Pengaruh Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Papua

(1)

1.1.Latar Belakang

Globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, mendorong perekonomian berbagai negara di dunia semakin menyatu. Keterbukaan perdagangan luar negeri dan keterbukaan finansial adalah akibat dari keterbukaan perekonomian ini. Keterbukaan perdagangan luar negeri menggambarkan semakin berkurangnya hambatan perdagangan antarnegara dan semakin tingginya pangsa perdagangan. Sedangkan keterbukaan finansial menggambarkan semakin lancarnya aliran modal masuk atau ke luar negeri.

Keterbukaan ekonomi dapat dipandang sebagai peluang bisnis yang lebih menarik, pertumbuhan pengetahuan dan inovasi yang lebih cepat, atau prospek sebuah dunia yang saling bergantung sehingga dapat mencegah terjadinya sebuah perang (Todaro dan Smith, 2006). Studi yang dilakukan oleh dua ekonom dari Bank Dunia yaitu Dollar dan Kraay pada tahun 2000 membuktikan bahwa negara-negara yang lebih terbuka mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,9 persen di tahun 1970an menjadi 3,5 persen di tahun 1980an dan menjadi 5,0 persen di tahun 1990an. Sedangkan negara-negara yang menjalankan perekonomian yang lebih tertutup telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu 3,3 persen di tahun 1970an menjadi 0,8 persen di tahun 1980an dan menjadi 1,4 persen di tahun 1990an (Buckman, 2005).


(2)

Namun demikian Buckman (2005) memberikan 3 kritikan terhadap penelitian Dolar dan Kraay. Pertama, tidak cukup bukti kuat untuk mengatakan bahwa semakin kecil hambatan tarif berarti semakin besar pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh banyak variabel, dan bukan hanya oleh perdagangan semata. Ketiga, argumentasi yang mengatakan bahwa perdagangan adalah baik untuk pertumbuhan dan tidak adanya hubungan antara meningkatnya kegiatan perdagangan dengan meningkatnya ketidakmerataan bukan berarti perdagangan adalah baik untuk mengurangi ketidakmerataan.

Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa keterbukaan ekonomi dapat menjadi stimulator untuk lebih menggerakkan roda perekonomian (Wijaya dan Sambodo, 2006). Hal ini juga senada dengan kesimpulan yang diberikan oleh Asian Development Bank (1997) bahwa faktor paling penting di balik keberhasilan cepatnya pertumbuhan ekonomi Asia Timur dalam tiga dekade ke belakang yaitu derajat keterbukaan terhadap perekonomian dunia, khususnya dengan berorientasi terhadap ekspor, terpeliharanya institusi secara baik, dan implementasi kebijakan fiskal secara berhati-hati.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabil diharapkan akan memberikan dampak positif baik secara langsung maupun tidak langsung bagi variabel ekonomi lainnya, antara lain tingkat pengangguran, angka kemiskinan, dan laju inflasi. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat lepas dari pembangunan ekonomi karena pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pertumbuhannya harus


(3)

bertumpu pada kemampuan perekonomian dalam negeri karena pada hakikatnya pembangunan ekonomi harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi sasaran utama.

Papua adalah provinsi paling timur Indonesia dan ini berimplikasi pada sangat jauhnya jarak antara Papua dan ibukota negara. Tidak meratanya pembangunan di masa Orde Baru dimana pembangunan hanya terpusat di Pulau Jawa mengakibatkan Papua menjadi wilayah yang termarjinalkan pada saat itu. Pada tahun 1996, sumbangan PDRB Pulau Jawa yang hanya terdiri dari 4 provinsi terhadap PDB mencapai 59,6 persen. Sedangkan PDRB Papua pada tahun yang sama, hanya memberikan kontribusi sebesar 1,7 persen terhadap PDB (BPS, 1997).

Hingga saat ini Papua masih menjadi provinsi yang tertinggal pembangunannya dibandingkan provinsi lain. Hal ini terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua berada pada rangking ke 33 dari 33 provinsi seluruh Indonesia (BPS, 2009); Kemiskinan penduduk Papua menempati urutan tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 36,8 persen dari 2,8 juta jiwa penduduk Papua (BPS, 2010); dan angka partisipasi murni tingkat SMU hanya sebesar 36,06 persen (BPS, 2010).

Di balik segala permasalahan yang dihadapi Papua, Papua memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. SDA unggulan yang


(4)

dimiliki Papua adalah hasil tambang berupa emas dan tembaga; hasil hutan; serta hasil perikanan darat dan laut berupa ikan, kepiting, dan udang. Cadangan emas Grasberg di Papua merupakan cadangan emas terbesar di Indonesia bahkan menjadi salah satu cadangan emas terbesar di dunia. Kandungan sumber dayanya mencapai 3,12 miliar ton (Indonesian Commercial Newsletter, 2011). Pada tahun 2010, Papua telah mengekspor kayu dan bahan dari kayu ke Timur Tengah dan Asia senilai US$138,93 juta. Pada tahun yang sama Papua juga telah mengekspor ikan & hewan air lainnya senilai US$35,38 juta (BPS Provinsi Papua, 2011).

Dengan kebijakan dan pengelolaan yang tepat guna, semua kelebihan SDA yang dimiliki Papua tersebut bisa menjadi keunggulan absolut dalam perdagangan internasional, sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Salvatore (1997) bahwa perdagangan internasional dapat digunakan sebagai mesin bagi pertumbuhan ekonomi di suatu negara (trade as engine of growth). Dengan adanya akitivitas perdagangan internasional maka diharapkan akan mendorong percepatan pembangunan ekonomi di negara atau wilayah tersebut. Manfaat dari adanya perdagangan internasional antara lain:

1. Untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa yang tidak tersedia di dalam negeri. 2. Dapat memperoleh barang/jasa dengan harga yang lebih murah.

3. Mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri. 4. Memperluas lapangan kerja.


(5)

6. Memperoleh manfaat dari adanya spesialisasi dalam bentuk keunggulan komparatif dan peningkatan kemakmuran.

7. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, yang pada dasarnya bersumber pada skala ekonomis dalam proses produksi, teknologi baru, dan rangsangan bersaing.

8. Meningkatkan proses tukar-menukar antarnegara sehingga mampu mendorong sektor transportasi baik darat, laut, maupun udara.

9. Mendorong terjadinya persaingan sehat yang pada gilirannya menimbulkan perkembangan teknologi.

10.Meningkatkan perluasan pasar.

Adapun hambatan perdagangan antarnegara bisa berupa : 1. Ancaman perang.

2. Perbedaan tingkat upah.

3. Serta peraturan/kebijakan negara lain dalam bentuk proteksi (berupa tarif & bea masuk, pelarangan impor, pelarangan ekspor, kuota, subsidi, dan dumping) guna melindungi industri dalam negerinya.

Kebijakan perdagangan luar negeri merupakan sebuah kebijakan yang sangat strategis mengingat hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan dan belanja negara. Besarnya volume ekspor dan impor suatu jenis barang akan sangat berpengaruh terhadap neraca perdagangan bilateral antar dua negara, bahkan lebih jauh akan berpengaruh terhadap semakin fluktuatifnya harga komoditi tersebut di peta perdagangan dunia. Dengan kata lain, kebijakan


(6)

perdagangan luar negeri suatu negara akan memengaruhi keterbukaan ekonomi negara tersebut.

Strategi kebijakan perdagangan luar negeri diperlukan saat suatu negara ingin memaksimalkan keuntungan dari perdagangan (gain from trade) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Terdapat dua strategi dalam kebijakan perdagangan, yakni:

1. Export Promotion. Dalam strategi ini arah dari setiap kebijakan perdagangan berorientasi pada peningkatan daya saing komoditi ekspor yang dimiliki oleh negara tersebut. Komponen kebijakan yang sering digunakan antara lain

a. Duty Draw Back (Pengembalian pajak import bahan baku bila bahan baku tersebut diolah menjadi barang jadi dan diekspor kembali). b. Pengurangan pajak bagi perusahaan yang berorientasi memproduksi

barang-barang ekspor.

c. Subsidi dan dukungan biaya riset dan pengembangan produk ekspor. d. Devaluasi untuk daya saing produk.

2. Import Substitution. Dalam strategi ini arah dari setiap kebijakan perdagangan berorientasi untuk membangun atau menciptakan industri yang tadinya merupakan komoditi impor. Strategi ini bertujuan untuk menurunkan jumlah komoditi impor dan digantikan dengan produksi dalam negeri. Komponen kebijakan yang sering digunakan antara lain:

a. Pengenaan tarif yang tinggi untuk komoditi impor. b. Kuota komoditi impor.


(7)

d. Infant Industry Model.

