Latar Belakang Keluarga Profil Emha Ainun Najib

xxvi

BAB III PROFIL DAN GAMBARAN UMUM

A. Profil Emha Ainun Najib

1. Latar Belakang Keluarga

Muhammad Ainun Najib adalah wong Jombang. Muhammad disingkat menjadi inisial M.H. yang pada akhirnya menjadi Emha. 36 Ia adalah anak desa. Tepatnya desa santri. Dari desa ia banyak mendapatkan pengalaman dan pelajaran tentang kasederhanaan, kebersahajaan, kewajaran, dan kearifan hidup. Karena pelajaran besar itulah Emha menganggap bahwa peran sosial bukan sebagai karir. Melainkan sebagai kewajiban dan fungsi sosial yang mampu memberi makan kepada masyarakat. Karena pelajaran besar itu pulalah, Emha tetap bertahan untuk hidup sederhana. Dikatakan bertahan, karena secara ekonomis ia sesungguhnya mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup kelas menengah yang borjuistic. Setiap hari ia masih makan di warung di pinggir jalan. Sampai-sampai ia sakit karena kurang gizi. Peraih bintang Medal of Islamic Excellence 2005 dari The Moslem News Inggris 37 yang juga dikenal dengan sapaan Cak Nun ini lahir pada hari Rabu Legi 27 Mei 1953 di Menturo, sumobito, Jombang, Jawa Timur. Menturo adalah pusat budaya dan tradisi yang cukup penting bagi pengembaraan panjang Emha, baik dari dimensi sosial, intelektual, kultural, maupun spiritual. 38 36 Ian Leonard Betts, Jalan Sunyi Emha Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Juni 2006, h. 1 37 Ibid ., h. xi. 38 Emha Ainun NajibMuhammad AinunNajib, Sedang Tuhan pun Cemburu, Refleksi Sepanjang Jalan , Yogyakarta: SIPRESS, Januari 1995, Cet. Ke-3, h. 305 xxvii Emha adalah anak keempat dari lima belas bersaudara. 39 Ayahnya bernama Muhammad Abdul Latif, seorang kiai terpandang di desa Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya bernama Chalimah. 40 Dari kedua orang tuanya inilah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan watak intelektual maupun prilaku kehidupan sehari-sehari, terutama dalam bidang kesantrian Emha kecil. Kepribadian Emha yang sangat kritis terhadap ketimpangan-ketimpangan apapun yang terjadi di sekitarnya sudah tampak sejak ia masih anak-anak. Guru SD-nya pun pernah merasakan kekritisan prilaku Emha ketika ia masih duduk sebagai siswa SD. “Suatu ketika, Emha terlambat masuk sekolah. Resikonya ia dihukum gurunya: berdiri di depan kelas sampai seluruh pelajaran selesai. Emha konsekuen dengan aturan sekolah itu. Baginya aturan itu harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Maka ketika pada suatu hari gurunya pun terlambat mengajar, Enha pun secara konsekuen menerapkan aturan itu. Ia menghukum sang guru untuk memikul sepedanya keliling halaman sekolah Tentu saja, sang guru merasa dilecehkan. Ia tersinggung berat. Ia marah. Ujungnya Emha keluar dari SD itu, yang dianggap telah menerapkan aturan yang tidak adil”. 41 Potongan kenangan masa silam itu hanyalah ilustrasi kecil dari daya kritis dan “kenakalan” Emha yang mendorongnya untuk selalu menggugat ketidakadilan. Tak peduli siapa pelakunya. Di depan Emha, semua sama. Termasuk ayah dan bundanya. “Masih dalam rangkaian masa kecil Emha, suatu ketika ibunya memasak makanan yang mewah. Tapi makanan itu hanya terbatas bagi keluarganya. Tidak bisa dibagikan kepada para tetangganya yang hanya sehari-hari hanya makan thiwul nasi gaplek atau nasi jagung. Emha protes keras. Makanan yang siap disantap diobrak-abriknya. Baginya, tidak etis makan makanan yang mewah di tengah orang-orang yang kesulitan makan. Lebih baik memasak makanan yang sederhana tapi bisa dinikmati banyak orang. Protes ini dipahami ayah dan ibu Emha. Bahkan mereka menganggap sikap kritis dan “kenakalan” itu sebagai hal wajar dan wajib dikembangkan. Boleh dikatakan maqam referensi pemahaman Islam yang dimiliki Emha sampai sekarang adalah diperoleh dari kedua orang tuanya di mana ia dilahirkan. Dari beberapa 39 Ian Leonard Betts, Op. Cit., h.1 40 Emha Ainun NajibMuhammad Ainun Najib, Op. Cit., h. 303 41 Emha Ainn Najib Muhammad Ainun Najib. Loc.Cit., h. 303 xxviii kisah di atas juga dapat ditelusuri mengenai pembentukan kepribadian Emha, ketika ia tumbuh dan berkembang dalam asuhan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Tentang sosok kedua orang tuanya Emha mengungkapkan: “Ayah saya adalah seorang petani dan kiai yang mempunyai sebuah surau, tetapi dia adalah pemimpin masyarakat, tempat bertanya dan mengadu orang desa untuk berbagai masalah yang mereka hadapi. Begitu pula ibu saya. Semua masalah yang tidak dapat mereka pecahkan mereka ajukan ke orang tua saya untuk dipecahkan. Bahkan ketika saya masih dalam buaian., dan kemudian menjadi anak kecil, saya sering kali dibawa ibu mengunjungi para tetangga untuk menanyakan apa yang mereka masak, apakah mereka menyekolahkan anak-anak mereka sekolah,dan banyak masalah lain. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosial saya, dan nilia-nilai kami didasarkan agama karena ajaran kunci Islam menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya”. 42 Berbagai macam peristiwa dan pengalaman yang ia dapatkan dalam keluarga ikut memperoses sikap sosial Emha. Apalagi jika Emha melihat bagaimana ibunya berusaha menangani permasalahan yang dialami ibu-ibu lain di desanya, terutama masalah ekonomi. Akan pengorbanan ibunya itu Emha menuliskan: “Ibu saya menjual barang-barang seperti TV, mebel, sepeda motor, dan lain-lain secara kredit karena ia kasihan kepada mereka. Padahal sebenarnya ia miskin. Ia hanya mempunyai sepasang pakaian, kain batik, dan kerudung. Jangan heran kalau ia terbelit hutang. Tetapi kenaifannya dalam pengelolaan merupakan suatu yang luhur bagi kami, anak-anaknya.” 43 Keadilan menjadi titik kunci baginya. Artinya, keadilan menjadi titik pusat dalam dalam setiap aktualisasi peran sosial Emha. Atas nama keadilan pula, Emha merasa wajib menggedor-gedor langit.”…saya tidak bisa asyik sendiri di kamar. Tekun beribadah merayu Tuhan agar saya masuk syurga sendirian, sementara ketidakadilan bagai hujan lebat menikam bumi…” 44 42 Ian Leonard Betts, Op. Cit., h. 7 43 Ibid. h 7 44 Emha Muhammad Ainun Najib, Op. Cit., h. 304 xxix Kalau mau, sesungguhnya Emha punya paspor untuk memasuki lingkaran kekuasaan. Tetapi ia tetap bertahan sebagai orang pinggiran. Emha tetap bertahan di kemah Yogya yang jauh dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan lokal, nasional, maupun glogal.

2. Latar Belakang Pendidikan