buku diktat DIHT

(1)

Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM

Yogyakarta


(2)

.

Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.

Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah ini menguraikan Interaksi Tanaman dan Hama; Pendugaan Kehilangan Hasil dan Ambang Pengendalian; Landasan Ekologi Pengelolaan Hama; Pengamatan dan Pengambilan Sampel; Unsur dan Komponen Dasar PHT; Pengendalian dengan Varietas Resisten, Pengembangan Tanaman Transgenik, Karantina Tumbuhan; Pengendalian Hayati; Pengendalian Kimiawi; Pengelolaan Hama Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pasca Panen; Kebijakan Perlindungan Tanaman.

Tujuan Instruksional Khusus: Agar mahasiswa dapat:

1. Memahami dan menjelaskan pengertian + batasan hama tanaman, klasifikasi, identifikasi, taksonomi dan sistematikanya.

2. Memahami dan menjelaskan gejala serangan, mengukur berat serangan dan tingkat kerugian hasil yang diakibatkan oleh hama.

3. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis hama dan gejala serangan hama tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan hama pasca panen.

4. Memahami dan menjelaskan sifat dan kemampuan beradaptasi hama pada tingkat individu.

5. Memahami dan menjelaskan faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi populasi hama dan kerusakan yang diakibatkannya.

6. Memahami dan menjelaskan cara penentuan dan penggunaan Ambang Pengendalian sebagai dasar rekomendasi pengendalian hama.

7. Memahami dan menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip PHT dan penerapannya untuk berbagai jenis dan kelompok hama di pertanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan pasca panen.

8. Memahami dan menjelaskan beberapa kasus aktual lapangan yang berkaitan dengan pengendalian hama-hama utama di Indonesia.

Materi 1


(3)

HAMA TANAMAN

Pokok Bahasan:

1. Beberapa batasan dan pengertian.

2. Arti penting hama tanaman untuk program pembangunan pertanian. 3. Data kerusakan dan sebaran beberapa hama utama di Indonesia. 4. Sebab-sebab muncul dan berkembangnya masalah hama tanaman. 5. Tujuan pengendalian hama dan pongelolaan hama.

Materi:

PERISTILAHAN

 Hama Tanaman

 Merujuk pada binatang yang menjadi HAMA yakni merusak tanaman dan merugikan petani

 Selama binatang tersebut (serangga, tikus, nematoda, tungau, dll) mendatangkan kerugian disebut HAMA TANAMAN

 Tetapi keberadaan binatang di tanaman tidak selalu mendatangkan kerugian/kerusakan tanaman

 Banyak jenis binatang herbivora ada di pertanaman tetapi tidak semuanya menjadi hama

 Di samping itu di ekosistem banyak sekali jenis binatang yang tidak merugikan malahan

menguntungkan seperti MUSUH ALAMI (parasitoid, predator), serangga PENYERBUK

TANAMAN (lebah, tawon) serangga-serangga netral seperti SEMUT, dll.

Istilah HAMA merupakan istilah yang

ANTROPOSENTRIS

artinya lebih berpusat

pada kepentingan manusia.

Bagaimana dengan istilah HAMA TUMBUHAN? Sebetulnya kurang tepat karena TUMBUHAN adalah semua jenis tetumbuhan yang hidup di biosfir termasuk tumbuhan di ekosistem alami atau tumbuhan yang tidak dibudidayakan manusia.

TANAMAN adalah tumbuhan yang diusahakan manusia untuk diambil manfaatnnya bagi kehidupan manusia. Karena istilah HAMA pada dasarnya antropogenik, yang paling tepat kita gabungkan istilahnya adalah HAMA TANAMAN, istilah HAMA TUMBUHAN dapat juga dipakai meskipun kurang pas kombinasinya.

Kalau istilah PENYAKIT TUMBUHAN memang lebih tepat, karena PENYAKIT lebih merujuk pada GEJALANYA. Tumbuhan sedang sakit, kondisi yang secara fisiologi tidak normal, tidak sehat. Setiap jenis tumbuhan termasuk TANAMAN dapat sakit. Sakitnya tumbuhan dapat disebabkan oleh karena infeksi jasad renik seperti virus, jamur, bakteri, dll, tetapi sakitnya mungkin juga karena kondisi fisik/abiotik yang tak sesuai seperti suhu, kering, basah, dll. Karena itu di Ilmu Penyakit Tumbuhan kita kenal Organisme Penyebab Penyakit. Kalau hama merujuk pada binatang yang merugikan, penyakit merujuk pada gejala tumbuhan yang SAKIT.

OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan istilah “formal/hukum nasional” yang digunakan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. Menurut UU tersebut:


(4)

“OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan”.

Digunakannya istilah OPT untuk mencakup semua kelompok pengganggu tumbuhan termasuk HAMA, PENYAKIT dan GULMA. Tiga kelompok pengganggu tumbuhan ini yang pengendalian atau pengelolaannya dicakup dalam bidang PERLINDUNGAN TANAMAN. Namun harap diperhatikan bahwa definisi OPT menurut UU ada perbedaannya dengan pengertian Hama Tanaman dan Penyakit Tumbuhan yang sudah dijelaskan di depan. Teman-teman Fitopatologi banyak yang tidak sependapat dengan istilah OPT.

Dilihat dari sisi ilmu-ilmu dasar pendukung Perlindungan Tanaman sbb:

HAMA TANAMAN :

- Entomologi (ilmu serangga)

- Nematologi (ilmu nematoda)

- Rodentologi (Ilmu rodent/tikus)

- Akarologi (ilmu akarina)

- dll

Karena sebagian besar hama termasuk kelompok serangga seringkali Ilmu Hama diartikan entomologi.

PENYAKIT TUMBUHAN :

- Fitopatologi

- Virologi

- Mikologi

- dst

GULMA :

- Ilmu gulma

Dalam bahasa inggris Istilah PEST sebenarnya digunakan untuk seluruh kelompok OPT, namun secara khusus sering diartikan untuk pengertian HAMA

HAMA TANAMAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

Program Pembangunan Pertanian Nasional apakah dengan pola Pembangunan Pertanian AGRIBISNIS atau program KETAHANAN PANGAN sangat ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengendalikan, mengelola HAMA TANAMAN. Hal ini disebabkan karena berbagai jenis HAMA dan atau OPT lainnya dapat menurunkan KUANTITAS dan KUALITAS hasil-hasil pertanian, dan sangat sering MENGGAGALKAN PANEN, menyebabkan PUSO, artinya 100% GAGAL. Serangan HAMA mengakibatkan:

1. Produksi TURUN (nasional, propinsi, lokal, tingkat petani) 2. Kualitas ANJLOK (mutu rendah-sulit dipasarkan-diekspor) 3. Harga produk MEROSOT

4. Biaya produksi NAIK

5. RUGI secara ekonomik (biaya lebih besar daripada pendapatan) 6. PENGHASILAN NEGARA/DAERAH (PAD) TURUN

7. PENGHASILAN TURUN ---- KESEJAHTERAAN PETANI MENURUN ---- KEMISKINAN MENINGKAT

Taksiran KASAR/KONSERVATIF. Rata-rata kehilangan hasil Produksi Pertanian


(5)

– 25%. HITUNG SENDIRI secara finansial berapa kerugian yang kita derita setiap tahun karena hama-hama padi, bila produksi tahun 2003 itu diperkirakan 53 juta ton padi kering panen. Jumlah itu setelah dikurangi 25% kehilangan hasil oleh OPT padi.

Menurut catatan DEPTAN 1997-2001, serangan OPT padi, jagung, kedelai sebesar

Rp 463 milyar /tahun. Tahun 1999 serangan OPT Perkebunan merugikan sebesar Rp 340

milyar. Serangan OPT Hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang,

kubis, tomat) diasumsikan rata-rata Rp 1,7 trilyun/tahun. Lihat juga tabel keadaan serangan OPT di Indonesia pada tahun 2001-2002 (jenis dan luas serangan)

Mengingat potensi penurunan hasil akibat HAMA yang sangat besar kegiatan

Pengelolaan Hama menjadi BAGIAN PENTING - INTEGRAL dari setiap USAHA TANI atau

BUDIDAYA TANAMAN agar diperoleh Tingkat PRODUKSI dan KUALITAS produksi yang DIINGINKAN baik oleh PEMERINTAH maupun PETANI – KELOMPOK TANI

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENINGKATAN SERANGAN DAN KERUSAKAN OLEH HAMA

Masalah hama di suatu lokasi pada saat/musim tertentu tidak muncul begitu saja tanpa penyebab atau faktor-faktor pendorong. Banyak faktor yang mendorong terus ada dan meningkatnya masalah hama. Hampir seluruh faktor pendorong tersebut adalah karena ulah/perbuatan/tindakan MANUSIA sehingga ekosistem pertanian menjadi sangat sesuai bagi pertumbuhan, pembiakan dan kehidupan hama tanaman. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Penanaman monokultur (jenis tanaman atau varietas tanaman yang sama) sepanjang waktu dan tempat, contoh padi

2. Penanaman jenis tanaman atau varietas tanaman yang peka hama tetapi unggul produksi 3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami di

lokasi baru ---- KARANTINA gagal

4. Penggunaan masukan produksi yang berkelebihan seperti pupuk buatan, pestisida, hormon tumbuh, pengairan dll.

5. Penggunaan pestisida kimia berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana, terus-menerus dan berlebihan. Pestisida membunuh musuh alami, resistensi dan resurjensi hama.

6. dll, termasuk terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim

KESIMPULANNYA: Masalah timbul, muncul dan terus ada karena manusia, jadi sering disebutkan bahwa hama saat ini adalah “MAN-MADE PEST” (Hama buatan MANUSIA). Tanpa ada kegiatan manusia tidak ada masalah hama.

TUJUAN PENGENDALIAN HAMA DAN PENGELOLAAN HAMA

Pada saat ini di kalangan petani, pejabat dan petugas pemerintah akademisi dan masyarakat dikenal 3 istilah pemberantasan hama, pengendalian hama dan pengelolaan hama.

Pemberantasan hama: adalah usaha memusnahkan, membunuh hama yang

umumnya dilakukan dengan pestisida kimia secara preventif, tidak memperhitungkan keadaan hama di lapangan apakah sedang dalam kondisi populasi rendah atau tinggi, pokoknya disemprot habis-habisan sampai petani merasa puas. Pemberantasan hama yang mengakibatkan munculnya resisitensi hama dan letusan hama yang berkelanjutan

Pengendalian hama: lebih hati-hati daripada pemberantasan hama. Penggunaan

pestisida hanya dilakukan bila populasi hama telah membahayakan atau melampaui ambang pengendalian atau ambang ekonomi. Bila populasi hama tidak membahayakan tidak perlu dikendalikan dengan pestisida.


