah serta mudah untuk dilakukan sendiri oleh pasien secara mandiri (DeLaune & Ladner, 2011).

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini apakah terapi panas, dingin, panas dan dingin mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri pada pasien LBP?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi panas, terapi dingin, terapi panas – dingin terhadap intensitas nyeri pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

1.3.2.Tujuan khusus

1. Mengindentifikasi intensitas nyeri sebelum terapi panas pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.


(33)

2. Mengindentifikasi intensitas nyeri sesudah terapi panas pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

3. Mengindentifikasi intensitas nyeri sebelum terapi dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

4. Mengindentifikasi intensitas nyeri sesudah terapi dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

5. Mengindentifikasi intensitas nyeri sebelum terapi panas - dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

6. Mengindentifikasi intensitas nyeri sesudah terapi panas - dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

7. Mengindentifikasi perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi panas pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. 8. Mengindentifikasi perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi

dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

9. Mengindentifikasi perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi panas - dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

10. Mengindentifikasi perbedaan intensitas nyeri pada kelompok intervensi terapi panas, terapi dingin dan terapi panas – dingin pada pasien LBP di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.


(34)

1.4. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

1.4.1.Terapi panas berpengaruh menurunkan intensitas nyeri pada pasien LBP. 1.4.2.Terapi dingin berpengaruh menurunkan intensitas nyeri pada pasien LBP. 1.4.3.Terapi panas - dingin berpengaruh menurunkan intensitas nyeri pada pasien

LBP.

1.4.4.Terapi panas - dingin lebih berpengaruh menurunkan intensitas nyeri pada pasien LBP dibandingkan dengan terapi panas atau dingin saja.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1.Bagi institusi pendidikan kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh institusi pendidikan kesehatan sebagai dasar dalam pengembangan praktek keilmuan di bidang kesehatan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data bagi penelitian lebih lanjut.

1.5.2.Bagi institusi pelayanan kesehatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi institusi pelayanan kesehatan untuk mengembangkan dan juga mengaplikasikan tehnik manajemen nyeri non farmakologis pada pasien LBP.

Hasil penelitian ini juga dapat menjadi rujukan dalam penggunaan tehnik manajemen nyeri non farmakologis pada pasien LBP.


(35)

1.5.3.Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini juga dapat meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi nyeri khususnya nyeri pada pasien LBP dimana untuk mengatasi nyeri yang mereka alami pasien LBP dapat mengaplikasikan tehnik ini saat mengalami serangan nyeri.


(36)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri 2.1.1.Pengertian

Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat sulit untuk didefenisikan karena nyeri adalah suatu pengalaman yang sangat subjektif dan sangat personal (Black & Hawks, 2009). Nyeri adalah sebuah sensasi subjektif sehingga tidak ada dua orang yang berespon dengan cara yang sama (Kozier, et al., 2010). McCaffery (1999 dalam Ignatavicius & Workman, 2009) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaanya diketahui hanya jika orang itu pernah mengalaminya.

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for The Study of Pain [IASP], dalam Lewis, et al., 2011).

2.1.2.Teori pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.


(37)

2.1.3.Proses Nyeri

Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus mendeteksi kerusakan jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi nyeri disebut nosiseptor (Kozier, et. al., 2010).

Proses yang berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi (Kozier, et al., 2010), dimana terdapat empat proses yang terlibat dalam nosisepsi yaitu:

1. Transduksi

Tranduksi adalah proses dimana stimulus berbahaya (cedera jaringan) memicu pelepasan mediator kimia (misal., prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin) yang mensensitasi nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga menyebabkan pergerakan ion-ion menembus membran sel, yang membangkitkan nosiseptor. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat produksi prostaglandin (misal., ibuprofen) atau dengan menurunkan ion-ion menembus membran sel (Paice, 2002 dalam Kozier, et al., 2010).

Menurut Lewis, et al., (2011) transduksi terjadi saat konversi stimulus mekanik, termal, atau kimia beracun menjadi sinyal listrik yang disebut potensial aksi. Stimulus berbahaya yang timbul saat adanya kerusakan jaringan, suhu (misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya, sayatan bedah) atau rangsangan kimia (misalnya, zat beracun), menyebabkan pelepasan berbagai bahan kimia ke dalam jaringan yang rusak. Bahan kimia lainnya dikeluarkan oleh sel mast


(38)

(misalnya, interleukin, dan tumor necrosis factor (TNF). Bahan kimia ini mengaktifkan nosiseptor, yang merupakan reseptor khusus atau ujung saraf bebas yang menanggapi stimulus menyakitkan hasil aktivasi nociceptors dalam potensial aksi yang dibawa dari nosiseptor ke sumsum tulang belakang terutama melalui saraf kecil dengan cepat, serat delta-A yang bermielin dan secara perlahan-lahan oleh serat C yang tidak bermielin.

2. Transmisi

Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan dari bagian perifer ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke otak. Dimana potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke spinal cord kemudian dari spinal cord diteruskan ke otak dan hipotalamus, kemudian dari hipotalamus diteruskan ke korteks untuk kemudian diproses (Lewis, et. al., 2011).

Proses ini meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier. et al.,

2010) yaitu:

a. Segmen pertama

Impuls nyeri berjalan dari serabut saraf tepi ke medulla spinalis. Zat P bertindak sebagai neurotransmitter yang meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron afferen primer ke neuron ordo ke dua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medula spinalis yaitu serabut C, yang mentranmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan serabut A delta yang mentranmisikan nyeri tajam dan lokal.


(39)

b. Segmen kedua

Segmen ini meliputi transmisi dari medula spinalis dan asendens melalui traktus spinotalamikus ke batang otak dan talamus.

c. Segmen ketiga

Melibatkan tranmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri.

3. Persepsi

Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri. Pada tahap ini individu akan berespon terhadap adanya nyeri dengan memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010).

Menurut Lewis, et al., (2011) persepsi terjadi ketika nyeri diakui, didefinisikan, dan ditanggapi oleh individu mengalami rasa sakit. Di otak, masukan nociceptive dirasakan sebagai nyeri. tidak ada satupun lokasi yang tepat di mana persepsi nyeri ini terjadi, sebaliknya, persepsi nyeri melibatkan beberapa struktur di otak.

