Ruang Lingkup Kisah Kisah Dalam al-Qur’an

kaidah sastra yang ditetapkan ahlinya, misalnya perbedaan dalam hal kerangka, alur dan unsur-unsur kisahnya. 42 Seperti pada contoh penyampaian maksud dan tujuan kisah yang mendahului rangkaian cerita, yaitu pada surat Yusuf ayat 7:        Artinya: Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. Ayat di atas memperlihatkan maksud dan tujuan dari penyampaian kisah Yusuf mendahului kisahnya, kemudian pada akhir kisah dijelaskan secara terperinci maksud dan tujuannya. 43 Metode generalisasi seperti itu merupakan corak khas dari kisah al- Qur‟an dalam menyampaikan maksud dan tujuannya. Jadi dalam kisah al- Qur‟an selalu berangkat memulai dari yang bersifat khusus menuju sesuatu yang umum. Ini merupakan kelebihan al- Qur‟an dalam menjalankan logika emosional intuitif untuk menggerakan jiwa-jiwa pembacanya. Metode seperti ini lebih menyentuh nurani pembaca dibandingkan dengan metode logika formal yang bersifat deduktif yang dimulai dari hal umum menuju hal yang khusus. 44 Dalam kisah al- Qur‟an terdapat model penyisipan komentar dan pesan-pesan khusus yang terdapat di dalam kisah. Pola seperti ini menjadikan suatu perbedaan al- Qur‟an dengan pola kisah-kisah sastra. 45 Teknik al- Qur‟an dalam pemilihan teks pada kisahnya dapat dilihat dari format dialog, baik dialog langsung maupun tidak langsung, penokohan dalam 42 Sulaiman alth-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam al- Qur’an, Jakarta: Qisthi Press, 2004, h. 13 43 Alth-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam al- Qur’an, h. 14 44 Alth-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam al- Qur’an, h. 18 45 Alth-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam al- Qur’an, h. 19 kisah, fase cerita, penyampaian kisah, pemilihan kata, ungkapan dan penyusunan kalimat. Kisah kisah al- Qur‟an juga memiliki kesusastraan yang sangat menakjubkan, meunyampaikan substansi kisah secara artistik, misalnya abstraksi artistik melalui personifikasi atau hiperbola. Misalnya pada QS. Yusuf ayat 31:                                  Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada keelokan rupa nya, dan mereka melukai jari tangannya dan berkata, Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia. Deskripsi kisah di atas menunjukkan bahwa ketampanan Yusuf sulit untuk digambarkan dengan kata-kata, dengan demikian ketampanan Yusuf dilukiskan dengan kekaguman pawa wanita yang melihatnya, dilukiskan dengan adegan dramatis para wanita yang tidak sadar telah memotong jari tangannya ketika menyaksikan ketampanan wajah Yusuf. 46

3. Tujuan Kisah dalam al-Qur’an

Kisah-kisah dalam al- Qur‟an merupakan salah satu cara yang dipakai al- Qur‟an untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang bersifat agama. Dalam memaparkan tujuan-tujuan kisah dalam al- Qur‟an menurut Muhammad Khalafullah disini hanya menetapkan tujuan-tujuan terpenting tetapi bukan berarti membatasi tujuan yang lainnya yang banyak, disini hanya menjelaskan empat, yaitu: 46 Alth-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam al- Qur’an, h. 24 1. Meringankan beban atau tekakan jiwa Nabi dan orang-orang beriman Dalam berdakwah Nabi banyak menerima cobaan dan tekanan-tekanan, sebab sikap atau perkataan orang-orang musyrik yang senang mendustakan Nabi dan al- Qur‟an. Pengaruh perkataan dan perilaku orang yang mendustakan nabi itu tentu saja menjadi beban yang berat bagi Nabi, hati Nabi merasa sempit dan sesak mendengar perkataannya. Nabi Muhammad selalu berdoa kepada Allah dalam keadaaan batin yang tertekan, perasaan sedih, dan kadang kala terbesit muncul rasa frustasi dan pesimis untuk terus maju. Maka Allah menurunkan ayat tentang kisah para Nabi terdahulu, seperti Nabi Yunus, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dll. Kisah-kisah ini dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sabar dan teguh dalam menghadapi semua cobaan, sebab dari kisah-kisah tersebut Nabi Muhammad mengetahui bukan hanya dirinya yang mendapat cobaan tersebut, namun para Nabi sebelumnya pun sama. 47 2. Menguatkan keimanan dan keyakinan jiwa orang-orang islam terhadap akidah islam. Al- Qur‟an membimbing jiwa manusia untuk mengimani, membela, mengamalkan norma-norma yang ada di dalam al- Qur‟an. Dan keimanan manusia tidak akan mudah goyah walaupun banyak godaan yang datang menghadang. 3. Menumbuhkan kepercayaan diri dan ketentraman atau menghilangkan ketakutan dan kegelisahan. Kisah-kisah sangat diperlukan dalam perjuangan dakwah islam. Al- Qur‟an banyak menceritakan kisah kemenangan orang-orang yang berjuang di jalan Allah 47 Khalafullah, al- Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 162 dan orang-orang beriman. Dan juga mengisahkan kekalahan dan kehancuran orang-orang kafir yang menentang ajaran Allah. 48 4. Membuktikan kerasulan Nabi Muhammad dan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya

4. Pesan Moral Dalam Kisah

Muhammad Quraish Shihab membedakan antara istilah etika dan moral akhlak beliau mengatakan bahwa akhlak atau moral dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika. Sebab akhlak moral tidak saja berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Moral mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Mencakup dari akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama makhluk manusia, tumbuh-tumbuhan, dan benda tak bernyawa. 49 Menurut khalafullah, ia memberikan batasan bahwa kajian yang berkenaan dengan norma-norma agama hanya ada tiga pokok utama yang ketiganya adalah isu krusial yang selalu diangkat oleh kisah-kisah al- Qur‟an sebagai tema dan ide pokok. Ketiga hal itu adalah ketauhidan ketuhanan, kerasulan, dan kemukjizatan. Ketiganya ini sering diangkat menjadi isu utama kisah karena sangat relevan dengan karakteristik dakwah islam. Mayoritas kisah-kisah al- Qur‟an termasuk dalam bagian surat-surat Makkiyah. Problem terbesar yang menjadi sasaran dakwah islam periode Mekkah saat itu adalah isu-isu krusial yang selalu menjadi wacana utama tiap agama. Yaitu usaha mencari titik temu yang dapat mempertemukan semua agama. 50 48 Khalafullah, al- Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 171 49 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an: Tafsir Maudhi’i atas Pelbagai Persoalan Umat Bandung: Mizan, 2001, h. 261 50 Khalafullah, al- Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 305 Menurut Khalafullah untuk mengkaji norma-norma moral dalam teks al- Qur‟an memiliki metode tersendiri. Pertama, pelarangan langsung terhadap perilaku-perilaku amoral yang berlaku umum pada suatu kaum. Contohnya adalah kebiasaan mengurangi timbangan dan ukuran. Kedua, al- Qur‟an menggunakan satu ungkapan keheranan dan pertanyaan negatif tentang suatu perbuatan tidak bermoral yang nyaris menjadi kebiasaan suatu umat. Ketiga, menyampaikan kondisi moral kaum tertentu dengan menggunakan pemaparan umum. Hal ini bisa dilihat dalam kisah Nabi Musa yang mendeskripsikan kondisi moral bangsa Yahudi dan pengikut Fir‟aun. 51 Khalafullah menyimpulkan bahwa taraf kehidupan sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Orang kaya akan cenderung sombong dan semena-mena sementara orang miskin akan lebih sopan dan rendah hati. Ia juga mengatakan norma-norma yang menjadi dasar pesan kisah-kisah al- Qur‟an sangat sedikit. 52

C. Kisah Nabi Yunus Dalam Penafsiran

1. QS. Yûnus ayat 98

Surat Yunus di dalam mushaf al- Qur‟an adalah urutan surat ke sepuluh, yaitu setelah surat at-Taubah dan sebelum surat Hud. Surat Yunus ini tergolong surat makkiyah karena surat ini menjelaskan tentang teologi dan ideologi. Surat yunus ayat 98 ini diklasifikasikan pada kelompok IX dari tafsir al-mishbah yaitu dimulai dari ayat 94 sampai 103. Kelompok ayat sebelum ini mengandung peringatan dan ancaman kepada kaum musyrikin Mekkah agar mereka tidak mengalami seperti yang dialami oleh kaum nabi-nabi sebelumnya.Maka pada 51 Khalafullah, al- Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 308 52 Khalafullah, al- Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 309