Data Hasil Wawancara Responden 2 Pacaran a. Latar belakang responden

82 Saat itu mereka berada di satu jurusan dan juga satu kelas. Pertemuan yang intens dan adanya kedekatan diantara ia dan suaminya membuat hubungan mereka semakin tak terpisahkan dan akhirnya sampai ke bangku pelaminan. Bulan Juli mendatang, usia pernikahan responden akan memasuki usia dua tahun, namun dari pernikahannya itu, ia masih belum dikaruniai anak. Peneliti mengenal responden dari seorang teman yang kebetulan adalah sepupu responden. Saat ini, responden masih menetap di rumah ibu responden Tante dari keluarga ibu responden. Teman peneliti sebelumnya telah menanyakan kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah mendapatkan informasi tentang kesediaan responden dari teman tersebut, peneliti kemudian menemui responden di rumahnya untuk berkenalan dan melakukan pendekatan dengan responden serta sedikit memberi penjelasan tentang prosedur penelitian nantinya. Setelah mendapatkan kesediaan langsung dari responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti kemudian menentukan jadwal pertemuan berikutnya dengan responden untuk selanjutnya melakukan wawancara.

b. Data Hasil Wawancara

1 Masa Perkenalan Sebelum Menikah Responden mengenal calon suami karena bertemu di satu angkatan, dan satu kelas yang sama di waktu kuliah. Responden berpacaran dengan calon suami awalnya karena ingin mengerjai calon suami yang saat itu menurut responden dan teman-teman responden berperangai sombong. Beberapa kali responden sempat putus dengan calon suami karena niat awal responden berpacaran dengan calon Universitas Sumatera Utara 83 suami tidak serius, hanya ingin mengerjai calon suaminya saja saat itu. Terakhir kali balikan, karena respoden sudah mengenal keluarga calon suami, kemudian keluarga calon suami cerita-cerita. Dari situ responden menyadari bahwa ternyata calon suami tidak seperti apa yang responden pikirkan selama ini. “Kenalannya karena satu angkatan, satu kelas, jumpa satu praktikum, satu kelompok, ya udah gitu aja, karena sering sama-sama.” R2. W1k. 35-38hal. 27 “Awalnya karena ingin ngerjai.” R2. W1k. 40hal. 27 “Kan temen-temen, ayo kita kerjai dia yok. Kayaknya kok sok kali dia. Gitu-gitu aja awalnya. Makanya, gitu udah jadian, jadian beberapa bulan, dah putusin. Nanti balik lagi. Pokoknya putusnya ampe tiga kalilah. Terakhir tu yang balikannya, kan dah kenal ma keluarga abang, jadi keluarganya cerita gini, gini, minta bantulah awalnya. Ya udah, lama-lama akhirnya, kayaknya gak seperti yang kita pikirkan.” R2. W1k. 42-51hal. 28 Responden berpacaran dengan calon suami selama delapan tahun, sejak tahun 1998 sampai menikah di tahun 2006. Responden memilih calon suami untuk menjadi suaminya karena responden merasa ada kecocokan dengan calon suami, selain itu dari cara berpikir calon suami yang sejalan dengan responden ditambah lagi karena calon suami menurut responden mampu mengerti diri dan juga keluarga responden. Menurut responden, tidak semua orang bisa mengerti diri responden, calon suami menurut responden termasuk orang yang mampu mengerti diri responden dan juga keluarga responden, maka responden yakin untuk memilih calon suami untuk menjadi suaminya. Akhirnya, responden menikah dengan calon suaminya di usia responden yang ke 29 tahun. “Eh, Dari 1998 sampai 2006.” R2. W1k. 79hal. 28 Universitas Sumatera Utara 84 “Karena cocok aja.” R2. W1k. 13hal. 27 “Dari cara berpikirnya, ya kita berarti satu tujuan. Ya itu aja.” R2. W1k. 15-16hal. 27 “Hmm... Apa ya. Setiap orang kan beda-beda pikirannya, pandangannya kan. Ada yang karena ganteng, ada yang karena apa. kalo kakak