Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan

(1)

PENGALAMAN PERAWAT JIWA DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

SKRIPSI Oleh

Mahda Chresginova Malau 101101046

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan”.

Terima kasih kepada kedua orangtua saya, Bapak Mahuddin Malau, S.Pd dan ibu Linda br Tambun, SKM serta adik-adik saya, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik secara moral maupun materil.

Selama proses skripsi ini penulis menerima dukungan materil serta moril, kritik serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis juga mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama proses pembuatan skripsi ini. 4. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen penguji I yang

banyak memberi masukan membangun.

5. Ibu Nurbaiti, S.Kep,Ns., M. Biomed, selaku dosen penguji II yang juga banyak memberi saran dalam metode penulisan skrispsi ini.


(4)

6. Ibu Lince Herawaty, S.Pd, S.Kep,Ns., selaku Ketua Pendidikan Keperawatan RS Jiwa Daerah Provsu yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di rumah sakit tersebut.

7. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwasannya dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca, demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Medan,………2014


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ………. i

PRAKATA ………. ii

DAFTAR ISI ……… iv

ABSTRAK ……….. vi

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang………. 1

2. Pertanyaan Penelitian……… 5

3. Tujuan Penelitian………..… 5

4. Manfaat penelitian……….… 5

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 1. Konsep Perawat Jiwa……… 7

1.1.Definisi Perawat Kesehatan Jiwa……...……. 7

1.2.Peran perawat jiwa……… 8

1.3.Fungsi perawat jiwa………..…..…. 9

2. Konsep klien dengan perilaku kekerasan…………..… 10

2.1.Definisi klien dengan perilaku kekerasan……..….. 11

2.2.Perubahan-perubahan yang terjadi….………..…… 12

2.3.Rentang respon marah………...…… 12

2.4.Faktor predisposisi………. 13

2.5.Faktor presipitasi……….………..…… 16

2.6.Perilaku-perilaku yang berkaitan………..… 17

2.7.Tindakan keperawatan……..………. 17

2.8.Prinsip-prinsip pengelolaan klien……….. 19

3. Riset fenomenologi….……… 19

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian.………..… 22

2. Partisipan………..………. 22

3. Lokasi dan waktu penelitian…………..……….. 23

3.1.Lokasi penelitian……....……….. 23

3.2.Waktu penelitian……....……….. 23

4. Pertimbangan etik………….……… 23

5. Instrumen penelitian…….…...………. 24

6. Pengumpulan data…..……….….………. 25

7. Analisa data…….…..……….………... 26

8. Tingkat kepercayaan data……….. 27

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian……….. 29

1.1.Karakteristik partisipan……… 29

1.2.Hasil wawancara……….. 30

1.3.Jenis perilaku kekerasan pasien……… 31

1.4.Penyebab perilaku kekerasan………... 33

1.5.Perasaan perawat……….. 35

1.6.Penanganan perilaku kekerasan……… 36


(6)

2.1Jenis perilaku kekerasan pasien………. 43

2.2Penyebab perilaku kekerasan……… 45

2.3Perasaan perawat………... 46

2.4Penanganan perilaku kekerasan………. 47

2.5Kendala……….. 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan……….. 54

2. Saran……… 54

Daftar Pustaka……… 56 Lampiran-lampiran

1. Lembar Penjelasan 2. Informed Consent

3. Kuesioner Data Demografi 4. Panduan Wawancara 5. Jadwal Penelitian 6. Taksasi Dana

7. Daftar Riwayat Hidup 8. Surat-surat


(7)

Judul : Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan

Nama Mahasiswa : Mahda Chresginova Malau

NIM : 101101046

Jurusan : Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Tahun Akademik : 2013/2014

ABSTRAK

Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan tingkah laku tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi.Masalah perilaku kekerasan pasien hampir selalu terjadi di ruang perawatan jiwa. Dan perawat yang merupakan orang yang berkontak langsung dengan klien selama 24 jam adalah yang paling sering ditargetkan dalam tindakan perilaku kekerasan klien sehingga perawat beresiko memiliki pengalaman perilaku kekerasan yang dapat menimbulkan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeskplorasi pengalaman perawat jiwa saat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. Teknik pengambilan sample dengan menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak lima orang partisipan dengan metode pengumpulan datayang dilakukan peneliti yaitu dengan melakukan wawancara dengan partisipan. Ditemuka n lima tema utama dari hasil wawancara yang dilakukan yaitu jenis tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan pasien, perasaan perawat saat memberikan asuhan keperawatan, penyebab timbulnya perilaku kekerasan, penanganan terhadap pasien perilaku kekerasan, serta kendala yang dihadapi perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa perawat juga membutuhkan perhatian khusus dari tindakan-tindakan perilaku kekerasan pasien seperti peningkatan terhadap keamanan kerja perawat, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan terbaik saat merawat pasien perilaku kekerasan.


(8)

Title : The Experience of Mental Nurse in Providing Nursing Care of Clients with Violent Behavior

Name of Students : Mahda Chresginova Malau

NIM : 101101046

Program : Bachelor of ursig

Year : 2013/2014

ABSTRACT

Violent behavior is the behavior of individuals who intended to hurt themselves and other individuals who do not want such behavior which is accompanied by a raging behavior that cannot be limited. Problems of patients violent behavior almost always occur in the treatment room. And the nurse who is the direct contact with the client during 24 hours is the most often targeted in acts of violent behavior of clients so that nurses are at risk of having the experience of violent behavior that can impact both physically and psychologically. This research used the method of phenomenology. The purpose of this research is to explore the experience of mental nurse during nursing care of clients with violent behavior. Sample taken using purposive sampling method with the number of participants as many as 5 participants. Data collected by conducting interviews with the participants. From the interview found 5 major themes, namely type violent behavior committed by patients, the nurse feeling when giving nursing care, cause of violent behavior, handling of patients violent behavior, as well as obstacles faced by nurses when giving nursing care of patients with violent behavior. The result of this research recommended that nurses also need special attention from the actions of violent behavior of patients such as increased job security against the nurses, so that nurses can provide the best nursing care when caring for a patient’s violent behavior.


(9)

Judul : Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan

Nama Mahasiswa : Mahda Chresginova Malau

NIM : 101101046

Jurusan : Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Tahun Akademik : 2013/2014

ABSTRAK

Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan tingkah laku tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi.Masalah perilaku kekerasan pasien hampir selalu terjadi di ruang perawatan jiwa. Dan perawat yang merupakan orang yang berkontak langsung dengan klien selama 24 jam adalah yang paling sering ditargetkan dalam tindakan perilaku kekerasan klien sehingga perawat beresiko memiliki pengalaman perilaku kekerasan yang dapat menimbulkan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeskplorasi pengalaman perawat jiwa saat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. Teknik pengambilan sample dengan menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak lima orang partisipan dengan metode pengumpulan datayang dilakukan peneliti yaitu dengan melakukan wawancara dengan partisipan. Ditemuka n lima tema utama dari hasil wawancara yang dilakukan yaitu jenis tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan pasien, perasaan perawat saat memberikan asuhan keperawatan, penyebab timbulnya perilaku kekerasan, penanganan terhadap pasien perilaku kekerasan, serta kendala yang dihadapi perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa perawat juga membutuhkan perhatian khusus dari tindakan-tindakan perilaku kekerasan pasien seperti peningkatan terhadap keamanan kerja perawat, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan terbaik saat merawat pasien perilaku kekerasan.