Namun hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ekonom mengenai bagaimana sebenarnya interaksi antara kebijakan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi di negara bersangkutan. Hal ini dikarenakan dalam perspektif teori ekonomi pembangunan, masalah hubungan kedua variabel tersebut lebih tertuju pada apakah ekspor bagi suatu negara mampu menggerakkan perekonomian secara keseluruhan yang pada akhirnya membuahkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Berkaitan dengan permasalahan di atas, Jung dan Marshall (1985) mengemukakan bahwa dalam hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi, setidaknya ada empat hipotesis atau pandangan yang masuk akal dan dapat diterima. Pertama, hipotesis ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi (export-led growth hypothesis). Kedua, hipotesis ekspor merupakan penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi (export-reducing growth hypothesis). Ketiga, hipotesis yang menyatakan bahwa ekspor bukan merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri merupakan penggerak bagi ekspor (internally generated export hypothesis). Terakhir, hipotesis yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan penyebab turunnya ekspor (growth-reducing export hypothesis).

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu cara untuk menghitung keterbukaan perdagangan yang sangat populer adalah dengan menjumlahkan ekpor dan impor kemudian membaginya


(8)

dengan PDRB (Squalli dan Wilson, 2006). Rata-rata keterbukaan perdagangan Papua selama periode 2000-2010 mencapai 124,16 persen. Hal ini menggambarkan bahwa Papua sangat aktif dalam melakukan perdagangan, serta semakin lancarnya arus barang dan jasa masuk ke atau keluar dari Papua. Namun apabila kita lihat Grafik 1.1 mengenai pertumbuhan keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan PDRB ADHB selama periode 2000-2010, ternyata peningkatan keterbukaan perdagangan tidak selalu diikuti oleh peningkatan PDRB ADHB.

Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011.

Gambar 1.1 Pertumbuhan keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan PDRB ADHB Provinsi Papua Tahun 2000–2010 (persen).

Dari kondisi diatas dan dihubungkan dengan hipotesis yang dikemukakan Jung dan Marshall, pertanyaan yang harus diajukan adalah hipotesis yang manakah yang terjadi di Papua. Pertanyaan ini penting karena nantinya akan menentukan arah dari kebijakan yang tepat bagi Papua, yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan karakteristik Papua. Apabila pemerintah Provinsi

(0.20) (0.10) 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Tahun


(9)

Papua dapat memahami benar kategori dari hipotesis yang membangun Papua maka pemerintah Provinsi Papua dapat memilih kebijakan strategi perdagangan internasional yang tepat, sehingga pada akhirnya dapat mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas maka penulis mengidentifikasi masalah tersebut sebagai berikut :

1. Bagaimanakah keadaan perekonomian, ekspor dan impor Provinsi Papua? 2. Apakah ekspor, impor, nilai tukar, tingkat partisipasi angkatan kerja dan

dummy krisis secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Papua sehingga Papua dapat dikategorikan sebagai daerah berkarakteristik Export Led Growth?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis keadaan perekonomian, ekspor dan impor Provinsi Papua. 2. Menganalisis pengaruh ekspor, impor, nilai tukar, tingkat partisipasi angkatan

kerja dan dummy krisis terhadap pertumbuhan ekonomi Papua serta besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai kondisi perekonomian, ekspor dan impor di Provinsi Papua serta dapat


(10)

memberikan masukan bagi pemerintah Provinsi Papua dalam mengambil kebijakan strategi perdagangan di masa yang akan datang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait masalah keterbukaan perdagangan di Provinsi Papua.

1.5.Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini hanya mencakup wilayah Provinsi Papua. Periode data yang digunakan untuk penelitian adalah data triwulanan tahun 2000–2010. Penggunaan kata ekspor dan impor yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencakup semua jenis barang dan jasa yang keluar masuk wilayah Papua.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini hanya meneliti dari sudut pandang ekonomi dan tidak membahas mengenai kesejahteraan yang diterima penduduk Papua. Kedua, data yang digunakan adalah data time series triwulanan, sehingga variabel yang tidak tersedia dalam bentuk triwulanan yaitu tingkat partisipasi angkatan kerja dilakukan interpolasi menggunakan metode interpolasi cubic spline. Ketiga, keterbukaan perdagangan hanya dilihat dari pangsa perdagangan terhadap PDRB, tidak memperhitungkan perbedaan tingkat tarif dan non-tarif yang masih diberlakukan pada produk atau wilayah tertentu. Keempat, dalam analisis deskriptif nilai ekspor dan impor yang dirinci berdasarkan komoditas dan tujuan, hanya dapat disajikan dengan cakupan antarnegara, dalam satuan juta dollar dan dengan bentuk nilai nominal.


(11)

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam kurun waktu tertentu (satu tahun) (BPS, 2010). Untuk menghitung angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:

1. Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

2. Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga nirlaba, (b) konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d) perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

3. Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menunjukkan pendapatan yang dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB ADHB ini digunakan untuk melihat struktur ekonomi pada suatu tahun.


(12)

Perkembangan PDRB ADHB dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya. Oleh karenanya untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produktivitas secara nyata, faktor pengaruh atas perubahan harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Penghitungan atas dasar harga konstan ini berguna antara lain dalam perencanaan ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral.

PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Nilai PDRB per kapita didapatkan dari hasil bagi antara total PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.

Menurut Jhingan (2010), kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak menaikkan standar hidup riil masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat akan tetapi konsumsi per kapita turun. Hal ini disebabkan kenaikan pendapatan tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak oleh banyak orang miskin. Di samping itu, rakyat mungkin meningkatkan tabungan mereka atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu untuk keperluan militer atau keperluan lain.


(13)

2.1.2. Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004).

Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Menurut Todaro (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu:

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi.

Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat (pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam


(14)

jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan demikian, salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat pertambahan penduduk (Sukirno, 2007).

2.1.3. Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (2004) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:


(15)

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale).

Sementara itu menurut Sukirno (2007), manfaat perdagangan internasional adalah :

1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negara sendiri. Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi setiap negara. Faktor-faktor tersebut antara lain : kondisi geografis, iklim, tingkat pengusaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.

3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.


(16)

4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

Salah satu alasan dalam perdagangan adalah untuk mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah. Proses terjadinya perdagangan internasional yang dilandasi oleh perbedaan harga dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan parsial berikut :

Gambar 2.1 Harga komoditi relatif ekuilibrium setelah perdagangan ditinjau dari analisis keseimbangan parsial.

Gambar 2.1 memperlihatkan proses terciptanya keseimbangan harga relatif dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Kurva Dx dan Sx di pasar negara 1 dan negara 2, masing-masing melambangkan kurva

permintaan dan kurva penawaran untuk komoditi X di negara 1 dan negara 2. Sumbu vertikal menunjukkan harga relatif komoditi X (Px/Py) dan sumbu

horisontal menunjukkan kuantitas komoditi X.

Px/Py Pasar Negara 1 Pasar Internasional Pasar Negara 2

P3

Ekspor P2

Impor P1

Sumber : Salvatore, 1997. Qx

Dx

Dx Sx

Sx

S

D

A

E


(17)

Sebelum terjadi perdagangan, negara 1 berproduksi dan berkonsumsi di titik A dengan harga relatif komoditi X sebesar P1. Sedangkan negara 2 berproduksi dan berkonsumsi di titik A’ dengan harga relatif komoditi X sebesar

P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara kedua negara tersebut,

harga relatif komoditi X adalah senilai P2 yang berkisar antara P1 dan P3

seandainya kedua negara tersebut cukup besar (kekuatan ekonominya).

Seandainya harga yang berlaku di atas P1, maka negara 1 akan

memproduksi komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestik. Kelebihan itu selanjutnya akan diekspor ke negara 2. Di lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami

peningkatan permintaan yang jumlahnya lebih tinggi daripada produksi domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komodit X itu dari negara 1.

Pada mulanya penelitian tentang perdagangan terutama ditujukan untuk menjelaskan mengapa perdagangan perlu dilakukan dan bagaimana mendapatkan gains from trade (keuntungan dari perdagangan). Namun dewasa ini yang banyak penelitian difokuskan pada perilaku perdagangan pada era globalisasi.

2.1.4. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu

Keong, Yusop, dan Sen pada tahun 2005 melakukan penelitian dengan

mengambil judul “Export-Led Growth Hypothesis in Malaysia : An Investigation Using Bound Test”. Dengan menggunakan data agregat Malaysia tahun 1960 sampai dengan 2001 meliputi GDP, Ekspor, Impor, Nilai Tukar Riil dan Angkatan


(18)

kerja, melakukan Test Perikatan (Bounds Test) dengan metode Autoregressive Distribution Leg, membuktikan bahwa perekonomian negara Malaysia mendukung export led growth.

Oiconta (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Ekspor dan Output Nasional di Indonesia : Periode 1980–2004 Kajian Tentang Kausalitas dan

Kointegrasi”. Analisis yang digunakan adalah Uji Kausalitas Greger, dengan

mengunakan data output nasional (GDP) dan Ekspor agregat Indonesia tahun 1980 sampai 2004 dalam data kuartalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam periode analisis secara keseluruhan diperoleh hubungan pengaruh GDP terhadap ekspor dan pengaruh ekspor terhadap GPD. Sedangkan untuk periode flexible exchange rate regime (setelah tahun 1998) diperoleh hubungan hanya pengaruh GDP terhadap ekspor.

