Bangsa Eropa di Nusantara
173
Kehadiran berbagai bangsa di Kepulauan Indonesia pada awalnya merupakan bagian dari kegiatan perdagangan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan setara, antara
pedagang dan pembeli. Namun, keadaan perlahan-lahan mulai berubah. Tingginya persaingan pedagangan antarnegara menyebabkan mereka berusaha menguasai sumber-
sumber rempah-rempah. VOC pada tahun 1610 membentuk jabatan Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Maluku. Kedudukan Gubernur Jenderal di Maluku dan pos utama
lainnya di Banten kemudian dipindahkan ke Batavia pada tahun 1619 . VOC di Batavia dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen yang bersemboyan tidak ada perdagangan tanpa
perang dan juga tidak ada perang tanpa perdagangan. Untuk mempertahankan monopoli di Kepulauan Maluku, VOC melakukan intervensi militer ke berbagai daerah yang
menimbulkan banyak korban, baik penduduk setempat maupun para pedagang lain.
Sementara itu, Inggris juga melakukan hal yang sama di bagian lain Kepulauan Indonesia. Mereka mendirikan pos-pos perdagangan di kepulauan Maluku, membangun
kekuatan lain di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Jawa, seperti Sukadana, Makassar,
Gambar 6.37 Lukisan Belanda m endarat di Banten
Sumber: Depdiknas, 2005
Gambar 6.38 Logo VOC dan Janpieterzoon Coen Sumber
: www.geocities.com
174
Aceh, Jayakarta, dan Jepara antara tahun 1611 dan 1617. Akibatnya, kompetisi dan konflik menjadi makin jelas yang selalu menempatkan kerajaan dan masyarakat
setempat sebagai korban.
Di antara para pedang, VOC paling lancar melakukan perluasan kekuasaannya. Mereka memanfaatkan kompetisi dan konflik antarkerajaan-kerajaan lokal serta
konflik internal di dalam kerajaan-kerajaan lokal. Misalnya, Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung ingin memperluas daerah kekuasaannya di Pulau
Jawa dengan cara menyerang daerah-daerah sekitarnya. Kerajaan atau masyarakat yang menjadi korban tindakan Sultan Agung ini meminta bantuan VOC dengan
berbagai imbalan yang tentu saja menguntungkan VOC. Ketika terjadi konflik di dalam Kerajaan Mataram yang menyebabkan Mataram terbagi menjadi Kasunanan
Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran, VOC pun terlibat. Contoh lain ialah konflik antara Sultan Ageng dengan putra mahkotanya. VOC
campur tangan. Akibatnya, bukan hanya Banten di bawah kekuasaan VOC, tetapi juga Jayakarta.
VOC pada tahun 1700 telah menguasai sebagian besar pusat penghasil dan perdagangan rempah-rempah. Sebagai perusahaan besar, VOC tidak terlepas dari
berbagai usaha memperkaya diri para anggotanya. Karena korupsi, nepotisme, pemborosan, dan kekacauan manajemen menggerogoti VOC, pada tanggal 1 Januari
1800, VOC dibubarkan. Belanda kemudian membentuk suatu pemerintahan seberang lautan yang dinamakan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menganggap Indonesia
merupakan koloninya daerah jajahannya.
Pada tahun 1803, terjadi perubahan di Eropa akibat perang. Prancis menduduki Belanda. Akibatnya, terjadi perubahan di Hindia Belanda. Louis Napoleon yang menjadi
raja Belanda, pada tahun 1806 mengirim Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal, yang tiba di Jawa pada bulan Januari 1808. Selama kurang lebih tiga tahun
berkuasa, Daendels hanya memfokuskan kegiatannya di Pulau Jawa. Dialah yang membangun jalan sepanjang 1.000 km mulai dari Anyer sampai Panarukan di Jawa Timur.
Perang terus berlangsung di Eropa. Pada bulan Agustus 1811, kekuasaan di Hindia Belanda diambil alih oleh Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffles. Setelah
perang di Eropa berakhir, pada tahun 1816, Hindia Belanda kembali memerintah di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda selama kurang lebih 125 tahun berikutnya
menguasai Kepulauan Indonesia sampai masuk Jepang pada masa Perang Dunia II.