(6)

Pengelolaan hama: Lebih menekankan aspek pengelolaan ekosistem (tanaman, tanah, mikroklimat, budidaya dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada dalam keseimbangan dengan musuh alaminya sehingga hama tidak membahayakan, tak perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida tetapi produksi tanaman tetap tinggi, kualitas produksi baik

PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kebijakan Perlintan di Indonesia berdasarkan UU No 12/1992 dan PP 6/1995. PHT adalah usaha pengelolaan agroekosistem dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama (bercocok tanam, fisik, mekanik, varietas resisten, pengendalian hayati, pengendalian kimia, dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada di bawah Ambang Pengendalian.


(7)

INTERAKSI TANAMAN DAN HAMA

Interaksi antara tanaman dan hama dapat dilihat dari aspek EKOLOGIS dan EKONOMIS. Dari sisi ekologi hubungan antara tanaman dan hama merupakan interaksi yang saling mengendalikan antara tanaman yang autotroph dengan binatang HERBIVORA yang heterotroph dalam suatu sistem trofi yang berjalan secara EFISIEN dan berkesinambungan. Karena kemampuannya mengubah energi surya menjadi energi biokimia melalui proses fotosistesis tanaman menempati aras trofi pertama sebagai PRODUSEN. Energi pada tanaman digunakan oleh binatang yang memakan tanaman (HERBIVORA) yang menempati aras trofi kedua sebagai KONSUMEN PERTAMA. Binatang karnivora memperoleh energinya dengan memangsa herbivora sehingga menempati aras trofi ketiga sebagai KONSUMEN KEDUA, demikian seterusnya. Aliran energi di ekosistem melalui sistem trofi dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Aliran Energi dalam Ekosistem melalui Sistem Trofi Aras

trofi

Istilah

Ekosistem Antroposentris

1 Tumbuhan Tanaman

2 Herbivora Hama tanaman

3 Karnivora 1 Predator, parasitoid (musuh alami) 4 Karnivora 2 Predator, hiperparasitoid

Perlu diperhatikan bahwa di ekosistem termasuk ekosistem persaingan interaksi antara organisme yang menempati aras trofi yang sama atau antar aras trofi sangat kompleks, dan dinamis melalui proses evolusi dan koevolusi. Tujuan interaksi sebenarnya adalah terjadinya keseimbangan dan kestabilan ekosistem. Masalah ini akan dibahas pada kuliah dua minggu lagi.

Aspek EKONOMIS

Produsen

Konsumen 1

Konsumen 2

Dekomposer EKOSISTEM

Energi keluar ekosistem sebagai panas

Energi memasuki ekosistem sebagai radiasi surya


(8)

Adanya populasi serangga/hama di suatu tanaman akan menimbulkan LUKA (“injury”) pada tanaman. Luka adalah setiap bentuk penyimpangan fisiologis tanaman sebagai akibat aktivitas serangga hama yang hidup, berada dan makan pada tanaman tersebut.

Luka tanaman dapat mengakibatkan terjadinya KERUSAKAN (“damage”). Kerusakan adalah kehilangan hasil yang dirasakan oleh tanaman (petani) akibat adanya populasi hama atau serangan hama antara lain dalam bentuk penurunan kuantitas dan kualitas hasil.

Pengertian dan istilah LUKA lebih terpusat pada HAMA dan AKTIVITASNYA, sedangkan KERUSAKAN lebih terpusat pada TANAMAN dan respon tanaman terhadap pelukaan oleh hama.

Istilah-istilah lain berkaitan dengan hama dan tanaman yang saat ini digunakan dalam

kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh para petugas pengamat lapangan (dulu namanya PHP- Pengamat Hama dan Penyakit, sekarang namanya POPT- Pengendali OPT).

1. Tanaman terserang adalah tanaman yang digunakan sebagai tempat hidup dan

berkembang biak OPT dan atau mengalami kerusakan karena serangan OPT pada tingkat populasi OPT atau intensitas kerusakan tertentu sesuai dengan jenis OPT nya

2. Luas serangan: adalah luas tanaman terserang yang dinyatakan dalam hektar atau

rumpun atau pohon

3. Intensitas serangan: adalah derajat serangan OPT atau derajat kerusakan tanaman yang

disebabkan oleh OPT yang dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif.

a. Intensitas serangan secara kuantitatif dinyatakan dalam % (persen) bagian tanaman/tanaman atau persen kelompok tanaman terserang. Intensitas serangan dalam % dilaporkan oleh PHP

b. Intensitas serangan secara kualitatif dibagi menjadi 4 kategori serangan yaitu: ringan, sedang, berat dan puso. Kategori serangan dilaporkan oleh koordinator PHP, BPTPH. Adapun kategori intensitas serangan serangga hama secara umum dapat digunakan pedoman sbb:

a. Serangan ringan bila derajat serangan <25% b. Serangan sedang bila derajat serangan 25-50% c. Serangan berat bila derajat serangan 50-90% d. Serangan puso bila derajat serangan >90 %

CARA PELUKAAN TANAMAN OLEH SERANGGA

A. Luka Oleh Serangga Pada Tanaman Yang Sedang Tumbuh 1. Luka oleh serangga penggigit

2. Luka oleh serangga pencucuk pengisap

3. Luka oleh serangga yang makan di dalam jaringan tanaman (internal feeders) termasuk penggerek, pengorok dan pembuat puru

4. Luka oleh serangga-serangga tanah

5. Luka oleh serangga yang sedang meletakkan telur dan membuat sarang 6. Luka oleh serangga-serangga yang “memperhatikan” serangga-serangga lain 7. Luka oleh serangga sebagai vektor/pengantar penyakit tumbuhan

Berbagai bentuk luka oleh serangga pada tanaman yang biasa kita catat sebagai


(9)

Keterangan :

Hasil interaksi antara populasi hama dan tanaman mengakibatkan luka pada tanaman, luka mengakibatkan kerusakan dan kerusakan tanaman karena hama menyebabkan terjadinya kehilangan atau penurunan hasil tanaman dan kualitas produk/hasil. Kehilangan hasil dapat berakibat pada kerugian ekonomi (biaya lebih besar daripada nilai produksi) yang dialami petani atau pengusaha pertanian. Hasil interaksi populasi hama dan populasi tanmaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik lainnya dan faktor-faktor abiotik dan terutama oleh tindakan manusia terhadap ekosistem

Gambar 2. Interaksi antara Populasi Hama dan Tanaman

FAKTOR-FAKTOR BIOTIK DAN ABIOTIK

TINDAKAN MANUSIA

LUKA KERUSAKAN KEHILANGAN HASIL DAN

KUALITAS

KERUGIAN EKONOMIK

PETANI

Populasi

Hama Populasi Tanama n


(10)

B. Luka Oleh Serangga Pada Manusia Dan Binatang Lain

C. Serangga Sebagai Perusak Produk Di Gudang Dan Bahan-Bahan Lain D. Metode Pendugaan Kerusakan Tanaman Oleh Hama

Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan tanaman dan kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan dengan menghitung atau mengukur luka atau gejala yang ditinggalkan atau diakibatkan oleh hama. Beberapa pengukuran yang sering digunakan adalah terhadap tanaman atau bagian tanaman antara lain seperti:

1. Keseluruhan tanaman

Jumlah atau % tanaman mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan hama tertentu 2. Daun

Adanya kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya diukur dengan menggunakan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun

3. Batang

 Jumlah atau % puru, sundep, beluk

 Jumlah lubang keluar

 Panjang lubang gerekan

 Luka potongan batang oleh ulat 4. Buah dan benih

 Jumlah lubang atau luka di buah

 Jumlah atau % buah rusak seperti terserang PBK (Penggerek Buah Kakao) dan PBKo (Penggerek Buah Kopi)

5. Akar

 Panjang, berat kering atau volume perakaran yang terserang hama


(11)

Materi 3

PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL

Pokok Bahasan:

A. Pendugaan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama (Crop Loss Assesment)

B. Penggunaan Ambang Pengendalian sebagai tingkat pengambilan keputusan penggunaan PESTISIDA

Materi:

Pendugaan kehilangan hasil adalah usaha untuk menduga, menaksir bahkan meramal tentang kerugian ekonomi yang mungkin akan dialami oleh petani, perusahaan pertanian, pemerintah atau pengusaha agribisnis karena adanya serangan hama pada pertanaman yang mereka budidayakan. Dengan melakukan pendugaan kehilangan hasil para produsen pertanian dapat menentukan beberapa hal:

 Apakah keberadaan populasi hama di lahannya akan merugikan atau menurunkan hasil usahanya dalam kisaran toleransi ekonominya. Bila masih berada pada kisaran toleransi petani tidak perlu melakukan tindakan pengendalian atau mengeluarkan biaya untuk pengendalain.

 Apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau pencegahan hama. Apabila perlu berapa besar biaya pengendalian yang harus dikeluarkan. Tentunya petani tidak akan mengeluarkan biaya pengendalian sampai melebihi nilai kehilangan hasil

 Bila petani sudah memutuskan perlu dilakukan tindakan pengendalian, teknik pengendalian mana yang akan digunakan apakah dengan cara kimiawi dengan pestisida kimia atau dengan secara hayati menggunakan musuh alami, atau menggunakaan varietas tanaman tahan hama dan seterusnya. Dalam menetapkan teknik pengendalian hama yang akan dilakukan petani/produsen adalah mempertimbangkan beberapa faktor yaitu a) efektivitas pengendalian, b) biaya pengendalian, dan c) risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Pendugaan kehilangan hasil juga akan digunakan untuk menentukan berapa nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi yang akan kita bahas pada akhir kuliah ini.

Siapa yang memerlukan Kehilangan Hasil?

Banyak pihak yang memerlukan data pendugaan kehilangan hasil, diantaranya:

1. Petani secara perseorangan (untuk petak dan lahan miliknya sendiri) atau secara berkelompok (untuk hamparan sawah/lahan). Satu kelompok hamparan besarnya terdiri dari 20-30 petani.

2. Pemeriantah Daerah dan Pemerintah Pusat, biasaya melalui Dinas Pertanian Kabupaten dan Departemen Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Hortikultura dan Ditjen Perkebunan.

3. Pengusaha Pertanian misal PT Perkebunan milik Pemerintah, PT Pagilaran milik Fak. Pertanian UGM, dst.

CARA PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL

Untuk menghitung kehilangan hasil dalam bentuk satuan berat (ton/ha) atau satuan rupiah (Rp/ha) secara TEPAT jelas sangat sulit dan tidak mungkin, karena tidak mungkin kita


(12)

mengukur dan menghitung semua lahan yang ada baik milik petani dan kelompok tani maupun lahan pertanaman tertentu di suatu daerah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional). Yang dapat kita lakukan adalah melakukan PENDUGAAN, kata-kata lain ESTIMASI, PENAKSIRAN, berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan/petak sawah/tanaman/pohon/rumpun yang digunakan sebagai SAMPEL, CONTOH yang mewakili.