(10)

Title : The Experience of Mental Nurse in Providing Nursing Care of Clients with Violent Behavior

Name of Students : Mahda Chresginova Malau

NIM : 101101046

Program : Bachelor of ursig

Year : 2013/2014

ABSTRACT

Violent behavior is the behavior of individuals who intended to hurt themselves and other individuals who do not want such behavior which is accompanied by a raging behavior that cannot be limited. Problems of patients violent behavior almost always occur in the treatment room. And the nurse who is the direct contact with the client during 24 hours is the most often targeted in acts of violent behavior of clients so that nurses are at risk of having the experience of violent behavior that can impact both physically and psychologically. This research used the method of phenomenology. The purpose of this research is to explore the experience of mental nurse during nursing care of clients with violent behavior. Sample taken using purposive sampling method with the number of participants as many as 5 participants. Data collected by conducting interviews with the participants. From the interview found 5 major themes, namely type violent behavior committed by patients, the nurse feeling when giving nursing care, cause of violent behavior, handling of patients violent behavior, as well as obstacles faced by nurses when giving nursing care of patients with violent behavior. The result of this research recommended that nurses also need special attention from the actions of violent behavior of patients such as increased job security against the nurses, so that nurses can provide the best nursing care when caring for a patient’s violent behavior.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan tingkah laku tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi (Kusumawati & Hartono, 2010). Klien dengan perilaku kekerasan adalah klien dengan tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut (Skizofrenia Paranoid) yang tidak lebih dari 1% (Purba dkk, 2009). North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) (2005) mengatakan perilaku kekerasan adalah tingkah laku dimana dia beresiko memperlihatkan secara psikologis, emosional, dan atau seksual yang melukai orang lain maupun diri sendiri.

Data rekam medik Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekan Baru tahun 2010 mencatat bahwa ada sebanyak 1.310 pasien dengan alasan dirawat di rumah sakit jiwa adalah dengan masalah gangguan persepsi sensori: halusinasi sebesar 49,77%, gangguan proses pikir: waham sebesar 4,66%, perilaku kekerasan sebesar 20,92%, isolasi sosial sebesar 8,70%, gangguan konsep diri: harga diri rendah sebesar 7,02%, defisit perawatan diri sebesar 3,66%, dan risiko bunuh diri sebesar 5,27% (RSJ Tampan, 2010 dikutip dari Lisa dkk, 2013). Berdasarkan hasil data rekam medik yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa persentase gangguan jiwa khususnya perilaku kekerasan memiliki persentase tertinggi kedua setelah halusinasi, yaitu sebesar 20,92%.


(12)

Sementara itu menurut Witodjo dan Widodo (2008) klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 yang memperoleh perawatan adalah sebanyak 1.581 yang keluar masuk rumah sakit dan 9.532 pasien yang melakukan rawat jalan. Dan pada tahun 2010 diperoleh data klien yang mengalami gangguan jiwa berjumlah 15.720 orang, dari jumlah klien tersebut klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat inap adalah 1.758 orang (90,20%) (Medikal Record, 2010 dikutip dari Ellyta & Woferst, 2013)

Klien dengan perilaku kekerasan akan memberikan dampak baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dampak perilaku kekerasan yang dilakukan klien terhadap dirinya sendiri adalah dapat mencederai dirinya sendiri atau merusak lingkungannya. Bahkan dampak yang lebih ekstrim yang dapat ditimbulkan adalah kematian bagi klien sendiri (As'ad & Soetjipto, 2000).

Perawat adalah orang yang berkontak langsung dengan klien selama 24 jam dan juga yang paling sering ditargetkan dalam tindakan perilaku kekerasan klien sehingga perawat beresiko memiliki pengalaman perilaku kekerasan yang dapat menimbulkan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis (Nijman, Foster, & Bowers, 2007). Dampak secara fisik yang ditimbulkan adalah ancaman kesehatan fisik, ini dinyatakan dalam penelitian Nijman, Bowers, Oud dan Jansen (2005) yang menyatakan bahwa perawat yang mengalami cedera akibat kekerasan fisik yang dilakukan klien dilaporkan sebesar 16%. Sementara itu dampak secara psikologisnya adalah ketakutan yang disebabkan oleh perilaku kekerasan klien


(13)

dan tekanan psikologis yang akan dialami oleh perawat maupun klien lainnya (As'ad & Soetjipto, 2000).

Dampak jangka panjang atas perilaku kekerasan yang dialami oleh perawat tersebut akan menyebabkan perawat lebih sedikit bertanggungjawab akan keperluan klien, dan sampai memberikan efek pada rendahnya kualitas kepedulian perawat terhadapa pasien (Arnetz & Arnetz, 2001). Dampak tersebut juga akan mempengaruhi keinginan perawat jiwa untuk meninggalkan profesi perawatnya dan mencari pekerjaan lain yang lebih aman (Kindy, Petersen, & Parkhurst, 2005).

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan masih melakukan intervensi dengan menggunakan metode intervensi yang alami seperti pengikatan, dan belum melakukannya berdasarkan standar dan strategi dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan (Darsana, 2010). Oleh sebab itu, peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat dalam melakukan perawatan pada pasien perilaku kekerasan yang profesional sangat diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan perilaku kekerasan (Darsana, 2010).

Peningkatan kemampuan yang dituntut untuk perawat lakukan dapat di lakukan melalui pemberian intervensi keperawatan. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk menangani klien dengan perilaku kekerasan ada beberapa intervensi yaitu dengan menggunakan strategi-strategi tertentu seperti: strategi preventif, strategi antisipasi dan strategi pengekangan. Strategi preventif meliputi: kesadaran diri, pendidikan kesehatan dan latihan asertif, sedangkan strategi antisipasi meliputi: komunikasi terapeutik, perubahan lingkungan, tindakan


(14)

perilaku dan psikofarmaka. Kemudian strategi pengekangan yang meliputi: fiksasi dan isolasi (Sustrami & Sukmono, 2008).

Terapi perilaku adalah cara yang tepat dan paling optimal untuk menangani tindakan kekerasan pada klien dengan perilaku kekerasan. Penelitian tersebut menerapkan terapi perilaku bagi anggota keluarga untuk berinteraksi dengan klien perilaku kekerasan. Sedangkan penelitian di Indonesia, diperoleh hasil bahwa mengikutsertakan klien dan keluarga dalam perawatan klien dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor didapatkan hasil yang memuaskan yaitu dalam memperpendek lama hari rawat yang dijalani klien dan memperpanjang jarak kekambuhan perilaku kekerasan yang sebelumnya dialami klien (Keliat, 2002).

Perawat adalah orang yang paling sering dilibatkan dalam peristiwa perilaku kekerasan pasien. Sehingga perawat beresiko memiliki pengalaman tindakan perilaku kekerasan dari klien. Dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ellyta (2013) terhadap 61 responden di RSJ Tampan Pekan Baru didapati bahwa terjadi tindakan perilaku kekerasan berupa ancaman fisik kepada perawat (79%), penghinaan kepada perawat (77%) dan kekerasan verbal (70%). Lebih dari separuh responden (51%) melaporkan mengalami kekerasan fisik yang berakibat cedera ringan dan sebagian kecil responden (20%) melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan cedera serius (Ellyta, 2013).