enggak. Karena gak semua orang bisa mengerti kita. Kalo abang termasuk yang bisa ngerti kita. Ya udah. Maksudnya gak ngerti cuma diri kita sendiri, tapi ngerti keluarga kita kayak mana,...” R2. W1k. 25-29hal. 27 “29” R1. W1k. 3hal. 27 Beberapa bulan setelah menikah, responden kembali ke Bogor untuk melanjutkan studinya. Sementara suami responden tetap berada di Medan. Responden berada di Bogor selama enam bulan. Hubungan responden dan suami selama responden di Bogor aman-aman saja, karena tetap ada komunikasi, setiap hari suami responden selalu menelepon atau paling tidak mengirim sms pada responden. “Enam bulan.” R2. W1k. 68hal. 28 “Aman-aman aja, karena tetap ada komunikasi.” R2. W3k. 12-13hal. 45 “Pokoknya abang tiap hari itu ada nelpon, paling kalo gak sms.” R2. W3k. 5-9hal. 45 Responden merasa tidak ada hal yang dirahasiakannya dari suami. Responden selalu cerita kepada suami, misal bila responden merasa curiga pada suami, responden menceritakan perasaan responden pada suami. Suami responden Universitas Sumatera Utara 85 juga selalu berkomunikasi dengan responden, biasanya pulang kerja suami sering bercerita kepada responden dan sebaliknya responden suka cerita kepada suami tentang hal-hal yang responden rasakan atau alami. Responden dan suami biasanya bercerita sebelum tidur atau pagi selesai shalat shubuh. “Semua kakak ceritain. Kalo misalnya perasaan kakak, kadang kita kan ada curiga apa gitu, kakak ngomong. Abang, kakak kok mikirnya abang gini, gini, ginilah.” R2. W1k. 301-310hal. 33 “Biasanya abang kalo pulang kerja tu suka cerita sih. Sebelum tidur, cerita, tadi gini-gini atau pagi habis sholat shubuh, biasanya suka juga ngajak cerita.” R2. W1k. 262-268hal. 32 Responden berusaha untuk selalu terbuka dengan suami. Kalaupun ada sesuatu yang tidak responden ceitakan ke suami, hal itu berkaitan dengan rahasia seseorang yang memang harus dijaga dan tidak sepatutnya diceritakan, atau tentang masalah keluarga responden yang menurut responden tidak perlu diketahui suami karena itu merupakan aib saudara, dan menurut responden tidak ada gunanya juga bila menceritakannya pada suami karena suami tidak akan bisa memberikan solusi, karena responden selama ini juga tidak bisa memberikan solusi, hanya bisa mendengar saja, jadi menurut responden tidak perlu diceritakan pada suami. Kalau mengenai masalah pribadi responden, responden selalu menceritakan semuanya kepada suami, tidak ada yang responden tutupi dari suami. “Pokoknya semuanya diomongin, gitu lah. Kayaknya gak ada yang di rahasiain.” R2. W1k. 293-296hal. 33 Universitas Sumatera Utara 86 “Kalo ada sesuatu yang tidak disampaikan itu, kalo misalnya ada orang cerita, jangan cerita ke siapa-siapa ya. Ya udah, kakak gak cerita ma siapa- siapa. Kalo yang lain itu, ya mungkin adalah yang masalah keluarga, yang suami kita gak perlu tahu, itu ada. Gak semualah kakak ceritain kalo masalah keluarga. Tapi kalo masalah pribadi kakak sendiri, semua pasti tahu. Gak ada yang ditutupi.” R2. W1k. 352-361hal. 34 “Pokoknya gak wajarlah gitu diceritakan, ngapain diceritain, gitu. Toh, dia gak ada, gak ada solusi dari dia. Gak kan ada dia memberikan atau pun ikut berpikir gak akan ada. Gak akan ada yang bisa dikerjakan, karena kakak sendiri pun gak bisa ngerjain apa-apa.” R2. W3k. 117-124hal. 47 “yang namanya aib kan gak boleh diceritain ma orang lain, apalagi kalo aib saudara kita, kita tahu ngapai kita harus cerita lagi. Ya kakak gak kasih tau ke abang itu, R2. W3k. 106-115hal. 47 Saat liburan, responden dan suami memanfaatkannya dengan pergi bersilaturahim ke rumah ibu suami responden. Baru-baru ini responden bersama