xl
2. 4. Sistem Pemasyarakatan 2.4.1 Sejarah Sistem Pemasyarakatan
Adanya penjara karena adanya sistem pidana hilang kemerdekaan. Sebelum ada pidana hilang kemerdekaan belum ada penjara. Pada zaman kuno, hanya dikenal
pidana mati, pidana badan, buang, kerja paksa. Sistem pidana kuno tersebut ternyata gagal dalam memberantas kejahatan dianggap sangat kejam dan bengis dalam
pelaksanaannya. Pada awal abad ke-17, bersamaan timbulnya gerakan perikemanusiaan dan dilanjutkan lahirnya aliran pencerahan di abad ke-18,
menyebabkan sistem pidana kuno berubah menjadi sistem pidana hilang kemerdekaan menjadi pidana pokok hampir di seluruh kawasan Eropa dan daerah
jajahannya Sujatno,2008:121. Hukuman penjara merupakan penghukuman yang telah berlangsung kurang
lebih 200 tahun yang lalu. Penjara masa dulu menjadi tempat dimana orang-orang mendapat hukuman sadis berupa penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau
bakar. Pada saat ini, penjara menjadi model penghukuman yang secara antusias diperkenalkan sebagai pengganti hukuman fisik yang brutal Sunaryo,2011:1.
Berdasarkan asal-usul katanya etimologi kata “penjara” berasal dari penjoro jawa yang berarti tobat, atau jera. Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia
melalui KUHP atau Wet Boek Van Strafrecht, pasal 10 yang mengatakan; pidana terdiri atas :
1. Pidana Pokok terdiri dari : Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan,
Pidana Denda, Pidana Tutupan. 2.
Pidana tambahan terdiri dari : Pencabutan Hak-Hak, Perampasan hak-hak barang tertentu, Pengumuman Putusan Hakim Sujatno, 2008 : 122.
xli Istilah penjara penitentiary juga diambil dari bahasa latin secara luas
digunakan sebagai sinonim kata prison, awalnya digunakan menjelaskan tempat dimana seorang dikirim untuk menebus dosa-dosanya terhadap masyarakat.
Hukuman penjara menjadi alat hukuman yang bertujuan memperbaiki perilaku para pelaku tindak kriminal, salah satu contoh penjara legendaris adalah bangunan Walnut
Street Jial di Philadelpia Amerika Serikat, disebut-sebut sebagai penjara penitentiary pertama yang berasal dari rumah tempat penahanan. Bisa dikatakan
pada rumah penahanan dahulu, tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pelaku kejahatan berdasarkan usia tua-muda, jenis kelamin laki-laki-perempuan, sakit atau
sehat, status tahanan atau terpidana, semua dikumpulkan dalam satu tempat yang sama Leinward,1972:25.
Pada perkembangan berikutnya, muncul penjara baru di Auburn New York. Sistem Auburn meminjam sistem Pennsylvania yang mengijinkan perlakuan
terhadap narapidana yang melakukan pekerjaan seperti menenun, menjahit, membuat sepatu dalam selnya. Penjara baru di Auburn New York menjadi contoh bagi
penjara-penjara di Amerika. Di Auburn, para narapidana dimasukkan dalam sel terpisah pada malam hari, dan bekerja bersama pada siang hari. Sistem dengan
mempergunakan kerja kelompok pada siang hari dan isolasi pada malam hari menjadi model utama dalam sistem penjara Amerika.
Lebih jauh, lembaga penjara dibagi atas beberapa tipe seperti berkategori maximum security, medium security, short-term sentences, work camps, atau prison
medical center. Institusi-institusi penjara correctional dapat mencakup penjara lokal, penjara negara dan penjara federal local, state and federal prisons
Leinward,1972:27.
xlii Sebagai akibat adanya sistem penjara, maka lahirlah sistem kepenjaraan
dengan berlandaskan kepada Reglement Penjara yaitu sebagai tempat atau wadah pelaksanaan dari pidana penjara adalah rumah yang digunakan bagi orang-orang
terpenjara orang hukuman. Sistem penjara yang sangat menekankan pada unsur penjeraan dan menggunakan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai
individu, semata-mata dipandang sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi bangsa
Indonesia pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar pada aspek penjeraan belaka, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitatif dan
reintegrasi sosial, serta melahirkan sistem pembinaan terhadap pelanggar hukum yang dikenal sebagai Sistem Pemasyarakatan.
2.4.2 Konsep Sistem Pemasyarakatan
Bagi Prof. Mr. Roeslan, tidak ada kejahatan tanpa penjahat, sebaliknya tidak ada penjahat tanpa kejahatan, terlalu sederhana mengganggap kejahatan sebagai
suatu kecelakaan belaka. Kejahatan, bila hanya dilihat dari kacamata hukum pidana menyerupai “hukum tanpa kepala“, tak jelas pandangan kemasyarakatan, seharusnya
hukum hidup ditengah dinamika pertumbuhan masyarkat agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Seorang kriminal atau narapidana ada bukan
karena dibentuk secara lahiriah tapi dibentuk secara sosial budaya dimana ia berada. Demikan pula penghukuman yang dijalani bukanlah konstruksi fisik tapi bagian dari
konstruksi sosial-budaya seperti hasil interaksi, komunikasi, bentukan solidaritas dan konflik yang terjadi Allen,1989:117.
Ahli sosial Erfing Goffman, dalam bukunya Asylum 1961 menguraikan bahwa karakteristik lingkungan penjara adalah sama dengan rumah sakit jiwa dan
xliii organisasi militer sebagai salah satu institusi sosial total institution yang
menampung dan mengatur hidup orang banyak secara seragam. Struktur totaliter ini berisi peraturan-peraturan detil, pengawasan ketat, jurang lebar antara yang berkuasa
dan yang dikuasai, konsentrasi kekuasaan di tangan sekelompok yang berkuasa rulling few. Goffman mendefenisikan institusi total sebagai tempat tinggal dan
kerja dimana sejumlah besar individu untuk waktu yang cukup lama terlepas dari masyarakat luas, bersama-sama terlibat dan berperan dalam kehidupan yang diatur
secara formal. Ia mendefenisikan 5 kategori institusi total, dimana penjara merupakan salah satu didalamnya, yaitu :
1. Institusi yang dibangun untuk merawat orang yang dianggap tidak mampu
dan tidak berbahaya, misalnya tuna wisma, tuna netra, rumah jompo, asrama yatim piatu dan fakir miskin.
2. Tempat yang dibangun untuk orang yang tidak mampu merawat dirinya
sendiri dan bagi masyarakat, sekalipun mereka tidak bermaksud demikian seperti sanatorium, rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta.
3. Institusi total yang diorganisir untuk melindungi masyarakat dari apa yang
dirasakan sebagai bahaya yang mengancam, dimana kesejahteraan mereka yang diasingkan itu tidak dianggap sebagai suatu masalah, contohnya
penjara, camp tawanan perang, camp tawanan konsentrasi. 4.
Institusi total yang dibangun untuk menunaikan beberapa tugas-tugas yang mengesahkan diri mereka diatas dasar-dasar instrumental ini seperti barak-
barak tentara, asrama sekolah, kampung kerja, perkampungan kolonial, dan bangsal-bangsal.
5. Lembaga kemasyarakatan yang dirancang sebagai tempat mengasingkan diri
dan kadang-kadang sering berfungsi sebagai tempat latihan keagamaan,
xliv misalnya biara, pendopo, penjara dan tempat menyepi lainnya Poloma,
2003. Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan
perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, memerlukan landasan sistem pemasyarakatan yaitu: “bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap
diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman
itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara, tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan pembinaan,
terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan terpidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya
akan mengembalikan orang itu kedalam masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat“ Harsono, 1995:1.
Ide pemasyarakatan diperkenalkan Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963, merupakan pedoman dasar bagi pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia. Ide ini dikenal dengan 10 prinsip pemasyarakatan, yang antara lain memuat prinsip bahwa penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara
karena itu negara tidak berhak membuat orang menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum masuk lapas. Dikatakan juga bahwa pembinaan dan bimbingan
harus dilakukan sebagaimana perlakuan terhadap sesama manusia meskipun ia telah tersesat Sunaryo,2011:5.
Gagasan Sahardjo dirumuskan dalam Konferensi Dinas Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27 april 1964. Pokok-pokok pikiran Sahardjo
tertuang dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan narapidana. Sepuluh prinsip pemasyarakatan yaitu :
xlv 1.
Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum dijatuhi pidana 5.
Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat. 6.
Pekerjaan diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan sewaktu-
waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana harus
berdasarkan Pancasila. 8.
Narapidana dan anak didik sebagai orang yang tersesat adalah manusia, dan harus pula diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan
sebagai satu-satunya derita yang dialaminya. 10.
Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan
Sujatno,2008:123-124. Dalam membina narapidana, tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang.
Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana yaitu :
xlvi a.
Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri b.
Keluarga, yaitu anggota keluarga inti atau keluarga dekat. c.
Masyarakat, yaitu orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih di luar lembaga pemasyarakatan, yaitu masyarakat biasa, pemuka
masyarakat, atau pejabat setempat. d.
Petugas dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, pemuka agama, petugas sosial, petugas pemasyarakatan dan lain sebagainya.
Sistem pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995, Pasal 1 ayat 2 adalah suatu tatatan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga Binaan
pemasyarakatan WBP atau narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab Sujatno,2008:126. Sistem pemasyarakatan juga
merupakan salah satu tatanan yang lebih manusiawi dan normative terhadap narapidana berazaskan pancasila dan bercirikan rehabilitative, korektif, edukatif dan
integrative. Sistem Pemasyarakatan juga merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan
hukum pidana dan perdata, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Untuk melaksanakan
sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia
menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan atau narapidana yang telah selesai menjalani pidana. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan tidak terlepas dari tujuan
xlvii pemidanaan, yang menurut Ketentuan Konsep Rancangan Undang-undang RI tahun
2004 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam Pasal 51.
2.4.3 Dasar Hukum Sistem Pemasyarakatan
Adapun landasan hukum yang dijadikan dasar bagi sistem pemasyarakatan
adalah :
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. KUHP
4. KUHAP
5. UU No 12 tahun 1995
6. UU No 3 tahun 1997
7. Peraturan Pemerintah PP
8. Keputusan Presiden Kepres
9. Kepmenhum Ham
10. Permenhum Ham
11. Keputusan Dirjen Pemasyarakatan Sujatno,2008:125.
2. 5. Pembinaan Narapidana 2.5.1 Tujuan Pembinaan Narapidana