4. Modulasi

Sering kali digambarkan sebagai sistem desendens, proses ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu dorsalis medula spinalis (Paice, 2002 dalam Kozier, et al., 2010). Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opioid endogen, serotonin dan norepinefrin yang dapat


(40)

neurotransmitter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Mc Caffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010).

2.1.4.Dimensi Nyeri

Multidimensionalitas nyeri terdiri atas: 1. Dimensi Fisiologis

Dimensi ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan genetik, anatomi dan fisik dari pengaruh nyeri serta bagaimana stimulasi yang menyakitkan itu di proses, diakui dan di jelaskan (Lewis, et al., 2011).

Menurut National Institute of Nursing Reseach [NINR] (dalam Sauls, 2002) Dimensi ini mencakup aspek struktural, fungsional, dan biokimia dari pengalaman rasa sakit serta berbagai perbedaan jenis nyeri yang termasuk dalam dimensi fisiologis. Persepsi dan transmisi rasa sakit dibawa oleh nosiseptor sepanjang jalur naik dan jalur turun saraf yang difasilitasi oleh mediator neurochemical merupakan komponen penting dari mekanisme fisiologis dari pengalaman nyeri.

Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles, et al., 1983; Davis, 2003 dalam Ardinata, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007).


(41)

2. Dimensi Afektif

Adalah suatu respon emosional terhadap nyeri seperti marah, takut, depresi dan cemas. Emosi yang negatif dapat mengurangi kualitas hidup. Hubungan negatif antara depresi dan nyeri dapat menyebabkan kerusakan fungsi (Lewis, et al., 2011).

Tekanan emosional dapat dianggap sebagai komponen atau bagian dari rasa sakit, mungkin juga konsekuensi atau penyebab serta bersamaan dengan fenomena yang termasuk emosi seperti rasa takut, depresi, kecemasan, kemarahan, relief, antisipasi, agresi, dan karakteristik kepribadian. Adanya tanda-tanda gangguan emosi memungkinkan seseorang mengenali adanya nyeri (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

Menurut Ardinata (2007) dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya.

3. Dimensi Sensori

Menurut NINR (dalam Sauls, 2002), dimensi sensorik nyeri mengacu ke lokasi, intensitas, dan kualitas. Ketika menilai lokasi, struktur anatomi dan lokasi ditengarai dapat membantu dalam menentukan etiologi nyeri. Intensitas ketegangan mengacu pada jumlah atau beratnya nyeri yang dialami dan dapat


(42)

menggunakan istilah-istilah seperti ringan, sedang, dan berat. Faktor-faktor seperti etiologi, toleransi, dan ambang nyeri dapat mempengaruhi intensitas nyeri. Kualitas adalah terkait dengan apa rasa sakit terasa seperti apa dan mungkin dipengaruhi oleh etiologi, menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat memiliki kualitas sensorik yang berbeda.

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Ahles, et al., (1983 dalam Ardinata, 2007) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal ( McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).


(43)

4. Dimensi Kognitif

Dimensi ini berkaitan dengan suatu kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam berespon terhadap pengaruh nyeri. Penggunaan strategi koping kognitif dan keyakinan saat bernegosiasi dengan nyeri (Lewis, et al., 2011).

Menurut NINR (1994 dalam Sauls, 2002) dimensi kognitif nyeri melibatkan persepsi individu tentang diri; makna penderitaan, pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang rasa sakit dan terapi nyeri; dan preferensi pribadi serta strategi penanggulangan. Dalam dimensi ini juga termasuk tingkat dan kualitas kognisi individu yang berkaitan dengan dirinya atau kemampuannya untuk mentoleransi nyeri. Individu dengan fungsi kognitif terbatas atau yang mengalami gangguan, seperti bayi, orang-orang dengan ketidakmampuan belajar, pasien dengan gannguan jiwa, atau orang-orang dengan demensia, mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan rasa sakit yang mereka alami.

Barkwell (2005dalam Ardinata, 2007) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri


(44)

5. Dimensi Perilaku

Dimensi ini berkaitan dengan suatu perilaku yang dapat diamati sebagai respon atau kontrol terhadap nyeri. Misalnya ekspresi wajah saat menahan nyeri seperti meringis atau mudah marah. Orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengkomunikasikan rasa nyerinya dapat mengalami perubahan perilaku seperti agitasi(Lewis, et al., 2011).

Dimensi perilaku mencakup aspek perilaku nyeri termasuk yang dapat diamati atau diperlihatkan oleh individu yang menunjukkan rasa sakit yang sedang dialami, atau tindakan / upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Perilaku seperti merintih, mengerang, wajah meringis, dan berjalan pincang mungkin merupakan indikator nyeri, sedangkan tindakan seperti berbaring, kegiatan yang tidak aktif, pijat, penggunaan obat-obatan, dan mencari perawatan kesehatan adalah menampilkan upaya untuk mengurangi rasa sakit Perilaku seperti tidur, istirahat, atau kelelahan yang terkait dengan fenomena nyeri juga sesuatu yang dapat diamati (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

Menurut Fordyce (dalam Ardinata, 2007) dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri. Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat.


(45)

6. Dimensi Sosiokultural

Dimensi sosiokultural adalah dimensi lainnnya yang mempengaruhi nyeri seperti faktor demografi, usia dan jenis kelamin. Keluarga dan care giver juga dapat mempengaruhi. Penggunaan obat-obatan dan strategi koping juga mempengaruhi terhadap tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang (Lewis, et al., 2011).

Persepsi individu dan tanggapan rasa sakit tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran anggota keluarga serta kemampuan mereka untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Daerah penting untuk menilai meliputi keluarga dan sosialnya, rumah dan lingkungan kerja, sikap dan keyakinan tentang rasa sakit. Tidak hanya variabel-variabel sosial budaya yang berkaitan dengan penderita tetapi juga variabel sosial budaya terkait dengan penyedia layanan akan mempengaruhi penilaian mereka dan manajemen dari pengalaman nyeri sebagai persepsi penderita dan penyedia layanan mungkin berbeda (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).


