Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian
memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka
makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja :
Gambar 3 Peta Rholand Barthes
1. Signfier
Penanda 2.
Signified Petanda
3. Denotative sign Tanda Denotatif
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
PENANDA KONOTATIF 5.CONNOTATIVE
SIGNIFIED PETANDA
KONOTATIF 5.
CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
Sumber : Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2004. hal: 69
Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Penanda merupakan tanda yang kita persepsi objek
fisik yang dapat ditunjukkan dengan foto yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah
juga penanda konotatif 4 yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda 1 dan petanda 2. Sementara itu petanda konotatif 5 menurut Barthes
adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda 1. Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda konotasi, mitos, dan simbol dalam tatanan pertanda kedua signifikasi tahap kedua. Konotasi menggambarkan
interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam
konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama 4 dalam peta Ronald Barthes.
Universitas Sumatera Utara
Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis
konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Semiologi Roland Barthes menekankan pada peran pembaca reader, peran di sini berarti walaupun sebuah
tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland
Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari makna riil-nya denotasi, kemudian hubungan antara satu tanda dengan tanda
lainnya akan dicari makna tersirat didalamnya konotasi. Tradisi semiotika meyakini manakala realitas media telah terpajang di
hadapan publik atau khalayaknya maka media seketika kehilangan otoritasnya untuk memaksa tafsiran makna yang dikehendaki. Pemaknaan pun berpindah ke
tangan pembaca, pembaca boleh semena-mena karena tafsir realitas tergantung pengalaman kebudayaan yang dipunyainya. Inilah kira-kira yang diimajinasikan
oleh Roland Barthes, ketika ia menggambarkan bagaimana otoritas pembuat simbol telah berakhir dan pemaknaan pun telah beralih ke tangan pembaca
Sunarto dan Hermawan, 2011:233. Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana
naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia lexias, yaitu satuan-satuan pembacaan unit of reading
dengan panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan
dengan teks lain disekitarnya, adalah sebuah leksia. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, berupa satu-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah
paragraf Budiman, 2003:53. Dimensinya tergantung kepada kepekatan density dari konotasi-
konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran pertama
diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi Budiman, 2003 : 54.
Universitas Sumatera Utara
Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok five major code yang di dalamnya terdapat penanda teks leksia. Lima kode yang
ditinjau Barthes yaitu Sobur, 2004:65-66 : 1.
Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam
teks, kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode Proaretik, atau kode tindakanlakuan dianggap sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat
dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat
memahaminya.
3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengodean yang paling khas bersifat
struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan
nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan.
4. Kode Kultural Kode Gnomik, kode ini merupakan acuan teks ke
benda-benda yang sudah diketahui dan sudah dikodifikasi oleh budaya. Menururt Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan kepada
apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis
bertumpu.
5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat
dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema
di dalam cerita.
Selain penanda teks leksial dan lima kode utama yang telah dijelaskan diatas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland
Barthes adalah :
1. Penanda dan Petanda