suami dan rombongan kantor berlibur bersama. Responden merasa senang, karena biasanya selama ini suami responden lebih sering bersama teman-teman kantor daripada bersama responden. Terkadang di waktu libur pun responden jarang bisa bersama dengan suami, karena responden pergi menemani ibu responden. Begitu ada kesempatan bersama dengan suami seperti saat liburan ini, responden merasa senang sekali karena bisa terus bersama suami dari pagi hingga malam hari. “...kalo libur itu ke tempat ibunya abang, silaturahim.” R2. W3k. 128-131hal. 47 “Yang liburan kemaren ini karena liburan sama-sama, tapi sama rombongan kantor. R2. W3k. 134-136hal. 47 “Pastinya senenglah. Biasanya, kayaknya abang tu lebih sering jumpa sama kawan-kawan di kantor dibandingkan dia sama kakak. Sama-sama gitu ya senenglah. Kemana-mana sama, dari pagi sampe malam sama Universitas Sumatera Utara 87 terus. Kalo pun hari minggu kadang, kadang ada ini, pigi sama ibu kan. Abang di rumah, walaupun libur, tapi gak jumpa juga.” R2. W3k. 134-145hal. 47-48 Mengenai religiusitas, responden merasa religiusitasnya menurun setelah menikah. Bukan karena menikah jadi menurun, tapi menurut responden penurunan religiusitasnya lebih disebabkan karena faktor lingkungan. Sebelum menikah, responden berada di lingkungan yang selalu mengajak dan mengingatkan responden untuk beribadah, teman-teman kos responden saat kuliah, sering membangunkan responden untuk shalat tahajud dan mengajak responden puasa sunnah. Sekarang, setelah menikah, responden merasa tidak ada lagi kawan yang mengingatkan seperti dulu sehingga lingkungan ini menurut responden menjadi faktor yang mempengaruhi penurunan religiusitas responden. “Kalo kakak lihat, kakak pribadi, kayaknya semakin berkurang.” R2. W1k. 542-552hal. 36 “Kalo kakak, menurut kakak faktor lingkungan itu besar kali pengaruhnya.” R2. W3k. 178-179hal. 49 “...dulu itu rasanya lingkungan itu yang membuat kita lebih. Waktu kuliah di Bogor itu,..Itu terasa bedanya yang disana itu dengan yang disini. Disana itu kita punya teman, kadang jam 4 dibangunin, diketok pintu kamar, shalat tahajud. Jadi otomatis kita kan terikut, awalnya ngikut teman, lama-lama kebiasaan. Terus kalo puasa senin kamis ada kawannya, kawannya ngikut, terakhir kita punya keinginan sendiri. Tapi toh disini karena gak ada kawannya, males yang timbul.” R2. W3k. 164-176hal. 48 Responden merasa kalau ibadah responden juga tergantung pada keadaan perasaan mood responden. Awalnya, bila perasaan responden sedang baik, Universitas Sumatera Utara 88 responden rajin beribadah dan mengajak suami, namun bila perasaan responden sedang tidak baik, responden jadi malas, sedangkan suami responden tetap rajin menjalankannya. Suami responden sering mengingatkan responden dalam melaksanakan ibadah wajib, namun untuk ibadah sunnah, suami responden melakukannya sendiri saja. Pernah suatu hari responden meminta suami untuk membangunkan responden sahur, tetapi sampai pagi suami tidak membangunkan responden. Ketika ditanyakan, suami responden mengatakan bahwa suami responden merasa tidak tega membangunkan responden karena merasa responden kelelahan. “Kakak tergantung mood kayaknya.” R2. W1k. 554hal. 36 “awalnya kakak yang ngajak. Tapi nanti lama-lama kakak yang jadi malas, abang tetap, rajin.” R2. W1k. 556-560hal. 36 “Kalo shalat wajib itu dia ngingatkan. Tapi kalo sunnahnya gitu, enggak dia sendiri aja.” R2. W3k. 226-227hal. 47 “Kasihan abang lihat yayang, kayaknya capek kali.” R2. W3k. 231-236hal. 49 Responden merasa bahwa masalah yang sering terjadi antara responden dengan suami berkaitan dengan manajemen waktu suami yang kurang