Latar Belakang Pengembangan proses produksi Alkil Poliglikosida (APG) dari glukosa dan pati sagu

2 alkohol lemak Ware et al. 2007. Panjang rantai alkohol lemak yang mereka gunakan adalah C 8 , C 10 , C 12 , C 16 heksadekanol dan C 18 oktadekanol. Böge dan Tietze 1998 juga telah menggunakan glukosa dan alkohol lemak dodekanol, C 12 untuk mensintesis APG. Mereka menggunakan proses satu tahap. Corma et al. 1998 telah membuat alkil glikosida rantai panjang dengan transasetalisasi butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang mereka gunakan adalah C 8 1-oktanol dan C 12 1-dodekanol. Tingkat kelarutan glukosa dalam alkohol rantai panjang yang hidrofobik alkohol lemak sangat rendah disebabkan perbedaan kepolarannya. Oleh karena itu, beberapa peneliti seperti El-Sukkary et al. 2008 dan Ware et al. 2007 mereaksikan terlebih dahulu glukosa dengan alkohol rantai pendek butanol, yaitu melalui reaksi butanolisis, untuk membentuk alkil butil glikosida, dimana butil glikosida ini lebih mudah larut dalam alkohol lemak. Permasalahan kelarutan sakarida dalam alkohol lemak dapat diatasi dengan penggunaan solubilizer. Boettner 1963 dalam Lüders 2000 telah menggunakan pelarut N,N- dimethylformamide DMF. McDaniel et al. 1989 dalam Lüders 2000 telah menggunakan N-methyl-2-pyrrolidone NMP sebagai pelarut. Pelarut DMF relatif mahal sedangkan NMP bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer sejenis NMP yang tidak mencemari lingkungan adalah dimetil sulfoxida DMSO dengan rumus kimia CH 3 2 SO yang merupakan asam lemah dan toleran terhadap basa kuat dengan titik didih 189 o C. Butil glikosida juga dapat bertindak sebagai solubilizer untuk memperbaiki tingkat kelarutan sakarida Luders 1987 dalam Luders 2000. Dengan menggunakan pelarut maka reaksi diharapkan berada dalam fasa homogen, sehingga reaksi polimerisasi glukosa yang tidak diinginkan dapat dihindari. Dengan demikian pengotor-pengotor atau endapan-endapan dari produk reaksi yang berwarna gelap dapat dikurangi. Selain itu penggunaan glukosa lebih mudah menyebabkan produk berwarna gelap karena gula-gula sederhana sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-product yang tidak diinginkan selama proses sintesis APG. Pati 3 adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa, karena itu pati merupakan pilihan yang tepat sebagai bahan baku yang potensial dalam produksi alkil poliglikosida. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis APG memiliki beberapa kelebihan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa serta pati tidak mudah menyebabkan produk berwarna gelap. Karena itu dalam penelitian ini digunakan pati sagu sebagai bahan baku dalam sintesis APG dan glukosa digunakan sebagai pembanding.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan kondisi optimum proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya. 2. Mengembangkan proses produksi APG dari pati sagu. 3. Mendapatkan informasi analisis kelayakan finansial produksi APG dari pati sagu dan dodekanol serta analisis sensitivitasnya.

1.3 Ruang Lingkup

Penelitian ini terdiri dari tiga bagian utama: 1. Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan sintesis APG dua tahap serta karakteristiknya. Kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida- fluida dan kinetika emulsifikasi, penerapan APG pada pembuatan produk skin lotion. 2. Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu. 3. Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan dodekanol.

1.3.1 Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya.

Bagian ini meliputi optimasi kondisi proses asetalisai sintesis APG satu tahap dan optimasi proses sintesis APG dua tahap. Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon dengan rancangan komposit terpusat. 4 Faktor-faktor yang diteliti pada sintesis APG satu tahap adalah rasio mol glukosa dengan dodekanol dan suhu asetalisasi. Sedangkan pada produksi APG dari pati sagu, faktor-faktor yang dikaji adalah rasio mol pati sagu dengan dodekanol dan suhu butanolisis. Adapun peubah responnya adalah yield APG. Karakteristik produk yang diuji adalah konfirmasi struktur produk APG dan sifat-sifat aktif permukaan APG, yaitu tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi dan hydrophile-lipophile balance HLB. Pada tahap ini juga dilakukan kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida-fluida. Karena APG larut dalam air, fluida yang digunakan adalah air-udara dan air-xilena. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan diturunkan dari persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir. Kemudian dipelajari kinetika emulsifikasi dan uji stabilitas emulsi. Emulsi pada kajian kinetika emulsifikasi terdiri dari air + mineral oil + surfaktan APG. Sedangkan pada uji stabilitas emulsi, emulsi yang digunakan adalah skin lotion yang merupakan produk terapan APG sebagai surfaktan dalam sistem emulsinya.

1.3.2 Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu

Pada bagian ini dilakukan pengembangan proses produksi APG. Proses yang digunakan dalam sintesis APG adalah proses Fischer dua tahap. Bahan baku yang digunakan adalah pati sagu, karena pati sagu banyak tersedia di Indonesia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi proses optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari pati sagu pada tahap sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses pada skala yang lebih besar menurut metode linier. Perhitungan neraca massa pada tiap-tiap tahapan proses dilakukan pada keadaan tunak. Kemudian dihitung ukuran peralatan utama dalam mensintesis APG. Pada Tahap ini juga dilakukan uji produksi APG dalam reaktor 10 L berdasarkan kondisi proses optimum yang diperoleh pada tahap sebelumnya.