Untuk memperoleh taksiran kehilangan hasil untuk suatu petak atau hamparan/sawah atau suatu daerah kita harus mempunyai data seperti:

1. Luas serangan – LSR (dalam ha)

2. Intensitas serangan – ISR (dalam % rumpun/tanaman terserang) a

ISR = --- x 100%

a + b

a: jumlah rumpun/batang terserang b: jumlah rumpun/batang tak terserang

3. Hubungan antara intensitas serangan dengan hasil tanaman yang diperoleh dari pengalaman petani atau dari hasil penelitian.

Suatu contoh:

Gambar 3. Hubungan antara Intensitas Serangan Hama dengan Hasil Tanaman

Dari fungsi ini kita mengetahui dugaan hasil tanaman atau produksi tanaman dalam kondisi intensitas serangan (%) tertentu, katakan 50% intensitas serangan, produksi atau hasil tanaman adalah 6 ton/ha. Kita sebut Produksi Tanaman Terserang (PTT)

4. Dari fungsi ini kita ketahui bahwa hasil tanaman yang tidak terserang hama atau produksi tanaman sehat (PTS) adalah 9,5 ton/ha.

5. Harga dari produk/hasil tanaman pada tingkat petani katakan Rp 1000/kg atau Rp 1 juta/ton (HG)

6. Kehilangan hasil (KH) dalam satuan berat (ton) = Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Sehat (PTS) --- Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Terserang (PTT)

7. Nilai kehilangan hasil (NKH) dalam rupiah = Harga produk (HG) x KH

Suatu contoh: Untuk hama padi di suatu kecamatan ternyata LSR 500 ha. PTT= 6 ton/ha. PTS = 9,5 ton/ha dan harga padi kering panen (HG) Rp 1500/kg.

KH = (LSR x PTS) – (LSR x PTT) = (500 x 9,5) – (500 x 6) = 4750 – 3000 ton = Rp 2.625.000.000

Intensitas serangan (%)

H

as

il

Ta

n

am

an

(

to

n

/h

a

)

10 6 5 2


(13)

= Rp 2,625 milyar

Dengan perhitungan tersebut secara kasar kita dapat mengetahui seberapa besar kerugian yang dialami oleh petani, masyarakat dan pemerintah akibat terjadinya serangan hama tertentu.

Dari cara penghitungan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa untuk menduga kehilangan hasil kita memerlukan hubungan fungsional antara populasi hama atau intensitas serangan (%) dengan hasil. Tanpa informasi tentang hubungan ini kita tidak dapat menduga/menaksir berapa hasil tanaman yang akan diperoleh bila terserang hama pada intensitas serangan atau populasi hama tertentu. Untuk memperoleh fungsi tersebut perlu dilakukan percobaan pengamatan langsung di lapangan. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan antara lain:

1. Cara pertama adalah dengan cara ALAMI yaitu dengan:

Mengamati beberapa petak sawah dengan menghitung berapa populasi hama atau intensitas serangan hama tertentu. Misal pada petak pertama intensitas serangan 5%, petak kedua 20%, petak ketiga 40%, petak keempat 60%, petak kelima 80%, dan petak keenam puso atau 95%. Pada waktu panen kita lakukan ubinan hasil pada semua 6 petak tersebut. Dari langkah pertama dan kedua tersebut kita dapat memperoleh fungsi hubungan intensitas serangan dan hasil.

2. Namun seringkali di lapangan kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan petak-petak sawah yang memiliki kisaran lebar dalam kepadatan populasi hama atau intensitas serangan seperti contoh di atas. Untuk memperoleh intensitas serangan atau populasi hama yang berbeda seringkali kita lakukan secara BUATAN yaitu dengan menginfestasikan hama dalam pertanaman yang dikurung dalam suatu kasa yang selebar petak sawah. Dengan melakukan infestasi hama kita dapat mengatur berapa kepadatan populasi atau intensitas serangan yang kita inginkan.

3. Cara ketiga merupakan cara yang paling murah tetapi tidak teliti yaitu dari data EMPIRIK atau pengalaman dari petani kita lakukan wawancara pada petani yang sudah lama berpengalaman menghadapi masalah hama tertentu yang menyerang tanaman atau komoditas pertanian yang mereka usahakan. Kita tanyakan pada para petani berapa produksi tanaman yang mereka dapatkan dalam kondisi intensitas serangan hama rendah, sedang, tinggi dan puso, serta berapa produksi tanaman dalam kondisi sehat atau tidak terserang hama. Dari data empirik petani akhirnya kita dapat memperoleh hubungan fungsional antara intensitas serangan dan hasil. Cara ini mudah kita lakukan, tetapi sulitnya tidak semua petani ingat apalagi menyimpan data serangan hama dan kerusakan yang pernah mereka alami.

PENETAPAN AMBANG PENGENDALIAN

Dalam konsep PHT kita kenal beberapa istilah yang arti dan fungsinya sama yaitu: 1. Ambang Ekonomi (AE) “Economic Threshold

2. Ambang Kendali (AK) “Economic Threshold” atau Ambang Pengendalian “Control

Threshold

3. Ambang Tindakan (AT) “Action Threshold

Artinya adalah suatu aras (tingkat) kepadatan populasi hama atau intensitas serangan hama yang membenarkan dimulainya penggunaan PESTISIDA untuk pengendalian hama. Tujuan penggunaan pestisida adalah menurunkan populasi hama sampai di bawah AE agar


(14)

Gambar 4. Populasi Hama dan letak Aras Luka Ekonomi, Ambang

Ekonomi dan Aras

Keseimbangan Umum pada Keadaan Normal

dapat dikendalikan secara alami oleh kompleks musuh alami sehingga populasi hama tetap berkisar sekitar aras keseimbangan umum (Gambar 4).

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan gejolak populasi hama sepanjang musim tanam pestisida hanya diaplikasikan satu kali yaitu pada waktu populasi melampaui AE. Dengan demikian penggunaan pestisida dapat dihemat, petani tak perlu menggunakan pestisida secara berjadwal seperti seminggu sekali, atau pada umur 15, 20, 45, 60 HST (hari setelah tanam). Namun untuk melaksanakan prinsip tersebut ada dua syarat penting yaitu:

1. Harus dilakukan pengamatan secara berkala (katakan seminggu sekali) 2. Harus ada ketentuan mengenai berapa besar nilai AE/AK/AT tersebut

Dengan demikian untuk setiap jenis hama yang menyerang komoditas tertentu harus mempunyai nilai AEnya masing-masing bahkan pada prinsipnya nilai AE suatu jenis hama tidak tetap, tidak sama dari satu tempat/lokasi ke tempat lain dari waktu ke waktu lain. Artinya nilai AE dinamis, tidak seragam. Yang menetapkan nilai AE yang paling baik adalah petani/kelompok tani sendiri yang berlaku untuk spesifik lahannya masing-masing. Saat ini karena petani banyak yang belum mampu nilai AE lebih sering mengikuti ketetapan atau rekomendasi pemerintah atau rekomendasi peneliti sehingga nilai AE cenderung seragam. Mungkin untuk sementara keadaan tersebut dapat berjalan tetapi harus diikuti dengan melakukan pelatihan pada petani untuk mengembangkan dan menetapkan AE nya sendiri. Biasanya petani menerima rekomendasi AE dari para PPL atau PHP (Pengamat Hama dan Penyakit).

Suatu contoh untuk tanaman padi:

AE wereng coklat : 5 nimfa + dewasa/rumpun padi pada fase vegetatif 10 nimfa + dewasa /rumpun pada fase generatif AE penggerek batang: 30% intensitas serangan pada fase vegetatif

10% intensitas serangan pada fase generatif

ARAS LUKA EKONOMI

ARAS KESEIMBANGAN UMUM AMBANG EKONOMI PESTISIDA

WAKTU (hari)

P

op

ul

as

i H

am

a

at

au

I

nt

en

si

ta

s

Se

ra

ng

an


(15)

(lihat lampiran)

CARA PENETAPAN/PENGHITUNGAN AE

Ada beberapa cara penentuan AE yang dapat kita lakukan:

1. Cara empirik atau berdasar pengalaman dari petani, peneliti atau petugas lapangan yang sudah lama menekuni dan merasakan tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh serangan hama tertentu pada komoditas yang diusahakan. Berdasarkan data empirik/pengalaman selama bertahun-tahun dapat diperoleh informasi tentang pada aras populasi atau intensitas serangan berapa hama tersebut mulai dirasakan merugikan secara ekonomi. Pada aras populasi mulai merugikan tersebut. AE/AK/AT hama berbeda. Karena itu AE/AK/AT ini dapat kita namakan sebagai AE petani atau Ambang Petani saja.

Untuk lebih jelasnya secara grafik data empirik tentang aras populasi/intensitas serangan dan hasil dapat dilihat pada gambar 5. Perhatikan sampai populasi 5 larva belum terjadi penurunan hasil sehingga petani masih bisa mentoleransikan tetapi pada populasi 7 petani sudah mulai merasakan kerugian ekonomi. Pada keadaan kurve pengalaman petani demikian, maka AE/AK/AT petani adalah 7 larva/rumpun.

Karena pengalaman dan perasaan petani berbeda-beda kita akan memperoleh AE yang sangat khas/spesifik lokasi, spesifik petani sehingga menjadi variatif dan tidak seragam. Dengan pengalaman yang bertambah dan tingkat toleransi yang semakin baik, petani akan selalu menyesuaikan atau memperbarui nilai AE nya!

Gambar 5. Hubungan

Populasi Hama dengan Hasil

2. Cara Penelitian

Penetapan AE melalui penelitian dilakukan oleh para peneliti yang khusus ingin mengetahui berapa AE pada suatu jenis hama pada komoditas tertentu. Biasanya sasaran kegiatan penelitian adalah memperoleh nilai ALE (Aras Luka Ekonomi) dan dari nilai ALE dihitung AE yang besarnya ¾ atau 2/3 ALE. ALE dihitung dengan menggunakan titik impas/BEP (Break

Even Point). ALE adalah suatu populasi atau intensitas serangan dimana nilai kehilangan

hasil (dalam Rp) yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan pestisida sama dengan total baya pengendalian (dalam Rp).

BP ALE = ---

Populasi hama larva/rumpun

H

as

il

(k

ui

nt

al

/h

a

)

Mulai terjadi kerugian ekonomik

AE petani


(16)

HG x LT x BK dimana

BP = Biaya pengendalian (Rp/ha) HG= Harga produk (Rp/kg)

LT = Luka tanaman yang diakibatkan oleh satu individu hama BK = Berat kerusakan tanaman per unit luka tanaman

Untuk memperoleh LT dan BK perlu dilakukan serangkaian percobaan di lapangan, di rumah kasa atau di laboratorium.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALE DAN AE

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE termasuk jenis varietas tanaman, fase tumbuh tanaman, instar hama, lokasi pertanaman, dll.