Gambar 6.39 Herman Willem Daendels dan ilustrasi pembuatan jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels yang memakan banyak korban
Sumber: www.adekrawi.files.wordpress.com Desember 2007
175 2. Perkembangan Ekonomi Rakyat
Kondisi ekonomi di Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Barat, terutama Belanda baik pada masa VOC maupun Hindia Belanda.
Kehadiran bangsa Barat pada awalnya sangat berarti bagi wilayah yang didatanginya. Misalnya, di Makassar, Banjarmasin, Aceh, Riau, Banten dan pantai utara Jawa,
kehadiran bangsa Barat bahkan membawa wilayah itu ke masa modern. Di daerah- daerah itu masyarakat setempat maju di bidang ekonomi, terlibat dalam jaringan
perdagangan yang melibatkan berbagai bangsa, mengenal berbagai bentuk mata uang, dan telah mampu menerapkan berbagai peraturan ekonomi modern. Namun, di lain
pihak, pada saat yang sama, di pusat penghasil cengkeh, pala dan fuli di Maluku, kondisi ekonomi mengalami perubahan besar yang mengarah pada kemunduran. Melalui
berbagai perjanjian dan tekanan militer, VOC berusaha menghentikan peran Tidore, Ternate di utara sebagai penghasil cengkeh, pala dan fuli dan memindahkan pusat
penghasil cengkeh dari Maluku Utara ke kepulauan Ambon pada tahun 1620-an.
VOC memberlakukan berbagai peraturan, misalnya Preanger Stelsel yang dimulai pada tahun 1723 mewajibkan penduduk menanam kopi dan menyerahkan hasilnya
kepada kompeni. Pada tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Sistem ini diperkenalkan untuk menutup defisit
anggaran baik pemerintah Belanda akibat perang kemerdekaan Belgia dan Perang Diponegoro. Sistem ini mewajibkan setiap desa menyerahkan 15 dari luas tanahnya
kepada pemerintah untuk ditanami komoditi tertentu seperti gula, nila, kopi, dan tembakau. Sebagai ganti, penduduk akan menerima tanah ditempat lain untuk ditanami.
Selain itu penduduk juga diwajibkan untuk bekerja dalam jumlah hari tertentu dalam setahun dengan upah yang telah ditetapkan. Hasil dari penanaman itu akan dihitung
dengan pajak per desa yang harus dibayarkan. Jika jumlah hasil lebih besar, pemerintah akan membayar kelebihan
cultuurprocenten. Jika sebaliknya yang terjadi, desa harus membayar kekurangannya.
Dalam kenyataannya, dampak ekonomis yang dialami penduduk berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain dan dari satu komoditi dengan komoditi yang
lain. Di daerah yang ditanami nila, penduduknya lebih menderita, misalnya di Cirebon.
Gambar 6.40 Raffles dan buku hasil tulisannya, History of Java Sumber:
www.geocities.com
176
Sebaliknya, penduduk di Pasuruan mendapat keuntungan dari pelaksanaan Cultuurstelsel. Produksi pangan dan ekonomi di wilayah ini berkembang pesat seiring
dengan pelaksanaan kebijakan itu. Keuntungan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh
Cultuurstelsel telah menimbulkan dukungan dan perlawanan. Cultuurstelsel dihapuskan dan diberlakukan undang-undang agraria pada tahun 1870.
Perluasan ekonomi ke luar Jawa makin luas pada awal abad ke-20, misalnya pembukaan perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di Sumatra Timur.
Pembukaan lahan-lahan perkebunan tersebut tidak mengubah nasib pekerja. Masyarakat terus hidup dalam kemiskinan, baik sosial maupun fisik yang sangat
memperihatinkan. Sebaliknya, kegiatan tersebut memberikan keuntungan yang luar biasa bagi para pemilik kebun dan para penguasa lokal. Daerah seperti Deli, Serdang,
Langkat, Medan, dan sekitarnya tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi baru yang mampu menarik banyak migran dari luar daerah. Dengan demikian, dapat dilihat
bahwa dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa tidak seluruhnya negatif. Keadaan tekanan yang makin berat menyebabkan masyarakat berusaha meningkatkan kegiatan
pertanian, perdagangan, industri dan jasa.