(46)

2.1.5.Tipe nyeri

Tipe nyeri dapat dikelompokkan berdasarkan waktu, tempat dan penyebabnya (Kozier et al., 2010)

1. Menurut waktu nyeri

Nyeri menurut waktu disini adalah lamanya nyeri yang dialami seseorang. a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang umumnya berlangsung dalam waktu singkat atau kurang dari enam bulan (Black & Hawks, 2009), memiliki awitan mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefinisikan nyeri akut adalah nyeri yang biasanya berlangsung singkat, terjadi secara tiba-tiba dan terlokalisasi dimana pasien umumnya dapat menjelaskan tentang nyeri yang dirasakan. Nyeri akut umumnya dapat diakibatkan oleh karena adanya trauma (seperti: fraktur, luka bakar, laserasi), luka akibat pembedahan, iskemia atau inflamasi akut.

b. Nyeri kronik

Nyeri yang berlangsung lama, biasanya bersifat kambuhan atau menetap selama enam bulan atau lebih dan mengganggu fungsi tubuh (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefenisikan nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung menetap atau nyeri yang berulang-ulang untuk periode yang tidak tentu, biasanya nyeri berlangsung lebih dari tiga bulan.


(47)

Selain itu, Ignatavicius & Workman (2010) juga membagi nyeri kronik kedalam dua jenis, yaitu:

1) Nyeri kronik kanker

Nyeri kronik kanker kebanyakan disebabkan oleh penyakit itu sendiri. Sumber nyeri kanker adalah kompresi pada saraf, pertumbuhan abnormal jaringan kanker, atau metastase tulang. Pengobatan kanker juga dapat menyebabkan terjadinya nyeri sperti tindakan pembedahan dan toksisitas dari terapi kemoterapi atau radioterapi.

2) Nyeri kronik non kanker

Nyeri kronik non kanker dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit kronik seperti low back pain, reumatoid artritis dan osteoporosis.

2. Menurut lokasi nyeri

Nyeri berdasarkan asal lokasi atau sumber nyeri dapat dibagi ke dalam: a. Nyeri kutaneus

Nyeri yang berasal di kulit atau jaringan subkutan. Teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar adalah sebuah contoh nyeri kutaneus (Kozier, et al., 2010).

Nyeri kutaneus dapat ditandai dengan onset mendadak dan tajam atau kualitas tetap atau dengan onset lambat dan kualitas seperti rasa terbakar, tergantung pada jenis serat saraf yang terlibat. Reseptor nyeri kutaneus berakhir tepat di bawah kulit dan karena konsentrasi tinggi dari ujung saraf, maka nyeri ini didefinisikan sebagai nyeri lokal dengan durasi pendek (Black & Hawks, 2009).


(48)

b. Nyeri somatic profunda

Nyeri yang berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf. Nyeri somatik profunda menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus. Keseleo pada pergelangan kaki adalah sebuah contoh nyeri somatic profunda (Kozier, et al., 2010).

Nyeri somatik merupakan hasil aktivasi nosiseptors (reseptor sensorik) sensitif terhadap rangsangan zat atau bahan berbahaya di cutaneus atau jaringan lebih dalam. Pengalaman nyeri terlokalisasi yang digambarkan sebagai rasa yang konstan, sakit dan menggerogoti (Gililland, 2008).

c. Nyeri viseral

Nyeri yang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks. Nyeri viseral cenderung menyebar dan seringkali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri viseral seringkali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot (Kozier et al., 2010)..

Nyeri viseral sangat sulit untuk dilokalisasi, dan beberapa cedera pada jaringan visceral terlihat seperti nyeri alih atau referred pain, di mana sensasi terlokalisir pada daerah yang tidak ada hubungannya dengan tempat terjadinya cedera (Black & Hawks, 2009).

Nyeri viseral adalah nyeri yang dimediasi oleh nosiseptor. Nyeri yang digambarkan sebagai nyeri yang mendalam, sakit dan kolik. Sulit untuk dilokalisasi dan sering dirasa pada daerah cutaneus, yang mungkin lembut (Gililland, 2008).


(49)

3. Menurut tempat nyeri di rasakan

Nyeri berdasarkan tempat nyeri di rasakan dapat dibagi ke dalam: a. Nyeri menjalar

Nyeri yang dirasakan di sumber nyeri dan meluas ke jaringan – jaringan di sekitarnya. Misalnya, nyeri jantung tidak hanya dapat dirasakan di dada tetapi juga dirasakan di bahu kiri dan turun ke lengan (Kozier, et al., 2010).

b. Nyeri alih

Nyeri alih adalah nyeri yang di rasakan di satu bagian tubuh yang cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya, nyeri yang berasal dari sebuah bagian visera abdomen dapat dirasakan di suatu area kulit yang jauh dari organ yang menyebabkan nyeri (Kozier, et al., 2010).

Nyeri alih adalah bentuk nyeri viseral dan dirasakan di daerah yang jauh dari tempat stimulus. Itu terjadi ketika serat saraf yang melayani area tubuh yang jauh dari tempat stimulus lewat di dekat stimulus. Sensasi nyeri alih mungkin intens, dan mungkin ada sedikit atau tidak ada rasa sakit pada titik stimulus berbahaya (Black & Hawks, 2009).

c. Nyeri tak tertahankan

Nyeri tak tertahankan adalah nyeri yang sangat sulit diredakan. Salah satu contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut (Kozier, et al., 2010). d. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau saraf pusat di masa kini atau masa lalu dan mungkin tidak mempunyai sebuah stimulus,


(50)

berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul dan nyeri tumpul yang berkepanjangan (Kozier, et al., 2010). Nyeri yang melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer (Gililland, 2008).

e. Nyeri bayangan

Nyeri bayangan adalah sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang telah hilang misal pada kaki yang telah di amputasi. Nyeri bayangan disebut juga dengan phantom pain (Kozier, et al., 2010).

Seseorang yang sudah menjalani amputasi bagian tubuh, dapat terus mengalami atau merasakan sensasi di bagian tubuh yang sudah diamputasi seolah-olah bagian tersebut masih ada atau melekat. Serabut saraf yang melayani bagian ini terus meluas ke bagian perifer, yang berakhir di lokasi sayatan (Black & Hawks, 2009).

f. Breakthrough pain

Breakthrough pain adalah nyeri yang datang tiba-tiba untuk jangka waktu yang singkat serta tidak dapat diatasi dengan manajemen nyeri yang normal oleh pasien. Hal ini sering terjadi pada pasien kanker yang sering memiliki tingkat latar belakang nyeri yang dikendalikan oleh obat-obatan (Black & Hawks, 2009).


