Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam peningkatan keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan dan ruang antar patogen
sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga mampu menurunkan daya bunuh terhadap serangga sasaran.
2. Waktu aplikasi
Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak terkena cahaya matahari
secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan patogen tidak aktif bahkan dapat membunuh patogen dalam waktu yang relatif cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan
pagi atau sore hari. Kelembaban tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen.
3. Penyelimutan
Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian tanaman maupun serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen dengan serangga
sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang mengkonsumsi patogen dengan cepat diharapkan mengalami kematian secara cepat juga.
4. Derajat kemasaman, pH
Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen. Pelarut dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal pH 7. Kondisi basa menyebabkan
delta endotoksin pada Bt akan rusak dan efektifitasnya menurun.
5. Anti mikrobiosis
Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang dapat mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh tanaman tembakau
dapat menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Patogen tersebut juga terhambat pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan terpenoid pada tanaman kapas.
Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat menghambat pembentukan koloni dan pertumbuhan jamur patogen B. bassiana. Asam klorogenik pada tanaman tomat dapat
mengurangi efektifitas NPV dari Helicoverpa zea.
6. Hama sasaran
Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama sasaran dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan, ketidakcocokan pakan, kepadatan
yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu sebelum aplikasi patogen di lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran.
7. Kompatibilitas
Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat dipadukan dengan agens pengendalian yang lain sehingga daya bunuhnya lebih efektif dan hasilnya akan lebih
memuaskan.
8. Ketahanan inang
Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan dengan bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan.
56
Materi 8
PENGENDALIAN KIMIAWI
Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami sifat dan pengelompokan pestisida khususnya insektisida
2. Mempelajari dan memahami dampak negatif penggunaan pestisida kimia 3. Mempelajari dan memahami penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen PHT
Materi: Pengendalian hama secara kimiawi adalah penggunaan pestisida kimia untuk
mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang dibudidayakan.
Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasanya bagi keberhasilan dalam banyak bidang pembangunan termasuk
pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat. Berkat pestisida umat manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman penyakit manusia yang membahayakan seperti
malaria dan demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk. Di bidang pertanian penggunaan pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang
memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Karena keberhasilan tersebut di dunia pertanian, pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya
segala jenis tanaman baik tanaman hortikultura, pangan maupun perkebunan. Pestisida sedemikian melekatnya pada kegiatan pertanian di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari
reaksi petani apabila menghadapi terjadinya serangan hama tentu akan menanyakan pestisida apa yang tepat digunakan dan dimana dapat diperolehnya?
Kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida secara global sejak tahun 1960an juga terjadi di Indonesia. Sejak dicanangkannya program pembangunan nasional di sektor
pertanian, penggunaan pestisida meningkat dengan sangat pesat. Sekitar tahun 1970 sampai 1980-an pestisida paling banyak digunakan dalam program intensifikasi pangan terutama dalam
program swasembada beras melalui program nasional BIMAS. Bila pada tahun 1970 penggunaan pestisida untuk padi kurang dari 1000 ton pada tahun 1986 pestisida untuk padi
sudah mencapai 18.000 ton. Peningkatan penggunaan pestisida ini juga terjadi pada komoditas pertanian lainnya. Namun setelah Pemerintah mencabut subsidi pestisida pada tahun 1989
serta diterapkannya konsep PHT oleh petani padi, penggunaan pestisida khususnya insektisida di tanaman padi cenderung menurun. Tanaman pertanian pangan di Indonesia yang saat ini
masih banyak menggunakan insektisida adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi, sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pada tanaman kapas. Seiring
dengan perdagangan bebas yang semakin terbuka, saat ini berbagai jenis pestisida generik memasuki Indonesia sehingga pada tahun 2002 jumlah formulasi pestisida yang telah terdaftar
di Indonesia sudah melampaui 1000 formulasi. Jumlah pestisida yang diproduksi pada tahun 2000 sekitar 60.000 ton.
