Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Adapun arti yang dimaksud adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, hal ini terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i. 12 Menurut hukum perdata, perceraian berasal dari bahasa Belanda yakni berasal dari kata gescheiden yang berarti pemutusan hubungan suami istri dengan segala konsekuensi hukumnya. 13 Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, memberikan sebuah definisi perceraian yakni ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 14 Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam KHI sebagaimana tercantum dalam Pasal 117 mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 . 15 KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai talak harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 115 yakni: “Perceraian 12 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 230. 13 Charlie Rudyat, Kamus Hukum, T.tp, Tim Pustaka Mahardika, t.th, h. 122. 14 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXXIV, Jakarta: Intermasa, 2010, h. 42. 15 Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2010, h. 39. hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah p ihak”. 16 Senada dengan pasal 115 KHI diatas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama juga menyatakan hal yang sama, sebagaimana yang terdapat pada pasal 66 ayat 1 yakni: ”Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.” Dari penjelasan perundang-undangan di atas, dapat difahami bahwa undang- undang telah mengatur bagi siapa saja yang ingin melangsungkan perceraian maka dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Adapun demikian, kita harus meyakini bahwa perceraian adalah sesuatu yang harus dihindari dalam suatu perkawinan meskipun perceraian merupakan bagian dari hukum adanya perkawinan itu sendiri. Semakin kuat usaha manusia membangun rumah tangganya, semakin mudah menghindarkan diri dari perceraian. Perceraian mendatangkan kemudharatan, sedangkan sesuatu yang memudharatkan harus ditinggalkan. 17 Perceraian dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan. Perceraian setidaknya merupakan alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Setelah pernikahan seharusnya tidak ada perceraian, dan hanya kematian satu-satunya sebab 16 Ibid, h. 38. 17 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 185. dan alasan bagi terjadinya perceraian suami istri. 18 Walaupun demikian kenyataan menunjukan bahwa hubungan suami istri tidak selamanya dapat dipelihara secara harmonis karena berbagai faktor atau sebab-sebab tertentu seperti konflik, ketidak sepahaman, kecemburuan dan lain sebagainya. Suatu konflik dapat lahir karena didasari atau didorong oleh emosi dan konflik tidak akan ada dengan ketidakadaan emosi dalam hidup. Dalam hal perkawinan, menghindari konflik dalam perkawinan dengan cara mengabaikannya dapat menyebabkan retaknya hubungan suami istri dan bahkan perceraian. 19 Menyelesaikan konflik antara suami dan istri dengan menempuh jalur perceraian dapat memberikan waktu bagi masing-masing pihak untuk merenungkan dan mempertimbangkan kembali kehidupan rumah tangganya. Mereka bebas untuk meneruskan perceraian dan bebas pula untuk rukun kembali. 20 Dengan demikian, perceraian harus dianggap sebagai suatu bencana. Akan tetapi pada waktu-waktu tertentu ia adalah suatu bencana yang diperlukan. 21 2. Dasar Hukum Perceraian Al- Qur‟an memberikan penjelasan mengenai pertalian perkawinan dengan istilah mitsaqan ghalî an janji kokoh. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nisa 4: 21 18 Ibid, h. 186. 19 M. Thobroni dan Aliyah A. Munir, Meraih Berkah Dengan Menikah, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010, h. 147. 20 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 186. 21 Ibid. 21: 4 َو َأ َخ ْذ َن ْمُكِْم ِم ْي َث اـ قا َغ ِل ْي ظا : ءاس لا Artinya: “Dan mereka istri-istrimu telah mengambil dari kamu janji yang kuat”. Berdasarkan ayat di atas, maka syari‟at Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. 22 Adapun dasar hukum disyariatkannya talak dalam al- Qur‟an, yakni berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah 2 : 229          ةرقبلا 229 : 2 Artinya: “Talak yang dapat dirujuki hanya dua kali. Sesudah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut atau menceraikan istrinya dengan baik”. Ayat tersebut dijadikan sebagai dasar hukum disyari‟atkannya talak berdasarkan pendapat Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitabnya Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 23 Pada dasarnya, talak terhukumi makruh sesuai sabda Rasulullah Saw: 24 َعــ ْبا ِنـ ــــ َع َرَمُع ِن ـ ِبَلا ِنـ ـــ َص ي ـــ ّللا ىّل ـ ْيَلَع ُ ــــ َلَس َو ِ ــ َق َمـ ــــــ :لا َغْـبَأـ َْلا ُض ـــــ ََ ٰلِإ ِل ــــ ّللا ى ـ ِ ُق َََطلَا مكالاو دواد وبا اور 25 Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah Swt adalah talak” HR. Abu Dawud dan Al-Hakim. 22 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, Jakarta: Kencana, 2008, h. 211-212. 23 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318. 24 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 249. 