(51)

2.1.6.Pengkajian nyeri

Pengkajian nyeri menurut Smeltzer (2002) dilakukan untuk memperoleh data yang akurat tentang nyeri yang meliputi:

1. Intensitas nyeri

Pengukuran intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala verbal dan skala perilaku (behavioral).

a. Intensitas nyeri dengan skala verbal.

Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala intensitas nyeri numerik (pain numerical rating scale atau PNRS), dimana 0 sama dengan tidak nyeri dan 10 sama dengan nyeri hebat yang dikembangkan oleh McCafferey & Beebe (1993).

Gambar 2.1. Pain Numerical Rating Scale (McCafferey & Beebe, 1993)

Keterangan:

b. Intensitas nyeri dengan skala perilaku

Pengukuran nyeri juga dapat dilakukan dengan menggunakan skala

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0


(52)

diantara 0, yang menyatakan tidak ada perilaku nyeri, hingga 10 yang menyatakan adanya perilaku nyeri yang berat (Scott & McDonald, 2007).

Tabel. 2.1 Behavioral Pain Assesment Scale (Campbell, 2000 dalam Scott & McDonald, 2007)

Wajah 0

Otot wajah rileks 1 Otot wajah tegang, mengerut, mimic wajah kesakitan 2 Sering ke selalau mengerutkan wajah, dagu mengepal

Face score:

Restlessness 0

Diam, tampilan rileks, pergerakan normal 1 Kadang-kadang gerakan gelisah, posisi tegang 2 Sering memperlihatkan gerakan kegelisahan Restlessness score:

Tonus Otot 0

Tonus otot normal

1 Tonus meningkat, fleksi jari dan tumit

2 Tonus kaku

Muscle tone score:

Vocalisasi 0

Tidak ada suara abnormal 1 Kadang-kadang berguman, menangis, atau menggerutu 2 Sering berguman, menangis dan menggerutu Vocalisation score: Consolability (Kenyamanan) 0 rileks 1 Nyaman bila disentuh, distractible 2

Sulit untuk merasa nyaman baik dengan sentuhan atau perbincangan

Consolability score:


(53)

2. Karakteristik nyeri

Meliputi letak atau lokasi dimana nyeri dirasakan, durasi atau waktu nyeri berlangsung (menit, jam, hari, bulan dan sebagainya), irama (misal terus menerus, hilang timbul) dan kualitas nyeri (misal nyeri seperti ditusuk, seperti terbakar, sakit, nyeri seperti digencet.

3. Faktor-faktor yang meredakan nyeri

Meliputi gerakan, istirahat, obat-obatan dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.

4. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

Meliputi efek nyeri terhadap tidur, napsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitas-aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.

5. Kekahawatiran individu tentang nyeri

Meliputi berbagai masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

2.1.7.Manajemen nyeri 1. Farmakologi

Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau obat penghilang rasa sakit (Blacks & Hawks, 2009).


(54)

Penatalaksanaan farmakalogi adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam:

a. Analgesik opioid (narkotik)

Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein. Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan (Kozier, et al., 2010).

Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).

b. Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid (non steroid antiinflamation drugs/NSAID)

Non opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik, sementara asetaminofen hanya memiliki efek analgesik dan antipiretik. Obat-obatan ini meredakan nyeri dengan bekerja pada ujung saraf tepi di tempat cedera dan menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010).

Non opioid dan NSAID memiliki peran yang berguna dalam manajemen nyeri, khususnya pada kondisi-kondisi gangguan muskuloskletetal. Obat-obatan


(55)

yang biasanya digunakan diantaranya adalah ibuprofen, naproxen dan diclofenac (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).

c. Analgesik penyerta

Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk penggunaan analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala nyeri akut, selain kerja utamanya. Misalnya, sedatif ringan atau penenang dapat membantu mengurangi ansietas, stres dan ketegangan sehingga pasien dapat tidur dengan baik di malam hari. Antidepresan digunakan untuk mengatasi gangguan depresi atau gangguan alam perasaan yang mendasari tetapi dapat juga meningkatkan strategi nyeri yang lain. Antikonvulsan, biasanya diresepkan untuk mengatasi kejang, dapat berguna dalam mengendalikan neuropati yang menyakitkan (Kozier, et al., 2010).

2. Non farmakologi

Blacks dan Hawks (2009) penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat dilakukan dengan cara terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin, TENS, akupunktur dan akupresur) serta kognitif dan

biobehavioral terapi (meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis, humor dan magnet).


(56)

Menurut Kozier, et al., (2010) menyatakan bahwa nyeri dapat juga diatasi dengan beberapa cara diantaranya adalah:

a. Intervensi fisik

Intervensi fisik bertujuan menyediakan kenyamanan, mengubah respon fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang berhubungan dengan imobilitas akibat rasa nyeri atau keterbatasan aktivitas (Kozier, et al., 2010) . Intervensi fisik mencakup stimulasi kutaneus, imobilisasi, stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) dan akupunktur.

1) Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus atau counterstimulation merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi tekhnik yang dipercaya dapat mengaktivasi opioid endogeneous dan sistem analgesia monoamnie. Stimulasi kutaneus efektif dengan cara menurunkan pembengkakan, menurunkan kekakuan dan meningkatkan serabut saraf berdiameter besar untuk menghambat serabut saraf berdiameter kecil sebagai penyampai atau reseptor nyeri dengan menggunakan terapi dingin, terapi panas, tekanan, getaran atau pijatan (DeLaune & Ladner, 2011).