Meskipun pestisida kimia memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi petani dan masyarakat, tetapi risiko yang berupa dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan semakin
57
lama semakin nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Salah satu cara agar risiko pestisida dapat ditekan serendah mungkin yakni Pemerintah di semua negara melakukan pengaturan terhadap
semua produksi, peredaran, perdagangan, penggunaan, penyimpanan dan pengawasan pestisida. Banyak kesepakatan dan standar pengaturan yang telah ditetapkan secara
internasional dan harus diterapkan oleh semua negara. Tujuan pengaturan pestisida oleh pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup terhadap
dampak samping penggunaan pestisida, serta untuk menjaga tingkat efektivitas pestisida dalam pengendalian hama sasaran.
A. PENGELOMPOKAN PESTISIDA
Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata
insekta = serangga dan kata Latin cida yang berarti pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest = hama
dan cida = pembunuh. Sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida pembunuh rodent tikus, akarisida pembunuh tungau, nematisida pembunuh nematoda,
fungisida pembunuh jamur, herbisida pembunuh gulma. Tabel 4 menjelaskan nama kelompok pestisida berdasar pada kelompok organisme sasaran. Karena jumlah kelompok,
jenis dan produksi insektisida saat ini lebih banyak daripada kelompok-kelompok pestisida lain, biasanya yang dmaksud dengan pestisida adalah insektisida.
Tabel 4. Pengelompokan Pestisida Berdasar pada Kelompok Hama yang Dikendalikan
No Nama kelompok
pestisida Kelompok hama yang dikendalikan
1. Akarisida
Tungau, pinjal dan laba-laba 2.
Adultisida Serangga dewasa
3. Algisida
Alga 4.
Arborisida Pepohonan, semak-semak
5. Avisida
Burung 6.
Bakterisida Bakteri
7. Fungisida
Jamur 8.
Insektisida Serangga dan juga pinjal dan tungau
9. Ixosida
Pinjal 10. Larvisida
Larva 11. Mitisida
Tungau, pinjal, dan laba-laba 12. Moluskisida
Moluska terutama siput dan keong 13. Nematisida
Nematoda 14. Ovisida
Telur 15. Piscisida
Ikan 16. Predasida
Vertebrata hama 17. Rodentisida
Tikus 18. Silvisida
Pepohonan dan semak 19. Termitisida
Rayap, semut
PEMBERIAN NAMA PESTISIDA
Nomenklatur atau cara pemberian nama suatu jenis pestisida ada ketentuannya. Suatu
jenis pestisida ditandai oleh 3 cara penamaan yaitu nama umum, nama dagang, dan nama
58
kimiawi. Nama dagang ditetapkan oleh produsen atau formulator insektisida yang membuat dan memperdagangkan pestisida tersebut. Karena satu jenis pestisida dapat dibuat oleh
beberapa perusahaan sehingga untuk pestisida tersebut mempunyai beberapa nama dagang. Nama kimia merupakan nama yang digunakan oleh ahli kimia dalam menjelaskan suatu
senyawa kimia sesuai dengan rumus bangun senyawa insektisida tersebut.
Suatu contoh diambil jenis insektisida yang sampai saat ini masih diguanakan untuk pengendalian penggerek batang padi di Indonesia.
1. Nama umum : karbofuran
2. Nama dagang : Furadan
®
, Currater
®
, Indofur
®
, Dharmafur
®
. 3. Nama kimia
: 2,3-dihidro 2,2,-dimeti l-7-benzonil metilkarbamat 4. Rumus bangun senyawa tersebut adalah sbb:
Gambar 23. Rumus bangun Karbofuran Dalam praktek penggunaan sehari-hari terutama oleh petani, biasanya nama dagang
lebih populer. Dalam forum ilmiah seperti publikasi seminar atau tesis, dll. digunakan nama umum. Dalam pembicaraan khusus tentang aspek-aspek kimiawi pestisida nama kimia pestisida
digunakan.
PENGGOLONGAN INSEKTISIDA
Insektisida kimia dapat dikelompokan dalam beberapa cara menurut pengaruhnya terhadap serangga sasaran, menurut cara masuknya dalam tubuh serangga, dan menurut sifat
kimianya.
