PEMBAHASAN Lembar Pencatatan Hasil Pemeriksaan Klinis Sendi Temporomandibula

BAB 5 PEMBAHASAN

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian deskriptif pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran karakteristik dari subjek penelitian dimana pengolahan data didasarkan pada persentase dan penelitian analitik pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel. Penelitian dengan rancangan cross sectional merupakan penelitian dimana subjek penelitian hanya diobservasi satu kali tanpa diberi perlakuan dan variabel-variabel diukur menurut keadaan atau status sewaktu diobservasi. Wawancara dan pemeriksaan klinis dilakukan pada 30 pasien pemakai GTSL di RSGMP FKG USU dari bulan Januari 2015 sd Desember 2015 yang mengalami Temporomandibular Disorder untuk mengetahui data mengenai usia, jenis kelamin, lama pemakaian, traumatik oklusi, dan Temporomandibular Disorder lalu dilihat frekuensi distribusi usia, jenis kelamin, lama pemakaian, traumatik oklusi, Temporomandibular Disorder serta hubungan Temporomandibular Disorder dengan traumatik oklusi dan lama pemakaian yang akan disajikan dalam bentuk tabel. 5.1 Karakteristik Pasien Pemakai Gigi Tiruan Sebagian Lepasan yang Mengalami Temporomadibular Disorder di RSGMP FKG USU dari Bulan Januari 2015 sd Bulan Desember 2015 Pada penelitian ini, persentase tertinggi pengelompokan pasien pemakai GTSL di RSGMP FKG USU dari bulan Januari 2015 sd Desember 2015 yang mengalami Temporomandibular Disorder TMD berdasarkan usia ditemukan pada kelompok masa lansia awal yang terdiri dari pasien berusia 46-55 tahun 33.33. Pada tabel 5 terlihat peningkatan jumlah pemakai GTSL dari masa dewasa awal hingga masa lansia awal dan terjadi penurunan pemakai GTSL pada masa manula. Peningkatan jumlah pemakai GTSL dapat disebabkan karena seiring bertambahnya Universitas Sumatera Utara usia seseorang, jumlah gigi yang tersisa dalam rongga mulut akan semakin berkurang. Usia sebagai faktor sosiodemografi mempengaruhi terjadinya kehilangan gigi disebabkan karena semakin lama gigi berada di dalam rongga mulut, maka semakin tinggi risiko terjadinya kerusakan gigi yang jika tidak dirawat akan menyebabkan terjadinya kehilangan gigi. Penurunan jumlah pemakai GTSL pada masa manula terjadi oleh karena pergantian GTSL yang dimilikinya dengan gigi tiruan penuh akibat tidak adanya gigi asli yang tersisa. Hal ini sesuai dengan pendapat Zarb yang mengatakan bahwa jumlah pemakai GTSL akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Namun menurutnya, usia 55-64 tahun merupakan usia yang memiliki persentase pemakai GTSL yang paling tinggi. 4 Selain itu, data Oral Health US 2002 juga menunjukkan peningkatan prevalensi kehilangan gigi yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia. 59 Selain mempengaruhi peningkatan dan penurunan pemakaian GTSL, usia juga mempengaruhi terjadinya TMD. Pada penelitian ini, pada tabel 5 terlihat peningkatan prevalensi pasien yang mengalami TMD pada kelompok masa dewasa awal yang terdiri dari pasien berusia 26-35 tahun 13.33, masa dewasa akhir yang terdiri dari pasien berusia 36-45 tahun 16.67, dan masa lansia awal yang terdiri dari pasien berusia 46-55 tahun 33.33, serta mengalami penurunan terjadinya TMD pada kelompok masa lansia akhir yang terdiri dari pasien berusia 56-65 tahun 23.33 dan masa manula yang terdiri dari pasien berusia diatas 65 tahun 13.33. Peningkatan dan penurunan TMD pada pasien pemakai GTSL disebabkan oleh kualitas hidup, faktor stres dan kapasitas adaptif yang rendah yang dimiliki oleh pasien. Pasien yang berada dalam kategori dewasa muda 20-40 tahun merupakan individu yang produktif dan cenderung labil sehingga ketika mengalami suatu masalah, stres dapat memicu terjadinya penurunan kualitas hidup. Hal inilah yang dapat memicu terjadinya TMD. Peningkatan usia akan merubah standar hidup dan kapasitas adaptif seorang individu. Mereka yang telah memasuki masa lansia akhir akan lebih bisa menerima keadaan dalam suatu masalah dan dengan tenang berusaha mencari solusi yang terbaik sehingga tanda dan gejala TMD menjadi subklinis tidak jelas dan merasakan intensitas yang lebih kecil atau bahkan tidak terdeteksi, Universitas Sumatera Utara menyebabkan tingkat keparahan yang menjadi tidak jelas. 