Stimulasi kutaneus dapat memberikan peredaan nyeri sementara yang efektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian pada stimulus taktil, mengalihkan dari sensasi menyakitkan sehingga mengurangi persepsi nyeri. Selain itu, stimulasi kutaneus juga dipercaya dapat menghasilkan pelepasan endorfin yang menghambat transmisi stimulus nyeri serta menstimulasi


(57)

serabut saraf sensorik A-beta berdiameter besar, sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang lebih kecil (Kozier, et al., 2010). Tekhnik stimulasi kutaneus terdiri dari:

a) Pijat

Secara naluri, manusia merespon sakit dan nyeri dengan menggosok-gosok area tersebut. Terapi pijat mengembangkan reaksi ini menjadi cara untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).

Pijat dapat dilakukan secara sistematis dengan tekhnik manipulasi manual, seperti menggosok, meremas, atau memutar jaringan lunak (misalnya, otot, ligamen tendon, dan fascia). Pijat meningkatkan jangkauan gerak pasien, mengurangi ambang nyeri, melemaskan otot-otot, dan meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik. Pijat juga memiliki efek biokimia, yaitu meningkatkan kadar dopamin dan limfosit serta memproduksi sel pembunuh secara alami (Corbin, 2005; Calenda, 2006 dalam Gatlin & Schulmeister, 2007).

Pijat adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot dan dapat meringankan ansietas karena kontak kontak fisik yang menyampaikan perhatian. Pijat juga dapat menurunkan intensitas nyeri dengan meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri (Kozier,

et.al., 2010), serta menghilangkan stress (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). b) Aplikasi panas atau dingin

Aplikasi panas dan dingin dapat dilakukan dengan mandi air hangat, bantalan panas, kantung es, pijat es, kompres panas atau dingin dan mandi rendam


(58)

hangat atau dingin. Aplikasi ini secara umum meredakan nyeri dan meningkatkan penyembuhan jaringan yang luka (Kozier, et al., 2010).

Aplikasi panas atau dingin ke daerah yang menyakitkan bisa membantu mengurangi rasa sakit. Aplikasi ini bekerja mengatasi nyeri dengan cara mengurangi kepekaan atau sensitivitas terhadap rasa sakit (University of Missouri, 2001).

Aplikasi panas atau dingin disebut juga dengan terapi panas atau terapi dingin, adalah alat manajemen nyeri yang efektif, keduanya mudah didapat dan mudah untuk dilakukan. Panas dan dingin, keduanya dapat menghasilkan analgesia bagi nyeri. Terapi panas meningkatkan aliran darah, meningkatkan metabolisme jaringan, nenurunkan vasomotor tone, dan meningkatkan viskoelastisitas koneksi jaringan, menjadikannya efektif untuk mengatasi kekakuan sendi dan nyeri. Penggunaan panas sebagai terapi membutuhkan monitoring khusus, karena dapat menyebabkan terjadinya peningkatan inflamasi dan pembengkakan atau edema (DeLaune & Ladner, 2011).

Gatlin dan Schulmeister (2007) menjelaskan bahwa terapi panas bekerja dengan cara meningkatkan aliran darah ke kulit, melebarkan pembuluh darah, meningkatkan oksigen dan pengiriman nutrisi ke jaringan lokal, dan mengurangi kekakuan sendi dengan cara meningkatkan elastisitas otot.

Terapi dingin memiliki banyak keuntungan diantaranya menghilangkan edema dengan cara mengurangi aliran darah, meniadakan inflamasi, mengurangi demam, mengurangi spasme otot, menaikkan ambang batas nyeri sebagai mekanisme penurunan kecepatan konduksi saraf (DeLaune & Ladner, 2011).


(59)

c) Akupresur dan akupunktur

Akupresur adalah tekhnik penyembuhan bangsa Cina kuno yang didasarkan pada prinsip pengobatan tradisonal Asia. Cara kerjanya mirip akupunktur dan sering disebut akupunktur tanpa jarum (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Terapis menekankan jari pada titik-titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan dalam akupunktur (Kozier, et al., 2010). Rangsangan pada titik akupoin dipercaya akan membuka sumbatan di meridian dan memperbaiki aliran energi, menghilangkan nyeri, dan penyakit (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).

Sementara itu, Akupunktur adalah suatu tindakan penusukan jarum-jarum kecil ke titik akupoin (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Akupunktur merupakan intervensi kompleks yang mungkin berbeda untuk tiap-tiap pasien yang berbeda dengan keluhan utama yang sama, lama perawatan dan titik-titik akupunktur yang digunakan dapat bervariasi antara individu-individu selama pengobatan (NIH, 1997).

Cara kerja akupunktur mencakup dua teori, yang pertama adalah teori gerbang yaitu adanya mekanisme refleks pada jalur saraf yang dapat menutup rasa sakit, hal ini mengurangi rasa sakit yang dialami seseorang. Yang kedua yaitu teori endorfin, endorfin mempunyai efek pembunuh nyeri yang mirip obat, akupunktur menyebabkan endorfin dilepaskan tubuh, berjalan ke otak dan di otak endorfin memblokir nyeri, jadi akupunktur mampu menimbulkan relaksasi dan perasaan sehat (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).


(60)

yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pada sendi lutut (n = 570). Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri yang signifikan pada responden sesudah menjalani terapi akupunktur selama 26 minggu dengan perbedaan mean – 2,5 (p = 0.001).

d) Stimulasi kolateral

Stimulasi kolateral dapat dicapai dengan menstimulasi kulit diarea yang berlawanan dengan area yang sakit (misal; menstimulasi lutut kiri jika nyeri berada di lutut kanan). Area kolateral dapat digaruk karena gatal, dimasase karena kram, atau diberi kompres dingin atau salep analgesik. Metode ini terutama berguna jika area yang menyakitkan tidak dapat disentuh karena hipersensitif, tidak dapat diakses karena terpasang gips atau perban, atau jika nyeri dirasakan di bagian tubuh yang telah tidak ada atau nyeri bayangan (Kozier, et al., 2010). 2) Imobilisasi

Mengimobiliasi atau membatasi pergerakan bagian tubuh yang menyakitkan misal pada artritis sendi, trauma ekstremitas dapat membantu mengatasi episode nyeri akut. Bebat atau alat penyangga harus menahan sendi pada posisi fungsi yang optimum dan harus digerakkan secara teratur sesuai dengan protokol (Kozier, et al., 2010).