1. Pengelompokan Insektisida Berdasarkan Pengaruhnya Terhadap Hama Insektisida dapat dikelompokkan menurut pengaruh yang merugikan bagi hama sasaran
yang akhirnya dapat menurunkan populasi hama. Pengelompokan insektisida menurut pengaruh pada serangga sasaran seperti terlihat pada Tabel 5.
2. Pengelompokan Menurut Cara Masuk ke Tubuh Serangga Dilihat dari cara masuknya mode of entry ke dalam tubuh serangga insektisida dapat
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan fumigan.
a. Racun Perut stomach poison Insektisida memasuki tubuh serangga melalui saluran pecernaaan makanan perut.
Serangga terbunuh bila insektisida tersebut termakan oleh serangga. Jenis-jenis insektisida lama umumnya merupakan racun perut, sedangkan insektisida modern sangat sedikit yang
merupakan racun perut.
b. Racun Kontak contact poison 59
Insektisida memasuki tubuh serangga bila serangga mengadakan kontak dengan insektisida atau serangga berjalan diatas permukaan tanaman yang telah mengandung
insektisida. Di sini insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui dinding tubuh. Insektisida modern pada umumnya merupakan racun kontak. Apabila permukaan tanaman
yang mengandung insektisida tersebut dimakan serangga, racun tersebut juga memasuki tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Contoh insektisida racun kontak adalah BHC
dan DDT.
Tabel 5. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Pengaruhnya pada Serangga
Kelompok Pestisida Pengaruh pada hama
Antifidan anti-feedant
Menghambat nafsu makan sehingga serangga kelaparan yang akan menyebabkan kematian
Antitranspiran Anti-transpirant
Mengurangi sistem transpirasi serangga
Atraktan attractant
Penarik hama, seperti atraktan seks
Khemosterilan chemosterilant
Menurunkan kemampuan reproduksi hama
Defolian defoliant
Merontokkan bagian tanaman yang tidak diinginkan, tanpa membunuh seluruh bagian tanaman
Desikan desiccant
Mengeringkan bagian tanaman dan serangga
Disenfektan disinfectant
Merusak atau mematikan organisme berbahaya
Perangsang makan feeding stimulant
Menyebabkan serangga lebih giat makan
Pengatur pertumbuhan
growth regulator
Menghentikan, mempercepat, atau memperlambat proses pertumbuhan tanaman atau serangga
Repelen repellent
Mengarahkan serangga agar menjauh dari yang diperlakukan
Semiokimia
Feromon, alomon dan kairomon; zat kimia yang dikeluarkan oleh tanaman atau hewan, yang
merangsang atau menghambat perilaku serangga
Sinergis synergist
Meningkatkan efektivitas bahan aktif c. Fumigan
Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem trachea yang kemudian
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Karena sifatnya yang mudah menguap fumigan biasanya digunakan untuk mengendalikan hama simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup dan
juga untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Contoh fumigan adalah hidrogen sianida HCN, fosfin dan metil bromida.
3. Pengelompokan Menurut Sifat Kimianya Pengelompokan insektisida yang paling penting adalah menurut sifat kimianya.
Insektisida kimia konvensional secara garis besar dapat dibagi menurut sifat dasar senyawa 60
kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yaitu insektisida yang tidak mengandung unsur Karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur Karbon.
Insektisida-insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya merupakan
insektisida anorganik. Contoh insektisida anorganik adalah kalsium arsenat, Pb arsenat, sodium fluorid, kriolit, dan belerang. Kelemahan insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi
untuk mamalia termasuk manusia, residu di lingkungan lama atau persisten, fitotoksisitas tinggi, masalah ketahanan hama terhadap insektisida, dan umumnya memiliki efikasi lebih rendah bila
dibandingkan insektisida organik sintetik.
Sedangkan insektisida kimia setelah masa Perang Dunia II setelah ditemukannya DDT
umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami
merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman insektisida botaninabati dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses
sintesis kimiawi.