Dari sekian banyak faktor, 4 faktor yang paling penting yaitu: 1. Harga produk

2. Biaya pengendalian

3. Derajat luka yang diakibatkan oleh individu hama 4. Kepekaan tanaman terhadap serangan hama Perhatikan Gambar 6 di bawah. Apa artinya?

Gambar 6.

Hubungan antara

Harga Produk dan Biaya Pengendalian dengan ALE/AE

Kita harus mengetahui bahwa semakin tinggi ALE/AE penggunaan pestisida menjadi semakin jarang atau semakin sedikit, semakin rendah ALE/AE semakin sering/banyak penyemprotan pestisida dilakukan.

Bagan alir sistem keputusan pengelolaan hama yang menunjukkan letak pendugaan populasi hama atau infestasi serangan hama dan pendugaan kehilangan hasil serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7.

Dari ketetapan-ketetapan pada gambar dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan pendugaan kehilangan hasil serta menetapkan dan menerapkan AE/AK/AT diperlukan kerjasama lintas disiplin ilmu (misal ilmu-ilmu perlintan, ekonomi, sosiologi, agronomi, statistis, dll) dan lintas sektor. Tidak dapat dilakukan oleh orang-orang/pakar perlintan.

A

L

E

/A

E

A

L

E

/A

E


(17)

Gambar 7. Bagan Alir Sistem Keputusan Pengelolaan Hama

Pendugaan hama

Pengaruh (i) pada hasil (y)

Hasil (y)

AE /AT / AK

Pengamatan

Percobaan

Pengaruh pengendalian

terhadap (i)

? Apa lebih besar dari

AE?

Tak perlu

dikendalikan dengan pestisidaKendalikan

Pendugaan kehilangan

hasil Infestasi

ya tidak


(18)

Materi 4

LANDASAN EKOLOGI PENGELOLAAN HAMA

Tujuan:

1. Mengetahui dua model pertumbuhan populasi organisme 2. Mengetahui model dinamika populasi hama

3. Mengetahui mekanisme pengendalian alami dan pengaruh faktor abiotik dan biotik 4. Mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap dinamika populasi hama

Materi:

Dari kuliah sebelumnya kita mengetahui bahwa keberadaan populasi hama di pertanaman dan di ekosistem menentukan seberapa besar kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi yang dialami oleh petani atau pengusaha pertanian lainnya. Juga kita ketahui bahwa populasi hama sepanjang musim tanam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat tidak tetap tetapi DINAMIS, naik turun, berfluktuasi sekitar suatu garis atau posisi keseimbangan umum (General Equilibrium Position). Banyak faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi dinamika populasi hama. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat melakukan pengelolaan hama yang efektif dan efisien. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan pengelolaan hama bukan untuk membasmi hama, memberantas hama sampai habis tetapi mempertahankan populasi hama di pertanaman tetap berada di bawah AE/AK/AT atau pada aras yang secara ekonomi tidak merugikan. Perhatikan gambar tentang posisi AE, ALE dan Garis keseimbangan pada kuliah minggu yang lalu.

Diharapkan para mahasiswa setelah kuliah ini dapat menjawab pertanyaan: Apa sebabnya kita tidak mungkin melakukan pembasmian atau pemusnahan hama seperti banyak orang harapkan?

Pada prinsipnya keberadaan dan perkembangan populasi hama dan populasi organisme lainnya ditentukan oleh dua kekuatan yaitu:

1. POTENSI BIOTIK atau "Biotic Potential" dan

2. PERLAWANAN LINGKUNGAN atau "Environmental Resistance"

Yang disebut POTENSI BIOTIK adalah kemampuan suatu organisme untuk tetap hidup

dan berkembang biak. Kalau kita perhatikan kelompok serangga, organisme ini mempunyai

potensi biotik yang sangat besar dan kemampuan berbiak sangat cepat. Dengan siklus hidup pendek, ukuran tubuh kecil dan kemampuan bertahan hidup yang tinggi maka populasi serangga sangat cepat meningkat sehingga dalam waktu sebentar saja dapat memenuhi permukaan bumi ini. Apabila suatu organisme berkembang sepenuhnya sesuai dengan kemampuan hayati (potensi biotik)nya, maka pertumbuhan populasi organisme tersebut akan mengikuti model pertumbuhan ekponensial atau pertumbuhan geometrik seperti Gambar 8.

dN

--- = r N = ( b – d ) N dt

N = populasi

r = laju pertumbuhan populasi intrinsik b = laju kelahiran

d = laju kematian


(19)

Gambar 8. Pertumbuhan Populasi

Organisme Mengikuti Model

Pertumbuhan Ekponensial atau

Geometrik

Di dunia saat ini satu-satunya organisme yang populasinya tumbuh secara eksponensial adalah MANUSIA. Di alam populasi organisme tidak dapat meningkat secara eksponensial karena adanya kekuatan lain yang me"lawan" atau meng"hambat" yang kita namakan

Perlawanan Lingkungan atau Hambatan Lingkungan. Kekuatan ini yang akan menghambat

populasi suatu organisme untuk bertambah dan meningkat sesuai dengan kemampuan biotiknya. Karena itu model pertumbuhan populasi yang lebih cocok adalah model pertumbuhan logistik seperti Gambar 9.

Gambar 9. Model Pertumbuhan

Populasi Logistik

dN K - N

--- = r N ( --- ) dt K

N = populasi

t = waktu

r = laju pertumbuhan populasi

K = asimtot atas atau nilai N maksimum

Kurve tersebut menunjukkan model pertumbuhan secara matematik. Kalau kita bandingkan dengan data lapangan populasi suatu organisme, kita memperoleh gambaran

Waktu (t)

P

op

ul

as

i

(N

)

K

Waktu (t)

P

op

u

la

si

(N


(20)

dinamika populasi yang mirip dengan pertumbuhan logistik terutama pada daerah I dan II seperti Gambar 10.

Menurut gambar tersebut pertumbuhan populasi organisme dapat kita bagi menjadi 5 daerah. Daerah I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid. Periode ini terdiri dari tahap pembentukan populasi (A), pertumbuhan cepat secara eksponensial (B) serta tahap menuju keseimbangan (C). Daerah II merupakan pencapaian aras keseimbangan yang merupakan garis asimtot kurve sigmoid. Pada tahap ini populasi telah mencapai stabilitas numerik. Setelah daerah II tercapai kemudian populasi bergejolak sekitar aras keseimbangan yaitu pada daerah III. Daerah III merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi. Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang tidak simetris. Daerah III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang bekerja pada populasi organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak berfungsi lagi, terjadilah daerah IV yang merupakan periode penurunan populasi atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut kemudian akan terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu daerah V yang merupakan periode kepunahan populasi.

Gambar 10. Pertumbuhan

Populasi Organisme yang Terbagi menjadi 5 Tingkat

Adanya kekuatan Hambatan Lingkungan terhadap pertumbuhan populasi organisme dalam kondisi oskilasi dan fluktuasi di sekitar aras keseimbangan umum seperti yang terjadi di daerah III. Di daerah III terjadi mekanisme keseimbangan populasi oleh bekerjanya berbagai faktor abiotik dan biotik yang secara bersama kita sebut sebagai faktor PENGENDALI ALAMI.

FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN DAN FAKTOR BEBAS KEPADATAN

Dilihat dari proses pengendalian dan pengaturan populasi organisme, maka berbagai faktor hambatan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi Faktor Tergantung Kepadatan

Populasi (FTK) atau "Density Dependent Factors" dan Faktor Bebas Kepadatan Populasi

(FBK) atau "Density Independent Factors". Pengelompokan ini lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan cara pengelompokan lainnya. Bagan berikut menunjukkan faktor-faktor yang termasuk dalam FTK dan FBK.

A B C Waktu (t)

I II III IV V

P

op

ul

as

i

(N


(21)

Faktor Tergantung Kepadatan

Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang mempunyai sifat penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat pada waktu populasi semakin tinggi, dan sebaliknya penekanan lebih longgar pada waktu populasi semakin rendah. Kalau dihubungkan antara mortalitas yang disebabkan oleh faktor FTK dengan populasi hama misalnya dapat diperoleh garis regresi (Gambar 11).

Gambar 11. Hubungan antara populasi dan mortalitas yang disebabkan oleh Faktor Tergantung Kepadatan

Faktor tergantung kepadatan terbagi menjadi faktor yang timbal balik dan tidak timbal balik. FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti predator, parasitoid, dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan antara populasi dan mortalitas oleh FTK dapat berjalan dari kedua arah. Apabila populasi spesies A meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh predator B akan semakin meningkat, antara lain dengan meningkatnya predasi dan jumlah predator B. Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun mortalitas oleh predator dan jumlah predator juga menurun. Dengan demikian perubahan populasi spesies A akan selalu diikuti dengan perubahan kepadatan populasi predator B (Gambar 12).

FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar

FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar individu untuk memperoleh makanan dan ruang semakin kuat sehingga mortalitas A menjadi meningkat, dan demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa apabila populasi A meningkat kemudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah pouplasi A menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda dengan kelompok musuh alami, hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritorialitas termasuk dalam FTK yang tidak timbal balik.

Populasi

L

aj

u

M

o

rt

a

lit

a

sM

o

rt

a

lit


(22)

Gambar 12. Komponen Pengendalian Alami yang Tergantung Kepadatan dan Bebas Kepadatan

PENGENDALIAN ALAMI

FAKTOR BEBAS

KEPADATAN TERGANTUNG FAKTOR

KEPADATAN

FISIK Tanah Suhu Kebasahan Pergerakan air

BIOLOGI

Ketersediaan inang Kualitas makanan

TIDAK TIMBAL

BALIK Makanan Ruang Teritorial

TIMBAL BALIK Musuh alami

-Parasitoid

-Predator -Patogen -Herbivora


(23)

Gambar 13. Gejolak populasi sekitar aras keseimbangan umum, dan bekerjanya FTK dan FBK.

Gambar 14. Mekanisme Umpan Balik pada Pengaturan Populasi Spesies A oleh Predator

Gambar 15. POPULASI

FBK

M

or

ta

lit

as

Waktu FBK

FTK

FBK

FTK

Po

pu

la

si

A

ra

s K

es

eim

ba

ng

an

Titik Imbang Predator-Inang Jumlah Inang

Meningkat

Jumalah Inang Berkurang Jumlah Inang Termakan

Berkurang

Jumlah Inang Meningkat

Jumalah Inang Berkurang

Jumlah Inang Termakan

Meningkat

Persediaan Makanan Predator Berkurang

Jumlah Predator Meningkat Persediaan Makanan

Predator Meningkat

Jumlah Predator Berkurang


(24)

Hubungan antara populasi organisme dan mortalitas akibat Faktor Bebas Kepadatan.