baik. Menurut responden, suami tidak bisa membagi waktunya dengan baik. Responden mengaku akan marah bila suami menelepon responden untuk mengatakan bahwa suami akan pulang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Universitas Sumatera Utara 89 “...Nanti dia nelpon, abang pulangnya nanti agak malam ya, karena habis maghrib baru ngerjain laporan ini, laporan itu. Itu yang sering bikin masalah,... Cuma itu sih. Karena abang gak pandai bagi waktu.” R2. W1k. 603-622hal. 37 Responden akan merengut dan bersikap diam terhadap suami bila responden sedang marah. Biasanya suami akan mengur dan membujuk responden. Bila sudah dibujuk, responden akan mengungkapkan perasaan dan keluh kesahnya pada suami kemudian setelah suami menjelaskan penyebab masalahnya dan meminta maaf, responden sudah baikan lagi. Responden selalu langsung menyelesaikan masalah pada hari itu juga dan tidak pernah membiarkan masalah menjadi berlarut-larut sampai bermalam. “Yang paling sering, kakak diam. Nanti kalo dah gitu, abang pulang, kakak diam aja. Nanti dia pasti bilang, jangan marahlah yang, gini, gini. Orang abang gak bisa dikasih tau, masaan kek gitu terus. Gak mikirin, ih, istriku di rumah sendiri, dah malam. Bukan gitu. Masak abang gak mikirin, mikirin, gini, gini,...” R2. W2k. 625-640hal. 37-38 “Iya. Pokonya gak pernah lah masalah itu yang sampai bermalam gitu. langsung diselesaikan saat itu juga.” R2. W1k. 594-596hal. 37 Beda dengan saat masa pacaran, dimana responden bila ada masalah terkadang bisa sampai berhari-hari tidak dibicarakan. Setelah menikah responden langsung membicarakan dan menyelesaikan setiap masalah yang terjadi dengan suami. Menurut responden perubahan sikap responden itu disebabkan karena setelah menikah sudah ada komitmen yang lebih besar dengan suami, ada ikatan yang tidak dengan mudah diputuskan, jadi setelah menikah, setiap masalah langsung diomongin dengan suami. Universitas Sumatera Utara 90 “Dulu pacaran kalo kita mau marah, mau ngomong aja, ah udahlah biar aja. Tapi sekarang kalo ada masalah gitu, diomongin. Kalo dulu bisa sampe berhari-hari dah gak ada kabar beritanya. Ya udah, elos aja gitu. Kalo sekarang kalo ada masalah langsung diomongin. Pokoknya gak pernahlah yang diam-an.” R2. W3k. 38-45 hal 45-46 “Karena prinsipnya kalo jodoh lanjut, kalo gak jodoh ya udah gitu aja. Kalo sekarang kan beda, masa kita mau, udahlah enceng, kan gak mungkin, gak segampang itu.” R2. W3k. 56-59hal. 46 Selama ini, keuangan keluarga dikelola sepenuhnya oleh responden. Suami responden selalu memberikan semua gajinya pada responden setiap gajian. Kalau suami perlu, maka suami akan meminta uangnya pada responden. Responden berusaha mengatur keuangan yang ada sesuai dengan anggaran yang sudah ada. Responden merasa bahwa selama ini ketika punya uang responden tidak berlebih dan bila punya duit pas tidak kekurangan. “Pokoknya abang kalo gajian, gajinya semua dikasih ke kakak. Kalo dia mau perlu misalnya mau service kereta, nanti dia minta sendiri.” R2. W2k. 38-41hal 40 “Pastinya dah ada anggarannya, kalo punya duit segini, sebagian untuk ini, ini, ini, gitu.” R2. W2k. 31-32hal. 39 “...Kakak gak merasa ini, punya duit banyak gak berlebih, punya duit pas- pasan pun gak kekurangan,...” R2. W2k. 21-25hal. 39 Menurut responden, kondisi ekonomi keluarga responden saat ini masih belum baik. Namun responden yang memiliki prinsip yang tidak terlalu mementingkan uang berusaha untuk tidak menjadikan keuangan itu sebagai masalah. Responden berusaha untuk memanfaatkan apa yang ada saja. Responden Universitas Sumatera Utara 91 mengaku tidak bisa menabung, karena walaupun terkadang uang