Pembagian insektisida organik sintetik konvensional menurut susunan kimia bahan aktif
senyawa yang memilki sifat racun terdiri dari 6 kelompok besar yaitu 1 organoklorin OK, 2 organofosfat OP, 3 karbamat, 4 piretroid sintetik, 5 kloronikotinil dan 6 IGR Insect
Growth Regulator. Kecuali 6 kelompok besar tersebut masih ada beberapa kelompok insektisida baru yang mulai banyak digunakan dalam praktek pengendalian hama saat ini,
seperti heterosiklik, dinitrofenol, tiosianat dan sulfanat.
a. Organo Klorin OK
Insektisida Organo Klorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai dengan ditemukannya DDT oleh
ahli kimia Swiss Paul Mueller pada tahun 1940-an. Setelah DDT ditemukan kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis insektisida baru dengan susunan kimia dasar yang mirip dengan
DDT dan kemudian dikelompokkan dalam golongan Hidrokarbon Klor.
Insektisida kelompok ini merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk mengendalikan larva, nimfa, dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan telur. Insektisida
yang termasuk OK pada umumnya memiliki toksisitas sedang untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya yang
sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Misal di daerah sub tropis DDT dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39 yang berada
di dalam tanah, sedangkan residu endrin pada 14 tahun setelah perlakuan ternyata masih dijumpai sebanyak 40 dari residu semula. Persistensi OK di lingkungan menimbulkan dampak
negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan khronik yang membahayakan kesehatan masyarakat. Permasalahan lain yang timbul akibat digunakannya DDT secara besar-
besaran adalah berkembangnya sifat resistensi serangga sasaran seperti nyamuk dan lalat terhadapp DDT.
Oleh karena bahayanya insektisida golongan OK sejak tahun 1973 tidak boleh digunakan untuk pengendalian hama pertanian di Indonesia. Sedangkan di bidang kesehatan DDT tidak
lagi digunakan untuk mengendalian vektor penyakit malaria sejak 1993.
b. Organofosfat OP
Insektisida OP dengan unsur P meliputi semua ester asam fosforik H
3
PO
4
sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi jenis
dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga.
OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OK, OP di lingkungan kurang
61
stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan
sedang sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan OK. Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok insektsida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan
insektisida OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkoline sterase.
OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi Oksigen, Karbon, Sulfur, dan
Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat yaitu alifatik, fenil, dan heterosiklik. Derivat alifatik meliputi insektisida-insektisida
yang antara lain TEPP, malation, dimetoat, oksidemetonmetil, dikrotofos, disulfoton, metamidofos, triklorfon, asefat, forat, terbufos, etoprop, dikloruos, mevinfos, naled,
monotrotofos, fosfamidin. Insektisida OP yang termasuk dalam derivat fenil adalah paration, metil paration, etil paration, stirofos, fention, fonofos, profenofos, isofenfos, fenitrotion, triazofos,
dan fentoat. Insektisida OP derivat heterosiklik banyak jenisnya. Dari kelompok ini insektisida yang terkenal adalah diazinon dan lainnya seperti asinfos, klorpirifos , fention, fosmet, stirofos,
temefos, metidation, fosmet, kuinalfos, dll.
c. Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak digunakan secara luas untuk pengendalian hama tanaman. Insektisida karbamat relatif baru bila
dibandingkan dengan 2 kelompok insektisida OK dan OP. Cara karbamat mematikan serangga sama dengan insektisida OP yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada
sistem syaraf. Insektisida tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan binatang, sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti OK. Beberapa
karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun.
Pestisida karbamat dapat dikelompokkan dalam 3 kelas yaitu 1 metil karbamat dengan bangunan cincin fenil. Yang termasuk dalam kelas ini adalah BPMC, MICP, Isokarb, dll; 2 metil
karbamat dan dimetil karbamat dengan struktur heterosiklik seperti dijumpai pada bendiokarp, karbofuran, dioxakarb, dll; 3 metil karbamat dari oksin yang mempunyai struktur rantai.
Termasuk dalam kelas ini adalah aldikarb, metomil, dan yang lain. Aldikarb merupakan insektisida karbamat yang paling beracun juga merupakan insektisida sistemik yang digunakan
untuk pengendalian serangga dan nematoda. Karena toksisitas sangat tinggi aldikarb sekarang dilarang di Indonesia. Propoksur merupakan insektisida yang umum digunakan di dalam rumah
untuk pengendalian serangga rumah tangga seperti nyamuk, kecoa, lalat, dll.
d. Sintetik Piretroid SP
Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang baru digunakan secara luas sejak tahun 1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat.