Malanga & Nadler (1999) menjelaskan bahwa bed rest atau istirahat dalam pengobatan LBP masih kontroversial. Walaupun mungkin ada beberapa efek yang menguntungkan melalui modulasi nyeri dan penurunan tekanan intradiskal ketika pasien istirahat di tempat tidur, bed rest ternyata juga memiliki banyak efek merugikan pada tulang, jaringan ikat, otot dan kebugaran kardiovaskular.


(61)

Pendekatan proaktif menekankan lebih baik memodifikasi aktivitas daripada istirahat di tempat tidur dan imobilisasi. untuk gejala penyakit LBP istirahat di tempat tidur yang terbatas dalam hubungannya dengan berdiri dan berjalan. Selain itu pasien harus dididik untuk menghindari posisi yang meningkatkan tekanan pada intradiskal , seperti duduk, membungkuk dan mengangkat. dalam sebuah penelitian, 2 hari istirahat di tempat tidur dapat disarankan untuk pasien dengan LBP.

3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)

TENS adalah sebuah metode pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah secara langsung ke area nyeri yang telah teridentifikasi, ke titik akupresur, di sepanjang kolumna spinalis. Stimulasi kutaneus dari unit TENS diperkirakan mengkativasi serabut saraf berdiameter besar yang mengatur impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat sehingga menghasilkan penurunan nyeri (Kozier, et al., 2010).

Menurut Queensland Spinal Cord Injuries Service atau QSCIS (2013) TENS tidak mengobati penyebab rasa sakit tetapi bekerja pada persepsi atau sensasi rasa sakit. TENS bekerja melalui dua cara yaitu memblokir sinyal nyeri impuls listrik sebelum mereka melakukan perjalanan ke otak dan memicu pelepasan penghilang rasa sakit dari dalam tubuh sendiri yaitu zat kimia yang disebut endorfin.

4) Intervensi pikiran-perilaku (kognitif-perilaku)


(62)

antara metode farmakologi dan non farmakologi (Zwakhalen, et al., 2006 dalam DeLaune & Ladner, 2011). CBI didesain untuk mengajarkan klien dan memodifikasi sikap dan perilaku klien. Ada banyak pendekatan nonfarmakologi yang menjadi bagian penting dari manajemen nyeri serta dapat digunakan bersamaaan dengan pemakaian analgesik yang tepat. Tujuan dari intervensi ini adalah menolong klien agar dapat mengontrol secara keseluruhan nyeri yang dirasakannya (DeLaune & Ladner, 2011).

Beberapa jenis CBI adalah: a) Distraksi

Distraksi adalah suatu strategi manajemen nyeri dimana perhatian pasien dialihkan dari rasa nyeri ke sesuatu hal yang lain (DeLaune & Ladner, 2011).

Distraksi diduga dapat menurunkan nyeri, menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Kozier, et al., (2010) membagi tipe distraksi kedalam empat kelompok, yaitu:

i. Distraksi Visual adalah tekhnik pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara menonton televisi, membaca majalah/koran/buku cerita atau imajinasi terbimbing.

ii. Distraksi Auditor adalah tekhnik pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara mendengarkan musik atau dengan humor.


(63)

iii. Distraksi taktil adalah tekhnik pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara melakukan latihan pernapasan lambat dan berirama, pijat dan mengelus atau memegang binatang peliharaan atau mainan.

iv. Distraksi intelektual adalah pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara mengisi teka-teki silang, bermain kartu atau melakukan hobi seperti mengoleksi prangko dan menulis sebuah cerita.

b) Reframing

Reframing adalah suatu tekhnik yang dapat diajarkan pada klien untuk

memonitor pikiran negatif mereka dengan menggantinya menjadi pikiran yang positif. Mengajarkan klien cara memaknai atau memahami suatu rasa nyeri (DeLaune & Ladner, 2011).

Kenangan atau pikiran yang menyakitkan dapat meningkatkan stres, dan rasa sakit menjadi lebih buruk. Reframing, mengganti pikiran yang negatif menjadi pikiran yang positif dapat mengurangi stres serta dapat menimbulkan rasa nyaman dan rileks (Marie, 2013).

c) Tekhnik relaksasi

Tekhnik relaksasi adalah sebuah metode yang digunakan untuk menurunkan cemas dan tekanan otot. Meliputi imagery dan progresive muscle relaxation

(DeLaune & Ladner, 2011).

Astin, Shapiro, Eisenberg, & Forys (2003) menagatakan bahwa relaksasi mengajarkan pasien bagaimana untuk fokus pada gambar yang menenangkan, menghilangkan ketegangan dan melepaskan otot-otot, serta latihan napas dalam.


(64)

dalam mengobati penyakit kronis serta tiga studi relaksasi efektif dalam mengobati nyeri akut (Reed, Montgomery & DuHamel,2001).

d) Biofeedback

Biofeedback adalah suatu proses dimana individu belajar untuk memahami

serta memberi pengaruh respon fisiologis atas diri mereka terhadap nyeri (DeLaune & Ladner, 2011).

Biofeedback adalah penatalaksanaan yang memberikan informasi tentang bagaimana proses fisiologis dalam tubuh dapat terpengaruh secara negatif oleh rasa sakit kronis. Biofeedback kemudian membantu pasien dalam belajar bagaimana meningkatkan kontrol atas proses ini dan memperkuat kemampuan untuk mempertahankan kontrol ketika terlibat dalam kegiatan sehari-hari. Ini hanya satu alat untuk meningkatkan kontrol atas kehidupan dan nyeri (Mayo Clinic, 2006)

e) Latihan fisik

Latihan merupakan penatalaksanaan penting terhadap nyeri kronik karena dapat menguatkan otot-otot yang lemah, membantu mobilisasi sendi serta membantu koordinasi dan keseimbangan (DeLaune & Ladner, 2011).

Latihan fisik mengajarkan pasien bagaimana mekanika tubuh yang tepat, teknik mengangkat atau postur tubuh yang tepat. Dalam program ini, pasien berpartisipasi dalam latihan rentang gerak pada pagi hari untuk membantu mereka menjadi lebih lentur dan mempersiapkan tubuh untuk menjalani hari. Latihan dirancang untuk membantu mengurangi rasa nyeri (Mayo Clinic, 2006).