Faktor Bebas Kepadatan

Faktor Bebas dari Kepadatan (FBK) atau "Density Independent Factor" merupakan faktor mortalitas yang daya penekanannya terhadap populasi organisme tidak tergantung pada kepadatan populasi organisme tersebut. Faktor abiotik seperti suhu, kebasahan, angin merupakan FBK yang penting.

FBK kadang kala dapat membawa populasi semakin menjauh (lebih atau kurang) dari aras keseimbangan. Misal bila keadaan suhu tidak sesuai bagi kehidupan serangga dapat mengakibatkan populasi serangga menurun menjauhi garis keseimbangannya. Setelah hal itu terjadi faktor FBK akan bekerja mengangkat kembali populasi ke aras keseimbangannya. Bila keadaan cuaca sangat menguntungkan bagi kehidupan dan perkembanganbiakan suatu hama, dapat mendorong populasi hama tersebut meningkat cepat menjauhi aras keseimbangannya. Namun, peningkatan populasi tersebut juga tidak akan berjalan terus, karena FTK seperti musuh alami akan mengencangkan penekanannya sehingga populasi kembali lagi ke aras keseimbangannya.

Dr. CLARK mengelompokkan beberapa penyebab mortalitas (kematian) serangga menjadi 7 kelompok yaitu:

1. Umur: menjadi tua atau "aging"

2. Vitalitas rendah: kemampuan serangga dalam menghadapi faktor-faktor lingkungan yang

jelek seperti cuaca ekstrim

3. Kecelakaan: adanya peristiwa-peristiwa yang tidak normal (fisiologi dan ekologi) yang dapat

mengakibatkan kematian

4. Kondisi fisiko kimia: terkait dengan kondisi fisika dan kimia di tempat serangga hidup

termasuk kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi air, udara, dll.

5. Musuh alami: sebagai faktor pengendali alami serangga yang bersifat tergantung kepadatan

seperti yang telah dijelaskan

6. Kekurangan pakan: serangga hama sangat ditentukan survival dan perkembangannya oleh

ketersediaan pangan yang disediakan manusia. Tetapi untuk serangga musuh alami bila tidak tersedia pakan yang sesuai yang menjadi inang atau mangsa akan sangat mempengaruhi survivalnya.


(25)

Berikut diagram yang menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung faktor-faktor cuaca.

Pengaruh Faktor-faktor Cuaca bagi Kehidupan Serangga

Dengan demikian dalam jangka waktu panjang di dalam setiap ekosistem, selalu terjadi keseimbangan populasi organisme termasuk populasi hama, yang secara dinamik bergejolak di sekitar aras keseimbangan populasinya masing-masing. Setiap organisme dalam kondisi ekosistem tertentu memiliki aras keseimbangannya sendiri-sendiri. Aras populasi tersebut dapat tinggi, tetapi juga dapat rendah seperti yang kita harapkan.

Tak Langsung Langsung

Individu Populasi

Aktivitas Perkembangan

Perilaku

Fenologi Mortalitas

Natalitas Pergerakan

Habitat Parasitoid

Predator Patogen Makanan

Natalitas Mortalitas Pergerakan

Mangsa (A)

Predator

Waktu

P

op

ul

as


(26)

Gambar 16. Hubungan antara kepadatan serangga A dan kepadatan predator B

Pengaruh Tindakan Manusia terhadap Populasi Hama

Faktor-faktor alami seperti suhu, curah hujan sebagai faktor abiotik serta faktor biotik seperti parasitoid, predator, patogen hama, pesaing, dll bekerja secara interaktif yang membawa populasi hama berada di sekitar aras keseimbangannya. Justru faktor MANUSIA dengan segala tindakannya sangat mempengaruhi dinamika populasi hama sehingga dapat sangat menjauhi aras keseimbangan. Manusia dapat mempengaruhi letak aras keseimbangan melalui mekanisme sbb:

Dalam mengelola agroekosistem, manusia dapat mempengaruhi atau mengubah letak aras keseimbangan umum suatu spesies hama melalui kegiatan pengelolaan agroekosistem. Aras keseimbangan populasi hama dapat meningkat antara lain dengan penggunaan pestisida yang berlebihan dan kurang tepat, sehingga dapat membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida yang dilakukan terus-menerus dapat mengakibatkan aras keseimbangan hama tersebut akan meningkat melebihi aras keseimbangan sebelumnya (Gambar 17).

Peningkatan aras keseimbangan populasi hama dapat juga terjadi sebagai akibat tersedianya makanan hama secara luas dan terus menerus. Demikian juga jika varietas tanaman yang ditanam adalah varietas peka, lambat laun aras keseimbangan populasi hama akan meningkat.

Bila aras keseimbangan meningkat maka dapat mengakibatkan populasi hama melebihi AE/AT/AK yang ditetapkan. Dalam keadaan demikian petani terpaksa menggunakan pestisida lebih sering lagi sehingga dapat meningkatkan kerugian, tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi konsumen dan kualitas lingkungan hidup.

Aras keseimbangan populasi hama dapat juga diturunkan apabila yang terjadi sebaliknya yaitu dengan memasukkan atau melakukan konservasi musuh alami. Tindakan manusia demikian ini akan mendorong bekerjanya pengendali alami di daerah tersebut, yang dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi hama. Salah satu sasaran PHT adalah menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga berada di bawah ambang pengendalian.

Gambar 17. Peningkatan aras keseimbangan akibat perlakuan pestisida secara terus menerus. Aras Keseimbangan 1

A

ra

s K

es

eim

ba

ng

an

2

Waktu

Po

pu

la

si


(27)

Materi 5

FUNGSI PENGAMATAN DALAM SISTEM PHT

Tujuan:

A. Mempelajari fungsi pengamatan dalam sistem PHT

B. Mempelajari prinsip-prinsip pengambilan sampel dan pengamatan

C. Mempelajari praktek pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman oleh petugas pengamat hama

D. Pengamatan oleh petani

Materi:

HUBUNGAN PENGAMATAN, PENGAMBILAN SAMPEL DAN PEMANTAUAN

Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang sesuatu obyek yang diamati/dikaji/diteliti. Pengamatan bisa dilakukan secara berkala maupun insidentil. Ada beberapa maksud atau tujuan pengamatan yaitu pengamatan untuk pengumpulan data penelitian, pengamatan untuk penyusunan lapangan dan pengamatan untuk pengambilan keputusan. Kegiatan pengamatan yang dilakukan secara berkala pada suatu obyek pengamatan tertentu untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut PEMANTAUAN.

Kegiatan pemantauan dalam PHT merupakan kegiatan utama yang membedakan sistem PHT dengan sistem pengendalian hama secara konvensional. Peranan pengamatan dan pemantauan hama dan ekosistem dalam penerapan sistem PHT adalah seperti bagan berikut:

Gambar 18. Hubungan antara pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan dalam sistem pelaksanaan PHT

Dari gambar tersebut, kegiatan pertama yang dilakukan adalah pemantauan ekosistem. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengikuti perkembangan keadaan ekosistem pada suatu

Pengambil Keputusan

Pemantauan Tindakan Pengelolaan

E K O S I S T E M P E R T A N I A N


(28)

saat yang meliputi perkembangan komponen ekosistem, baik komponen biotik seperti keadaan tanaman, tingkat kerusakan tanaman oleh hama, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami dan lain-lain. Juga komponen abiotik seperti suhu, curah hujan, kebasahan, dll. Hasil pemantauan atau data hasil pemantauan dianalisis antara lain dengan membandingkan data ekosistem dengan nilai AE atau Ambang Kendali. Dari hasil analisis ekosistem dapat diambil keputusan mengenai tindakan pengendalian atau pengelolaan yang perlu diterapkan pada ekosistem. Hasil pengambilan keputusan segera diterapkan ke lapangan mengenai tindakan pengelolaan atau pengendalian seperti perbaikan budidaya tanaman, introduksi musuh alami, mengubah habitatnya, pengendalian dengan pestisida, dll. Pengambil keputusan semakin ke bawah yaitu pada pihak pengelola dari ekosistem pertanian, seperti petani atau kelompok tani.

MEMPELAJARI PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN

Sampel atau contoh merupakan bagian dari suatu populasi yang diamati. Dalam praktek pengamatan tidak mungkin bagi pengamat mengamati seluruh individu dalam populasi tetapi pengamatan dilakukan pada sebagian kecil populasi yang kita sebut sampel. Dari informasi yang diperoleh pada sampel kita ingin menduga sifat populasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, sampel yang diambil harus dapat mewakili. Populasi sampel terdiri dari beberapa unit sampel. Jumlah unit sampel sering kita namakan sebagai ukuran sampel. Misalkan kita ingin mengetahui populasi hama atau kerusakan tanaman dalam satu daerah/lahan yang luasnya 1 hektar, sebagai unit sampel ditetapkan rumpun padi. Jumlah rumpun padi yang diamati 30. Hal ini berarti unit sampel adalah rumpun dan ukuran sampel 30.

Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama, atau organisme lain yang diamati. Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik pengamatan dan pengambilan sampel yang dilakukan yaitu praktis, dan dapat dipercaya. Praktis berarti metode pengamatan yang dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal, dan sedapat mungkin tidak mengambil waktu lama. Hasil pengamatan harus dapat dipercaya berarti metode tersebut akan menghasilkan data yang dapat mewakili atau menggambarkan secara benar tentang sifat populasi sesungguhnya. Faktor yang mempengaruhi pengambilan sampel:

1. Sifat dan ketrampilan petugas pengamat 2. Keadaan lingkungan setempat

3. Sifat sebaran spasial serangga

PENYUSUNAN PROGRAM PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN

Dalam menyusun secara lengkap program pengambilan sampel pada suatu wilayah pengamatan perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan beberapa kriteria atau ketentuan tentang pengambilan sampel. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi penetapan tentang:

1. Unit Sampel

2. Interval Pengambilan Sampel 3. Banyak atau Ukuran Sampel 4. Desain Pengambilan Sampel 5. Mekanik Pengambilan Sampel 1. Unit sampel

Unit sampel merupakan unit pengamatan yang terkecil. Pada unit tersebut diadakan pengukuran dan penghitungan oleh pengamat terhadap individu serangga yang ada, dan apa yang ditinggalkan oleh serangga yang menjadi obyek pengamatan atau variabel pengamatan.


(29)

Beberapa variabel pengamatan yang dapat diperoleh dari unit sampel dapat berupa kepadatan atau populasi hama, populasi musuh alami, intensitas kerusakan, dll.

Ada berbagai jenis unit sampel yang saat ini digunakan dalam praktek pengamatan baik untuk program penelitian atau untuk pengambilan keputusan pengendalian hama. Biasanya unit sampel dikembangkan berdasarkan sifat biologi serangga dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Unit sampel dapat berupa:

a. Unit luas permukaan tanah 1 x 1 m2

b. Unit volume tanah

c. Bagian tanaman seperti rumpun, batang, daun, pelepah daun

d. Dalam bentuk stadia hamanya sendiri. Sering digunakan untuk evaluasi dalam musuh alami seperti jumlah larva parasit atau larva inang, dst.