5 Hal ini sesuai dengan penelitian epidemiologi yang dilakukan Okeson 2013 menunjukkan gejala TMD paling banyak ditemukan pada individu yang berusia 20-40 tahun 13 dan penelitian yang dilakukan oleh Hiltunen 2004 dan Himawan dkk 2007 menyatakan bahwa gejala TMD akan berkurang sesuai peningkatan umur. 53 Pada pengelompokan pasien pemakai GTSL di RSGMP FKG USU dari bulan Januari 2015 sd Desember 2015 yang mengalami TMD berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase tertinggi pasien berjenis kelamin perempuan 83.33. Prevalensi terjadinya TMD yang lebih tinggi pada perempuan dapat disebabkan oleh sensitivitas biologis dalam menerima stimulus yang dimiliki perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dapat mendeteksi sinyal yang tidak dapat dikenali oleh laki-laki. Selain itu, perbedaan status sosial mengakibatkan perempuan lebih bebas dalam mengemukakan pengalamannya akan rasa sakit yang diderita. Jika dilihat secara biologis, hormonal juga berpengaruh terhadap terjadinya TMD. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa siklus menstruasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya rasa sakit pada muskuloskeletal. 52 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ebrahimi dkk 2011 11 dan Hiltunen 2004 yang menyatakan bahwa perempuan cenderung mengalami gejala TMD lebih sering daripada laki-laki. 42 Pada pengelompokan pasien yang memakai GTSL di RSGMP FKG USU dari bulan Januari 2015 sd Desember 2015 yang mengalami TMD berdasarkan lama pemakaian menunjukkan bahwa persentase tertinggi adalah pasien yang telah memakai gigi tiruan selama 6-12 bulan sejak kontrol terakhir sebanyak 13 pasien 43.33. Tingginya persentase disebabkan karena distribusi pasien terbanyak adalah pasien yang menggunakan gigi tiruan 6-12 bulan. Universitas Sumatera Utara 5.2 Prevalensi Temporomandibular Disorder pada Pasien Pemakai Gigi Tiruan Sebagian Lepasan RSGMP FKG USU dari Bulan Januari 2015 sd Bulan Desember 2015 Berdasarkan Wawancara dan Pemeriksaan Klinis Pada penelitian ini, tabel 6 memperlihatkan prevalensi pasien yang mengalami Temporomandibular Disorder TMD berdasarkan kuesioner sebesar 86.67, sedangkan berdasarkan pemeriksaan klinis diperoleh prevalensi sebesar 100. Hasil pengumpulan data menunjukkan adanya perbedaan hasil yang didapatkan berdasarkan kuesioner dan pemeriksaan klinis. Hal ini disebabkan karena tingkat keakuratan subjek penelitian dalam menjawab kuesioner merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. Temporomandibular Disorder merupakan kondisi patologis yang melibatkan otot-otot pengunyahan, otot-otot postural pada leher dan kepala atau merupakan kombinasi kondisi patologis yang terjadi pada otot dan sendi temporomandibula yang digambarkan dengan adanya nyeri pada area preauricular, nyeri pada sendi temporomandibula, nyeri pada otot-otot pengunyahan, keterbatasan atau deviasi pada pergerakan mandibula dan bunyi pada sendi mandibula selama berfungsi. 39 Pada umumnya keluhan pasien yang mengalami TMD, seperti rasa sakit pada daerah wajah, sakit kepala, sakit pada telinga, pusing kepala sering dianggap bukan berasal dari keadaan gigi-geligi dan sendi sehingga pasien sering tidak menyadari adanya tanda dan gejala TMD seperti bunyi pada sendi dan deviasi saat membuka mulut. Hal ini menyebabkan TMD lebih banyak ditemukan pada pemeriksaan klinis dibandingkan wawancara. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menyebabkan ketidakakuratan subjek penelitian dalam menjawab pertanyaan kuesioner, maka pemeriksaan klinis dianggap sebagai metode yang lebih objektif dalam mendiagnosis tanda dan gejala sendi temporomandibula. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gaphor dan Hameed 2010 menyatakan bahwa seorang individu merasa malu untuk mengakui adanya gangguan disebabkan lingkungan saat menanyakan keluhan tanpa adanya privasi. 60 Universitas Sumatera Utara Tingginya angka prevalensi pasien pemakai GTSL yang mengalami TMD baik melalui wawancara maupun pemeriksaan klinis yang dilakukan, didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti Al-Jabrah dan Al Shumailan 2006, 12,20 Dulčić, Jerolimov, dan Pandurić 2006, Hanson dan Oberg 1977 dan Sidelsky dan Clayton 1990, 9 serta Agerberg 1973 yang menyatakan bahwa prevalensi gejala TMD pada pemakaian GTSL akan semakin meningkat seiring dengan semakin sedikitnya jumlah gigi yang tersisa. 20 Pada tabel 6 dapat dilihat klasifikasi TMD yang diderita oleh subjek penelitian berdasarkan wawancara dan pemeriksaan klinis yang dilakukan menunjukkan prevalensi tertinggi subjek penelitian mengalami gangguan fungsi ringan berdasarkan kuesioner sebesar 83.33 dan pemeriksaan klinis sebesar 66.67. Pengelompokan tingkat keparahan TMD didasarkan pada Helkimo 1974 yang membagi tingkat keparahan ke dalam tidak mengalami TMD, ringan, sedang, dan berat. Pengelompokan yang dilakukan oleh Helkimo bertujuan untuk melakukan perawatan yang sesuai terhadap TMD yang diderita. 5.3 Prevalensi Traumatik Oklusi Pasien Pemakai Gigi Tiruan Sebagian Lepasan di RSGMP FKG USU dari Bulan Januari 2015 sd Bulan Desember 2015 Pada penelitian ini, pada tabel 7.1 terlihat prevalensi pasien yang mengalami traumatik oklusi berdasarkan pemeriksaan klinis yang dilakukan dengan menggunakan kertas artikulasi dan shim stock adalah sebesar 93.33 yang terdiri dari traumatik oklusi pada saat oklusi sentrik, oklusi eksentrik, serta oklusi sentrik dan eksentrik. Menurut The Glossary of Prosthodontic Terms 2005, traumatik oklusi adalah cedera yang terjadi pada periodonsium dan struktur lain yang diakibatkan oleh tekanan berlebihan pada saat pergerakan fungsional dan parafungsional. 3 Dalam jangka waktu tertentu, tekanan berlebihan yang terjadi secara berulang-ulang pada gigi, bila ada faktor yang memperparah, beban ini akan mencederai gigi, jaringan periodontal, linggir sisa, dan struktur lain dalam rongga mulut. 5 Universitas Sumatera Utara Tabel 7.2 memperlihatkan traumatik oklusi yang paling banyak terjadi pada pasien yang memakai GTSL pada penelitian ini adalah oklusi lateral dengan persentase sebesar 82.14 dimana sisi balancing adalah sisi yang mengalami traumatik terbanyak dalam oklusi ini yaitu sebesar 35.71. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Moteghi 1992 yang menyatakan bahwa kontak prematur sisi balancing dan lateral merupakan faktor penyebab utama terjadinya traumatik oklusi. Selain itu, Tazkayayilmaz 2004 menemukan adanya hubungan antara posisi kondilus, diskus TMJ dan kontak oklusi pada pergerakan lateral mandibula dan menyimpulkan bahwa kontak prematur dari sisi balancing akan memberi dampak pada kondisi diskus. 8 Pada hasil penelitian ini didapati daerah kontak GTSL yang paling banyak mengalami traumatik oklusi adalah daerah kontak antara anasir gigi tiruan dan gigi asli. Pada tabel 7.3 terlihat traumatik oklusi yang terjadi pada gigi asli – anasir gigi tiruan saat oklusi sentrik sebanyak 15 sampel, saat oklusi lateral sebanyak 12 sampel, dan saat oklusi anteroposterior sebanyak 10 sampel. Penyesuaian oklusi antara anasir gigi tiruan dengan gigi asli bertujuan untuk memeriksa apakah terdapat traumatik oklusi pada daerah tersebut. Penyesuaian oklusi dapat dilakukan dengan pengasahan dataran oklusal. Namun, pada program profesi pengasahan dataran oklusal tidak dilakukan sehingga memungkinkan