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 5 April 2013 kepada seorang perawat Ruangan Kuantan di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekan Baru yang memiliki pengalaman tindakan kekerasan saat melakukan


(15)

pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan, melalui wawancara didapatkan data bahwa perawat mengalami ketakutan pada saat bekerja setelah tindakan kekerasan yang dialami sebelumnya, sehingga tidak jarang perawat lebih sering menghindar untuk melakukan asuhan keperawatan kepada pasien tersebut (Lisa dkk, 2013)

Berdasarkan fenomena pengalaman perawat tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “PengalamanPerawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien denganPerilaku Kekerasan(PK)”.

1.2Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengalaman perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan?

1.3Tujuan Penelitian

Untuk mengeksplorasi pengalaman perawat jiwa dalam memberikan Asuhan Keperawatan Klien Dengan Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatra Utara

1.4Manfaat Penelitian


(16)

1.4.1 Bagi Praktik Keperawatan

Hasil penelitian yang diperoleh nantinya dapat dijadikan sumber pengetahuan dan strategi bagi tenaga pelayanan khususnya perawat jiwa untuk memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan perilaku kekerasan

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber masukan untuk menambah pengetahuan bagi mahasiswa nantinya dalam menerapkan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan perilaku kekerasan

1.4.3 Bagi Riset Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan pengalaman perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan


(17)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep perawat jiwa

Konsep perawat jiwa meliputi definisi perawat kesehatan jiwa, peran perawat jiwa, fungsi perawat jiwa.

2.1.1 Definisi perawat kesehatan Jiwa

Keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerepkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya atau instrumennya.

Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari penerapan ilmu tentang perilaku manusia, psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian, dimana penggunaan diri perawat itu sendiri secara terapeutik sebagai alat atau instrumen yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan (Erlinafsiah, 2010)

Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respon psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat (Sujono dan Teguh, 2009).


(18)

2.1.2 Peran perawat jiwa

Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik (Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi diantaranya adalah yang pertama yaitu sebagai pelaksana asuhan keperawatan, yaitu perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta evaluasi terhadap tindakan tersebut.

Peran perawat yang kedua yaitu sebagai pelaksana pendidikan keperawatan yaitu perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa. Peran yang ketiga yaitu sebagai pengelola keperawatan adalah perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat diminta menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan, menggunakan berbagai strategi perubahan yang


(19)

diperlukan, berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus dan mengorganisasi pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan.

Peran perawat yang kekempat yaitu sebagai pelaksana penelitian yaitu perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.

2.1.3 Fungsi perawat jiwa

Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung dan asuhan keperawatan secara tidak langsung (Erlinafsiah, 2010). Fungsi tersebut dapat dicapai melalui aktifitas perawat jiwa, yaitu: pertama, memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik, mental,dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan pasien. Kedua, bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam membantu mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi penumpukkan masalah. Ketiga, sebagai model peran yaitu perawat dalam memberikan bantuan kepada pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang ditampilkan oleh perawat.

Fungsi perawat yang keempat yaitu memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini perawat perlu memasukkan pengkajian biologis secra menyeluruh dalam evaluasi pasien jiwa untuk mengidentifikasi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat. Kelima, memberikan pendidikan kesehatan yang


(20)

ditujukan kepada pasien, kleuarga dan komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, ciri-ciri gangguan jiwa, fungsi dan tugas keluarga, dan upaya perawatan pasien ganggua jiwa. Keenam, sebagai perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak pasien, keluarga dan masyarakat dalam memfasilitasi pemecahan masalah pasien.

Fungsi yang ketujuh adalah kolaborasi dengan tim lain adalah perawat membantu pasien mengadakan kolaborasi dengan petugas kesehatan lain yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja sosial, psikolog, dll. Kedelapan, memimpin dan membantu tenaga perawatan adalah pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen keperawatan kesehatan jiwa. Kesembilan, menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat bahwa sumber-sumber yang ada dimasyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan sebagai faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada dimasyarakat.

2.2 Konsep klien dengan perilaku kekerasan

Konsep klien dengan perilaku kekerasan meliputi definisi klien dengan perilaku kekerasan, perubahan-perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan, rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan, faktor predisposisi dan faktor presipitasi, perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menengani klien


(21)

dengan perilaku kekerasan, serta prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan

2.2.1 Definisi klien dengan perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari 1 % (Purba dkk, 2009).

Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Sujono dan Teguh, 2009). Berdasarkan defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995 dalam Sujono dan Teguh, 2009). Perilaku kekerasan seperti perilaku mencederai orang lain dapat berupa acaman melukai diri sendiri; perilaku merusak lingkungan seperti peraot rumah tangga, membangting pintu; ancaman verbal berupa kata-kata kasar, nada suara yang tinggi dan bermusuhan (Morrisson, 1993 dalam Purba dkk, 2009). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Berkowitz, 1993). Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996 dalam Sujono dan Teguh, 2009).


(22)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2005).

2.2.2 Perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan

Menurut Stuart dan Laraia dalam Purba dkk (2009), klien dengan perilaku kekerasan dapat memperlihatkan perubahan-perubahan baik secara fisik, psikologis maupun spiritual. Perubahan secara fisik yang diperlihatkan oleh klien dengan perilaku kekerasan yaitu dengan mencederai diri klien itu sendiri dan peningkatan mobilitas tubuh. Perubahan secara psikologis yang terlihat dari klien yaitu emosional, marah yang tidak dapat dikontrol, mudah tersinggung dan menentang. Sementara perubahan secara spiritual yang klien perlihatkan yaitu merasa dirinya yang paling berkuasa dan tidak bermoral.

2.2.3 Rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan

Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat dijelaskan sebagai berikut (Keliat, 1997, dalam Sujono dan Teguh, 2009) :

1) Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.

2) Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.


(23)

3) Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.

4) Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain.

5) Mengamuk atau perilaku kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

2.2.4 Faktor predisposisi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (1996) dalam Purba dkk (2009) hlm 118 :

1) Teori biologik

Teori ini terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal, dan hipothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi emosi,


(24)

perilaku dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif (Goldstein dikutip dari Purba dkk, 2009)

b. Biokimia

Goldstein (dikutip dari Purba dkk, 2009) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrine, noreepinefrine, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respon terhadap stres.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku kekerasan dengan genetik karyotype XYY.


(25)

d. Gangguan otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2) Teori psikologik a. Teori psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresif dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang


(26)

orang tua mereka selama tahap perkembangan awal, namun dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cendrung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa (Owens & Straus dikutip dari Purba dkk, 2009).

3) Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2.2.5 Faktor presipitasi

Stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stresor tersebut dapat disebabkan dari luar maupin dalam. Contoh stresor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian, dan lain-lain. Sedangkan stresor yang berasal dari dalam adalah putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, dan


(27)

lain-lain. Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.