ada lebihnya, menurut responden bulan depan uang itu akan terpakai lagi dan habis. Responden tidak pernah ambil pusing bila tidak ada uang. Pokoknya, uang untuk ongkos responden ngajar ada dan uang untuk beli minyak suami ada, itu sudah cukup bagi responden. “Karena punya prinsip gak terlalu mementingkan uang, walaupun, kek gini sukma, kadang punya uang lebih, punya uang lebih dari biasanya itu, gak bisa nyimpan, kalo pun nyimpan pasti terpakai lagi bulan berikutnya, teruspun kalo gak punya duit kakak gak pernah ambil pusing. Ya udah aja gitu. Pokoknya duit untuk ongkos, kakak pigi ngajar ada, beli minyak abang ada, ya udah. Jadi gak pernah nganggap masalah.” R2. W3k. 242-251hal. 50 “sekarang apa yang ada bisa dimanfaatkan bersama-sama ya dimanfaatkan bersama.” R2. W3k. 253-258hal. 50 Setelah menikah, hubungan responden dengan keluarga baik-baik saja. Dengan keluarga suami, responden merasa mudah akrab, karena menurut responden keluarga suami juga ramah-ramah dan mudah bergaul. Responden merasa peduli dengan kondisi keluarganya. Bila ada keluarga yang sakit, responden berusaha membantu, menanyakan kabar atau bila ada uang, responden membelikan obatnya. Jadi hubungan responden dengan keluarganya baik-baik saja. “...Kalo pun sakit, nanti nanyai, ke dokter apa enggak. Kalo kira-kira sanggup beli obatnya, ya udah dibeliin obatnya, gitu.” “Baik-baik aja.” R2. W2k. 47hal. 40 “Dari keluarga abang pun, rata-rata keluarganya abang itu gampang bergaul gitu, jadi ya cepet deket.” R2. W2k. 57-64hal. 40 Universitas Sumatera Utara 92 R2. W2k. 76-82hal. 40 Menurut responden, suami responden adalah orang yang mudah kasihan pada orang lain. Suami responden susah untuk menolak permintaan orang lain yang meminta bantuan pada suami responden. Walaupun terkadang, suami responden tahu bahwa bila suami menolong orang tersebut maka itu bisa berakibat negatif, namun suami responden tetap saja sulit menolaknya. Responden merasa suami responden tidak tegas. Menurut responden, kalaupun suami ingin menolong orang lain, suami harus tahu batasan-batasannya. Menurut responden, suami tidak tegas dalam menentukan batasan-batasan dalam menolong orang lain. Ini yang tidak responden suka dari sifat suami responden. “Abang itu orangnya suka kasihanan sama orang lain. Dia tu susah untuk nolak kalo ada orang minta tolong tu, susah nolaknya. Walaupun dia tahu kalo dia bantu pasti ada akibat negatifnya itu pasti ada. Tapi, dia susah kali mau nolak orang.” R2. W1k. 85-90hal. 28 “...yang kakak gak suka, dia tu gak tegas. Kalo bantu orang kita juga harus ada batasan-batasannya. Nah, dia tu gak tegas untuk menentukan batasan- batasannya itu sampai mana.” R2. W1k. 92-97hal. 29 Selain sifat, ada juga kebiaan suami yang tidak disukai responden selama ini, yakni kebiasaan suami responden yang suka merokok. Menurut responden, kebiasaan seseorang memang tidak mudah untuk dihilangkan. Solusinya, bila di dekat responden, suami tidak boleh merokok. Walaupun ada sifat suami responden yang tidak responden sukai tapi secara umum menurut responden kepribadian suami responden baik-baik saja. Universitas Sumatera Utara 93 “Sejauh ini bagus-bagus aja penilaiannya. Ya mungkin ada beberapa sifatnya yang gak kita suka tapi kan itu perlu waktu untuk perubahan sikap karena sifat seseorang itu kan gak bisa dipaksa.” R2. W2k. 130-134hal. 41 “Ada sih. Yang kalo kebiasaan yang gak kakak suka. Merokok. Kakak kan gak suka dia merokok. Ya solusinya, kalo di dekat kakak jangan merokok.” R2. W1k. 180-193hal. 30-31 Pernikahan responden saat ini sudah satu tahun delapan bulan. Sampai saat ini responden belum juga dikaruniai seorang