25 Abu Dawud, Sunan Abî Dawûd, cet. I, Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1998 M1419 H, h. 334. Hal demikian menurut Wahbah az-Zuhaili merupakan dasar hukum disyariatkannya talak berdasarkan sunnah yang berasal dari sabda Rasulullah Saw, dan beliau menjelaskan bahwa terdapat sabda Rasulullah Saw lainnya yang juga merupakan dasar hukum disyariatkannya talak, yakni : 26 َخَأ ْنَمِل ُق َََطلا اَََِإ ِقاَسلاِب َذ نطقرادلاو جام نبا اور 27 Artinya: “Sesungguhnya talak dimiliki oleh orang yang memiliki hak untuk menyetubuhi”. HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni. Ulama Syafi‟iyah penganut madzhab Syafi‟i dan Hanabilah penganut madzhab Hambali berpendapat tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka talak terkadang wajib dan terkadang haram dan sunah. 28 Ulama Hanabilah memperinci hukum talak sebagai berikut : 29 1. Talak wajib, misalnya talak dari hakam perkara syiqâq, yakni perselisihan suami istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Termasuk pula talak dari orang yang melakukan ila’, terhadap istrinya setelah lewat waktu empat bulan. 2. Talak haram, yaitu talak yang tidak diperlukan atau yang bukan karena hajat, karena akan merugikan diri suami dan istri serta melenyapkan maslahat yang dapat 26 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318. 27 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid I, Kairo: Daar Ihya al-Kutub al- „Arabiyyah, t.th, h. 672. 28 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258. 29 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 249- 250. diperoleh sepasang suami istri tanpa ada hajat, keharamannya seperti merusak harta. Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah berbeda pendapat, menurut mereka hal demikian termasuk sebagai talak makruh dengan alasan bahwa talak dibenci tanpa ada hajat, namun Rasulullah Saw menyebutnya sebagai barang halal. Dikarenakan talak menghilangkan nikah yang mengandung banyak kemaslahatan yang dianjurkan, maka talak ini termasuk talak makruh. 30 3. Talak mubah, yaitu talak yang terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena istri sangat buruk pergaulannya atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari pihak istri. 4. Talak mandub atau sunah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah Swt, misalnya meninggalkan sholat atau kelakuannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

B. Macam-Macam Perceraian

1. Perceraian Ditinjau dari Segi Ada atau Tidaknya Kemungkinan Mantan Suami Merujuk Kembali Mantan Istri. 31 Menurut tinjauan ini, perceraian atau talak terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1 Talak ẖaj’i, yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan istri benar-benar sudah digauli. 32 30 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258. 31 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 196. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al-Thalaq 65 : 1                                               قَطلا 56 : 1 Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. Yang dimaksud dengan “menghadapi iddah yang wajar” dalam ayat tersebut adalah hendaklah istri-istri itu ditalak ketika suci dan belum dicampuri. Adapun yang dimaksud “perbuatan keji” adalah apabila istri melakukan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar dan sebagainya. Dan adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru” adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali. 33 32 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 231. 33 Ibid, h. 232. Hal tersebut sebagaimana yang telah Allah Swt jelaskan di dalam QS. Al- Baqarah 2 : 229                                                    ةرقبلا 229 : 2 Artinya: ”Talak yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. Dengan demikian jelaslah bahwa suami boleh merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa iddah, atau dengan kata lain terjadi hanya pada talak pertama dan kedua saja. 34 2 Talak Ba’in, adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. 35 Dapat diartikan pula sebagai talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami 34 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 197. 35 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 245. kecuali dengan pernikahan baru walaupun dalam masa iddah, 36 dan pernikahan tersebut lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. 37 Talak ba‟in, ada dua macam: a Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang berakibat hilangnya kepemilikan hak mantan suami untuk merujuki mantan istrinya baik dalam masa „iddah atau setelah habis masa „iddah, akan tetapi tidak menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan istri melalui akad nikah baru rukun dan syarat pernikahan baru. Yang termasuk dalam kategori talak ba’in sughra adalah: a. Talak sebelum berkumpul, yakni yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri yang antara keduanya belum pernah terjadi dukhul persetubuhan. b. Talak khulu’, yaitu talak dengan pergantian harta. c. Talak karena „aib cacat badan, karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan atau semacamnya. 38 b Talak Ba’in Kubra, yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan hak rujuk kepada mantan suami untuk merujuki mantan istrinya baik dalam masa „iddah atau setelah habis masa „iddah, serta menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan istri, kecuali setelah mantan istri kawin dengan laki-laki lain dan 36 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 193. 37 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 198. 38 Ibid, h. 198.