Salomo (2007) melakukan penelitian dengan judul “Peranan Perdagangan

Internasional Sebagai Salah Satu Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Data

yang digunakan adalah data agreagat Indonesia tahun 1980 sampai 2006 meliputi Pendapatan Domestik Bruto, Ekspor Riil, Impor Riil, Nilai Tukar Riil Rupiah terhadap Dolar, Jumlah Pekerja dan Krisis yang melanda Indonesia, dengan metode Bound Testing Cointegration pendekatan ARDL (Autoregressive Distributed Leg) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dalam jangka panjang ekspor riil, impor riil, nilai tukar riil, jumlah pekerja dan krisis berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Miankhel (2009) melakukan penelitian dengan judul “Foreign Direct Investment, Exports, and Economic Growth in South Asia and Selected Emerging


(19)

Countries: A Multivariate VAR Analysis”. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Auto Regressive untuk Multivariate. Penelitian ini mengenai keterkaitan Penanaman Modal Asing (PMA), ekspor, dan pertumbuhan ekonomi di enam negara berkembang yang memiliki tahap pertumbuhan berbeda-beda, yaitu India dan Pakistan di Asia Selatan, Malaysia dan Thailand di Asia Tenggara, serta Meksiko dan Chili di Amerika Latin.

Hasil penelitiannya mendukung hipotesis bahwa ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi (export led growth), khususnya di Asia Selatan. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan mendorong perkembangan variabel-variabel lainnya, yaitu mendorong ekspor di Pakistan dan mendorong PMA di India. Hubungan yang berbeda terlihat dalam jangka pendek di Amerika Latin, yaitu PMA memengaruhi pertumbuhan melalui ekspor di Chili dan PMA memengaruhi pertumbuhan secara langsung di Meksiko. Ekspor memengaruhi pertumbuhan dan PMA di kedua negara tersebut dalam jangka panjang. Sementara itu, untuk kasus di Asia Tenggara ditemukan hubungan kausalitas dua arah antara PDB dengan PMA di Thailand, dan sebaliknya keduanya tidak memiliki hubungan sebab-akibat di Malaysia.

Santoso (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perdagangan

Luar Negeri terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Penelitian ini

menggunakan data tahun 1994–2008 meliputi Pertumbuhan Ekonomi, Impor Barang Modal, Ekspor, Investasi, Tenaga kerja dan Kurs Valutas Asing, dengan metode regresi linier berganda mendapatkan kesimpulan bahwa secara simultan variabel impor barang modal, ekspor, investasi, tenaga kerja dan valutas asing


(20)

berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi secara parsial variabel impor barang modal, ekspor, investasi, tenaga kerja dan kurs valuta asing tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Maryen (2006) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Sektor

-Sektor Potensial Perekonomian Provinsi Papua”. Penelitian ini menggunakan data PDRB Provinsi Papua dan PDB Nasional periode 1999-2003, dengan alat analisis Location Quotient dan Shift-Share Klasik mendapatkan kesimpulan bahwa sektor pertambangan dan penggalian dapat dikategorikan sebagai sektor basis secara konsisten setiap tahunnya selama periode penelitian. Sementara sektor pertanian sub sektor kehutanan dan perikanan baru masuk kategori basis pada tahun 2001.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis hubungan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Papua selama kurun waktu 2000-2010. Pada penelitian ini akan dianalisis pengaruh ekspor, impor, tingkat partisipasi angkatan kerja, nilai tukar dan dummy krisis terhadap pertumbuhan ekonomi Papua baik secara simultan maupun parsial. Selain itu juga akan dianalisis karakteristik ekonomi yang membangun perekonomian Papua sehingga dapat digunakan sebagai dasar penentu kebijakan ekonomi Papua di masa depan. Analisis yang digunakan adalah metode regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah data triwulanan PDRB atas harga konstan 2000, ekspor riil, impor riil, nilai tukar riil, tingkat partisipasi angkatan kerja dan dummy krisis.


(21)

2.2.Kerangka Teori

2.2.1. Teori Pertumbuhan Neoklasik

Inti dari teori pertumbuhan neoklasik Solow yang dikembangkan oleh Robert Solow adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor modal dan tenaga kerja. Model pertumbuhan ini berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (deminishing return) dari faktor modal dan tenaga kerja apabila keduanya dianalisis secara terpisah. Maksudnya apabila modal ditingkatkan akan tetapi tenaga kerja tidak ditambah maka pada suatu waktu tertentu penambahan modal tidak akan meningkatkan output. Begitu pula sebaliknya, apabila tenaga kerja ditambah terus, sedangkan modal tetap maka pada suatu waktu tertentu penambahan tenaga kerja tidak akan meningkatkan output. Akan tetapi apabila faktor modal dan tenaga kerja keduanya bertambah maka output akan terus bertambah (Todaro, 2006).

Dalam teori pertumbuhan neoklasik Solow juga dikenalkan variabel teknologi sebagai variabel independen. Artinya, walaupun faktor modal dan tenaga kerja tetap, akan tetapi penemuan teknologi baru dapat membuat faktor modal atau tenaga kerja lebih efisien, maka output akan bertambah.

Fungsi pertumbuhan neoklasik Solow adalah :

keterangan: Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah jumlah tenaga kerja dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen.


(22)

Lebih lanjut, dalam teori pertumbuhan neoklasik tradisional dikemukakan bahwa pada negara yang menggunakan perekonomian tertutup (tidak menjalin hubungan dengan negara lain) apabila tingkat tabungannya rendah (dalam kondisi cateris paribus) maka dalam jangka pendek pasti akan mengalami laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan perekonomian lainnya yang memiliki tingkat tabungan lebih tinggi. Sedangkan pada negara yang menggunakan perekonomian terbuka, walaupun tingkat tabungannya rendah, pasti akan mengalami suatu konvergensi peningkatan pendapatan karena adanya arus permodalan yang masuk dari negara kaya ke negara-negara miskin dimana rasio modal-tenaga kerjanya masih rendah sehingga pengembalian atas investasi (return of investment) lebih tinggi.

2.2.2. Teori Pertumbuhan Endogen

Teori pertumbuhan endogen (endogenous growth theory) yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988) memiliki peran dalam menjelaskan model pertumbuhan yang lebih maju, dimana perubahan teknologi bersifat endogen (berasal dari dalam sistem ekonomi) dan memiliki pengaruh pada pertumbuhan jangka panjang. Pengertian modal dalam model ini tidak sekedar modal fisik (physical capital), tetapi mencakup pula modal manusia (human capital). Selain itu, teori ini mengasumsikan tingkat pengembalian yang meningkat (increasing return to scales) pada fungsi produksi agregatnya dan menekankan peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi modal (Arsyad, 2010).


(23)

Teori pertumbuhan endogen merupakan modifikasi dari teori-teori pertumbuhan tradisional dan dirancang untuk menjelaskan fenomena ekuilibrium dalam jangka panjang yang bisa positif dan bervariasi antarnegara. Menurut teori ini, faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat pendapatan per kapita antarnegara adalah adanya perbedaan stok pengetahuan, kapasitas modal fisik, kualitas modal manusia, dan ketersediaan infrastruktur. Lebih lanjut, dalam proses pertumbuhan endogen dimungkinkan pula ruang bagi munculnya kebijakan, baik pada perekonomian tertutup maupun perekonomian terbuka.

2.2.3. Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional yang paling awal muncul adalah merkantilisme. Teori ini menyatakan bahwa satu-satunya cara bagi suatu negara untuk menjadi kuat dan kaya adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor. Kelebihan teori merkantilisme ini adalah negara akan memperbesar jumlah ekspor karena negara akan kaya, makmur dan kuat bila ekspor lebih besar dari impor. Sedangkan kelemahan teori ini adalah logam mulia yang digunakan sebagai alat pembayaran akan menyebabkan banyaknya jumlah uang yang beredar sehingga akan terjadi inflasi dan harga barang impor menjadi rendah, akhirnya logam mulia berkurang (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Dalam teori merkantilisme ini, karena tidak semua negara secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor, sedangkan jumlah emas dan perak tetap pada saat tertentu, maka sebuah negara hanya akan memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lain. Akibatnya penganut teori merkantilisme ini banyak


(24)

melakukan penjajahan terhadap negara lain untuk mendapatkan logam mulia lebih banyak.

Pada tahun 1776, Adam Smith menjelaskan bahwa dua negara hanya akan melakukan perdagangan secara sukarela jika kedua negara tersebut memperoleh keuntungan. Maka terciptalah sebuah teori perdagangan yang dinamakan teori keunggulan absolut. Menurut Adam Smith, jika sebuah negara lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas, namun kurang efisien dibandingkan (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dan spesialisasi produk untuk kedua negara yang melakukan perdagangan (Salvatore, 1997).