anak. Responden berusaha untuk tidak menjadikan anak ini sebagai beban dan orangtua dan keluarga juga tidak memaksa harus segera punya anak, jadi belum hadirnya anak ini tidak menjadi beban bagi responden. Walaupun sesekali ketika berbicara dengan suami terlintas juga kenapa belum punya anak, namun suami responden berusaha menenangkan responden untuk tidak terlalu memikirkan tentang anak tersebut. Menurut suami responden, pernikahan bukan sekedar untuk memperoleh anak, jika belum dikaruniai anak berarti Allah belum mempercayakan responden untuk mengurus anak. Responden sudah berobat ke dokter dan hasilnya bagus. Kini, responden tinggal menunggu saja dan terus berusaha. “Satu tahun delapan bulan.” R2. W1k. 7hal. 27 “...Kakak gak ada jadi beban, makanya waktu itu pengen periksa, pengen tau aja, subur, bagus atau enggak. Udah ketauan bagus, ya udah, berarti tinggal nunggu.” R2. W2k. 111-118hal. 41 “Terus pun gak ada paksaan dari keluarga, kok belum juga, kapan, jadinya gak da jadi beban.” R2. W2k. 122-126hal. 41 Universitas Sumatera Utara 94 “...Cuma kadang kalo pas lagi cerita sering kakak bilang, “kita kan belum punya anak, nanti yang salah ini, ini, kek mana tu bang.” “Ah gak usah dipikirin, orang tujuan utama kita kan bukan sekedar untuk punya anak.” Ya berarti Allah belum memberi kepercayaan pada kakak.” R2. W4k. 46-52hal. 53 Belum hadirnya anak dalam pernikahan responden, sedikit banyaknya juga turut mempengaruhi kualitas hubungan seksual responden dengan suami. Walaupun setiap kali melakukan hubungan seksual, responden dan suami selalu melakukannya atas dasar suka sama suka, dalam artian kalau ada satu yang sedang capek, maka responden tidak jadi berhubungan dengan suami, namun belum hadirnya anak turut mempengaruhi dalam hubungan seksual responden dan suami. Responden mendapat saran dari dokter untuk mengatur jadwal dalam berhubungan seksual dengan suami, namun setelah responden jalani, ternyata hal tersebut justru membuat responden tidak nyaman dan merasa terpaksa ketika berhubungan seksual dengan suami. Responden akhirnya memutuskan untuk menjalani saja prosesnya, tidak lagi terlalu berpatokan pada jadwal-jadwal dalam berhubungan seksual dengan suaminya. Begitu pun, secara umum tidak ada masalah antara responden dan suami dalam berhubungan, karena dalam setiap berhubungan responden dan suami selalu melakukannya dalam keadaan sama- sama mau. “Ya kami kalo ngelakuin itu suka sama suka, sama sama kepingin gitu. Kalo yang satu gak kepingin ya pasti gak jadi. Walaupun dah ke dokter kan, diaturlah jadwalnya ini, tapi rasanya juga gak nyaman, kayak terpaksa, jadi ya udah jalani aja.” R2. W4k. 55-60hal. 53 “Ya, gak ada masalah. Karena kalo melakukan hubungan seksual, kami sama- sama mau,..” R2. W3k. 265-269hal. 50 Universitas Sumatera Utara 95 Responden berusaha untuk menikmati setiap peran-perannya dalam rumah tangga. Responden berusaha melakukan pekerjaan responden sebagai istri tanpa beban, bila responden sedang banyak pikiran, responden tidak melakukan pekerjaan responden. Responden betul-betul menjaga agar kerja itu dilakukan dari keinginan hati, tidak dengan terpaksa, sehingga tubuh tidak merasa capek atau kesal dalam mengerjakannya. “Pokoknya semua yang dikerjai itu ya enjoy aja, karena kalo kita ngerjai sesuatu dengan terpaksa pasti capek. Nikmati aja.” R2. W4k. 63-65hal. 53 “Pokoknya kerja itu gak jadi beban, kalo lagi banyak pikiran atau malas, ya udah sama sekali gak dikerjain. Pokoknya betul-betul kerja itu dari keinginanan hati lah, gitu, biar gak capek, gak kesal gitu.” R2. W2k. 143-147hal. 42

3. Responden 3 Taaruf a. Latar belakang responden