Keunggulan piretroid sintetik PS karena memiliki pengaruh knock down atau kemampuan menjatuhkan serangga dengan cepat dan tingkat toksisitas rendah bagi manusia dan mamalia.
Kelompok Piretroid Sintetik merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida nabati piretrum yaitu sinerin I yang berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium.
PS seringkali dikelompokan menurut generasi perkembangannya di laboratorium. Biasanya generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat PS generasi sebelumnya. Sampai
saat ini sudah dikenal 4 generasi PS. Salah satu anggota generasi pertama adalah alletrin, generasi kedua adalah resmetrin. Yang paling banyak digunakan sekarang adalah generasi PS
yang ketiga dan keempat. Generasi PS ketiga antara lain fenvalerat dan permetrin banyak digunakan untuk pengendalian hama-hama kapas, kedelai dan sayuran. Untuk memperoleh
efektivitas yang sama dosis aplikasi inesktisida PS generasi baru lebih kecil bila dibandingkan dengan aplikan OP dan OK. Generasi PS keempat lebih hemat lagi dibandingkan dengan
62
generasi ketiga. Untuk lahan seluas 1 ha hanya diperlukan 10-40 g bahan aktif. Beberapa PS yang termasuk generasi keempat yang saat ini juga sudah diijinkan di Indonesia antara lain
sipermetrin, flusitrinat, fenpropatrin, fluvalinat, sihalotrin, deltametrin dan siflutrin.
Pada umumnya PS menunjukkan toksisitas rendah bagi mamalia tetapi sangat beracun bagi ikan dan lebah. Residu PS di hasil-hasil pertanian tidak menjadi masalah. Meskipun daya
mematikan hama sasaran sangat tinggi dan PS sedikit menghadapi permasalahan lingkungan, namun insektisida PS menghadapi permasalahan utama yaitu percepatan perkembangan
strain hama baru yang tahan.
e. Kloronikotinil
Kloronikotinil merupakan kelas baru insektisida sintetik. Bila piretroid merupakan tiruan produk alami piretrum, kloronikotinil juga merupakan tiruan atau analog produk nikotin. Kelas
insektisida ini sampai sekarang baru diwakili oleh satu bahan aktif yaitu imidakloprid yang telah diijinkan di Indonesia. Imidakloprid meruapakan insektisida sistemik dan kontak dengan sasaran
hama yang mempunyai tipe mulut pencucuk dan pengisap seperti aphis, wereng, trips dan kutu daun. Juga efektif untuk mengendalikan rayap, serangga tanah dan beberapa jenis kumbang.
Karena cara aksi terhadap serangga sasaran berbeda dengan kelompok-kelompok insektisida kimia lain, kloronikotinil dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan jenis hama yang telah
resisten terhadap kelompokjenis insektisida tertentu.
f. Pengatur Pertumbuhan Serangga IGR = Insect Growth Regulator
Kelompok insektisida lain yang memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi adalah kelompok insektisida baru yang tidak termasuk dalam kelompok insektisida konvensional.
Kelompok insektisida baru adalah yang termasuk dalam golongan IGR Insect Growth Regulator atau Zat Pengatur Pertumbuhan Serangga. IGR pada hakekatnya mengganggu
aktivitas normal sistem endokrin serangga. Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu perkembangan embrionik, perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi,
ataupun perilaku diapause.
Yang termasuk dalam IGR adalah ekdison hormon penggantian kulit, hormon juvenil JH, mimik atau tiruan hormon juvenil, analog hormon juvenil JHA, antihormon juvenil serta
insektisida penghambat khitin. Agonis ekdison merupakan IGR yang paling baru tetapi sudah cukup tersedia di pasar. Contoh IGR ini adalah tebufenozoid, metoxyfenozoid, dan halofenozoid.
