lxxxiii PAI mempengaruhi Pengelolaan Jaringan Irigasi PJI sebesar 0,392.
Hasil akhir, Perilaku Masyarakat PM mampu menjelaskan 59,5 Pengelolaan Jaringan Irigasi PJI.
4.3. Hasil Analisis Pengelolaan Irigasi
4.3.1. Perkembangan Pengelolaan Irigasi
Pengelolaan irigasi di mulai sejak Perencanaan Jangka Panjang-I PJP-I dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan
bangunan-bangunan maupun jaringan-jaringan irigasi, sehingga dapat berfungsi dengan baik untuk mengairi persawahan, dan
pembangunan sektor irigasi merupakan program prioritas, karena untuk meningkatkan usaha-usaha produksi pangan guna mencapai
swa - sembada pangan, yang menjadi salah satu tujuan utama dari REPELITA dalam PJP-I.
Dalam program peningkatan produksi pangan di arahkan untuk mencapai tingkat swa - sembada pangan khususnya beras yang
bersifat cepat menghasilkan atau Quick – Yielding yang di kenal
dengan istilah Intensifikasi Pertanian pada lahan persawahan yang telah di bangun.
Menurut Van de Gissen dalam Wirawan 1991, bahwa di Indonesia sawah telah ada sejak jaman Hindu, dan pada jaman Hindu
telah di lakukan usaha-usaha pengairan irigasi secara sederhana. Selanjutnya di katakan oleh Van de Gissen, bahwa irigasi dengan
teknologi mulai di bangun pada tahun 1849, dengan di latar belakangi adanya perluasan tanaman tebu dalam rangka program
culture- stelsel sistem tanaman paksa serta untuk usaha pertanian pangan.
lxxxiv Kemudian pada tahun 1890, di mulailah pembangunan irigasi
besar-besaran dengan istilah “ Work Plan 1890” dalam rangka
mengairi areal irigasi seluas 409.670 hektar di Jawa dan rencana tersebut selesai pada tahun 1920, dan pada tahun 1905 di bentuk
Komisi dalam rangka untuk memajukan kegunaan dan rehabilitasi dari pekerjaan irigasi yang telah di bangun terutama kaitannya
dengan pertanian. Pada tahun 1906 di bentuk Komisi untuk mempersiapkan
retribusi dan sumbangan tetap untuk membantu pembiayaan dan pengawasan pelaksanaan pembagian air. Pembangunan irigasi pada
saat Pemerintahan Belanda lebih di titik beratkan pada saluran primer dan di desain untuk kepentingan perkebunan tebu, dan pada tahun
1928 pemerintah Belanda memperlunak kebijakannya, akibat tuntutan para Petani untuk mendapatkan haknya mempergunakan sarana
irigasi guna mengembangkan usahatani tanaman padi dan palawija dengan mempratekkan jadual tanaman melalui sistem giliran air antar
golongan tanaman. Dengan semakin meningkatnya kompetensi dalam
penggunaan air, dan meningkatnya kelangkaan air, serta pergeseran nilai air dari barang publik menjadi barang ekonomi, maka pengairan
irigasi juga di tuntut untuk mampu meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan air irigasi, mengupayakan cara-cara dan perilaku petani
yang hemat dalam memanfaatkan air irigasi, termasuk dalam mengupayakan biaya pemulihan
recovery cost untuk konservasi sumber daya air.
lxxxv Berdasarkan identifikasi yang di lakukan oleh Dewan Pimpinan
Daerah Dewan pimpinan Cabang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia di pulau Jawa, di temukan beberapa penyebab mengapa
dukungan irigasi terhadap pembangunan pertanian kurang kurang berjalan optimal, di sebabkan antara lain :
a. Minimnya biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang hanya di sediakan sebesar 40 - 50 dari total kebutuhan.
b. Adanya degradasi sumber air irigasi secara konsisten dari waktu ke waktu, sehingga menurunkan tingkat kemantapan penyediaan
air irigasi terutama yang bersumber dari aliran permukaan aliran sungai .
c. Kerusakan jaringan irigasi, berdampak pada penurunan areal persawahan dan kekeringan maupun kegagalan panen pada
lahan persawahan irigasi. d. Berlangsungnya alih fungsi lahan irigasi untuk kepentingan lain,
dan setiap tahun berkurang antara 20.000 – 30.000 hektar tahun.
e. Perlunya pemberdayaan dan bimbingan kepada Lembaga Pengelola Irigasi serta para Petani yang menyangkut peningkatan
kapasitas maupun operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.
4.3.2 Penilaian Daerah Irigasi