2. Penentuan interval pengambilan sampel

Interval pengambilan sampel merupakan jarak waktu pengamatan yang satu dengan waktu pengamatan yang berikutnya pada petak pengamatan yang sama. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan interval pengamatan antara lain tingkat tumbuh tanaman, daur hidup serangga yang diamati, tujuan pengambilan sampel, faktor cuaca, dll. Untuk serangga yang mempunyai siklus pendek dan kapasitas reproduksi tinggi, interval pengamatan harus pendek agar tidak kehilangan informasi dari lapangan. Demikian juga keadaan ini berlaku bagi komoditas tanaman yang peka terhadap serangan hama seperti kapas, dan juga untuk jenis hama yang peningkatan kerusakannya berjalan cepat.

3. Penentuan ukuran sampel

Dalam program pengambilan sampel dan pengamatan, penentuan ukuran sampel atau jumlah unit sampel yang harus diamati pada setiap waktu pengamatan sangat menentukan kualitas hasil pengamatan.

Ukuran sampel dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu varians (s2) yang

menjelaskan distribusi data sampel, dan biaya pengambilan sampel yang terdiri atas ongkos tenaga dan alat-alat pengambilan sampel. Secara umum dapat dikatakan semakin besar ukuran sampel (n) semakin dapat dipercaya harga penduga parameter populasi. Tetapi apabila ukuran sampel besar maka biaya pengambilan sampel juga semakin besar. Sebaliknya bila unit sampel terlalu sedikit, analisa statistik akan menghasilkan keputusan yang memiliki ketepatan dan ketelitian rendah, sehingga kualitas dan kegunaan hasil pengamatan diragukan.

4. Desain atau pola pengambilan sampel

Ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk menetapkan unit sampel yang mana dari keseluruhan populasi yang harus diamati yang menjadi anggota sampel. Pola yang paling ideal adalah secara acak (random sampling), kemudian dikenal:

a. Pola acak berlapis

b. Pola pengambilan sampel sistematik

c. Pola pengambilan sampel purposive atau yang sudah ditentukan


(30)

A B C

Gambar 19. Pola pengambilan sampel A. Pola Diagonal, B. Pola Zigzag, C. Pola Lajur tanaman 5. Mekanik Pengambilan Sampel

Mekanik pengambilan sampel serangga adalah segala teknik memperoleh, mengumpulkan serta menghitung individu serangga yang diamati atau bahan yang ditinggalkan oleh serangga pada unit sampel yang telah ditentukan.

Mekanik sampel yang sering dilakukan oleh para pengamat kita adalah pengamatan langsung di lapangan. Tidak semua serangga dapat dihitung secara langsung sehingga masih diperlukan peralatan atau alat khusus yang dapat digunakan untuk mengumpulkan individu serangga dan kemudian dihitung jumlahnnya.

PRAKTEK PENGAMATAN DAN PELAPORAN PETUGAS PENGAMAT

Di organisasi Departemen Pertanian saat ini ada 3 Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas untuk mengumpulkan pelaporan data populasi dan kerusakan OPT di seluruh propinsi. Tiga Direktorat Jenderal itu adalah Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan. Pada tiga Direktorat Jenderal tersebut terdapat Direktorat Perlindungan Tanaman seperti Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan.

Kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan dan pelaporan perlindungan tanaman disusun dan dikeluarkan oleh 3 direktorat tersebut, sedangkan pelaksanaan pengamatan dilakukan oleh para Petugas Pengamat Hama (PHP) dan penyakit yang ada di daerah yang dikoordinasikan oleh BPTPH yang ada di setiap propinsi. Untuk tanaman pangan dan hortikultura, BPTPH secara struktural berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I/Propinsi. Sedangkan untuk perkebunan, BPTP masih berada di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan atau masih di bawah Pemerintah Pusat. Secara fungsional, PHP saat ini termasuk dalam kelompok POPT (Pengendali OPT).

1. Pengamatan

Pengamatan dilakukan oleh PHP dan petani dengan dua cara yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Pengamatan bertujuan untuk mengetahui atau mendeteksi jenis dan kepadatan OPT, intensitas serangan OPT, daerah penyebaran, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT serta intensitas kerusakan bencana alam. Dengan informasi tersebut diharapkan petani/kelompok tani bersama petugas dapat mengetahui dan menganalisis secara dini untuk menentukan langkah-langkah penanganan usaha tani, sehingga produksi tanaman yang sudah diusahakan tetap pada taraf tinggi, menguntungkan dan aman bagi lingkungan.

Metode Pengamatan

Pengamatan OPT pada tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dengan dua cara, yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Secara rinci pelaksanaan pengamatan tetap dan pengamatan keliling adalah sbb:

a. Pengamatan tetap

Pengamatan tetap adalah pengamatan yang dilakukan pada petak contoh tetap yang mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan, perangkap lampu, curah hujan, stasiun meteorologi pertanian khusus.

1). Pengamatan petak tetap

Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan populasi OPT dan musuh alami serta intensitas serangan. Petak contoh tetap ditempatkan pada


(31)

lima jenis tanaman dominan. Untuk komoditas terluas diamati empat petak contoh tetap sedangkan empat komoditas lainnya masing-masing diamati satu petak contoh. Dengan demikian pada setiap wilayah pengamatan terdapat delapan petak contoh pengamatan tetap.

Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian terbesar wilayah pengamatan dalam hal waktu tanam, teknik bercocok tanam, dan varietasnya. Pada masa peralihan antara dua musim tanam, pengamatan diteruskan pada petak-petak contoh yang dapat mewakili wilayah pengamatan dalam waktu tersebut. Karena itu petak contoh pada masa antara dua musim tanam dapat berpindah sesuai dengan keadaan tanaman yang dapat mewakili wilayah pengamatan.

2). Pengamatan Perangkap lampu

Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif yang tertarik cahaya diamati pada satu atau lebih perangkap lampu yang mewakili wilayah pengamatan. Perangkap lampu ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu tanaman atau musuh alaminya tertarik cahaya. Lampu dinyalakan dari senja sampai fajar. Serangga yang tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Pengamatan dilakukan setiap hari serta dilaporkan setiap dua minggu.

b. Pengamatan Keliling atau Patroli

Pengamatan keliling atau patroli bertujuan untuk mengetahui tanaman terserang dan terancam, luas pengendalian, bencana alam serta mencari informasi tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida.

Pengamatan keliling atau patroli dilaksanakan dengan menjelajahi wilayah pengamatan. Sebelum melaksanakan pengamatan, PHP disarankan menemui petani/kelompok tani pemandu, penyuluh atau sumber lain yang layak dipercaya; untuk memperoleh informasi tentang adanya serangan OPT dan kegiatan pengendalian di wilayah kerjanya. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan daerah yang dicurigai dan mengkonsentrasikan pengamatannya. Penentuan daerah yang dicurigai didasarkan pada kerentanan varietas yang ditanam terhadap OPT utama di daerah tersebut, stadia pertumbuhan tanaman dan jaraknya terhadap sumber serangan.

Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati lima petak contoh yang terletak pada perpotongan garis diagonal (A) dan pertengahan potongan-potongan garis diagonal tersebut (B, C, D dan E) seperti terlihat pada Gambar 20. Jumlah rumpun yang diamati tiap unit contoh adalah 10 rumpun/batang. Komponen-komponen yang diamati adalah luas tanaman terserang, intensitas serangan, kepadatan populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas dan tindakan pengendalian yang pernah dilakukan petani.

Gambar 20. penyebaran petak contoh pada daerah yang dicurigai terserang.

Dalam tiap petak contoh diamati 5 unit contoh seperti pada gambar 20. Jumlah rumpun contoh yang diamati dalam tiap unit contoh adalah sepuluh rumpun/tanaman.


(32)

Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan keliling dilakukan sesudah pengamatan petak tetap pada subwilayah pengamatan dimana petak tetap itu berada. Apabila ada informasi bahwa di subwilayah lainnya terjadi serangan OPT maka harus dilakukan pengamatan keliling tambahan. Adapun pembagian subwilayah adalah sebagai berikut:

1. Mula-mula bagilah wilayah pengamatan menjadi 4 strata berdasarkan waktu tanamannya (lihat Gambar 21)

2. Bagilah masing-masing strata menjadi 2 subwilayah, sehingga satu wilayah akan terbagi menjadi 8 subwilayah (lihat Gambar 21).

Untuk pengamatan tetap, tempatkan satu petak contoh pengamatan pada masing-masing strata di lokasi yang selalu dilewati saat mengadakan pengamatan keliling di strata tersebut, sehingga setiap petak contoh pengamatan tetap dapat diamati dengan interval waktu satu minggu, sedangkan interval pengamatan keliling dua minggu.

Waktu pengamatan OPT dilakukan 4 (empat) hari setiap minggu kecuali untuk tangkapan perangkap lampu dan penakar curah hujan dilakukan setiap hari. Pelaksanaan pengamatan OPT dimulai dari hari senin sampai dengan hari kamis.

Hasil pengamatan dan kejadian yang ditemukan pada saat pengamatan keliling dan pengamatan tetap dilaporkan secara rutin pada setiap akhir periode pengamatan. Laporan pengamatan tetap pada periode pelaporan tengah bulan pertama berisi hasil pengamatan minggu ke 1 dan ke 2, sedang pada periode pelaporan tengah bulan kedua berisi hasil pengamatan minggu ke 3 dan ke-4.

A 1

Senin 1 Selasa 1 B 2 Rabu 1 C 3 Kamis 1 D 4 5

Senin 2

6 Selasa 2

7 Rabu 2

8 Kamis 2 Keterangan:

A, B, C, D …… pembagian menurut strata 1, 2, 3 … dst … subwilayah

Gambar 21. Pembagian subwilayah pengamatan di wilayah kerja PHP

Metode Pengambilan Contoh

a. Tanaman Pangan

Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman pangan (padi dan palawija) dilakukan dengan metode diagonal. Pada pengamatan tetap tiap petak contoh ditentukan tiga unit contoh yang terletak di titik perpotongan garis diagonal petak contoh (A) dan di pertengahan potongan-potongan garis diagonal yang terpanjang (B dan C), seperti terlihat pada Gambar 22. Tiap unit contoh diamati 10 rumpun contoh. Dari petak contoh itu diamati intensitas serangan OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi musuh alami yang efektif.