2.2.6 Perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan

Ada beberapa perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain (Sujono dan Teguh, 2009), perilaku-perilaku tersebut antara lain : (1) Menyerang atau menghindar (fight or flight) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin. (2) Menyatakan secara asertif (assertiveness) Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien. (3) Memberontak (acting out) Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain. (4) Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

2.2.7 Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani klien dengan perilaku kekerasan

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat jiwa pada klien dengan perilaku kekerasan adalah : (1)Bina hubungan saling percaya. Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman


(28)

dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah: Mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.

Tindakan yang selanjutnya, (2) Diskusikan bersama klien penyebab perilakukekerasan saat ini dan yang lalu. (3) Diskusikan bersama klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan intelektual. (4) Diskusikan bersama klien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara sosial atau verbal, terhadap orang lain, terhadap diri sendiri, dan terhadaplingkungan. (5) Diskusikan bersama klien akibat perilaku kekerasan yang dilakukannya. (6) Diskusikan dengan klien cara mengontrol perilaku kekerasan secara: fisik, obat, sosial atau verbal, dan spiritual.

Selanjutnya tindakan (7) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dengan latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal, olahraga, kemudian susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal serta olahraga. (8) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial ataupun verbal dengan menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan persaan dengan baik. Kemudian susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal. (9) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan sholat atau berdoa sesuai dengan keyakinan dan cara klien kemudian susun jadwal untuk berdoa. (10) Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar kemudian susun jadwal minum obat secara teratur.


(29)

2.2.8 Prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan (Sujono dan Teguh, 2009). Prinsip yang perlu diperhatikan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Seluruh staf sebaiknya diberi latihan khusus mengenai pencegahan dan pengelolaan klien perilaku kekerasan termasuk bermain peran untuk memberikan intervensi keperawatan. Perbandingan klien dengan perawat 1:1. (2) Pada pasien kehilangan kendali secara akut, tangani segera dengan pengekangan fisik. Untuk memberikan tindakan pengamanan staf, sebaiknya dilakukan secara kompak, tidak dibenarkan menghadapi klien dengan perilaku kekerasan seorang diri. (3) Berikan informasi atas tindakan yang akan dilakukan dan pemberian obat. (4) Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya perlukaan.

Selanjutnya prinsip yang dilakukan adalah (5) Setelah situasi ditangani, segera mungkin staf mendiskusikan insiden yang terjadi. (6) Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya, berikan kesempatan kepadanya untuk mengekspresikan perasaannya. (7) Berikan penguatan positif apabila klien dapat mengekspresikan perasaannya.

2.3 Riset Fenomenologi

Fenomenologi merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena, ataupun kejadian khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata. Hal ini yang dikaji adalah deskriptif mengenai bagaimana pengalaman orang lain dan apa maknanya bagi mereka


(30)

(Saryono dan Anggraeni, 2010). Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Dempsey dan Dempsey, 2002).

Tujuan penelitian fenomenologi adalah untuk mengembangkan makna pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Steubert dan Carpenter, 2003). Terdapat dua macam penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif. Fenomenologi deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena, kemudian pengalaman yang seperti apakah yang terlihat dalam fenomena (fenomena deskriptif) dan bagaimana pengalaman mereka menafsirkan pengalaman tersebut atau disebut fenomenologi interpretif.

Kehidupan seseorang adalah berharga dan menarik, karena kesadaran seseorang tentang kehidupan tersebut. Dalam sebuah penelitian fenomenologi sumber data utama adalah data percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan informan sebagai partisipan. Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Selanjutnya dalam percakapanyang mendalam peneliti berusaha memahami kehidupan informan untuk mendapatkan kemudahan untuk memaknai pengalaman hidup mereka (Polit, Beck, & Hungler, 2001).

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria yaitu credibility, transferbility, dependability, dan confirmability (Lincoln & Guba, 1985). (1) kreabilitas, merupakan kriterian


(31)

untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan, (2) transferabilitas, digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat di transfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama. Dengan kata lain, apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain, (3) dependabilitas, digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, (4) komfirmabilitas, yang dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Konfirmabilitas merupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penelitian ini akan menggunakan desain fenomenologi.Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.Pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi suatu fenomena tentang pengalaman perawat jiwa dalam memberikan pelayanan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.Selain itu fenomenologi tersebut mempunyai keunikan dan perbedaan dari setiap individu sehingga dari pendekatan fenomenologi ini diharapkan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengalaman perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.

3.2Partisipan

Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah 5 orang partisipan (Polit, Beck & Hungler, 2001). Jumlah pasti dari partisipan akan ditentukan dari saturasi data yang diperoleh. Saturasi data didapat apabila peneliti tidak lagi memperoleh informasi baru dari partispan (Polit & Hungler, 1997).

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini akan menggunakan teknik purposive sampling. Partisipan yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan berdasarkan kriteria dan tujuan penelitian, dimana partisipan tersebut dianggap dapat memberikan informasi yang diinginkan oleh peneliti. Kriteria


(33)

partisipan yang akan dipilih adalah perawat jiwa wanita yang memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.

3.3Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan pertimbangan, yang pertama adalah bahwa banyaknya masyarakat yang menggunakan layanan kesehatan di rumah sakit tersebut dan yang kedua adalah belum adanya penelitian tentang pengalaman perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan di rumah sakit tersebut.

3.3.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dimulai dari 12 September 2013 sampai Juli 2014, yaitu mulai penyusunan proposal sampai dengan selesai penelitian.

3.4Pertimbangan Etik

Penelitian dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini, akan diperoleh ethical clearance oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Sumatera Utara. Setelah memperoleh persetujuan, selanjutnya peneliti akan mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah terbina hubungan saling percaya antara peneliti dan


(34)

partisipan, peneliti akan menjelaskan tujuan dari penelitian dan memberikan informed concent. Jika partisipan setuju maka partisipan akan menandatangani lembar persetujuan, namun jika partisipan tidak setuju, partisipan berhak untuk mengundurkan diri karena dalam penelitian ini partisipan bersifat suka rela dan tidak dipaksa. Peneliti juga tidak akan mencantumkan nama partisipan (anonymity). Selain itu, identitas partisipan juga akan dirahasiakan (confidentiality), hanya informasi yang diperlukan yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

3.5Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua bagian. Instrumen ini dibuat sendiri oleh peneliti yang akan divalidasi oleh salah satu dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Instrumen pertama merupakan Kuesioner Data Demografi (KDD), yang dapat dilihat pada (Lampiran 3), kuesioner tersebut berisi tentang pernyataan mengenai data umum dari partisipan pada lembar pengumpulan data (kuesioner) berupa inisial, usia,jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, pengalaman bekerja. Instrumen kedua merupakan panduan wawancara berisi 4 (empat) pertanyaan yang diajukan seputar pengalaman perawat jiwa dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang dapat dilihat pada lampiran (4).