Kelemahan teori keunggulan absolut adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan. Maka pada tahun 1817, David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut Adam Smith dengan mengemukakan teori keunggulan komparatif. David Ricardo mengatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap dapat melakukan perdagangan. Negara satu harus berspesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian terkecil


(25)

(memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (memiliki kerugian komparatif).

Pada tahun 1936, Haberler menerangkan atau mendasarkan teori keunggulan komparatif pada teori biaya oportunitas. Teori yang dikemukakan Haberler ini disebut teori biaya oportunitas. Teori ini mengatakan bahwa biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama. Implikasi dari teori ini adalah suatu negara yang memiliki biaya oportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut (dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua) (Salvatore, 1997).

Menyempurnakan model perdagangan klasik yang telah ada, Heckscher-Ohlin mengemukakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Artinya, sebuah negara yang relatif kaya atau berkelimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif padat modal (yang merupakan faktor produksi langka dan mahal di negara yang bersangkutan). Teori yang dikemukakan oleh Heckscher-Ohlin selanjutnya disebut teori kepemilikan faktor atau teori proporsi faktor (Salvatore, 1997).


(26)

Teori pertumbuhan endogen (endogenous growth theory) yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988) mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih menyeluruh dan meyakinkan mengenai hubungan antara perdagangan internasional dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara spesifik teori ini menyatakan bahwa penurunan hambatan-hambatan perdagangan dalam berbagai bentuk, baik tarif maupun non-tarif akan mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di suatu negara dalam jangka panjang (Salvatore, 1997).

2.3.Faktor-faktor Pendukung Keterbukaan Perdagangan

Manfaat yang diperoleh dari sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia tidak terlepas dari tingkat kesiapan dan kekuatan masing-masing negara tersebut dalam menghadapi persaingan di tingkat global. Berdasarkan penelitian Keong, Yusop dan Sen (2005) ada lima faktor keterbukaan perdagangan yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kelima faktor tersebut adalah ekspor riil, impor riil, tenaga kerja, nilai tukar riil dan dummy krisis. Dalam penelitian ini, data tenaga kerja yang digunakan adalah data tingkat partisipasi angkatan kerja.

2.3.1. Ekspor

Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukannya ke negara lain. Ekspor barang secara besar


(27)

umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan internasional, lawannya adalah impor (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2011). Pada penelitian ini, definisi ekspor yang digunakan adalah proses transportasi barang ataupun jasa yang keluar wilayah Papua secara legal.

Ekspor merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang langka ke pasar internasional. Sehingga negara-negara miskin dapat mengakses produk langka tersebut dan mampu mengembangkan kegiatan perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka miliki (Todaro, 2006).

Fungsi ekspor dalam perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan sehingga pendapatan nasional akan meningkat. Peningkatan pendapatan nasional ini akan menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 2010).

Ekspor dapat berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Export Led Growth). Alasan yang mendukung hal ini adalah, pertama, pertumbuhan ekspor dapat mewakili kenaikkan dalam permintaan output negara yang kemudian menyebabkan kenaikan dalam output riil. Kedua, ekspansi dalam ekspor dapat mempromosikan spesialisasi dalam produksi komoditi ekspor, yang kemudian akan meningkatkan tingkat produktivitas, dan dapat meningkatkan skill secara umum disektor tersebut. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan realokasi


(28)

sumber daya dari sektor diluar komoditi ekspor yang relatif kurang efisien ke sektor komoditi ekspor yang lebih produktif. Perubahan produktivitas tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, peningkatan dalam ekspor dapat meregangkan kendali nilai tukar sehingga menyebabkan kemudahan dalam mengimpor bahan baku komoditas ekspor sehingga memungkinkan terjadinya ekpansi ekpor yang lebih besar lagi (Sitorus, 2008).

Dalam suatu model persamaan dimana pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen dan ekspor sebagai variabel independen, apabila hubungannya bernilai positif dan signifikan maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik perekonomian wilayah yang diteliti berkategori export led growth. Sebaliknya apabila hubungannya bernilai negatif dan signifikan maka karakteristik perekonomian wilayah yang diteliti adalah export reducing growth (Salomo, 2007).

2.3.2. Impor

Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukkan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan internasional, lawannya adalah ekspor (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2011). Sedangkan definisi impor yang digunakan adalah proses transportasi barang ataupun jasa yang masuk wilayah Papua secara legal.


(29)

Apabila dilihat dari pendapatan nasional, impor memang akan mengurangi pendapatan nasional. Akan tetapi impor memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan ekonomi suatu negara. Dengan impor, bahan baku industri yang lebih murah akan diperoleh, sehingga proses produksi dapat berjalan lebih efisien. Maka secara tidak langsung impor ini dapat meningkatkan keuntungan produksi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah output dan pertumbuhan ekonomi.

2.3.3. Nilai Tukar

Menurut Mankiw (2007), nilai tukar (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua yaitu:

a. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika nilai tukar antara dolar Amerika dan rupiah Indonesia adalah 8.000 rupiah per dolar, maka Anda bisa menukar 1 dolar untuk 8.000 rupiah di pasar uang. Orang Indonesia yang ingin memiliki dolar akan membayar 8.000 rupiah untuk setiap dolar yang dibelinya.

b. Nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Nilai Tukar riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar riil kadang-kadang disebut terms of trade. Nilai tukar riil dihitung dengan :


(30)

Nilai tukar memegang peran penting dalam sistem perdagangan, karena sekarang perdagangan yang dilakukan menggunakan mata uang sebagai alat pertukaran. Apabila nilai tukar melemah maka harga produk ekspor akan lebih murah, pada akhirnya jumlah ekspor akan meningkat, dan juga sebaliknya. Untuk itulah nilai tukar yang stabil menjadi perhatian pemerintah.

2.3.4. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

Menurut BPS (2007) tenaga kerja diartikan sebagai penduduk usia kerja, yaitu penduduk yang berusia dari 15-64 tahun. Sebelum tahun 1997, definisi tenaga kerja adalah mereka yang berusia 10 tahun ke atas. Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran. Sedangkan penduduk usia kerja yang tidak termasuk angkatan kerja mencakup penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya (BPS, 2007).

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara atau wilayah. TPAK diukur sebagai persentase jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja. Indikator ini menunjukkan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (labor supply) yang tersedia untuk memproduksi barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian.


(31)

Tenaga kerja adalah salah satu dari faktor produksi yang penting, karena produktivitas dari faktor produksi lain bergantung pada produktivitas tenaga kerja dalam menghasilkan produksi. Selain itu, tenaga kerja adalah penggerak pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan output adalah dengan memperbanyak tenaga kerja. Akan tetapi peningkatan jumlah tenaga kerja harus diimbangi dengan peningkatan jumlah modal dan teknologi sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat. Salah satu indikator tenaga kerja yang mencerminkan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi adalah menggunakan data TPAK.

2.3.5. Krisis Ekonomi

Krisis global yang terjadi pada September 2008, sedikit banyak membawa pengaruh terhadap perekonomian dunia. Efek krisis yang sangat kuat dialami oleh perekonomian Amerika, Eropa, Australia dan beberapa mitra dari ketiga benua tersebut. Dengan adanya krisis, nilai tukar bisa melemah dan daya beli bisa berkurang. Dalam penggunaan variabel dummy krisis, pada periode triwilan pertama tahun 2000 sampai dengan triwulan kedua tahun 2008, nilai dummy adalah 0, sedangkan setelah triwulan kedua tahun 2008 bernilai 1.

2.4.Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan keterbukaan perdagangan yang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Papua menjadi masalah yang harus dianalisis dengan cermat. Apakah selama ini keterbukaan perdagangan yang dilakukan Papua menguntungkan perekonomian Papua, ataukah malah merugikan. Untuk


(32)

menganalisis pengaruh keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi digunakan metode analisis deskriptif dan regresi linier berganda. Hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pemerintah Papua untuk menentukan kebijakan keterbukaan perdagangan di masa yang akan datang.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Apakah ekspor bisa sebagai motor penggerak bagi

pertumbuhan ekonomi (export-led growth) ?

Keadaan Perekonomian, ekspor dan impor

Analisis Deskriptif Analisis Regresi Linier Berganda

Rekomendasi strategi keterbukaan perdagangan di masa yang akan datang

Pertumbuhan keterbukaan perdagangan Papua tidak diikuti oleh pertumbuhan ekonominya

Keterbukaan perdagangan dan Pertumbuhan ekonomi Papua

Faktor-faktor pendukung keterbukaan perdagangan :

- Ekspor riil - Impor riil - Nilai tukar riil

- Tingkat partisipasi angkatan kerja


(33)

3.1.Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data time series triwulanan dengan periode data 2000–2010. Data diperoleh dari BPS RI, BPS Provinsi Papua dan Bank Indonesia (BI). Adapun rincian data yang digunakan adalah :

1. Data PDRB ADHK 2000 triwulanan Provinsi Papua selama periode 2000–2010. Data ini diolah dan dipublikasikan oleh BPS Provinsi Papua. Data ini dapat dikategorikan sebagai PDRB riil dengan tahun dasar 2000 dengan satuan juta rupiah.