(65)

f) Nutrisi

Pengaturan diet dapat mengatasi nyeri dengan cara menghambat proses biokimia pada proses inflamasi (DeLaune & Ladner, 2011).

Olendzki, Silverstein, Persuitte, Ma, Baldwin dan Cave (2014) melakukan penelitian tentang penggunaan diet anti inflamasi pada penatalaksanaan penyakit inflamasi saluran cerna bagian bawah (n = 40), didapatkan bahwa 24 orang responden (60%) setelah mengikuti IBD-AID (The Anti-Inflammatory Diet for Inflammatory Bowel Disease (IBD-AID) yaitu suatu regimen nutrisi atau diet untuk penyakit inflamasi saluran cerna bagian bawah selama 4 minggu atau lebih mendapatkan hasil bahwa semua (100%) responden mampu menghentikan setidaknya satu obat IBD mereka sebelumnya, dan semua responden memiliki pengurangan gejala termasuk frekuensi buang air besar (BAB).

g) Herbal

Herba telah lama digunakan untuk mengatasi nyeri (DeLaune & Ladner, 2011). Herba adalah tanaman yang dinilai bermanfaat karena sifat obat, rasa, dan aromanya (Kozier, et al., 2010)

Menurut Dinh, Phan, & Ruan (2011) menyatakan bahwa penghambatan enzim COX-2 oleh senyawa sintetik adalah suatu pendekatan yang menjanjikan untuk mengurangi peradangan dan nyeri. Obat herbal adalah sumber besar biomolekul di alam yang belum ditemukan dan diketahui yang dapat memberikan jalur alternatif untuk bantuan pengobatan terhadap penyakit.


(66)

h) Lingkungan

Lingkungan dapat mempengaruhi persepsi sesorang terhadap nyeri. Memodifikasi lingkunngan dapat mengurangi nyeri (DeLaune & Ladner, 2011). 3. Terapi invasif

Terapi invasif adalah suatu tindakan atau terapi untuk menghilangkan nyeri yang sifatnya permanen, dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir, secara umum tindakan ini dilakukan untuk mengatasi nyeri yang tidak terkendali (Kozier, et al., 2010). Menurut University Hospital and Manhattan Campus

(2011) terapi invasif terdiri atas: a. Stimulasi saraf invasif

Stimulasi saraf invasif dapat memberikan bantuan nyeri untuk beberapa pasien yang tidak menanggapi terapi lain. Dalam teknik ini, elektroda ditanamkan dalam tubuh pasien untuk mengirim arus listrik lembut ke saraf di tulang belakang atau otak. Stimulasi saraf tulang belakang telah digunakan untuk nyeri punggung kronis dan / atau sakit pada daerah kaki setelah operasi lumbal, nyeri akibat kerusakan saraf (kompleks sindrom nyeri regional dan postherpetic neuralgia). Kekurangan dari terapi ini adalah biaya yang tinggi dan risiko pengobatan invasif seperti infeksi.

b. Tindakan pembedahan (operasi)

Operasi untuk mengobati rasa sakit bukanlah tindakan untuk mengobatai penyakit yang mendasar, hanya dilakukan pada kasus di mana pendekatan atau penatalaksanaan yang lebih konservatif telah gagal dilakukan. Tindakan ini


(67)

membutuhkan ahli bedah saraf yang terlatih dan ketersediaan unit perawatan tindak lanjut.

Seorang ahli bedah dapat memotong saraf yang berada dekat dengan sumsum tulang belakang (rhizotomy) atau bundel saraf di sumsum tulang belakang (cordotomy) untuk mengganggu jalur yang mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak. Hasil terbaiknya adalah tindakan operasi mampu mengurangi rasa sakit dan menghilangkan kebutuhan untuk sebagian atau seluruh obat penghilang rasa nyeri. Namun, operasi membawa risiko, dianataranya adalah menghentikan rasa sakit hanya sebentar, menciptakan rasa sakit baru dari kerusakan saraf di lokasi operasi, membatasi kemampuan pasien untuk merasakan tekanan dan temperatur di wilayah ini serta dapat menempatkan pasien beresiko untuk mengalami cedera.

2.2. Konsep Low Back Pain

2.2.1.Pengertian low back pain

Tao dan Bernacki (2005) mendefinisikan LBP sebagai nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang terletak di bawah batas kosta dan di atas lipatan glutealis inferior, dengan atau tanpa sakit kaki (sciatica). Menurut SPMA (2012) LBP adalah nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor), disertai adanya kekakuan pada bagian bawah punggung.


(68)

2.2.2.Jenis - jenis low back pain

Menurut IASP (dalam Yuliana, 2011), yang termasuk dalam LBP adalah:

1. Lumbar spinal pain

Adalah nyeri di daerah yang dibatasi: superior oleh garis trasversal imajiner yang melalui ujung prosesus spinosus dari vertebra thorakalis terakhir, inferior oleh garis trasversal imajiner yang melalui ujung prosesus soinosus dari vertebra sakralis pertama dan lateral oleh garis vertikal tangensial terhadap batas lateral spina lumbalis.

2. Sacral spinal pain

Adalah nyeri di daerah yang dibatasi superior oleh garis trasversal imajiner yang melalui ujung prosesus spinosus vertebra sakralis pertama, inferior oleh garis trasversal imajiner yang melalui sendi sakrokoksigeal posterior dan lateral oleh garis imajiner melalui spina iliaka superior posterior dan inferior.

3. Lumbosacral pain

Adalah nyeri di daerah sepertiga bawah daerah lumbar spinal pain dan sepertiga diatas daerah sacral spinal pain.

2.2.3.Klasifikasi low back pain

LBP terbagi ke dalam dua bentuk berdasarkan lamanya nyeri yang dirasakan oleh pasien:

1. Low back pain akut

LBP akut adalah nyeri yang dirasakan kurang dari atau selama empat minggu. Low back pain akut biasanya diasosiasikan dengan beberapa aktivitas yang disebabkan stress yang tidak biasa pada jaringan punggung bawah. Gejala


(69)

seringkali tidak terlihat saat terjadinya trauma namun berkembang belakangan karena terjadinya peningkatan tekanan secara berangsur-angsur pada saraf oleh karena adanya dislokasi intervertebta (Lewis, et al., 2011). Menurut Davies (2008) LBP akut adalah nyeri punggung yang berlangsung kurang dari enam minggu dimana 90% dari penderita bebas dari masalah ini.