(35)

3.6Pengumpulan Data

Setelah mendapatkan izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Sumatera Utara, kemudian peneliti meminta izin RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan penelitian. Selanjutnya peneliti mengambil data perawat jiwa yang melakukan perawatan klien dengan perilaku kekerasan di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk memperoleh data calon partisipan. Setelah data diperoleh, peneliti menghubungi calon partisipan untuk membuat janji pertemuan dan untuk mendapat persetujuan sebagai sampel penelitian. Sebelum memulai wawancara, peneliti melakukan pendekatan dengan teknik prolonged engagement kepada partisipan dengan pertemuan 1-2 kali yang bertujuan untuk menumbuhkan hubungan saling percaya dan mendapatkan persetujuan oleh partisipan. Peneliti memperkenalkan diri serta maksud dan tujuan dari penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner data demografi sebagai data dasar dan wawancara mendalam atau in-depth interview dengan menggunakan pertanyaan terbuka. Wawancara dilakukan selama kurang lebih 60 menit selama 2-3 kali pertemuan dan partisipan menjawab pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner data demografi sesuai dengan petunjuk masing-masing bagian. Setelah itu, peneliti memulai melakukan wawancara dan merekam hasil wawancara dengan menggunakan tape recorder. Peneliti juga menggunakan alat tulis untuk mencatat bahasa nonverbal partisipan selama wawancara.


(36)

Langkah selanjutnya adalah peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap setelah melakukan wawancara, dan jika ada hal-hal yang kurang jelas akan dilakukan wawancara ulang pada pertemuan ke-3. Kemudian peneliti menganalisa data yang ditemukan dan mengelompokkan data lalu menguraikan data ke dalam bentuk narasi dari semua tema, kelompok tema, dan kategori tema. Setelah itu, peneliti membahas hasil penelitian sesuai dengan analisa data yang telah dilakukan. Pengumpulan data telah selesai jika saturasi data tercapai, dalam arti bahwa dengan dilakukan wawancara dengan partisipan yang lain tidak akan ditemuka n lagi hal-hal yang baru.

3.7 Analisa Data

Dalam riset fenomenologi teknik analisis data yang digunakan dilakukan berdasarkan data hasil wawancara dengan partisipan untuk menemukan tema atau kategori pengalaman yang dipandang dari perspektif subjek (Dempsey & Dempsey, 2002).Proses analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Setiap selesai wawancara peneliti langsung membuat transkrip hasil wawancara dilengkapi dengan catatan lapangan, kemudian transkrip tersebut dibaca berulangkali.

Peneliti akan menggunakan metode Van Kaam (1966) dalam (Polit, Beck, & Hungler,2001) dalam menganalisa data. Proses analisanya meliputi: (1) membuat daftar dan kelompok preliminarily ekspresi deskriptif yang harus disetujui oleh ahli yang bersangkutan, dan mengkategorikannya dalam sampel tertentu, (2) mengurangi keberagaman wujud, ketidak jelasan dan tumpang tindih


(37)

ekspresi partisipan yang lebih deskriptif, (3) menghilangkan unsur yang tidak melekat dalam fenomena yang dipelajari atau yang mewakili campuran dari dua fenomena terkait, (4) menulis identifikasi hipotesis dan gambaran fenomena yang sedang dipelajari, (5) menerapkan penjelasan hipotesis untuk kasus yang dipilih secara acak dari partisipan. Jika dibutuhkan, melakukan revisi gambaran hipotesis, yang kemudian harus diuji lagi pada sampel yang baru secara acak (6) mempertimbangkan identifikasi hipotesis sebagai identifikasi yang valid dan yang sebelumnya telah berhasil dilakukan.

3.8 Tingkat Kepercayaan Data

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu credibility, transferability, dependability, dan confirmability(Lincoln &Guba, 1985). (1) Kredibilitas pada tahap ini peneliti akan mempertahankan nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan melalui teknik prolonged engagement yaitu mengadakan pertemuan dengan partisipan 1-2 kali pertemuan sehingga antara peneliti dan partisipan memiliki keterkaitan yang lama sehingga akan semakain akrab, semakin terbuka, dan saling mempercayai. Dengan demikian, informasi yang akan diperoleh akan lebih lengkap. Peneliti juga akan melakukan member checking yaitu melakukan pengecekan data yang peneliti peroleh kepada partisipan. Selain prolonged engagement dan member checking peneliti juga akan melakukan triangulation, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding


(38)

terhadap data. Selain itu, peneliti juga melakukan persistent observation atau pengamatan yang berkelanjutan.

Transferabilitas, pada tahap ini peneliti akan menguji apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. (3) Depaendabilitas, tahap ini digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti. Hal ini dilaksanakan dengan cara peneliti akan selalu mengkonsultasikan hasil dari setiap wawancara dan tema yang didapat kepada dosen pembimbing agar data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat lebih objektif, (4) Konfirmabilitas, pada tahap ini peneliti akan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Tujuan peneliti melakukan konfirmabilitas adalah untuk menilai kualitas hasil penelitian.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Penelitian

Bagian ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini memunculkan lima tema yang memberi suatu gambaran atau fenomena pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan. Bagian ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama menceritakan secara singkat gambaran kerakteristik partisipan yang ikut dalam penelitian ini. Bagian kedua adalah anilisis dari masing-masing tema yang muncul dari pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.

4.1.1 Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat jiwa wanita yang melakukan pemberian asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan. Jumlah partisipan adalah lima orang. Kelima partisipan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria dan yang bersedia untuk dilakukan wawancara serta menandatangani persetujuan penelitian sebelum wawancara dimulai. Semua partisipan bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Usia kelima partsipan berkisar antara 29-41 tahun. Dari kelima partisipan,


(40)

tiga orang diantaranya beragama Islam dan dua orang lainnya beragama Kristen. Empat partisipan bersuku Batak, dan satu orang partisipan bersuku Batak Karo. Pendidikan terakhir S1 (Sarjana) sebanyak tiga orang partisipan, D3 (Ahli Madya) sebanyak dua orang partispan. Dua orang bekerja di ruangan Pusuk Buhit dan tiga orang lainnya bekerja di ruangan Bukit Barisan. Sebanyak dua orang partisipan memiliki masa kerja 5 tahun, satu orang partisipan lainnya memiliki masa kerja 14 tahun, satu orang dengan masa kerja 15 tahun dan satu orang lagi dengan masa kerja 16 tahun. Jabatan kelima orang partisipan yang diwawancara adalah sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan.

Tabel 1.1

Karakteristik Partisipan

Kategori P1 P2 P3 P4 P5

Umur

(tahun) 37 tahun 42 tahun 29 tahun 39 tahun 31 tahun

Agama Islam Islam Islam Kristen Kristen

Suku Batak Karo Batak Batak Batak Batak

Pendidikan terakhir Sarjana Keperawatan Sarjana Keperawatan D3 Keperawatan Sarjana Kesehatan Masyarakat D3 Keperawatan

Ruangan Pusuk Buhit Pusuk Buhit Bukit

Barisan

Bukit Barisan

Bukit Barisan

Masa kerja 16 tahun 15 tahun 5 tahun 14 tahun 5 tahun

Jabatan Perawat

Pelaksana Perawat Pelaksana Perawat Pelaksana Perawat Pelaksana Perwawat Pelaksana

4.1.2 Hasil Wawancara

Tema yang teridentifikasi dari hasil wawancara adalah sebanyak lima tema yang memperlihatkan berbagai pengalaman perawat yang merawat klien dengan


(41)

perilaku kekerasan. Kelima tema tersebut adalah jenis tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien perilaku kekerasan, penyebab timbulnya perilaku kekerasan, perasaan perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekrasan, penanganan / terapi pada pasien perilaku kekerasan dan kendala saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan.