2. Data PDRB ADHB triwulanan Provinsi Papua selama periode 2000-2010. Data ini diolah dan dipublikasikan oleh BPS Provinsi Papua.

3. Data ekspor impor triwulanan Provinsi Papua tahun 2000–2010, yang peroleh dari BPS RI. Karena cakupan ekspor impor dari BPS RI hanya ekspor impor antarnegara, maka data tersebut dikombinasikan dengan data ekspor impor dari PDRB ADHK 2000 triwulanan yang dirinci menurut penggunaan. Data ini diperoleh dari BPS Provinsi Papua. Kombinasi kedua data diolah lebih lanjut untuk menghasilkan nilai ekspor riil dan impor riil dengan tahun dasar 2000 dengan satuan juta rupiah.


(34)

4. Data nilai tukar triwulanan riil diolah dari data nilai tukar nominal dikalikan indeks harga konsumen Amerika dibagi indeks harga konsumen domestik. Nilai tukar nominal diperoleh dari BI, sedangkan indeks harga konsumen domestik diperoleh dari BPS RI dan indeks harga konsumen Amerika diperoleh dari situs web www.inflationdata.com.

5. Data TPAK Provinsi Papua tahun 2000-2010. Karena data TPAK yang tersedia hanya dalam bentuk tahunan, maka data tersebut diubah dalam bentuk triwulanan menggunakan metode interpolasi cubic splin.

3.2.Metode Analisis Data

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan keadaan nyata dari data secara sederhana. Dalam analisis ini akan diberikan gambaran umum mengenai kondisi perekonomian, ekspor dan impor Papua sejak tahun 2000–2010. Beberapa indikator ekonomi yang akan dijelaskan meliputi struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan ekspor, perkembangan impor dan neraca perdagangan yang ditunjukkan melalui bantuan tabel dan grafik guna mempermudah pembaca memahami gambaran kondisi perekonomian Papua.

3.2.2. Analisis Kuantitatif

Dalam analisis kuantitatif metode yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis


(35)

hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Model yang diperoleh disebut model regresi linear berganda jika variabel independen yang digunakan lebih dari satu. Dalam penelitian ini, regresi linear berganda digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Model yang dihasilkan akan mampu menggambarkan seberapa besar pengaruh masing-masing variabel independen melalui koefisien parameternya. Persamaan regresi linier berganda adalah :

Keterangan :

Y = Variabel dependen = konstanta (intercep)

,…, = koefisien regresi

,…, = Variabel independen

= error (kesalahan pengganggu) pada waktu t

Asumsi regresi linier berganda adalah sebagai berikut :

1. E( ) = 0, untuk tiap t=1,2,…n; artinya rata-rata error sama dengan nol.

2. Cov( ) = 0, untuk tiap i ≠ j; artinya tidak ada korelasi antara error yang satu dengan yang lainnya, atau disebut non autokorelasi.

3. ~ ; artinya untuk setiap error mengikuti distribusi normal dengan rata-rata 0 dan varian .


(36)

4. Var ( ) = ; artinya setiap error mempunyai varian yang sama (homoskedastisitas).

5. Tidak terdapat multikolinieritas, yaitu tidak ada hubungan linier antara variabel independen yang satu dengan variabel independen yang lain.

3.3.Model Penelitian

Dalam penelitian ini, regresi linear berganda digunakan untuk melihat pengaruh keterbukaan perdagangan (didekati dari variabel pertumbuhan ekspor riil, pertumbuhan impor riil, pertumbuhan nilai tukar riil, pertumbuhan TPAK dan dummy krisis) terhadap pertumbuhan ekonomi (dilihat dari pertumbuhan PDRB ADHK). Model yang dihasilkan akan mampu menggambarkan seberapa besar pengaruh masing-masing variabel keterbukaan perdagangan melalui koefisien parameternya. Persamaannya adalah :

Keterangan :

= konstanta (intercept)

= Perubahan Y akibat perubahan = Perubahan Y akibat perubahan = Perubahan Y akibat perubahan = Perubahan Y akibat perubahan = Perubahan Y akibat perubahan


(37)

= error (kesalahan pengganggu) pada waktu t

Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut : Y = PDRB ADHK triwulanan Provinsi Papua (juta rupiah).

= Ekspor riil (juta rupiah). = Impor riil (juta rupiah). = Nilai tukar riil (rupiah). = TPAK (persen).

= Dummy Krisis.

3.4.Software Analisis Data

Dalam mengolah data dan menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan beberapa software. Software tersebut adalah sebagai berikut : 1. Microsoft Excel 2010

Microsoft Excel merupakan perangkat lunak buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel dan grafik serta beberapa pengolahan data. 2. Microsoft Access 2010

Microsoft Access merupakan perangkat lunak buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan untuk mengelola dan mengolah database ekspor dan impor.

3. Eviews 6.0

Eviews merupakan program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program Eviews dibuat oleh QMS (Quantitative


(38)

Micro Software). Software ini digunakan dalam mengolah persamaan model regresi.

3.5.Evaluasi Model

Untuk mengetahui apakah model yang diteliti tidak mengalami penyimpangan asumsi regresi linier berganda, maka uji terhadap penyimpangan asumsi klasik tersebut harus dilakukan.

3.5.1. Uji Kenormalan

Uji asumsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari residual menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian . Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menguji normalitas adalah Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal. Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : Error berdistribusi normal.

H1 : Error tidak berdistribusi normal.

Uji statistik ini dapat dihitung dengan rumus berikut :

[

]

dimana:

n = jumlah sampel = varians


(39)

= skewness = kurtosis

Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi square dengan derajat bebas dua. Jika hasil p-value Jarque-Bera test lebih besar dari nilai chi square pada α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti error tidak berdistribusi normal. Jika hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai chi square pada α = 5 persen, maka terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal.

3.5.2. Uji Autokorelasi

Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antar error. Adanya autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis uji ini adalah :

H0 : Tidak ada masalah otokorelasi.

H1 : Ada masalah otokorelasi.

Jika nilai Obs* R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat

autokorelasi atau p-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi.

3.5.3. Uji Heteroskedastisitas

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas antara lain uji Breusch-Pagan-Godfrey test


(40)

dan White test. White test merupakan generalisasi dari Breusch-Pagan-Godfrey test yang juga memasukkan nilai residual yang dikuadratkan, tetapi mengeluarkan unsur-unsur yang memiliki order yang lebih tinggi. Konsekuensinya White test digunakan untuk mendeteksi bentuk-bentuk yang lebih umum dari heteroksedastisitas dibandingkan dengan Breusch-Pagan test. Hal ini menyebabkan para peneliti lebih banyak menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey test untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedatisitas.

Breusch-Pagan test merupakan lagrange multiplier test untuk heteroskedastisitas. Metode ini merupakan perhitungan yang sederhana menggunakan R square (R2) dari beberapa persamaan yang diregresikan. Rumus Breusch-Pagan-Godfrey test dinyatakan sebagai berikut:

dimana:

h = unsur yang tidak diketahui, yaitu fungsi yang diturunkan secara kontinu (tidak tergantung pada i) sehingga h(.) > 0 dan h(0) = 1.

s = varian

z = variabel yang mempengaruhi distrubance terms variance. Hipotesisnya adalah:

H

0 : Tidak terdapat heteroskedastistas.

H

1 : Terdapat heteroskedastisitas.


(41)

Rumus paling sederhana dari Breusch-Pagan-Godfrey test dapat dihitung sebagai hasil kali antara jumlah observasi (N) dan R2. Secara matematika dirumuskan sebagai berikut:

Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi square dengan derajat bebas satu. Apabila chi square hitung lebih besar dari chi square tabel pada α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Apabila chi square hitung lebih kecil dari chi square tabel pada α = 5 persen, maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas.

3.5.4. Uji Multikolinieritas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan antar variabel independen dalam regresi. Adanya multikolinearity ini dapat dideteksi dengan:

1. Nilai R-squared (R2) tinggi dan nilai F-stat yang signifikan, namun sebagian besar nilai dari t-stat tidak signifikan.

2. Tingkat korelasi yang cukup tinggi antar 2 variabel independen yakni r > 0.8. Jika hal tersebut terpenuhi maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas dalam persamaan tersebut. Multikolinearitas ini terbagi menjadi 2 yakni multikolinearity sempurna apabila r = 1 dan multikolinearity tidak sempurna apabila r <1.


