Introduksi buku diktat DIHT

berkembang dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah Mantidae, mata besar capung. d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa. e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid mempunyai sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator yang polifag. Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi parasitoid dan inang. Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah Coleoptera: Coccinellidae, kumbang tanah Coleoptera: Carabidae, undur- undur Neuroptera: Chrysopidae, kepik buas Hemiptera: Reduviidae, belalang tanduk panjang Orthoptera: Tettigonidae, jangkerik Orthoptera: Gryllidae, Kepinding air Hemiptera: Vellidae, Anggang-anggang Hemiptera: Gerridae, capung jarum Odonata: Coenagrionidae, semut Hymenoptera: Formicidae dan dari golongan laba-laba harimau Araneae: Lycosidae. Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut. PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi dalam pelaksanaan pengendalian hayati sering digunakan secara bersama.

1. Introduksi

43 Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat. Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai Icerya purchasi yang menyerang perkebunan jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial maupun parsial. Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara lain introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke Indonesia yang ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa Promecotheca reichei. Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat mendekati 100. Juga pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra Kalshoven, 1981. Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan tetapi untuk menjelaskan teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan susunan ekosistem pertanian. Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam terutama tentang sifat penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan musuh alami yang akan diintroduksikan, dan keadaan ekosistem setempat. Sampai saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode coba- coba atau metode trial and error. Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan. Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan urutan sbb: a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal spesies eksotik yang akan diimpor b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri sesuai peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat baik fasilitas maupun SDMnya e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens pengendalian hayati f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar yang dibuat oleh para ahli pengendalian hayati metode eksklusi dan metode neraca kehidupan Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah: 44 a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidaksedikit berdampak negatif bagi organisme lain, b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang, c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun petani, d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin, e. Dari perhitungan manfaat dan biaya Benefit Cost sangat menguntungkan dibandingkan penggunaan pestisida

2. Augmentasi