1. Jenis tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien perilaku kekerasan

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kelima partisipan melalui pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan tindakan-tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien tersebut adalah seperti perilaku amuk, perilaku menyerang, perilaku memberontak.

1.1Perilaku amuk

Sebanyak empat partisipan menyatakan bahwa pasien perilaku kekerasan pernah melakukan perilaku amuk seperti emosi yang berlebihan, menghancurkan barang, membakar, membanting pintu dan menumpahkan makanan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:

“…ya memang pasien dari awal masuknya pun memang dia udah suka marah-marah, udah suka menghancurkan barang. Kadang-kadang pasiennya emang dasarnya udah ngamuk, udah suka menghancurkan… “ (Partisipan 1)


(42)

“Biasanyakan keluarga itu kan gak tahan kalau dia di rumah karena dia udah mengganggu, memukul ya kan, memecahkan barang, merusak, membakar, nah itu semua PK itu, perilaku kekerasan…” (Partisipan 2) “Terus kalau udah ngamuk itu bajunya semua dibuka, telanjang bulat dia… tempat tidur itu di inikan semua (memperagakan tindakan mengacak-acak tempat tidur), pokoknya apa yang dekat dibalik-balikanlah…” (Partisipan 5)

1.2Perilaku menyerang

Sebanyak empat dari lima orang partisipan menyatakan bahwa klien dengan perilaku kekerasan juga sering melakukan perilaku menyerang. Perilaku menyerang yang dilakukan pasien seperti marah, berantem, merebut makanan dan memukul. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:

Biasa kalau pasien marah itukan bukan satu orang aja yang mau diserangnya, semua mau diserangnya. Dia harus dipisahkan sama kawannya…”(Partisipan 2)

“Kalau mereka berantem berdua didalam, kami ajak keluar satu. Nanti dia gini, kalau berantem itu ada juga merebut makanan gitukan…” (Partisipan 4)

“Jadi dipukulkan, ditumbuk kata temannya ya, ditumbuk pakek tangannya, sampai dibawah dijedotkan kepalanya. Kek gitulah sampai kekerasannya pada pasien…”(Partisipan 5)

1.3Perilaku memberontak

Dari hasil wawancara yang diperoleh bahwa sebanyak tiga dari lima orang partisipan menyatakan bahwa klien dengan perilaku kekerasan juga melakukan perilaku memberontak. Perilaku memberontak yang dialami pasien adalah seperti


(43)

teriak-teriak di dalam ruangan, merampas peralatan intervensi dan melawan perawat. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:

“…begitu diinjeksi kan gak langsung tenangkan, pasti masih ada sisa ngamuk-ngamuk. Awalnya sempat juga melawan-lawanlah minta dilepaskan rantainya. Di tempat tidur sempat mengamuk juga, teriak-teriak juga. Cuman ya setelah obatnya bekerja, dia tenang, tidur …” (Partisipan 3)

“… Terus dulu pernah juga ada pasien baru ya. Pasien baru inikan bingung, jadi saya sendirian dinas malam mau memfiksasi dia. Rupanya fiksasinya tadi dirampasnya, dipukulinya sama yang lain. Ada pasien lain, dipukulnya fiksasi tadi, talinya tadi dipukulnya sama pasien yang lain, kena, cederalah pasien yang lain tadi…”(Partisipan 4)

2. Penyebab timbulnya perilaku kekerasan pada pasien perilaku kekerasan Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kelima partisipan melalui pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan penyebab timbulnya perilaku kekerasan pada pasien perilaku kekerasan adalah karena halusinasinya dan wahamnya.

2.1Halusinasi

Kelima partisipan yang telah diwawancarai menyatakan bahwa penyebab timbulnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasien perilaku kekrasan adalah karena halusinasinya seperti dia mendengar suara-suara atau melihat hal-hal yang orang lain tidak melihat. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:


(44)

“Halusinasinya juga datang, mau jugalah hitungannya memukul gitu. Mungkin dia halusinasinya mendengar entah melihat manusia itu seperti udah lain seperti hewan kan bisa juga tiba-tiba disuruh pukul…” (Partisipan 1)

“…karena itukan biasanya pasien-pasien yang ngamuk itukan karena gak bisa tidur, jadi mulailah dia mungkin berkhayal, berhalusinasi dan muncullah halusinasinya…” (Partisipan 3)

“Kebanyakan perilaku kekerasan itu dari halusinasinya. Dia dengar suara-suara. Dia dijelek-jelekkan sama suara-suara itu. Jadi bawaannya mau marah aja. Dia sebenarnya marah sama suara-suara itu, tapi orang yang didekatnya dipukulnya.”(Partisipan 5)

2.2Waham

Dua orang dari partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa penyebab lain yang membuat timbulnya perilaku kekerasan oleh klien dengan perilaku kekerasan adalah karena wahamnya seperti pasien curiga pada perawat, pasien dendam sama perawat. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

“bisa karena waham ya kan. “oh ini mau ngapain aku” kan gitu, timbullah paranoidnya, “nah sebelum aku dihajar, bagus aku hajar duluan” kan gitu. Mau orang ini kek gitu kan, misalnya gak diapa-apain, di bilangnya diapa-apain kok. Hanya di tengokin aja dia tersinggung…” (Partisipan 1)

“Curiga-curiga gitu dia, marah sama kita, curiga dia sama kita. Jadi diakan nanti ntah udah punya suami gitukan, pikirnya ntah kita ambil suaminya. Waham curigalah dia gitukan, mengamuklah dia gitukan…”(Partisipan 4)


(45)

3. Perasaan perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kelima partisipan melalui pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan ada beberapa perasaan yang dirasakan oleh perawat sendiri saat merawat pasien. Ada perasaan negatif dan juga ada perasaan positif.

3.1Perasaan negatif

Kelima orang partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa ada perasaan negatif yang dirasakan oleh perawat saat memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan. Perasaan negatif tersebut berupa perasaan takut, stress dan khawatir. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

“…Waktu baru masuk kemarin ya stress lah. Ya siapaun bisa juga kalau kita dipukulnya. Ya disini kalau kita masuk ya tetap waspadakan…” (Partisipan 2)

“…Ya kemarin itu khawatirnya karena kondisi lagi hamil itu kan. Takut ngeri masuk sendiri gitukan, namanya pasien ngamuk takut juga kita ntah diapainya perut kita atau apa gitukan. Itu aja takutnya kemarin…” (Partisipan 3)

“…Takut jugalah. Perasaan takut pasti ada, makanya kita perlu teman juga disini, kayak security. Takutnya kalau pasiennya lagi ngamuk gitu aja…. Kalau perasaan takut itu, kalau ngamuk selalu takut juga, sampai sekarang masih takut juga” (Partisipan 5)


(46)

3.2Perasaan positif

Kelima orang partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa ada perasaan positif yang dirasakan oleh perawat saat memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan. Perasaan positif tersebut berupa perasaan biasa saja, nyaman, antisipasi dan kasihan serta menarik. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

… jadi ada rasa takut jugalah itungannya, Tapi lama kelamaan setelah beberapa bulan dijalani kan enak gitu rupanya kerja disini, di rumah sakit jiwa ini… Ibaratnya kalau kita udah dimana tempat kerjaaan kita kan, lama-lama pasti senangnya kita disitu” (Partisipan 1)

Tapi rasa waspada itu tetap, cuman gak berlebihan kek orang-orang yang gak pernah kesini. Emang biasa aja… Menariklah merawat pasien ini, kalau nggak mana betah udah 15 tahun disini. Cari pelajaranlah, banyak hikmahnya” (Partisipan 2)

… Kasihan pasti adalah, apalagikan kalau misalkan dia udah mulai tenang, cerita misalkan disisihkan dari keluarga, dari pasien kita ini ada nanti dari datang sampai misalkan udah 5 bulan disini gitu, gak ada dijenguk sama sekali…” (Partisipan 5)

4. Penanganan / terapi yang perawat berikan terhadap pasien perilaku kekerasan

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kelima partisipan melalui pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan ada beberapa tindakan penanganan yang dapat diberikan pasien. Penanganan yang dilakukan adalah pengekangan fisik, membina hubungan terapeutik dan pemberian terapi.


(47)

4.1Pengekangan fisik

Kelima orang partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan adalah dengan melakukan pengekangan fisik berupa pengikatan kaki pasien ataupun tangan pasien untuk menghindari agar pasien tidak melakukan penyerangan terhadap orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

“…Karena disini gak ada ruangan khusus, diikat dia di tempat yang lain, disudut ruangan. Beberapa jam gitu sampai tenang baru biasa dikasih obat. Kalau gak diikat bisa habis kawan-kawannya” (Partisipan 2)

“…Kalau memang udah perlu difiksasi, ya difiksasi… dia takutnya pun mengganggu pasien lain, karenakan takutnya dia membahayakan pasien lain gitukan karenakan seperti bangsal pasiennya banyak. Kemarin setelah saya injeksi, saya fiksasi kakinya di tempat tidur…” (Partisipan 3)

“…Kalau memang dia sudah mengganggu kami fiksasi. Iya difiksasilah. Kalau dia udah terganggu kali, gak bisa kita kendalikan kan, difiksasilah dia. Karenakan bisa membahayakan kita jugakan sebagai perawat. Difiksasi itu kakinya digaring. Jadi itu tergantung pasienlah. Kalau udah kami suntik dia beberapa hari udah gak mengamuk, kami buka fiksasinya…” (Partisipan 4)

4.2Perilaku perawat saat melakukan asuhan keperawatan

Kelima orang partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa dalam penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan juga memperhatikan keamanan ataupun perlindungan terhadap perawat sendiri. Perlindungan terhadap diri perawat dapat dilakukan dengan menjaga jarak dari pasien, memiliki teman atau yang membantu saat menghadapi pasien amuk, menghindar. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:


(48)

“… Langsung kasih jaraklah. Disinikan memang harus kasih jarak, gak boleh kita sejangkauan tangan sama pasien jaraknya dia di belakang kita, kalau bisa dia di depan kita jalan. Harus dijagalah. Dimulai dengan sejangkauan tanganlah jaraknya sekelilingnya. Sejangkauan tangankan dia bisa tiba-tiba mukul…” (Partisipan 2)

“…Langsung saya panggil teman sayalah. Bapak-bapak atau laki-laki saya panggillah supaya bisa menolong kita. Supaya pasien tadi ditangkapkan. Di dalamkan dia mengamukkan, kami panggil pegawai yang laki-laki…” (Partisipan 4)

“…Misalkan udah kumat kek gitu, biasa kita panggil security juga untuk menemani kita gitukan. Namanya kita juga perempuankan, mengantisipasi apa nanti. Terus pasien-pasien yang udah bagus itu , udah mulai sehat gitukan, udah gak bingung lagilah, yang di luar-luar membantu menemani kita melerai pasien…” (Partisipan 5)

4.3Membina hubungan terpeutik

Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, empat ppartisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan juga diperlukan untuk membina hubungan terapeutik guna memberikan penanganan terbaik untu pasien perilaku kekerasan. Membina hubungan terapeutik dilakukan dengan berkomunikasi dengan pasien saat tenang, berbicara sopan, sabar, lembut dan berempati terhadap pasien serta juga membutuhkan dukungan dari keluarga pasien sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

“…kalau pasien dengan perilaku kekerasan ini ya kita ya harus melakukan pendekatan jugalah itungannya ya kan, ya diajak berkomunikasi ibaratnya, kita ajak juga pasien agar mau mengungkapkan apa permasalahannya, apa yang menyebabkan dia mau marah” (Partisipan 1)


(49)

“…Kalau pasien perilaku kekerasan ini, memang dalam menghadapi pasien ini kita harus sabar ya. Karena mereka diluar dari kendali merekakan….. Jadi komunikasi terapeutik kita itu harus dengan cara empati, harus dengan lembut kita kasih tau jangan seperti itu, tidak boleh gitukan… seperti kita merawat saudara kita sendirilah pada pasien-pasien ini supaya mereka seperti diperhatikan gitu…” (Partisipan 4)

“…Kalau dia kumat mana bisa diajak ngomong, kecuali kalau dia udah tenang. Pernah juga ada pasien perilaku kekerasan, dia udah bisa diajak ngobrol… kalau misalnya lagi tenang dia, nyambung gitu pasien PK ini. Maka selain dari kita, keluarga penting juga memang. Dukungan dari keluarga penting sekali…” (Partisipan 5)

4.4Pemberian terapi (obat-obatan, ECT dan TAK)

Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, empat partisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam penanganan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan juga dilakukan beberapa pemberian terapi seperti pemberian obat-obatan, injeksi, pemberian TAK, mengajarkan personal hygene dan kebersihan sert pemberian terapi ECT. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

“…pagi-pagi itupun kan udah diajarkan itungannya kebersihan, personal hygene, jadi orang itu udah ada dia dibuat kegiatan jadi gak terfokus ke rasa marahnya Lagi pula mahasiswa sering mengadakan TAK kan, jadi orang itu agak bisa mengontrollah perilaku dia kan…” (Partisipan 1)

“…Ya kita kasih obat tidurlah supaya dia tidur, dia tenang istirahat. Karena itukan biasanya pasien-pasien yang ngamuk itukan karena gak bisa tidur….. Kalau memang dia amuk terus paling ECT lah. Karena terapinya selain obat, ECT lah…” (Partisipan 3)

“…Jadi kalau perilaku kekerasan ini kalau lagi kumat kan kami hanya bisa kami kasihlah satu advice dokter yang kami kerjakan melalui obatlah, suntikan yakan. Supaya sipasien tadi bisa mentolerir atau perilakunya tadi bisa dikuranginya, kekerasan tadi dikurangi dengan obat tadi. Jadi obat itulah yang pertama membuat pasien tadi supaya dia tidak seperti mau memukul kita gitukan…” (Partisipan 4)


(50)

5. Kendala yang dialami perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kelima partisipan melalui pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan ada beberapa kendalaan yang dihadapi olehperawat saat memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan. Kendala tersebut berupa Jadwal dinas seorang diri, perilaku pasien, Kurangnya fasilitas rumah sakit.