(42)

3. Besarnya condition number yang berkaitan dengan variabel independen bernilai lebih dari 20 atau 30. Nilai condition number dapat diperoleh dengan prosedur pemisahan matriks variabel-variabel independen.

3.5.5. Uji F

Uji ini digunakan untuk mengetahui kelayakan model. Uji F dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara keseluruhan.

a. Hipotesis:

H0: β1= β2= …. = βi = 0;

artinya variabel independen secara simultan tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen.

H1 : Sedikitnya ada satu βi ≠ 0; artinya variabel independen secara simultan

berpengaruh terhadap variabel dependen. b. Statistik uji:

Dimana:

k = banyaknya parameter termasuk konstanta n = banyaknya observasi

SSR = Jumlah kuadrat regresi SSE = Jumlah kuadrat error


(43)

c. Keputusan:

Jika nilai F hitung > F α; (k-1, n-k) tabel maka kita menolak H0 yang berarti secara

bersama-sama variabel independen dalam persamaan berpengaruh terhadap variabel dependen.

3.5.6. Uji t

Uji t digunakan untuk menguji signifikansi masing-masing variabel independen.

a. Hipotesis: H0: βi = 0

H1: βi≠ 0

b. Statistik Uji:

Dengan bi merupakan penduga βi dan SE(bi) adalah standar error untuk bi.

c. Keputusan:

Jika nilai t hitung > t table (α/2,n-k) maka tolak H0 berarti dapat disimpulkan

bahwa variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.


(44)

3.5.7. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu juga untuk mengukur seberapa baik garis regresi yang terbentuk. Koefiesien determinasi merupakan besaran non-negatif dan bernilai antara 0 dan 1. Semakin dekat R2 dengan nilai satu maka model dapat dikatakan tepat untuk menaksir nilai populasi, dan sebaliknya.

Formula untuk menghitung koefisien determinasi adalah:


(45)

4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

Provinsi Papua terletak antara 2°25’-9° Lintang Selatan dan 130°-141° Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas 317.062 km2 atau 17,04 persen dari luas Indonesia, merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Merauke merupakan kabupaten/kota terluas (56,84%) dan Kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Papua (0,1%). Papua di bagian utara dibatasi Samudra Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru, sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS, 2010).

Pada tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak 2.833.381 jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak 1.505.883 jiwa dan perempuan sebanyak 1.327.498 jiwa. Seks Rasio penduduk Papua adalah 113. Sedangkan Total Rasio Ketergantungan (Total Dependency Ratio) di Papua sebesar 56,37 persen, dimana Rasio Ketergantungan Usia Muda (Youth Dependency Ratio) sebesar 54,87 persen dan Rasio Ketergantungan Usia Tua (Aged Dependency Ratio) sebesar 1,50 persen. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung sekitar 54-55 anak usia 0-14 tahun dan 1-2 orang lanjut usia (65 tahun keatas) (BPS, 2011).


(46)

Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Dengan luas wilayah Provinsi Papua sekitar 317.062 km2 yang didiami oleh 2.833.381 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Papua adalah sebanyak 9 orang per km2.

Dari sisi ketenagakerjaan, pada Agustus 2010 jumlah angkatan kerja di Papua mencapai 1.510.176 orang. Jumlah pengangguran mencapai 53.641 orang atau 3,55 persen dari total angkatan kerja. Sedangkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 80,99 persen. Sektor pertanian masih mendominasi dengan total pekerja mencapai 77,85 persen, diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan dengan persentase 8,16 persen.

Gini rasio pendapatan penduduk Papua pada periode 2005–2009 menggambarkan distribusi pendapatan dengan ketimpangan sedang. Pada tahun 2008, ketimpangan pendapatan yang terjadi pada masyarakat Papua masih tergolong sedang (0,36) dan pada tahun 2009 mengalami kenaikan menjadi 0,37. Kenaikan gini rasio tersebut mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Provinsi Papua semakin meningkat.

4.2. Keadaan Perekonomian Provinsi Papua

4.2.1. Struktur Ekonomi Provinsi Papua

Sumbangan sektoral dalam PDRB ADHB digunakan sebagai salah satu ukuran dalam melihat struktur perekonomian suatu wilayah dari tahun ke tahun. Jika sumbangan suatu sektor relatif besar maka sedikit gangguan dalam sektor


(47)

tersebut akan mengakibatkan masalah pada perekonomian di wilayah bersangkutan. Meskipun demikian, sektor dengan andil yang kecil tidak dapat diabaikan begitu saja karena bisa jadi sektor tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan dan dapat dijadikan sektor andalan wilayah tersebut di waktu yang akan datang.

Tabel 4.1 Distribusi PDRB ADHB Menurut Lapangan Provinsi Papua tahun 2000-2010 (persen).

LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)

Pertanian 13,05 12,98 14,62 15,35 15,75 10,41 10,98 10,01 10,32 9,36 9,45

Pertambangan dan

Penggalian 68,17 68,90 64,62 61,50 57,53 71,65 68,76 68,72 64,73 65,08 63,15 Industri Pengolahan 1,94 1,89 2,01 2,25 2,51 1,62 1,78 1,62 1,62 1,40 1,39

Listrik dan Air Bersih 0,15 0,14 0,19 0,24 0,26 0,17 0,17 0,16 0,16 0,14 0,13

Bangunan 3,48 3,36 3,74 4,14 5,02 3,53 4,11 4,66 6,01 6,62 7,81

Perdagangan, Hotel

dan Restoran 3,70 3,78 4,44 5,13 6,00 4,02 4,44 4,44 4,87 4,44 4,41

Pengangkutan dan

Komunikasi 2,52 2,62 3,01 3,88 4,72 3,44 3,88 4,05 4,52 4,31 4,35

Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 1,91 0,89 0,96 1,01 1,25 0,83 1,08 1,48 1,77 2,15 2,08

Jasa-jasa 5,09 5,46 6,41 6,50 6,95 4,35 4,78 4,86 6,00 6,50 7,24

P D R B 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011.

Kondisi struktur ekonomi Papua selama satu dekade ini relatif tidak berubah. Sektor pertambangan dan penggalian masih menjadi sektor unggulan bagi perekonomian Papua, disusul oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Rata-rata kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB sebesar 65,71 persen. Pada tahun 2000 sektor pertambangan dan penggalian memberikan


(48)

kontribusi sebesar 68,17 persen, sedangkan pada tahun 2010 kontribusinya turun menjadi 63,15 persen (Tabel 4.1).

Selama sebelas tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; serta listrik dan air bersih cendurung menurun. Penurunan tersebut seiring dengan meningkatnya peranan dari sektor bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa. Walaupun demikian, hingga akhir tahun 2010, sektor pertambangan dan penggalian masih menjadi kontributor terbesar terhadap perekonomian Papua dimana andilnya mencapai lebih dari 57,53 persen (Tabel 4.1).

Tabel 4.2 PDRB ADHB Provinsi Papua dengan tambang dan tanpa tambang tahun 2000-2010 (juta Rupiah).

Tahun PDRB dengan Tambang PDRB Tanpa Tambang

(1) (2) (3)

2000 18.409.760,84 5.913.994,01

2001 21.590.317,72 6.777.819,59

2002 22.548.296,24 8.051.877,92

2003 23.890.084,29 9.284.573,75

2004 24.842.903,74 10.649.592,55

2005 43.615.319,21 12.481.372,66

2006 46.895.228,88 14.787.701,41

2007 55.380.453,41 17.496.626,10

2008 61.516.238,47 21.928.604,97

2009 77.728.564,53 27.409.139,08

2010 89.451.248,76 33.292.346,56

Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011.

Keunggulan absolut Papua berupa kandungan konsentrat tembaga yang dikelola oleh P.T. Freeport Indonesia terbukti mampu mendongkrak perekonomian Papua selama sebelas tahun terakhir. Tingginya kontribusi sektor


(49)

pertambangan dan penggalian yang mencapai lebih dari setengah nilai PDRB Papua, membuat perekonomian Papua akan jatuh apabila sektor tersebut dikeluarkan (Tabel 4.2).

Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011.

Gambar 4.1 Jumlah PDRB ADHB dan sektor pertambangan dan penggalian Provinsi Papua tahun 2000–2010 (triliun Rupiah).

Apabila ditelusuri lebih dalam lagi, tingginya pengaruh sektor pertambangan dan penggalian, membuat pergerakan pertumbuhan perekonomian Papua sangat dipengaruhi oleh naik-turunnya produksi sektor tersebut. Hal ini terlihat jelas, ketika tahun 2005-2010 nilai sektor pertambangan dan penggalian mengalami peningkatan, pertumbuhan ekonomi Papua juga mengikuti peningkatan tersebut (Gambar 4.1).

