Kelompok feminisme ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan
perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penganut feminisme marxis tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki
sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.
4. Feminisme Posmodern
Feminis posmodern hidup dalam lingkungan masyarakat yang telah memberikan hak-hak yang setara dan berbagai keuntungan bagi kaum perempuan.
Maka dari itu, wacana publik era 1980an dan 1990an menyatakan secara tidak langsung bahwa karena perempuan telah mencapai kesetaraan dengan laki-laki,
gerakan protes tidak perlu dilanjutkan lagi. Jika tidak, perempuan akan menjadi lesbian dan pembenci laki-laki.
5. Feminisme Eksistensialis
Simon de Beauvoir, salah satu tokoh utama dalam aliran feminisme ini memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha menyingkapkan struktur-struktur dari
pengalaman hidup perempuan, khususnya yang berkaitan dengan pengalaman tubuhnya. Sementara, perhatian tokoh lainnya Jean Paul Sartre, hanya terfokus
pada masalah tubuh dalam bentuk kesadaran.
2.2.3.1 Sejarah dan Perkembangan Feminisme Eksistensialis
Feminisme Eksistensialis merupakan salah satu jenis aliran pemikiran feminis. Aliran ini dipelopori oleh Simone De Beauvoir yang terkenal dengan
bukunya yang berjudul The Second Sex. Paham-paham Beauvoir dalam feminisme eksistensialis ini dipengaruhi oleh paham eksistensialisme dalam filsafat milik
Jean Paul Sartre. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus
bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi, dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ciri-ciri pemikiran filsafat eksistensialisme adalah Syarifah, 2006:55 : 1.
Pertama, kata eksistensi menunjukkan “cara manusia berada”, karena hanya manusia yang bisa bereksistensi. Maka, pusat perhatiannya ada
pada manusia, dan oleh sebab itu pula eksistensialisme bersifat humanistis menunjung tinggi nilai dan martabat manusia, yang
Universitas Sumatera Utara
menjadikan manusia sebagai ukuran semua hal yang menyangkut atau berkaitan dengan keutamaan.
2. Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis, yaitu berbuat,
menjadi, merencanakan. Kedinamisan ini membuat setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3. Ketiga, menjadi lebih atau kurang dari keadaannya menunjukkan bawa
manusia adalah realitas yang belum selesai yang masih harus dibentuk. Hal ini terutama, karena manusia terikat pada dunia sekitarnya,
terutama pada sesama manusia.
4. Keempat, sebagai realitas yang belum selesai, pengalaman konkret,
pengalaman kognitif manusia menjadi sangat penting dan harus mendapat perhatian utama untuk memahami cara manusia berada.
Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri dan Ada
dalam dirinya sendiri. Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran dan
mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran yang hanya dimiliki oleh manusia. Perbedaan antara Ada dalam
dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri
dengan tubuh. Tubuh mempunyai kehadiran yang konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan dan dirasakan. Sebaliknya, yang
melihat, entitas yang melakukan tindak melihat, menyentuh, mendengar, mencium, dan merasakan bukanlah objek yang semata-mata dapat dilihat,
melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-Adaan. Konsep Sartre y
ang paling dekat dengan feminisme adalah ”ada untuk orang lain”. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia. Sayangnya dalam hal relasi
antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobjekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain” Liyan. Jadi dalam hal ini laki-laki adalah
subyek dan perempuan adalah objek Tong, 2010: 255. Beauvoir mengemukakan, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus
mensubordinasi perempuan dalam dirinya. Ia menyebutkan ada tiga jenis perempuan yang memainkan peran perempuan sampai ke puncaknya. Mereka
adalah pelacur, narsis dan perempuan mistis. Peran pelacur merupakan paradigma perempuan sebagai Liyan, sebagai objek yang dieksploitasi. Dia melacurkan
dirinya bukan hanya untuk uang, tetapi juga untuk penghargaan yang ia dapatkan
Universitas Sumatera Utara
dari laki- laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanannya”. Tidak seperti istri atau
kekasih, pelacur mendapatkan imbalan karena menjadikan tubuhnya sebagai alat pemenuhan mimpi laki-
laki, yaitu ; “kemakmuran dan ketenaran”. Peran feminin yang bahkan lebih problematik daripada pelacur adalah
narsis. narsisme pada perempuan adalah hasil dari ke-Liyanannya. Perempuan merasa putus asa sebagai subjek karena ia tidak diperkenankan untuk terlibat
dalam kegiatan mendefinisi diri, dan arena kegiatan femininnya tidaklah memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek penting atas dirinya
sendiri. Perempuan mempercayai bahwa dirinya adalah suatu objek atas keyakinan yang ditegaskan orang disekitarnya. Perempuan terpesona bahkan
menjadi obsesif terhadap citranya sendiri. Rasa menjadi subjek dan objek pada saat yang bersamaan, tentu saja merupakan ilusi semata. Seorang narsis dengan
cara tertentu yakin bahwa ia merupakan sintesis mustahil dari Ada untuk Dirinya sendiri dan Ada pada Dirinya sendiri. Akhirnya narsisme menghambat kemajuan
diri perempuan. Ia menjadi terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat laki- laki dan untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat.
Penghargaan diri seorang narsis tergantung kepada penilaian laki-laki dan masyarakat terhadap dirinya. Ia hanya cantik jika masyarakat menyatakan bahwa
ia cantik. Ia sendiri tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk menyatakan kecantikannya. Banyak perempuan terobsesi pada penampilan, sehingga mereka
berusaha untuk memperbaiki penampilannya yang sesungguhnya merupakan jalan agar perempuan tadi indah untuk dilihat oleh laki-laki. Dengan kata lain laki-laki
akan lebih terpuaskan menjadikan perempuan sebagai objeknya. Lalu yang ketiga dan yang paling problematik adalah perempuan mistis.
Perempuan mistis ini tidak dapat membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan laki-laki dengan Tuhan. Perempuan dalam kategori ini berbicara tentang Diri yang
Agung dan kemudian membicarakan laki-laki adalah Dewa. Dari segi feminisme ini dilihat bahwa perempuan selalu menjadi objek terutama di dunia yang sifatnya
sangat patriarkal ini, dunia perempuan selalu akan dimasukkan ke dalam dunia laki-laki sebagai bukti penguasaan laki-laki terhadap perempuan.
Aliran feminisme eksistensialis dianggap sesuai dalam penelitian ini adalah karena feminism ini memfokuskan perhatiannya pada masalah eksistensi
Universitas Sumatera Utara
dan kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri. Di dalam objektivikasi perempuan, misalnya dalam pornografi, perempuan seolah kehilangan eksistensi atas tubuhnya
sendiri.
2.2.4 Foto