37 Dengan pembiayaan, maka akan menimbulkan semangat dan gairah usaha
masyarakat. Karena melalui pembiayaan, masyarakat akan mendapatkan modaltambahan modal bagi kelangsungan bisnis usahanya.
5. Pembiayaan sebagai alat stabilitas ekonomi
Pembiayaan dapat diarahkan untuk menambah perputaran suatu barang serta memperlancar distribusi barang-barang dan pendapatan agar merata ke seluruh
lapisan masyarakat. 6.
Pembiayaan sebagai jembatan untuk peningkatan Pendapatan nasional Semakin meningkatnya suatu pembiayaan, maka akan terjadi pula peningkatan
usaha. Apabila usaha tersebut dapat terus meningkat, maka pajak yang dikeluarkan pun akan meningkat pula. Secara tidak langsung, maka pembiayaan
dapat meningkatkan pendapatan nasional.
3. Jenis-Jenis Pembiayaan Bank Pembiayaan Rakyat Syari‟ah BPRS
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS menurut UU Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
58
Sedangkan dasar hukum dari bank pembiayaan rakyat
syariah ini
adalah mengacu
pada Peraturan
Bank Indonesia
No.1123PBI2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Tujuan utama yang hendak dicapai dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah ini adalah
meningkatkan kesejahteraan ekonomi Umat Islam, terutama masyarakat golongan
58
Bank Indonesia, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 Ayat 9
”, diakses pada tanggal 5 Januari 2011 dari http: www.bi.go.id.
38 ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan, karena BPRS ini
memang khusus melayani masyarakat pedesaan.
59
Pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah, khususnya pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tercantum dalam UU No. 21
tahun 2008 adalah sebagai berikut: 1.
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah; 2.
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau Istishnâ„; 3.
Pembiayaan berdasarkan Akad qardh; 4.
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik; dan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
5. KONSEP ISTISHNA
1. Pengertian Istishna‟
Dalam kamus Bahasa Arab, kata Istishna„ berasal dari kata عنص shana„a
yang artinya membuat.
60
Kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta‟ menjadi عانصتسإ
Istishnâ „ yang berarti minta membuat sesuatu.
Istishna„ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, dimana dalam kontrak ini pembuat
barang menerima pesanan dari pembeli.
61
Menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh
59
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 92.
60
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, cetakan ke- 14, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997, h.796.
61
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Pres, 2009, h113.
39 Sunnah-nya, Istishnâ
„ adalah menjual barang yang dibuat seseorang sesuai dengan pesanan
.
62
Menurut Moh. Rifa‟i, Istishnâ„ ialah kontraktransaksi yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan sutu jenis barang tertentu
atau suatu perjanjian jual beli dimana barang yang akan diperjualbelikan belum ada.
63
Sama halnya dengan pengertian yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, Istishnâ„
adalah perjanjian dengan pekerja atau pembuat barang untuk membuat sesuatu yang telah ditentukan, atau dengan kata lain akad pembelian suatu barang yang dibuat oleh
pekerja Shani‟ dan barang serta pengerjaannya dari pihak Shani‟.
64
DSN MUI menjelaskan pengertian Istishnâ
„, yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan pembeli, mustashni‟ dan penjual pembuat, shani‟.
Istishna„ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang
lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah
pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah pembayaran dilakukan
62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terjemahan H. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: PT Al- Ma‟arif, 1987, Jilid 12, h.87.
63
Moh. Rifa‟i, Konsep Perbankan Syariah, Semarang: Wicaksana, 2002, h.73.
64
Wahbah Zulhaili, Fiqh Muamalat Perbankan Syariah Kapita Selekta Al-Fiqhu Al-Islam Wa Adillatuhu
, Jakarta: Bank Mu‟amalat Indonesia, 1999, h.5.
40 di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan
datang.
65
Menurut jumhur fuqaha, bai‟ Al-Istishnâ„ merupakan suatu jenis khusus dari
akad bai‟ as-Salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai‟ al-istishna mengikuti ketentuan dan aturan bai‟ as-Salam.
2. Landasan Hukum dan Operasional Istishna‟
Landasan hukum Syari‟ah pelaksanaan Akad Al-Istishnâ„ adalah merujuk
pada ayat Al- Qur‟an, yaitu sebagai berikut:
….
…. Artinya:
”.... dan Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....” Q.S. Al-Baqarah2: 275
….
….
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar...” Q.S. Al-Baqarah2: 282.
Selain itu, para Ulama juga membahas lebih lanjut tentang hukum kebolehannya akad Al-Istishnâ
„. Menurut mazhab Hanafi, bai‟ Al-Istishnâ„ termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat
ba‟i secara qiyas. Mereka mendasarkan pada Sargumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan
dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam Istishnâ „, pokok kontrak itu belum ada atau
65
Abu Bakar Ibn Mas‟ud al-Kasani, al-Bada‟i was-Sana‟i fi Tartib al-Shara‟i Beirut: Darul- Kitab al-Arabi edisi ke-
2, review buku Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press, 2009, h.113.
41 tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak
Istishnâ„ atas dasar istihsan karena alasan-alasan berikut ini:
66
a. Masyarakat telak mempraktikkan bai‟ Al-Istishnâ„ secara luas dan terus
menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai‟ Al-
Istishnâ „ sebagai kasus ijma‟ atau konsensus umum.
b. Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma‟ ulama.
c. Keberadaan bai‟ Al-Istishnâ„ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak
orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang
untuk mereka. d.
Bai‟ Al-Istishnâ„ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Dalam madzhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali, Istishnâ„ adalah sah berdasarkan akad jual beli Salam dan kebiasaan masyarakat Islam seperti dalam
Salam. Mengingat Al-Istishnâ „ merupakan lanjutan dari bai‟ as-salam, maka secara
umum landasan syariah yang berlaku pada bai‟ as-Salam juga berlaku pada bai‟ Al-
Istishnâ „.
Sementara itu, menurut Maulana Taqi Utsmani dalam Buku Standarisasi Akad yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menegaskan beberapa perbedaan pokok
Istishnâ „ dan Salam, yaitu:
67 66
Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, h.115.
42 1.
Kedua akad sama-sama terkait dengan jual beli dimana penyerahan barang dilakukan secara tangguh. Namun
Istishnâ„ menekankan bahwa barang yang dipesan perlu dibuatkan terlebih dahulu sesuai dengan pesanan, sedangkan salam
bersifat lebih umum tidak mempersyaratkan perlunya barang dibuat terlebih dahulu.
2. Dalam Salam, harga perlu dibayar dimuka secara penuh. Sedangkan Istishnâ„
harga dapat doibayar secara cicilan sesuai dengan tingkat penyelesaian pesanan. 3.
Dalam Salam, ketika perjanjian ditandatangani maka tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Namun dalam Istishna pembatalan dapat dilakukan sejauh
tahapan proses produksi belum dimulai. Landasan operasional Al-Istishnâ
„ yaitu berdasarkan Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 06DSN-MUIIV2000 Tentang Jual Beli Istishnâ
„ dan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No:
Nomor: 22DSN-MUIIII2002 Tentang Jual Beli
Istishnâ „
Paralel. Selain itu, ketentuan praktek Jual Beli
Istishnâ „
pada perbankan syariah terdapat pada UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, juga terdapat pada
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 746PBI2005 Tentang Akad Peghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
67
Bank Indonesia, Standarisasi Akad Produk Bank Syariah: Ijarah, IMBT, Salam, dan Istishna‟, Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006, hal.64
43
3. Rukun dan Syarat-Syarat Al-Istishnâ„