Sektor kedua yang pertumbuhannya sangat menjanjikan adalah sektor bangunan. Kontribusi sektor ini mengalami peningkatan dari 3,48 persen pada

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Tr il iu n r u p iah Tahun


(50)

tahun 2000 menjadi 7,81 persen pada tahun 2010 (Tabel 4.1). Kemampuan sektor bangunan yang terus meningkat ini dikarenakan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di Papua. Selain itu, faktor tingginya biaya bahan baku bangunan juga memegang peran dalam peningkatan sektor bangunan.

Sektor ketiga yang masih bertahan dan terus meningkat kontribusinya terhadap perekonomian yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi. Keadaan geografis Papua yang lebih didominasi wilayah pegunungan, mengharuskan sebagian besar transportasi antar wilayah hanya dapat ditempuh lewat jalur udara. Hal ini menyebabkan biaya untuk transportasi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya mobilitas kegiatan perekonomian antar wilayah. Dengan meningkatnya biaya transportasi maka pendapatan dalam sektor pengangkutan dan komunikasi juga ikut meningkat.

Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi terkecil terhadap perekonomian Papua adalah sektor listrik dan air bersih. Kecilnya pendapatan sektor ini dikarenakan masih rendahnya jumlah rumah tangga yang menikmati fasilitas listrik dan air bersih. Pada tahun 2010, jumlah rumah tangga yang menggunakan fasilitas listrik hanya sebesar 38,83 persen, sedangkan jumlah rumah tangga yang mempunyai akses air bersih hanya sebesar 20,41 persen (BPS, 2010) (Tabel 4.1).

4.2.2. PDRB per Kapita

PDRB per kapita dengan tambang selama tahun 2000-2010 terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan semakin menurun. Fluktuasinya nilai ini


(51)

dikarenakan produksi tambang yang berfluktuasi setiap tahunnya. Sedangkan nilai yang cenderung menurun dikarenakan jumlah penduduk yang semakin bertambah setiap tahun. Rata-rata PDRB per kapita dengan tambang sebesar Rp. 9,24 juta. Nilai tertinggi yang pernah dicapai adalah sebesar Rp. 11,28 juta pada tahun 2001, sedangkan nilai terendahnya pada tahun 2008 dengan nilai Rp. 7,23 juta (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 PDRB per Kapita ADHK Provinsi Papua dengan tambang dan tanpa tambang tahun 2000-2010 (Rupiah).

Tahun Dengan Tambang Tanpa Tambang

(1) (2) (3)

2000 10.931.227,28 3.511.572,65

2001 11.281.302,07 3.497.517,72

2002 11.243.567,17 3.586.954,38

2003 10.627.902,74 3.625.420,91

2004 7.804.916,28 3.587.710,84

2005 10.092.816,70 3.608.594,98

2006 7.931.195,36 3.726.359,61

2007 7.849.456,87 3.844.745,81

2008 7.342.183,27 4.067.939,24

2009 8.549.761,61 4.373.316,60

2010 7.931.382,82 4.666.965,38

Rata-rata 9.235.064,74 3.827.008,92

Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011.

Berbeda dengan PDRB per kapita dengan tambang yang semakin menurun, PDRB per kapita tanpa tambang cenderung semakin meningkat selama sebelas tahun terakhir. Walaupun PDRB per kapita tanpa tambang semakin meningkat, akan tetapi jika nilainya dibandingkan dengan PDRB per kapita dengan tambang, rata-rata PDRB per kapita tanpa tambang hanya empat puluh persen dari PDRB per kapita dengan tambang. Rata-rata PDRB per kapita tanpa tambang sebesar Rp. 3,83 juta. Nilai tertinggi yang pernah dicapai sebesar


(52)

Rp. 4,67 juta pada tahun 2010, sedangkan nilai terendahnya pada tahun 2001 dengan nilai sebesar Rp. 3,50 juta (Tabel 4.3)

4.2.3. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua

Dalam kurun waktu 2000–2010, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua sangat fluktuasi. Pada tahun 2000–2004 laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua cenderung menurun hingga -22,53 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2005 yang meningkat signifikan sebesar 36,40 persen. Di tahun 2010, ekonomi Papua turun hingga 2,65 persen. Fluktuasinya laju pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari pengaruh sektor pertambangan dan penggalian yang berfluktuasi sepanjang sebelas tahun terakhir dan meningkatnya peranan sektor-sektor lainnya terhadap perekonomian Papua (Gambar 4.2).

Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011.

Gambar 4.2 Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua tahun 2001–2010 (persen).

-30.00 -20.00 -10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00


(53)

Jika dilihat menurut lapangan usaha, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah sektor yang mengalami pertumbuhan paling pesat selama satu dekade terakhir. Meskipun hanya tumbuh 2,91 persen di tahun 2002, namun sektor tersebut terus mengalami pertumbuhan positif hingga 6,40 persen di tahun 2010. Sektor jasa-jasa; bangunan; perdagangan, hotel, dan restoran; serta pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor-sektor yang selalu mengalami pertumbuhan positif. Sedangkan Sektor pertambangan dan penggalian menunjukkan pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Menurut Lapangan Usaha Provinsi Papua tahun 2000–2010 (persen).

LAPANGAN

USAHA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Pertanian 9,31 6,84 4,82 -0,62 4,82 5,20 1,36 4,69 3,79 6,19

Pertambangan

dan Penggalian 10,68 3,80 -3,47 -36,26 61,74 -31,38 0,57 -13,42 34,08 -17,58 Industri

Pengolahan 6,26 4,97 5,87 3,21 3,64 6,79 -1,16 1,81 6,22 8,34

Listrik dan Air

Bersih 4,64 5,93 9,38 7,41 8,01 8,74 5,98 3,85 5,79 6,00

Bangunan 4,85 10,45 7,64 8,85 7,54 12,16 16,05 19,35 17,93 16,38

Perdagangan, Hotel dan Restoran

7,32 9,77 8,87 8,06 8,20 9,63 9,69 10,86 11,57 10,49 Pengangkutan

dan Komunikasi 9,26 13,33 19,68 13,97 13,74 13,76 15,48 14,85 14,31 13,71 Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan

-49,64 2,91 5,01 17,03 7,66 25,25 46,49 16,69 44,53 6,40

Jasa-jasa 10,60 8,71 2,67 3,62 1,80 8,76 9,58 19,31 21,99 20,82

P D R B 8,89 5,15 -0,28 -22,53 36,40 -17,14 4,34 -1,40 22,74 -2,65


(1)

Lampiran 1. PDRB ADHK 2000, Ekspor riil, Impor riil, Nilai tukar riil, TPAK dan Dummy krisis Provinsi Papua tahun 2000–2010.

Tahun Triwulan

PDRB ADHK 2000 (Juta Rp.) Ekspor Riil (Juta Rp.) Impor Riil (Juta Rp.) Nilai Tukar Riil (Rp.)

TPAK Dummy Krisis 2000 1 3.780.330,36 2.647.289,12 1.670.830,65 7.602,36 - 0

2 3.951.557,95 2.269.191,74 2.506.624,41 8.543,42 - 0 3 4.701.224,15 4.060.195,36 2.396.731,99 8.682,79 - 0 4 5.976.648,38 5.307.673,42 2.602.245,77 9.284,28 78,57 0 2001 1 5.071.319,21 4.112.824,20 2.363.180,03 9.474,65 77,84 0 2 4.969.245,01 4.222.298,27 2.105.178,50 10.735,54 77,21 0 3 4.861.244,82 4.027.123,13 2.426.475,92 8.510,85 76,78 0 4 5.144.715,02 2.161.192,48 2.629.010,44 9.204,93 76,63 0 2002 1 4.846.987,10 1.776.249,10 2.155.875,97 8.511,19 76,68 0 2 5.148.708,20 3.430.794,40 2.135.758,18 7.585,88 76,87 0 3 5.490.280,04 4.829.028,98 2.603.911,51 7.533,95 76,95 0 4 5.592.958,42 5.380.283,15 2.337.458,20 7.408,66 76,68 0 2003 1 5.577.076,62 3.899.999,68 2.136.114,01 7.190,50 75,98 0 2 6.189.633,52 5.706.397,03 2.311.721,61 6.808,89 75,02 0 3 5.732.754,41 5.246.918,06 2.323.638,89 6.835,56 74,12 0 4 3.519.955,12 2.597.153,59 3.224.063,40 6.716,49 73,64 0 2004 1 2.787.508,83 1.744.870,67 1.809.886,94 6.664,36 73,91 0 2 3.817.211,30 2.185.238,58 2.484.968,81 7.099,81 74,71 0 3 4.192.700,80 3.630.640,51 2.415.217,17 7.148,16 75,81 0 4 5.485.546,64 5.964.571,61 3.403.358,11 7.012,40 76,99 0 2005 1 5.063.213,05 3.266.838,99 2.295.472,97 6.980,33 77,77 0 2 5.110.184,76 3.260.303,42 2.876.756,22 7.161,47 78,32 0 3 5.032.421,01 3.067.533,81 2.948.232,33 7.515,22 78,54 0 4 7.003.373,86 5.632.793,86 3.305.613,73 6.753,38 78,32 0 2006 1 4.147.570,59 2.982.756,47 3.154.399,74 6.144,06 77,80 0 2 3.903.505,68 2.985.775,37 3.330.906,20 6.116,16 77,02 0 3 4.756.991,84 4.660.457,08 3.552.463,70 6.100,68 76,27 0 4 5.594.129,31 5.176.430,11 3.965.319,99 5.914,42 75,81 0 2007 1 6.090.246,24 4.890.558,50 2.911.980,63 5.845,68 75,88 0 2 5.218.657,03 4.607.940,04 2.909.688,81 5.849,82 76,30 0 3 3.857.954,17 2.149.573,67 4.181.823,23 5.933,72 76,83 0 4 4.033.439,98 2.564.087,00 3.038.072,95 5.888,92 77,24 0


(2)

78

Lanjutan lampiran 1.

