Latar Belakang Respon Pertumbuhan Tiga Varietas Cabai Rawit (Capsicum frutescens L. ) Pada Beberapa Tingkat Salinitas

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai Capsicum sp. merupakan tanaman sayuran buah semusim yang diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai penyedap masakan sehingga cabai lebih dikenal sebagai sayuran rempah atau bumbu dapur. Kebutuhan cabai semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan konsumen. Tanaman cabai bila dibandingkan dengan tanaman lain jumlahnya paling kecil, tetapi karena begitu besar diperlukannya sehari-hari sebagai bumbu dapur, maka pengaruhnya terhadap stabilitas harga-harga di pasar sangat dirasakan terutama ketika menjelang hari besar hari raya. Harga cabai bisa naik sampai beberapa kali lipat dari harga biasa pada hari-hari besar, sedangkan pada hari-hari panen harganya merosot jauh dibawah harga rata-rata pasar Heni, 2003. Konsumsi cabai rawit di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan produksinya cenderung berfluktuatif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Holtikultura 2012, rata-rata konsumsi cabai rawit di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2011 berturut-turut adalah 1,288 kgkapitatahun; 1,298 kgkapitatahun dan 1,307 kgkapitatahun, sedangkan produksi cabai rawit di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2011 berturut-turut adalah 591.294 kg ha, 521.704 kgha dan 594.227 kgha. Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup baik dan umumnya dapat dibudidayakan hampir di seluruh wilayah Indonesia baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi sampai ketinggian 1400 mdpl. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25 o -27 o C. Pembungaan tanaman cabai tidak banyak dipengaruhi oleh panjang hari. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan cabai adalah sekitar 600-1200 mm per tahun. Tanaman cabai dapat tumbuh pada Universitas Sumatera Utara berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi tanah cukup baik dan air tersedia selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tingkat keasaman pH tanah yang sesuai adalah enam sampai tujuh Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2007. Menurut Sari et al. 2006, Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai daerah pantai sangat luas dan belum dimanfaatkan secara optimal. Daerah pantai mengandung senyawa garam yang berasal dari air laut dengan cara merembes ke daratan, baik lewat saluran bawah tanah maupun permukaan tanah. Senyawa garam yang dominan pada tanah salin di daerah pantai adalah natrium klorida NaCl. Kandungan NaCl yang tinggi di daerah pantai menyebabkan tanah menjadi salin sehingga hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh normal. Kandungan garam di dalam tanah akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra 1988, salinitas menyebabkan larutan tanah hipertonik terhadap cairan sel, yang selanjutnya akan terjadi pengaliran cairan sel ke tanah di sekitar akar, yang akibatnya akar tidak dapat menghisap larutan yang mengandung hara dan sel-sel tanaman pada akhirnya akan mati disebabkan kekurangan air. Secara tidak langsung, kandungan garam tinggi dalam tanah dapat menyebabkan berkurangnya air tanah yang mampu diserap oleh tanaman dan kejadian ini akan mengakibatkan tanaman layu secara fisiologis. Tanaman budidaya sebagian besar rentan pada kondisi salinitas tinggi namun ada yang dapat bertahan tetapi dengan hasil panen yang berkurang. Beberapa tanaman mengembangkan mekanisme untuk mengatasi cekaman salinitas tersebut namun sebagian ada yang menjadi teradaptasi terhadap kondisi salin Yuniati, 2004. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosmarkam dan Yuwono 2001 dalam Sari et al. 2006 yang menyatakan bahwa pada salinitas 1-3 hasil produksi menurun untuk tanaman yang sensitif, hasil produksi kebanyakan tanaman menurun pada salinitas 3-5, dan hanya tanaman tertentu yang tumbuh normal pada salinitas 5-10, serta hampir semua tanaman tidak dapat berproduksi pada salinitas lebih dari 10. Universitas Sumatera Utara Ditinjau dari segi luasan lahan, daerah pasang surut memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian walaupun mempunyai beberapa kendala, salah satunya adalah tanah yang bersifat salin. Menurut Donahue et al. 1977 dalam Harahap 1995, keadaan salinitas ini dapat diatasi dengan cara pengaturan irigasi terhadap lahan, drainase dan penambahan zat-zat kimia tertentu pada air irigasi, namun teknik-teknik tersebut memerlukan biaya yang sangat besar. Salah satu cara yang paling mudah dan efektif untuk mengatasi masalah salinitas adalah dengan menanam varietas atau jenis yang toleran terhadap salinitas, oleh karena itu perlu diteliti jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap kondisi salin.

1.2 Permasalahan