Hormon juvenil yang sekarang telah dipasarkan dan digunakan untuk pengendalian serangga di Amerika Serikat adalah metoprin, kinoprin, hidroprin, dan venoksikarb, sedangkan insektisida
penghambat sintesis khitin adalah diflubenzuron, bensoil finil ureas, teflubenzuran, triflumuron, klorfluazuron. Sejak tahun 1986 untuk pengendalian hama wereng padi terutama wereng coklat
kita mulai menggunakan salah satu senyawa penghambat khitin yaitu buprofezin. Sampai tahun 2002 ini sebagian insektisida IGR tersebut telah terdaftar di Indonesia seperti tebufenozide,
methoxyfenozide, dan halofenozide. Tebufenozide dan methoxyfenozide untuk mengendalikan Lepidoptera sedangkan halofenozide untuk Coleoptera.
Karena cara kerja IGR terhadap serangga sasaran adalah dengan mempengaruhi sistem hormonal serangga yang khas, pada dasarnya IGR memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi
terhadap serangga sasaran sehingga sangat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Misalkan diflubenzuron sangat efektif terutama untuk Lepidoptera dan Diptera, sedangkan buprofezin
khas untuk wereng daun dan wereng batang serta serangga-serangga Homoptera lainnya. Untuk kelompok serangga lainnya seperti serangga predator dan parasitoid insektisida tersebut
kurang berpengaruh. Berbeda dengan insektisida konvensional yang mempengaruhi sistem syaraf sehingga mematikan serangga dalam waktu cepat, IGR bekerjanya lambat dan lembut
serangga akan mati beberapa hari setelah diperlakukan dengan IGR. Dengan cara membunuh
63
hama yang demikian, tekanan seleksi terhadap serangga hama juga lemah sehingga timbulnya sifat resistensi dari serangga hama dapat dihambat.
g. Insektisida Botanik
Bila insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi, maka insektisida botani atau insektisida nabati merupakan insektisida yang terbuat dari
tanaman. Insektisida botanik atau insektisida nabati merupakan insektisida alami diambil secara langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang
paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik ditemukan. Karena kesulitan dalam melakukan ekstraksi, dan kurang stabil karena mudah
terurai, penggunaannya semakin berkurang terutama setelah pestisida kimia sintetik ditemukan dan digunakan.
Namun akhir-akhir ini setelah timbul kekhawatiran mengenai dampak samping pestisida kimia, penggunaan pestisida botanik kembali memperoleh perhatian dari pemerintah dan petani
sebagai solusi alternatif bagi pestisida kimia. Pestisida botanik telah lama dikenal sebagai pestisida yang risikonya kecil bagi kesehatan dan lingkungan hidup.
Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan inventarisasi mengenai berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar lahan petani untuk dijadikan pestisida nabati. Petunjuk
mengenai cara penyiapan, ektraksi dan penggunaan pestisida nabati telah dibuat dan diedarkan kepada para petani pekebun. Dalam kegiatan pelatihan SLPHT-Perkebunan Rakyat juga
diberikan pelatihan penggunaan pestisida nabati. Dari inventarisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Bina Perkebunan yang memuat daftar jenis-jenis tanaman di Indonesia yang
dapat digunakan sebagai pestisida nabati Lampiran.
Beberapa jenis insektisida botanik yang sudah lama dikenal dan digunakan adalah piretrum yang diambil dari bunga Chrysanthemum. Demikan juga rotenon diambil dari akar
tanaman leguminosaea Derris elliptica atau tuba. Rotenon dapat berupa racun kontak dan perut tetapi pengaruhnya tidak pada sistem syaraf. Pestisida nabati yang prospektif dan banyak diteliti
oleh para pakar pada dua dekade akhir ini adalah Azadirachtin salah satu bahan aktif yang diambil dari tanaman nimba atau mimba Azadirachta indica. Tanaman mimba sejak lama telah
dikenal dan digunakan sebagai pestisida nabati. Lebih dari 200 spesies serangga hama dapat dikendalikan secara efektif dengan ekstrak tanaman tersebut. Karena tanaman mimba sudah
banyak tumbuh di Indonesia dan sangat sesuai dengan kondisi tanah dan cuaca di sini, maka prospek penggunaannya untuk pengendalian hama sangat baik, apalagi bila teknik ekstraksi
dan penggunaannya telah dikuasai petani.