Tahun Triwulan

PDRB ADHK 2000 (Juta Rp.)

Ekspor Riil (Juta Rp.)

Impor Riil (Juta Rp.)

Nilai Tukar Riil

(Rp.)

TPAK Dummy Krisis 2008 1 4.137.264,27 3.106.725,11 3.904.989,45 5.692,73 77,26 0

2 4.456.123,00 3.397.677,93 4.273.508,70 6.663,47 77,03 0 3 4.739.967,47 3.312.972,27 3.798.200,21 8.380,76 76,68 1 4 5.598.486,84 3.219.671,92 3.280.947,11 9.909,18 76,29 1 2009 1 5.752.204,00 4.144.720,95 3.508.667,38 10.080,23 76,12 1 2 6.199.563,91 2.930.417,75 3.659.251,61 9.128,54 76,10 1 3 5.803.244,59 3.398.547,40 3.727.416,81 8.607,99 76,28 1 4 5.482.102,44 2.650.722,36 3.307.817,07 8.169,80 76,74 1 Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011


(3)

(4)

77

Lampiran 1. PDRB ADHK 2000, Ekspor riil, Impor riil, Nilai tukar riil, TPAK dan Dummy krisis Provinsi Papua tahun 2000–2010.

Tahun Triwulan

PDRB ADHK 2000 (Juta Rp.) Ekspor Riil (Juta Rp.) Impor Riil (Juta Rp.) Nilai Tukar Riil (Rp.)

TPAK Dummy Krisis 2000 1 3.780.330,36 2.647.289,12 1.670.830,65 7.602,36 - 0

2 3.951.557,95 2.269.191,74 2.506.624,41 8.543,42 - 0 3 4.701.224,15 4.060.195,36 2.396.731,99 8.682,79 - 0 4 5.976.648,38 5.307.673,42 2.602.245,77 9.284,28 78,57 0 2001 1 5.071.319,21 4.112.824,20 2.363.180,03 9.474,65 77,84 0 2 4.969.245,01 4.222.298,27 2.105.178,50 10.735,54 77,21 0 3 4.861.244,82 4.027.123,13 2.426.475,92 8.510,85 76,78 0 4 5.144.715,02 2.161.192,48 2.629.010,44 9.204,93 76,63 0 2002 1 4.846.987,10 1.776.249,10 2.155.875,97 8.511,19 76,68 0 2 5.148.708,20 3.430.794,40 2.135.758,18 7.585,88 76,87 0 3 5.490.280,04 4.829.028,98 2.603.911,51 7.533,95 76,95 0 4 5.592.958,42 5.380.283,15 2.337.458,20 7.408,66 76,68 0 2003 1 5.577.076,62 3.899.999,68 2.136.114,01 7.190,50 75,98 0 2 6.189.633,52 5.706.397,03 2.311.721,61 6.808,89 75,02 0 3 5.732.754,41 5.246.918,06 2.323.638,89 6.835,56 74,12 0 4 3.519.955,12 2.597.153,59 3.224.063,40 6.716,49 73,64 0 2004 1 2.787.508,83 1.744.870,67 1.809.886,94 6.664,36 73,91 0 2 3.817.211,30 2.185.238,58 2.484.968,81 7.099,81 74,71 0 3 4.192.700,80 3.630.640,51 2.415.217,17 7.148,16 75,81 0 4 5.485.546,64 5.964.571,61 3.403.358,11 7.012,40 76,99 0 2005 1 5.063.213,05 3.266.838,99 2.295.472,97 6.980,33 77,77 0 2 5.110.184,76 3.260.303,42 2.876.756,22 7.161,47 78,32 0 3 5.032.421,01 3.067.533,81 2.948.232,33 7.515,22 78,54 0 4 7.003.373,86 5.632.793,86 3.305.613,73 6.753,38 78,32 0 2006 1 4.147.570,59 2.982.756,47 3.154.399,74 6.144,06 77,80 0 2 3.903.505,68 2.985.775,37 3.330.906,20 6.116,16 77,02 0 3 4.756.991,84 4.660.457,08 3.552.463,70 6.100,68 76,27 0 4 5.594.129,31 5.176.430,11 3.965.319,99 5.914,42 75,81 0 2007 1 6.090.246,24 4.890.558,50 2.911.980,63 5.845,68 75,88 0 2 5.218.657,03 4.607.940,04 2.909.688,81 5.849,82 76,30 0 3 3.857.954,17 2.149.573,67 4.181.823,23 5.933,72 76,83 0 4 4.033.439,98 2.564.087,00 3.038.072,95 5.888,92 77,24 0


(5)

Lanjutan lampiran 1.

Tahun Triwulan

PDRB ADHK 2000 (Juta Rp.)

Ekspor Riil (Juta Rp.)

Impor Riil (Juta Rp.)

Nilai Tukar Riil

(Rp.)

TPAK Dummy Krisis 2008 1 4.137.264,27 3.106.725,11 3.904.989,45 5.692,73 77,26 0

2 4.456.123,00 3.397.677,93 4.273.508,70 6.663,47 77,03 0 3 4.739.967,47 3.312.972,27 3.798.200,21 8.380,76 76,68 1 4 5.598.486,84 3.219.671,92 3.280.947,11 9.909,18 76,29 1 2009 1 5.752.204,00 4.144.720,95 3.508.667,38 10.080,23 76,12 1 2 6.199.563,91 2.930.417,75 3.659.251,61 9.128,54 76,10 1 3 5.803.244,59 3.398.547,40 3.727.416,81 8.607,99 76,28 1 4 5.482.102,44 2.650.722,36 3.307.817,07 8.169,80 76,74 1 Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011


(6)

RINGKASAN

SULTHONI ASHIDDIIQI

. Pengaruh Keterbukaan Perdagangan Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi di Papua (dibimbing oleh

TANTI NOVIANTI

).

Globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, mendorong

perekonomian di dunia semakin menyatu. Keterbukaan perdagangan luar negeri

dan keterbukaan finansial adalah akibat dari menyatunya perekonomian dunia ini.

Sejarah membuktikan bahwa dengan keterbukaan ekonomi dapat menjadi

stimulator untuk lebih menggerakkan roda perekonomian. Namun menurut Jung

dan Marshall (1985) keterbukaan ekonomi juga dapat menyebabkan turunnya

pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan keterbukaan perdagangan yang dilakukan Provinsi Papua

selama periode 2000

2010 ternyata tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan

ekonominya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keadaan perekonomian,

ekspor dan impor Papua serta menganalisis pengaruh keterbukaan perdagangan

yang dilakukan Provinsi Papua terhadap pertumbuhan ekonominya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari BPS

tahun 2000

2010 yang meliputi data PDRB Atas Dasar Harga Konstan (PDRB

ADHK), ekspor riil, impor riil, nilai tukar riil, tingkat partisipasi angkatan kerja

dan

dummy

krisis. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis

regresi linier berganda.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian

memegang peran penting dalam struktur ekonomi Papua. Ekspor Papua

didominasi oleh konsentrat tembaga, diikuti oleh kayu dan ikan. Secara simultan

ekspor, impor, nilai tukar, tingkat partisipasi angkatan kerja dan

dummy

krisis

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Papua. Sedangkan secara parsial,

hanya tingkat partisipasi angkatan kerja, ekspor dan

dummy

krisis yang

berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Papua. Dengan melihat

besarnya pengaruh keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi

Papua, maka wilayah Papua dapat dikategorikan sebagai wilayah berkarakteristik

Export Led Growth

.

Dalam jangka pendek, pemerintah Provinsi Papua hendaknya berupaya

untuk melakukan spesialisasi dalam produksi dan ekspor konsentrat tembaga. Hal

ini dilakukan karena konsentrat tembaga adalah keunggulan absolut Papua dalam

perdagangan. Sedangkan dalam jangka panjang, spesialisasi produksi dan ekspor

hendaknya ditujukan pada komoditi kayu dan ikan karena kedua komoditi ini

dapat diperbaharui.