(33)

Gambar 22. Penyebaran Unit Contoh dalam Petak Contoh. Dalam Tiap Unit Contoh Diamati 10 Rumpun Contoh.

b. Tanaman Sayuran

Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman sayur-sayuran dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap 0,1 ha atau 50 tanaman contoh per hektar. Pengambilan tanaman contoh ditentukan secara acak (random).

c. Tanaman Buah-buahan, hias, Obat-obatan dan Rempah-rempah

Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman buah-buahan, hias dan obat-obatan dan rempah-rempah dilakukan dengan menggunakan petak contoh, yaitu kecamatan. Tanaman yang diamati dibagi 3 kriteria seperti berikut:

a. Tanaman dominan (terbanyak) : 15 tanaman/rumpun b. Tanaman dengan jumlah sedang : 10 tanaman/rumpun c. Tanaman dengan jumlah sedikit : 5 tanaman/rumpun

Tanaman contoh ditentukan dengan 2 (dua) cara, yaitu random (acak) dan diagonal. Cara random dilakukan pada perkebunan rakyat/pekarangan rumah, sedangkan cara diagonal dilakukan (seperti pengambilan contoh pada tanaman padi) pada perkebunan besar.

Penilaian Serangan OPT

Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala serangan OPT yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan OPT dapat berupa kerusakan mutlak (atau yang dianggap mutlak) dan tidak mutlak. Untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap mutlak digunakan rumus sebgai berikut:

a

I = --- X 100%

a + b

Keterangan:

I : Intensitas serangan (%)

A : Banyaknya contoh (daun, pucuk, bunga, buah, tunas, tanaman, rumpun tanaman) yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak.

B : Banyaknya contoh yang tidak terserang (tidak menunjukkkan gejala serangan).

2. Laporan

Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura diperlukan untuk menyusun perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun rencana perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun bantuan pengendalian, merencanakan bimbingan pengendalian, melaksanakan pengamatan lebih intensif, dan merencanakan penyediaan sarana pengendalian. Oleh karena itu, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura perlu dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan segera dikirim ke instansi yang memerlukannya. Sesuai dengan kebijaksanaan dibidang perlindungan tanaman pangan dan hortikultura dan pembagian wewenang dalam struktur organisasi berlaku, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura disampaikan oleh PHP kepada Mantri Tani (Mantan) dan instansi vertikal di atasnya. Mantri Tani dan Penyuluh menyuluhkan dan menyebarluaskan kepada petani sebagai dasar pengambilan keputusan kelompok tani, dan bila perlu bersama-sama dengan PHP membina petani melaksanakan pengendalian. Instansi vertikal di atasnya menggunakan laporan tersebut sebagai bahan mengevaluasi keadaan serangan, kemampuan petugas membimbing petani dalam pengendalian, merencanakan


(34)

bimbingan dan bantuan, serta menyusun Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura di wilayah kerjanya.

Laporan PHP yang diterima oleh Mantan diteruskan kepada Camat dan Dinas Pertanian (Diperta) Kabupaten/Kotamadya, dan Diperta Kabupaten/Kotamadya meneruskan laporan tersebut ke Diperta Propinsi. Oleh Camat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kecamatan, laporan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kampanye pengendalian secara massal oleh petani dan bila dibutuhkan/diperlukan bantuan pemerintah berupa pestisida dapat dikeluarkan. Sedangkan oleh Diperta Kabupaten/Kotamadya, digunakan untuk membina pengendalian OPT dan mempertimbangkan bantuan pengendalian kepada petani apabila dinilai sebagai serangan eksplosi.

Koordinator PHP mengkoordinasikan laporan PHP, laporan serangan OPT yang dilaporkan PHP dari seluruh wilayah pengamatan kabupaten diteruskan ke Diperta Kabupaten/Kotamadya serta laporan lainnya diteruskan ke Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) dan (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH)/Loka Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (LPTPH)/Satgas BPTPH/LPTPH.

PENGAMATAN OLEH PETANI

Karena jumlah PHP dan petugas pengamat atau penyuluh di daerah sangat terbatas maka yang paling baik kegiatan pengamatan dilakukan sendiri oleh petani pemilik/penggarap. Petani sendiri yang melakukan kegiatan pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian. Dengan demikian petani tidak lagi tergantung pada petugas, pemerintah. Petani dapat melakukan pengamatan secara perseorangan/individual, namun yang paling baik secara berkelompok atau merupakan kegiatan kelompok tani. Agar petani dapat melakukan kegiatan pemantauan ekosistem, mereka perlu mengikuti pelatihan khusus yang dilaksanakan secara intensif, setiap 1 minggu sekali di dalam kegiatan yang disebut SLPHT. Dengan demikian tujuan pelaksanaan kegiatan pengamatan oleh para petugas PHP hanya terbatas pada penyusunan laporan bagi pemda maupun pemerintah pusat tetapi tidak untuk pengambilan keputusan untuk lahan petani dalam menerapkan PHT.


(35)

Materi 6

PENGENDALIAN DENGAN TANAMAN/VARIETAS TAHAN HAMA

Tujuan:

1. Mengenal dan mempelajari komponen PHT - Pengendalian dengan Tanaman Tahan Hama 2. Mengenal dan mempelajari pengembangan tanaman transgenik tahan hama

3. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip karantina tumbuhan dan sistem karantina pertanian di Indonesia

Materi:

Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan berbagai varietas padi tahan hama wereng coklat berhasil mengendalikan hama wereng coklat padi di Indonesia yang sejak tahun 1970 menjadi hama padi yang paling penting. Saat ini petani telah mengenal banyak VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti dari IRRI (Filipina) dan dari Indonesia sendiri. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama masih terbatas karena belum banyak tersedia varietas atau jenis tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap hama-hama tertentu.

Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Kontribusi varietas unggul tahan hama bagi keberhasilan Indonesia berswasembada beras sangat besar. Hal ini berkat kerja keras para ahli hama, pemulia tanaman, agronomi, dll yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan VUTW. Namun sayangnya karena berbagai faktor, sampai saat ini status swasembada beras semakin sulit dipertahankan.

1. Mekanisme Ketahanan Tanaman

Ketahanan atau resistensi tanaman merupakan pengertian yang bersifat relatif. Untuk melihat ketahanan suatu jenis tanaman sifat tanaman, yang tahan harus dibandingkan dengan sifat tanaman yang tidak tahan atau yang peka. Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita kerusakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman lain dalam keadaan tingkat populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Pada tanaman yang tahan, kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan dengan perkembangbiakan sejumlah populasi hama tersebut apabila berada pada tanaman yang tidak atau kurang tahan.

Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli (terbawa keturunan faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang mendorong tanaman menjadi relatif tahan terhadap serangan hama. Beberapa ahli membedakan ketahanan tanaman dalam dua kelompok yaitu ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan, 1982). Ahli lain menganggap ketahanan ekologi bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut ketahanan palsu atau pseudo resistance sedangkan yang disebut sifat ketahanan tanaman adalah ketahanan genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi tidak tetap dan mudah berubah tergantung pada keadaan lingkungannya, sedangkan sifat ketahanan genetik relatif stabil dan sedikit dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.


(36)

Sampai saat ini klasifikasi resistensi genetik menurut Painter yang banyak diikuti oleh para pakar. Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama yaitu 1) ketidaksukaan, 2) antibiosis dan 3) toleran.

a. Ketidaksukaan/antixenosis

Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi

atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu (xenosis = tamu). Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau antixenosis kimiawidan penolakan morfologi atau antixenosis morfologik.

b. Antibiosis

Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan, bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu terjadinya kematian serangga.

c. Toleran

Mekanisme resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil, dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka.

3. Ketahanan Ekologi

Ketahanan Ekologi atau dengan istilah lain ketahanan yang kelihatan (apparent

resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) merupakan sifat ketahanan tanaman

yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan kenampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama tertentu.

Ada 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu pengelakan inang (host evasion), ketahanan

dorongan (induced resistance) dan inang luput dari serangan (host escape).

a. Pengelakan Inang

Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif mengkonsumsikan tanaman. b. Ketahanan Dorongan

Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan dorongan ini terjadi antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain.

c. Inang Luput dari Serangan

Sering dialami pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman yang sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama di sekitarnya pada waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut


(37)

tidak berarti bahwa tanaman tersebut tahan terhadap serangan hama tetapi tanaman tersebut sedang dalam keadaan luput dari serangan hama.

4. Langkah Pengembangan Varietas Tahan

Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional dilakukan melalui penerapan teknologi pemuliaan tanaman tradisional dengan melakukan persilangan tanaman. Beberapa kegiatan utama dalam melakukan perolehan dan pengembangan guna memperoleh varietas tahan hama yang baru adalah sebagai berikut:

a. Identifikasi sumber ketahanan. b. Penetapan mekanisme ketahanan.

c. Penyilangan sifat ketahanan dengan sifat agronomi lainnya sehingga dapat diperoleh varietas yang lebih unggul.

d. Analisis genetik terhadap sifat ketahanan.

e. Identifikasi dasar-dasar kimia dan fisika sifat ketahanan. f. Pengujian lapangan multi lokasi.

g. Pelepasan varietas tahan hama yang baru.

PENGEMBANGAN VARIETAS TAHAN DENGAN BIOTEKNOLOGI

Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional banyak dikaji dan telah diperoleh hasil yang menggembirakan. Penggunaan varietas tahan terbukti mampu mengurangi tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat. Sebagian besar varietas tahan hama yang dilepaskan, diperbanyak dan digunakan di Indonesia saat ini masih merupakan hasil teknologi pemuliaan tanaman secara tradisional yang telah diuraikan sebelumnya.

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini tidak menutup kemungkinan penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian untuk dapat menghasilkan varietas tahan hama. Aplikasi bioteknologi pertanian memberikan peluang yang sangat baik terhadap perkembangan kualitas maupun kuantitas produk-produk pertanian. Beberapa bioteknologi yang telah dikembangkan diantaranya rekayasa genetika yang mencakup rekombinasi DNA, pemindahan gen, manipulasi dan pemindahan embrio, kultur sel dan jaringan, regenerasi tanaman dan antibodi monoklonal.

Tanaman hasil rekayasa genetika yang selanjutnya disebut tanaman transgenik dapat direkayasa memiliki sifat ketahanan terhadap jenis hama tertentu. Salah satu sifat unggul tanaman transgenik adalah ketahanan terhadap hama setelah tanaman tersebut disisipi dengan gen toksik yang berasal dari Bacillus thuringiensis (Bt). Sampai akhir tahun 2003 di Indonesia hanya satu varietas kapas Bt yang telah diijinkan dan dilepaskan secara terbatas di Sulawesi Selatan. Di dunia Internasional tanaman transgenik tahan hama yang telah dikembangkan meliputi tanaman kapas, jagung, kentang. Berbagai tanaman tersebut telah disisipi gen yang berasal dari bakteri Bt sehingga tahan terhadap jenis hama tertentu.

Aplikasi pemindahan gen dengan teknik biologi molekuler dengan sasaran memperoleh sifat-sifat tertentu dapat dilakukan lebih cepat, dengan ketepatan yang tinggi serta perolehan spektrum sifat yang jauh lebih lebar daripada hasil pemuliaan tanaman konvensional. Perkembangan bioteknologi telah memungkinkan ilmuwan untuk mentransformasikan gen Bt yang dikehendaki ke dalam genom berbagai jenis tanaman pertanian. Gen Bt yang menyandi protein delta-endotoksin telah dapat disisipkan ke dalam tanaman untuk pengendalian hama tertentu. Misal tanaman kapas Bt telah disisipi dengan gen cry1Ac untuk mengendalikan hama penggerek buah kapas Helicoverpa virescens. Tanaman kapas Bt memproduksi toksin secara terus-menerus sehingga serangga peka yang hidup dalam jaringan tanaman akan mati kalau memakan jaringan tersebut.

Tanaman transgenik akan terlindung dari serangan hama selama racun protein masih terus diproduksi. Karena racun protein yang dihasilkan hanya aktif bagi beberapa jenis serangga


(1)

Operasionalisasi kegiatan pengkajian dan pengendalian OPT di tingkat daerah dilakukan

oleh BPTPH Propinsi sebagai UPT Daerah. BPTPH di lapangan mempunyai beberapa

laboratorium perlindungan tanaman seperti BPTPH DIY memiliki laboratorium di Bantul. Karena

itu pada struktur organisasi Dinas-dinas yang ditetapkan oleh SK Kepala Daerah seringkali

posisi perlindungan tanaman tidak ada terutama di Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan/atau

Hortikultura. Di Dinas Perkebunan seperti di Jawa Tengah dan DIY bagian perlindungan

tanaman masih tampak kadangkala sebagai eselon II (Sub Dinas Perlindungan Tanaman) atau

sebagai eselon III (Seksi Perlindungan Tanaman).

LAMPIRAN I

AMBANG EKONOMI BERBAGAI JENIS HAMA

PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN

1. Padi

No. Jenis hama Sampel

pengamatan Ambang ekonomi 1. Rattus argentiventer - 30 rumpun pada

masa vegetatif. - 20 rumpun pada

pemasakan bulir

Persentase tanaman terpotong > 5 %

2. Nilaparvata lugens 20 rumpun / petak 1 nimfa / tunas

3. Sogatella furcifera 20 rumpun / petak 1 nimfa dewasa / tunas 4. Nephotettix virescens,

N. malayanus, dan N. nigropictus

20 rumpun / petak a. Ada tungro : 1 nimfa dewasa / tunas b. Tidak ada tungro : 5

nimfa / tunas 5. - Scirpophaga

incertulas - S. innotata - Chilo supressalis - C. polychrysus - Sesamia inferens

20 rumpun / petak a. Tanam – malai berisi : 2 kel. telur / 20 rumpun b. Malai berisi – akhir

pembungaan : 1 kel. telur / 20 rumpun

4. - Mythimma separata - Spodoptera litura - S. exemta

- S. mauritia

20 rumpun / petak a. Pesemaian : kerusakan daun sebesar 50 % b. Tanam – pembentukan


(2)

sebesar 25 %

c. Pembentukan malai – masak : kerusakan daun sebesar 15 %

5. Cnapalocrosis medinalis 20 rumpun / petak a. Fase vegetatif :

kerusakan daun sebesar 20 %

b. Sebelum pembentukan malai–pembentukan bunga: kerusakan daun 5 %

6. Nymphula depunctalis 20 rumpun / petak a. Semai – tanam :

kerusakan daun sebesar 50 %

b. Tanam – anakan terbentuk : kerusakan daun sebesar 25 % 7. Leptocoryza acuta 20 rumpun / petak 10 nimfa

8. Orseolia oryzae 20 rumpun / petak 2 telur/rumpun

2. Kedelai

No. Jenis hama Sample pengamatan

Ambang ekonomi 1. Spodoptera litura a.Umur tan. (31 – 50 hst) :

3 ekor larva instar 3 / rumpun dan 4 kel. telur / 100 rumpun

b. Umur tan. (51 – 70 hst) : 6 ekor larva instar 3 / rumpun dan 7 kel. telur / 100 rumpun c.Kerusakan daun 12,5 %

atau populasi ulat 10 larva / 20 rumpun (Balittan Malang) 2. Chrysodeixis chalcites 10 rumpun/ petak a. Fase vegetatif (11-30

hst):

- 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 20 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 25 %

b. Umur tan. (31-50 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 30 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 12,5 % c. Umur tan. (51 – 70

hst):


(3)

- 120 larva instar 2 - 50 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 12,5 %

d. Populasi ulat 15 larva / 20 rumpun (Balittan Malang)

3. Phaedonia inclusa 10 rumpun / petak a. Fase tanam- 10 hst : 1 imago

b. Fase vegetatif : 1 imago

c. Sebelum 45 hst : kerusakan sebesar > 2 % / 20 rumpun acak d. Umur tanaman 45 hst,

ditemukan serangan sebesar 2 % (Balittan Malang)

4. Nezara viridula 10 rumpun a. Umur tan (31 – 50 hst):

-

1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat

b. Umur tan. (51 –70 hst) :

- 1 pasang

- kerusakan polong > 2,5 %

c. Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang d. Umur 45- 50 hst, bila

ditemukan 3 ekor kepik / 5 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) 5 Piezodorus hybneri a. Umur tan (31 – 50 hst):

- 1 pasang kepik hijau

- 1 pasang kepik coklat

b. Umur tan. (51 –70 hst) :

- 1 pasang

- kerusakan polong > 2,5 %

c. Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang d. Umur 45- 50 hst, bila

ditemukan 3 ekor kepik / 5 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) 6 Riptortus linearis

a. Umur tan (31 – 50 hst):

- 1 pasang kepik hijau

- 1 pasang kepik coklat

b. Umur tan. (51 –70

hst) :

- 1 pasang

- kerusakan polong > 2,5 %


(4)

c. Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang d. Umur 45- 50 hst, bila

ditemukan 1 ekor kepik / 4 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) 7. Etiella zinckenella 10 rumpun / petak a. Pertumbuhan polong (51

– 70hst) : 1 pasang atau 1 ekor dan polong terserang > 2,5 %

b. Umur tanaman 45 hst , bila terdapat serangan rata-rata 2 % (Balittan Malang)

8 . Ophiomyia (Agromyza)

phaseoli 30 rumpun / petak a. Umur tan. (tanam – 10hst) : 2 ekor atau 2,5 % tanaman terserang b. Umur tan. Sebelum 10

hst : kerusakan > 2 % c. Terdapat serangan 2 %

atau adanya 1 ekor lalat / 5m baris tanaman (Balittan Malang, 1991) 9. - Lamprosema indicata

- Plusia chalcites 10 rumpun / petak a. vegetatif (11-30 hst) :kerusakan daun sebesar 25 % atau ditemukan 30 larva

b. Umur tan. (31-50 hst) : kerusakan daun sebesar 12,5 %

c. Umur tan (51 – 70 hst) : kerusakan daun sebesar 12,5 %

d. Terdapat kerusakan daun sebesar 12,5 % atau ditemukan 15 ulat (Balittan malang,1991) 10. Melanogromyza sojae 10 rumpun / petak a. Umur tanaman kurang dari 10 hari kerusakan sebesar > 2 %

b. Umur tanaman 0-30 hst : terdapat serangan > 2 %

11. Spodoptera litura 12 rumpun / petak a. 58 larva instar 1 b. 32 larva instar 2

c. 17 larva instar 3 (Ditlin) d. 4 larva / 12 rumpun

yang berdekatan

e. Terdapat kerusakan daun sebesar 12,5 % atau 15 larva / 20 rumpun (Balittan Malang, 1991)


(5)

Lampiran 2

Daftar tumbuhan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati

N

o Nama Spesies Nama Umum DaerahNama Bagian yangdigunakan

1 Achalypha indica Indian nettle Rumput

bolong Daun, kulit 2 Acarus columus Delinggo Daun 3 Allium cepa Red onion Bawang

merah

Daun 4 Allium sativum Garlic Bawang putih Daun 5 Andropogon nordus Citronella Serai wangi Daun 6 Annona muricata Sirsak Daun, biji 7 Annona reticulata Custard apple Buah nina Kulit, buah 8 Annona squamosa Sugar apple Srikaya,

delima

Akar, buah 9 Azadirachta indica Neem tree Nimba Seluruh bagian 10

Bischo Bischofia javanica Glintungan Daun 11 Chrysantemum sp. Chrysant Piretrum Bunga 12 Cinnamomum

burmanii Cinnamon leaf Kayu manis Daun, kulit, buah 13 Citrus aurantium Sour orange Jeruk Daun

14 Citrus hystrix Lemon Jeruk purut Daun, kulit, buah 15 Cocos nucifera Coconut Kelapa Daging

16 Coleus sp. Daun jinten Daun 17 Coriandum sativum Ketumbar Biji 18 Croton triglium Kamalakian Biji 19 Crynura sp. Beluntas Cina Daun 20 Cucumis sativus Cucumber Mentimun Daun 21 Cucurbita moschata Labu besar Daun, biji 22 Cymbopogon sp. Lemon grass Serai dapur Daun 23 Dahlia sp. Frenchmarigold Dahlia Daun 24 Derris elliptica Tuba Akar 25 Derris malaccensis Tuba laut Akar

26 Eclipta alba Urang aring Akar, tangkai 27 Eugenia syzigium Clove Cengkeh Daun, bunga 28 Eunymus japonicus Spindle tree Kumbang Daun

29 Eupatorium triplinerpe Ayapana Daun 30 Ficus carca Fong tree Daun 31 Geranium sp. Daun ambrei Daun 32 Hedera nodosa Pepaya hutan Daun 33 Impatiens sultani Zingiber balsam Pacar air Daun 34 Ipomea batatas Batate, patate Ubi jalar Daun 35 Lonchocarpus nicou Timbo, neku Akar

36 Lycopercicum sp. Leunca, komir Seluruh bagian 37 Mammea Americana Mamey Akar, ubi, kulit 38 Mundulae suberosa Mundula Kulit, akar, batang


(6)

39 Nerium oleander Common

oleander Oleander, jure Akar, kulit, batang 40 Nicotiana tabaccum Tobacco Tembakau Daun

41 Oxalis deppei Lucky clover Celincing Daun

42 Pachyrrhyzus erosus Chinesse yan Bengkuang Seluruh bagian 43 Pangium edulo Kapayang Dahan, daun 44 Pelargonium sp. Geranium Keranyam Daun, batang 45 Peperomia sp. Saladaan Daun

46 Piper nigrum Black pepper Lada Biji 47 Pogostemon cablin Cublin Nilam Daun 48 Punica granatum Ponegranate Delima Daun 49 Ricinus communis Costa bean Jarak, kaliki Biji

50 Rosa sp. Mawar Daun

51 Sepindus rarak Rerek, lerek Daun 52 Solanum tuberosum Iris potato Kentang Daun 53 Tephorisa vogelii Vogel teprosia Daun, biji 54 Zingiber officinale Ginger Jahe Rimpang