Dari banyak hasil penelitian telah diketahui beberapa cara kerja insektisida nimba yaitu 1 Mengusir dan menghambat nafsu makan serangga, 2 menghambat metamorfosis, 3
Mengurangi kesehatan dan daya reproduksi 4 Menghambat daya bertelur. Cara kerja ekstrak nimba tersebut di atas hampir sama dengan cara kerja insektisida IGR. Bagian tanaman mimba
yang sering digunakan adalah tepung biji, ampas biji dan daun. Penyiapannya dilakukan dengan cara menggerus biji atau daun dan membuat ekstrak sederhana dengan dicampur air dan
kemudian disemprotkan dengan menggunakan alat penyemprot biasa. Untuk memperoleh hasil yang baik dapat ditambahkan minyak dan pengemulsi. Teknologi sederhana tersebut sangat
mudah dilakukan oleh petani dengan biaya yang sangat murah. Namun untuk keberhasilan pengendalian perlu diperhatikan waktu dan frekuensi penyemprotan yang tepat sesuai dengan
sifat ekobiologi hama sasaran. Kerena efektivitas dan cara aksinya berbeda dengan pestisida kimia konvensional, penyemprotan dengan pestisida nabati sebaiknya dilakukan dengan
frekuansi yang lebih banyak dan sewaktu populasi hama masih belum jauh melampaui Ambang Pengendaliannya.
Beberapa keuntungan penggunaan mimba yaitu efektivitas tinggi, ancaman terhadap timbulnya resistensi hama relatif kecil karena mengandung banyak zat yang semuanya
64
mempunyai cara kerja yang berlainan. Ekstrak mimba mempunyai risiko kecil bagi kesehatan manusia, tidak berbahaya bagi lebah madu, ikan, burung dan binatang bermanfaat lainnya.
Persistensi esktrak mimba rendah, sehingga cepat teurai menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya pencemaran tanah dan air akibat dari mimba.
FORMULASI PESTISIDA
Dalam pabrik pembuat insektisida dihasilkan bahan aktif insektisida dalam bentuk murni. Bahan tersebut belum dapat langsung digunakan untuk kegiatan pengendalian hama. Agar
dapat dimanfaatkan di lapangan dan diperdagangkan bahan teknis harus diproses lagi menjadi bahan formulasi insektisida. Proses formulasi insektisida merupakan proses untuk memperbaiki
sifat-sifat bahan teknis agar sesuai untuk keperluan penyimpanan, penanganan, aplikasi, peningkatan efektivitas, atau keamanan bagi manusia dan lingkungan. Sebelum dipasarkan
bahan teknis perlu dicampurkan dengan bahan-bahan tambahan tertentu. Bahan-bahan tambahan yang tidak bersifat meracuni serangga insektisidal secara umum disebut bahan
inert atau inert material. Menurut fungsinya bahan inert dapat berupa bahan surfaktan, seperti sabun atau deterjen untuk peningkatan daya sebar, daya emulsi dan pembasahan pada
permukaan, pelarut atau solvent, untuk formulasi pestisida cair agar dapat meningkatkan daya larut, pembawa atau carrier digunakan untuk formulasi padat seperti serbuk dan butiran agar
dapat mengikatmenyerap serta bahan tambahan khusus seperti a penstabil stabilizers, b sinergis, bahan yang dapat meningkatkan aktifitas, c pembasah wetters, untuk mencegah
degradasi bahan, d minyak untuk meningkatkan aktifitas biologi insektisida, e odorants untuk memberi bau, f cat dan pigment, g penebal thickeners, h colouring agents zat pewarna,
dan I zat anti mikroba.
Pengetahuan dan teknologi pembuatan bahan aktif dan formulasi pestisida berkembang sangat cepat sehingga ditemukan banyak jenis dan formulasi pestisida. Agar tidak
membingungkan pengguna dan konsumen di pandang perlu dilakukan harmonisasi atau pembakuan kode formulasi pestisida yang berlaku di tingkat internasional.