terjadinya traumatik oklusi khususnya yang terjadi saat oklusi eksentrik yang ditemukan terjadi sebanyak 22 sampel. Kemungkinan lain yang dapat menyebabkan banyaknya traumatik oklusi yang terjadi meskipun telah dilakukan kontrol sebanyak 2x adalah pemeriksaan yang tidak menggunakan shim stock. Pada penelitian ini, digunakan shim stock dengan ketebalan 8μm. Penggunaan shim stock dengan ketebalan yang tipis menghasilkan pemeriksaan traumatik oklusi yang lebih akurat. Jika terdapat traumatik oklusi, maka shim stock akan memberi tanda berupa ‘close and hold’ yang mana akan memberikan tahanan ketika shim stock ditarik ke arah bukal. 18 Universitas Sumatera Utara 5.4 Hubungan Temporomandibular Disorder dengan Traumatik Oklusi pada Pasien Pemakai Gigi Tiruan Sebagian Lepasan RSGMP FKG USU dari Bulan Januari 2015 sd Bulan Desember 2015 Pada penelitian ini, prevalensi pasien pemakai GTSL yang mengalami Temporomandibular Disorder TMD baik ringan, sedang, dan berat paling tinggi terdapat pada pasien yang mengalami traumatik oklusi dengan gejala TMD ringan 60. Berdasarkan hasil uji Uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai p=0.971 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara TMD ringan, sedang, dan berat dengan traumatik oklusi. Hal ini sesuai dengan penelitian epidemiologis dan klinis yang dilakukan oleh Roberts dkk 1987, Seligman dkk 1988 dan Celic dan Jerolimov 2002 menunjukkan tidak adanya hubungan antara traumatik oklusi dengan terjadinya TMD. Tidak adanya hubungan antara TMD ringan, sedang, dan berat dengan traumatik oklusi kemungkinan disebabkan distribusi subjek penelitian yang tidak merata di setiap kategori. Pada tabel 8 terlihat subjek penelitian yang mengalami gejala TMD sedang dan berat seluruhnya mengalami traumatik oklusi, dan 2 subjek penelitian 6.67 yang mengalami gejala TMD ringan yang tidak mengalami traumatik oklusi. Pada tabel 8 terlihat dari 20 pasien pemakai GTSL yang mengalami TMD ringan, 18 pasien 60 mengalami traumatik oklusi sedangkan 2 pasien lain 6.67 tidak mengalami traumatik oklusi. Selain itu terlihat dari 9 pasien 30 yang mengalami TMD sedang, seluruh pasien mengalami traumatik oklusi. Begitu juga dengan 1 pasien 3.33 yang mengalami TMD berat juga mengalami traumatik oklusi. Hal ini menunjukkan bahwa etiologi dari TMD merupakan multifaktorial yakni banyak faktor risiko yang dikaitkan terhadap timbulnya tanda dan gejala TMD, bukan hanya traumatik oklusi. Bell 1990 dan Okeson 2013 berpendapat bahwa etiologi TMD adalah kompleks dan multifaktorial dimana banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya TMD. Faktor-faktor ini terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu faktor predisposisi yang merupakan faktor yang menigkatkan risiko terjadinya TMD, faktor inisisasi yang merupakan faktor penyebab awal terjadinya TMD, faktor perpetuasi yang merupakan pengganggu proses penyembuhan atau Universitas Sumatera Utara memperparah terjadinya TMD, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi TMD seperti usia, jenis kelamin, dan lama pemakaian. 13,40 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh De Laat dkk 1986 dan Pullinger dan Seligman 2000 menunjukkan bahwa hanya 5 - 27 pasien TMD yang ada hubungannya dengan gangguan oklusi. 9 Selain itu, Pullinger dkk 1993 melihat hubungan antara oklusi dengan TMD melalui analisis multifaktorial yang bertujuan mengetahui dampak dari interaksi 11 faktor oklusi yang dikumpulkan secara random. Pullinger dkk 1993 mendapati bahwa tidak ada satupun faktor oklusal yang dapat membedakan pasien TMD dengan orang yang sehat. Pullinger dkk 1993 menyimpulkan bahwa oklusi tidak dapat dianggap sebagai faktor etiologi utama yang berhubungan dengan TMD. 13 5.5 Hubungan Temporomandibular Disorder dengan Lama Pemakaian pada Pasien Pemakai Gigi Tiruan Sebagian Lepasan RSGMP FKG USU dari Bulan Januari 2015 sd Bulan Desember 2015 Pada penelitian ini, prevalensi pasien pemakai GTSL yang mengalami Temporomandibular Disorder TMD baik ringan, sedang, dan berat paling tinggi terdapat pada lama pamakaian 1-6 bulan dengan gejala TMD ringan 23.33. Berdasarkan hasi uji Uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai p=1 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara TMD ringan, sedang, dan berat dengan lama pemakaian. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian oleh Bordin dkk 2013 yang menyatakan bahwa lama pemakaian gigi tiruan berpengaruh terhadap terjadinya TMD. Tidak adanya hubungan antara TMD ringan, sedang, dan berat dengan lama pemakaian disebabkan karena etiologi dari TMD adalah multifaktorial. Bell 1990 dan Okeson 2013 berpendapat bahwa etiologi TMD adalah kompleks dan multifaktorial dimana banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya TMD. Faktor-faktor ini terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu faktor predisposisi yang merupakan faktor yang menigkatkan risiko terjadinya TMD, faktor inisisasi yang merupakan faktor penyebab awal terjadinya TMD, faktor perpetuasi yang merupakan pengganggu proses penyembuhan atau memperparah terjadinya TMD, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi TMD seperti usia, jenis kelamin, dan lama Universitas Sumatera Utara pemakaian. 13,40 Selain itu, tidak adanya hubungan antara TMD ringan, sedang, dan berat dengan lama pemakaian kemungkinan dapat juga disebabkan karena distribusi subjek penelitian yang tidak merata di setiap kategori. Pada tabel 9 terlihat tidak adanya subjek penelitian pada lama pemakaian 6-12 bulan dan 12-18 bulan yang mengalami gejala TMD berat, dan 1 subjek penelitian pada lama pemakaian 1-6 bulan yang mengalami gejala TMD berat. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bordin dkk 2013 yang bertujuan untuk melihat prevalensi tanda dan gejala TMD terhadap 70 orang yang memakai GTSL selama kurang dari 1 tahun, 1-5 tahun, dan lebih dari 5 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bordin dkk 2013 menyatakan bahwa pemakaian GTSL kurang dari 1 tahun memperlihatkan tanda dan gejala TMD sebesar 26.8, pemakaian GTSL 1-5 tahun memperlihatkan tanda dan gejala TMD sebesar 21.4, pemakaian GTSL lebih dari 5 tahun memperlihatkan tanda dan gejala TMD sebesar dan 51.8. Penelitian yang dilakukan oleh Bordin dkk 2013 menunjukkan prevalensi tanda dan gejala TMD akan meningkat sesuai dengan peningkatan lama pemakaian GTSL. 12 Namun, Okeson 2013 berpendapat bahwa kemampuan beradaptasi dari seorang individu mempengaruhi terjadinya TMD. 13 Pada hasil penelitian terlihat subjek penelitian yang mengalami TMD berat terletak pada pemakaian 1-6 bulan, sedangkan subjek penelitian pada lama pemakaian 6-12 bulan dan 12-18 bulan mengalami TMD ringan dan berat. Tidak adanya hubungan antara Temporomandibular Disorder dengan traumatik oklusi dan lama pemakaian kemungkinan disebabkan faktor etiologi Temporomandibular Disorder adalah multifaktorial sehingga banyak faktor risiko yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya Temporomandibular Disorder, bukan hanya traumatik oklusi. Selain itu, hasil uji statistik yang kurang valid diakibatkan distribusi jumlah subjek penelitian tidak merata di setiap kelompok. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan antara Temporomandibular Disorder dengan traumatik oklusi dan lama pemakaian menggunakan jumlah sampel yang terdistribusi merata pada setiap kelompok. Universitas Sumatera Utara Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak terdistribusinya subjek penelitian secara merata sehingga data yang diperoleh tidak cukup akurat untuk digunakan dalam menganalisis hubungan Temporomandibular Disorder dengan traumatik oklusi dan lama pemakaian. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN