4.1 Pengekangan fisik
Kelima orang partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan adalah dengan melakukan
pengekangan fisik berupa pengikatan kaki pasien ataupun tangan pasien untuk menghindari agar pasien tidak melakukan penyerangan terhadap orang lain. Hal
tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:
“…Karena disini gak ada ruangan khusus, diikat dia di tempat yang lain, disudut ruangan. Beberapa jam gitu sampai tenang baru biasa dikasih
obat. Kalau gak diikat bisa habis kawan-kawannya” Partisipan 2
“…Kalau memang udah perlu difiksasi, ya difiksasi… dia takutnya pun mengganggu pasien lain, karenakan takutnya dia membahayakan pasien
lain gitukan karenakan seperti bangsal pasiennya banyak. Kemarin setelah saya injeksi, saya fiksasi kakinya di tempat tidur…” Partisipan 3
“…Kalau memang dia sudah mengganggu kami fiksasi. Iya difiksasilah. Kalau dia udah terganggu kali, gak bisa kita kendalikan kan, difiksasilah
dia. Karenakan bisa membahayakan kita jugakan sebagai perawat. Difiksasi itu kakinya digaring. Jadi itu tergantung pasienlah. Kalau udah
kami suntik dia beberapa hari udah gak mengamuk, kami buka fiksasinya…” Partisipan 4
4.2 Perilaku perawat saat melakukan asuhan keperawatan
Kelima orang partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa dalam penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan juga memperhatikan
keamanan ataupun perlindungan terhadap perawat sendiri. Perlindungan terhadap diri perawat dapat dilakukan dengan menjaga jarak dari pasien, memiliki teman
atau yang membantu saat menghadapi pasien amuk, menghindar. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
“… Langsung kasih jaraklah. Disinikan memang harus kasih jarak, gak boleh kita sejangkauan tangan sama pasien jaraknya dia di belakang kita,
kalau bisa dia di depan kita jalan. Harus dijagalah. Dimulai dengan sejangkauan tanganlah jaraknya sekelilingnya. Sejangkauan tangankan
dia bisa tiba-tiba mukul…” Partisipan 2
“…Langsung saya panggil teman sayalah. Bapak-bapak atau laki-laki saya panggillah supaya bisa menolong kita. Supaya pasien tadi
ditangkapkan. Di dalamkan dia mengamukkan, kami panggil pegawai yang laki-laki…” Partisipan 4
“…Misalkan udah kumat kek gitu, biasa kita panggil security juga untuk menemani kita gitukan. Namanya kita juga perempuankan, mengantisipasi
apa nanti. Terus pasien-pasien yang udah bagus itu , udah mulai sehat gitukan, udah gak bingung lagilah, yang di luar-luar membantu menemani
kita melerai pasien…” Partisipan 5
4.3 Membina hubungan terpeutik
Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, empat ppartisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam penanganan terhadap pasien dengan
perilaku kekerasan juga diperlukan untuk membina hubungan terapeutik guna memberikan penanganan terbaik untu pasien perilaku kekerasan. Membina
hubungan terapeutik dilakukan dengan berkomunikasi dengan pasien saat tenang, berbicara sopan, sabar, lembut dan berempati terhadap pasien serta juga
membutuhkan dukungan dari keluarga pasien sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:
“…kalau pasien dengan perilaku kekerasan ini ya kita ya harus melakukan pendekatan jugalah itungannya ya kan, ya diajak
berkomunikasi ibaratnya, kita ajak juga pasien agar mau mengungkapkan apa permasalahannya, apa yang menyebabkan dia mau marah”
Partisipan 1
Universitas Sumatera Utara
“…Kalau pasien perilaku kekerasan ini, memang dalam menghadapi pasien ini kita harus sabar ya. Karena mereka diluar dari kendali
merekakan….. Jadi komunikasi terapeutik kita itu harus dengan cara empati, harus dengan lembut kita kasih tau jangan seperti itu, tidak boleh
gitukan… seperti kita merawat saudara kita sendirilah pada pasien-pasien ini supaya mereka seperti diperhatikan gitu…” Partisipan 4
“…Kalau dia kumat mana bisa diajak ngomong, kecuali kalau dia udah tenang. Pernah juga ada pasien perilaku kekerasan, dia udah bisa diajak
ngobrol… kalau misalnya lagi tenang dia, nyambung gitu pasien PK ini. Maka selain dari kita, keluarga penting juga memang. Dukungan dari
keluarga penting sekali…” Partisipan 5
4.4 Pemberian terapi obat-obatan, ECT dan TAK
Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, empat partisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan
juga dilakukan beberapa pemberian terapi seperti pemberian obat-obatan, injeksi, pemberian TAK, mengajarkan personal hygene dan kebersihan sert pemberian
terapi ECT. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:
“…pagi-pagi itupun kan udah diajarkan itungannya kebersihan, personal hygene, jadi orang itu udah ada dia dibuat kegiatan jadi gak terfokus ke
rasa marahnya Lagi pula mahasiswa sering mengadakan TAK kan, jadi orang itu agak bisa mengontrollah perilaku dia kan…” Partisipan 1
“…Ya kita kasih obat tidurlah supaya dia tidur, dia tenang istirahat. Karena itukan biasanya pasien-pasien yang ngamuk itukan karena gak
bisa tidur….. Kalau memang dia amuk terus paling ECT lah. Karena terapinya selain obat, ECT lah…” Partisipan 3
“…Jadi kalau perilaku kekerasan ini kalau lagi kumat kan kami hanya bisa kami kasihlah satu advice dokter yang kami kerjakan melalui obatlah,
suntikan yakan. Supaya sipasien tadi bisa mentolerir atau perilakunya tadi bisa dikuranginya, kekerasan tadi dikurangi dengan obat tadi. Jadi
obat itulah yang pertama membuat pasien tadi supaya dia tidak seperti mau memukul kita gitukan…” Partisipan 4
Universitas Sumatera Utara
5. Kendala yang dialami perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kelima partisipan melalui pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan
perilaku kekerasan ada beberapa kendalaan yang dihadapi olehperawat saat memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan. Kendala tersebut berupa
Jadwal dinas seorang diri, perilaku pasien, Kurangnya fasilitas rumah sakit.