Sistem kode formulasi pestisida mulai dibakukan pada tahun 1978 yang kemudian direvisi pada tahun 1989. Inisiatif pembakuan kode formulasi ini dilakukan oleh asosiasi industri
pestisida global yaitu Crop Life International dulu GCPF. Kode formulasi tersebut diusahakan sederhana, sedapat mungkin terdiri dari dua huruf besar yang merupakan singkatan. Sekitar 71
kode formulasi pestisida telah dibakukan. Berikut nama-nama 10 kode formulasi insektisida penting yang sudah digunakan dan dipasarkan di Indonesia.
1. Emulsifiable Concentrates EC
2. Wettable Powders WP
3. Suspension Concentrate SC
4. Water Soluble Powder SP
5. Ultra Low Volume Liiquid ULV
6. Dustable Powder DP
65
7. Granules GR
8. Aerosol Dispenser AE
9. Bait RB 10.
Capsule Suspension CS
TOKSISITAS PESTISIDA
Pestisida tidak hanya beracun toxic atau berbahaya bagi serangga hama sasaran juga berbahaya bagi serangga-serangga musuh alami, binatang-binatang lain, manusia dan
komponen-komponen lingkungan hidup. Toksisitas pestisida dapat dikelompokkan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas subkronik. Toksisitas akut adalah pengaruh
meracuni atau merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu pestisida, atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas kronik
adalah pengaruh yang merugikan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang pestisida dalam jumlah sedikit atau pemaparan oleh pestisida yang berlangsung
sebagian besar rentang hidup suatu organisme misal, mamalia.
Keracunan akut merupakan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal insektisida. Keracunan ini biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja dengan
insektisida baik di pabrik, tempat peyimpanan maupun di lapangan, keracunan terjadi biasanya karena kecerobohan sewaktu penanganan pestisida atau sewaktu penyemprotan atau yang
sengaja meminum insektisida untuk bunuh diri. Keracunan khronik merupakan keracunan karena penderita terpapar racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis yang sangat
rendah. Gejala keracunan ini baru terlihat selang beberapa waktu bulan atau tahun setelah penderita terpapar pestisida. Keracunan khronik yang saat ini oleh masyarakat dunia yang
paling menjadi keprihatinan masyarakat dunia karena semakin tingginya kesadaran terhadap keperluan adanya lingkungan yang tidak tercemar. Bahaya akibat keracunan kronik karena
terpapar insektisida dapat bersifat carsinogenic pembentukan jaringan kanker, mutagenic kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang, teratogenic kelahiran anak cacat dari
ibu yang keracunan, endocrine destruptor gangguan hormon endokrin.
1. Pengujian Toksisitas Insektisida
Cara masuk insektisida ke dalam tubuh binatang atau manusia dapat melalui mulut rute
oral, melalui kulit rute dermal, atau melalui saluran pernafasan rute respiratori, rute inhalasi. Toksisitas akut melalui oral atau dermal merupakan indikasi bahaya insektisida bagi mamalia
dan manusia. Unit pengukuran adalah miligram mg bahan aktif per kilogram kg berat tubuh binatang uji tikus, tikus putih, kelinci, dan marmut. Binatang uji tersebut dipelihara dalam
laboratorium dengan kondisi standar yang ditetapkan.
Metode untuk menentukan toksisitas relatif pestisida yang telah disepakati adalah dengan menggunakan dosis median letal LD
50
. Nilai LD
50
adalah suatu dosis insektisida yang
diperlukan untuk membunuh 50 dari individu-individu spesies binatang uji dalam kondisi percobaan yang telah ditetapkan. Penghitungan mortalitas biasanya dilakukan 24 jam dan 48
jam setelah binatang uji terpapar oleh insektisida. Satuan nilai LD
50
adalah miligram bahan 66
racun per kg berat tubuh binatang uji mgkg. Pengujian tingkat toksisitas terhadap binatang uji dilakukan dengan memberikan melalui makanan oral, aplikasi kulit dermal melalui
pernafasan respiratori, inhalasi. Dari uji laboratorium ini diperoleh nilai LD
50
oral dan LD
50
dermal dan LD
50
inhalasi. Semakin rendah nilai LD
50
semakin tinggi toksisitas insektisida tersebut.
2. Tingkat Bahaya Pestisida