2. Low back pain kronik

LBP kronik adalah nyeri yang dirasakan kurang lebih tiga bulan atau pada periode berulang. Ketidaknyamanan meningkat ketika jeda saat beraktivitas, terutama sekali saat bangkit atau bangun setelah duduk dalam waktu yang lama (Lewis, et al., 2011). LBP dapat menjadi kronik jika gejala yang dirasakan lebih dari tiga bulan dan menetap hingga dua belas bulan atu lebih (Davies, 2008).

Selain itu, IASP (dalam Yuliana, 2011) membagi LBP ke dalam LBP akut adalah nyeri yang telah dirasakan kurang dari tiga bulan, LBP kronik adalah nyeri yang telah dirasakan sekurang-kurangnya tiga bulan dan LBP subakut adalah nyeri yang telah dirasakan minimal lima sampai tujuh minggu, tetapi tidak lebih dari dua belas minggu.

2.2.4.Penyebab low back pain

LBP dapat disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini diantaranya adalah:

1. Strain otot

Strain atau spasme otot adalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan, atau stress yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan ke dalam jaringan. Pasien


(70)

mengalami rasa sakit atau nyeri mendadak dengan nyeri tekan lokal pada pemakaian otot dan kontraksi isometrik (Smeltzer, 2002).

Strain umumnya disebabkan karena adanya penegangan pada ligamen atau

otot pada tulang belakang, Vertebra adalah tulang yang membentuk tulang belakang di mana tulang belakang lewat. Ketika otot-otot ini atau ligamen menjadi lemah, tulang belakang kehilangan stabilitas, mengakibatkan rasa sakit. Karena saraf mencapai semua bagian tubuh dari sumsum tulang belakang, masalah punggung dapat menyebabkan nyeri atau kelemahan di hampir setiap bagian dari tubuh (Cooper, 2003).

Menurut Safety Matter @ Work (2008), Strain atau spasme otot pada tulang belakang disebabkan karena area ini rentan terhadap regangan dikarenakan fungsinya menahan beban dan keterlibatannya dalam bergerak, memutar, dan menekuk. Ketegangan pada otot lumbal terjadi ketika otot bergerak secara abnormal karena diregangkan atau terjadi robekan.

2. Sprain ligamen

Sprain ligamen adalah cedera struktur ligamen disekitar sendi, akibat

gerakan menjepit atau memutar. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas namun masih memungkinkan mobilitas. Ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema; sendi terasa nyeri tekan dan gerakan sendi terasa sangat nyeri (Smeltzer, 2002).

Sprain pada ligamen lumbal disebabkan ketika ligamen dan tulang serta jaringan yang mengikat mengalami ketegangan atau keseleo mengakibatkan jaringan lunak disekitar daerah tersebut mengalami inflamasi. Inflamasi ini


(71)

menimbulkan rasa sakit sehingga dapat menyebabkan terjadinya kejang otot (Safety Matter @ Work, 2008).

3. Degenerasi disc

Degenerasi disc adalah kelainan sendi akibat proses degeneratif.

Osteoporosis salah satunya (Black & Hawks, 2009). Osteoporosis adalah kelaianan dimana terjadi penurunan masa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resopsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, mengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stress yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis. Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet (Smeltzer, 2002).

Herniasi disc, kebanyakan terjadi pada disc ke dua dari bawah dari tulang belakang lumbal, dan tepat di bawah pinggang. Sebuah lumbal hernia disc dapat menekan ujung saraf di tulang belakang dan dapat menyebabkan rasa sakit, mati rasa, kesemutan atau kelemahan dari kaki yang disebut sciatica (North American Spine Society Public Education Series[NASSPES], 2009).

4. Herniasi nukleus pulsosus (HNP) lumbal atau lumbosakral

HNP adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh penonjolan nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus (cincin fibrosa di sekitar diskus), yang disertai dengan kompresi dari akar-akar saraf (Lewis, et al., 2011).


(72)

HNP merupakan suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik di

kolumna vertebralis pada diskus intervertebralis/diskogenik. HNP terbagi atas sentral dan lateral, HNP lateral bermanifestasi pada rasa nyeri yang terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah antara bokong dan betis, belakang tumit dan telapak kaki (Muttaqin, 2008).

5. Spondhylosis

Spondhylosis adalah suatu kerusakan pada salah satu tulang vertebra

biasanya pada daerah lumbal (Ignatavicius & Workman, 2010). Spondilosis adalah kerusakan strukstur akibat mikkro trauma yang berulang-ulang yang menyebabkan lengkungan tulang vertebra slip ke depan. Vertebra lumbal ke lima merupakan yang paling sering terkena (Black & Hawks, 2009).

Spondilosis adalah fraktur stres melalui pars interarticularis yang bisa terjadi karena kongenital atau didapat setelah terjadinya gerakan fleksi-ekstensi-rotasi yang berulang-ulang pada daerah tersebut. Wilayah lumbosakral sangat rentan terhadap stres mekanik karena tulang belakang pada daerah ini terus bergerak sedangkan tulang panggul berada pada keadaan tetap di wilayah ini, karena itu lesi yang paling umum terjadi disini. Nyeri sering terlokalisasi, memburuk saat melakukan posisi ekstensi dan rotasi, dan nyeri semakin memberat pada malam hari (Speed, 2004).

6. Spondilolithesis

Spondilolithesis terjadi ketika ada fraktur bilateral pada pars

interarticularis, terjadi pemindahan tulang vertebra dan tulang vertebra slip masuk ke tulang vertebra dibawahnya. Jika terjadi perpindahan tempat tulang


(1)

Analisa Multivariat

Npar Test

Kruscal Wallis Test

Ranks

terapi N Mean Rank

selisih_respon_nyeri terapi panas 33 61.47

terapi dingin 33 24.03

terapi panas dingin 33 64.50

Total 99

Test Statisticsa,b

selisih_respon_nyeri

Chi-Square 41.652

df 2

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: terapi


(2)

LAMPIRAN 3

IZIN PENELITIAN

140


(3)

(4)

(5)

(6)