5.1 Jadwal dinas seorang diri

Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, dua partisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan ini perawat juga mengalami kendala dengan dinas seorang diri pada sore dan malam hari. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut:

“Kendalanya, kan kita disini kalau dinas sore dan malam sendiri. Jadi kalau ada apa-apa, kita harus kreatiflah cari bantuan sama pasien-pasien lain. Kalau sama kawan agak susahkan, kalau ada dari ruangan lain bisa kita minta tolong…” (Partisipan 2)

Kendalanya karena dia ngamuk udah malam, karenakan kawan-kawan yang lain juga udah tidur gitu kan. Jadi banguni kawan apain pasiennya lah supaya dia tenanglah, disuntiklah, dikasih obat…” (Partisipan 3)

5.2Perilaku pasien

Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, dua partisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan ini perawat juga mengalami kendala dengan pasien, yaitu bahwa pasien


(51)

tidak mau untuk minum obat. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut ini:

Kadang-kadang pasien itu mau gak suka minum obat, gak terima dia. Jadi kalau dia gak mau minum obat, kami paksa minum obatnya. Harus minum obat. Caranya obat tadikan bulat-bulat, kadangkan ada obat itu bulat susah ditelan, kami gilinglah obatnya, kami pulvis…” (Partisipan 4)

“Pasien juga kadang menjadi kendala. Misalkan kita mau ngasih obat peroral gitu, udah gak mau lagi dia untuk minum. Jadi pintar-pintar kita untuk memberikannya. Kadang harus digiling obatnya, terus di spuitkan kemulutnya. Ya gimanalah caranya dia menelan obat itu biar obat itu masuk…” (Partisipan 5)

5.3 Kurangnya fasilitas

Dari kelima orang partisipan yang diwawancarai, tiga partisipan diantaranya menyatakan bahwa dalam memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan ini perawat juga mengalami kendala dengan pasien, yaitu bahwa kurangnya fasilitas rumah sakit baik dari segi sumber daya manusianya maupun dari segi peralatan rumah sakit yang tersedia. Kurangnya fasilitas dari segi peralatan yang disediakan oleh rumah sakit adalah berupa terbatasnya alat fiksasi, tidak ada ruang isolasi serta pembagian status bukan berdasar status diagnosa melainkan berdasarkan status ekonomi daripada si pasien. Sementara itu kurangnya fasilitas dari segi sumber daya manusianya adalah kurangnya tim keamanan yang ada di rumah sakit tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini:


(52)

“Terus peralatan fixernya juga terbatas. Disini kalau pasien PK kan perlu difixer, terbatas itu. Terus fasilitasnya gak mendukungkan. Ya kalau secara teori kan, banyak tuh. Secara teori idealnya pasien PK itu kan punya ruangan khusus kan, ruang isolasi ya kan, yang aman untuk dia, untuk orang lain aman…” (Partisipan 2)

“Karena disini gak ada ruangan khusus, diikat dia di tempat yang lain, disudut ruangan….. disinikan gak berdasarkan diagnosa, berdasarkan kemampuan ekonomilah. Kan sekarang udah ada BPJS, JAMKESMAS…” (Partisipan 2)

“… karenakan seperti bangsal pasiennya banyak. Kemarin setelah saya injeksi, saya fiksasi kakinya di tempat tidur. Karena kita jugakan untuk kebaikan pasien lainnya gitukan, bukan untuk diri dia sendiri juga…” (Partisipan 3)

“Ya mungkin fasilitasnya itu ya. Kayak ya rantainya itu kurang, terus kadang securitnya juga kurang aktif nanti kita cariin ntah dimana….. di UGD, disana biasanya untuk alat-alatnya yang ada, untuk menghecting, menjahit disana yang ada” (Partisipan 5)

4.2Pembahasan

Pada bagian ini akan diuraikan tentang pembahasan hasil penelitian dengan literarur yang berhubungan dengan pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan yang meliputi tindakan-tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien perilaku kekerasan, penyebab timbulnya perilaku kekerasan, perasaan perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekrasan, penanganan / terapi pada pasien perilaku kekerasan dan kendala saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan.


(53)

1. Tindakan-tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien perilaku kekerasan

Hasil penelitian terhadap kelima partisipan menyebutkan bahwa ada beberapa tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasien perilaku kekerasan. Tindakan-tindakan tersebut adalah timbulnya perilaku amuk, perilaku menyerang dan perilaku memberontak.Tindakan-tindakan tersebut dilakukan pasien baik terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain dan juga merusak lingkungan (Sujono& Teguh, 2009).

1.1Perilaku amuk

Perilaku amuk yang diungkapkan oleh empat partisipan adalah perilaku kekerasan yang dapat merugikan bahkan membahayakan baik bagi diri pasien sendiri, bagi perawat, bagi teman seruangannya juga dapat merusak lingkungan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Keliat (1997, dalam Sujono & Teguh, 2010) bahwa perilaku amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain serta lingkungan. Dan hal ini juga dibuktikan dengan pernyataan partisipan bahwa saat pasien mengalami perilaku amuk, maka pasien akan merusak benda apa saja yang berada disekitarnya dan juga termasuk dirinya sendiri juga akan dilukai olehnya.


(54)

1.2Perilaku menyerang

Tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh pasien yang diungkapkan oleh empat dari lima partisipan adalah perilaku menyerang. Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan kewaspadaan meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat (Sujono, 2010). Dan dari hasil penelitian yang diungkapkan oleh empat dari lima partisipan menyatakan bahwa pasien sering berkelahi di dalam ruangan karena timbulnya perilaku menyerang orang lain oleh pasien perilaku kekerasan. Bahkan perawat sendiri juga menjadi target penyerangan pasien. Perawat dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan memiliki risiko besar untuk mengalami tindakan penyerangan dari pasien, disebabkan perawat adalah orang yang paling sering ditargetkan dan dilibatkan dalam peristiwa perilaku kekerasan pasien (Nijman, Foster, & Bowers, 2007).

1.3Perilaku memberontak

Perilaku memberontak adalah perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain (Sujono, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku memberontak yang diungkapakan oleh tiga dari lima partisipan kemungkinan adalah untuk menyatakan penolakan atas tindakan yang diberikan terhadapnya seperti pada saat akan diinjeksi ataupun pada saat pasien akan difiksasi, sehingga pasien mengalami konflik dan akhirnya melakukan pemberontakan.


(55)

2. Penyebab timbulnya perilaku kekerasan pada pasien perilaku kekerasan Hasil penelitian terhadap kelima partisipan menyebutkan bahwa penyebab tersering timbulnya perilaku kekerasan pasien yang mereka rawat adalah karena halusinasi dan waham yang dialami oleh pasien tersebut.

2.1. Halusinasi

Perilaku kekerasan yang timbul akibat halusinasi pasien. Hal ini diungkapkan oleh kelima partisipan yang menyatakan bahwa pasien sering mendengar suara-sura atau melihat hal-hal yang tidak wajar dan meresponi hal yang didengar dan dilihatnya dengan tindakan perilaku kekerasannya. Yang pada awalnya pasien merasa marah terhadap suara-suara dan hala-hal yang dilihatnya namun di lampiaskan ke orang lain yang berada disekitarnya. Pernyataan bahwa penyebab timbulnya perilaku kekerasan ini juga di dukung oleh pernyataan Wilson (1983) bahwa halusinasi adalah gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan.

2.2.Waham

Seperti yang telah diungkapkan dua dari lima partisipan, bahwa penyebab lain timbulnya perilaku kekerasan pasien adalah karena munculnya waham pasien.


(56)

Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000). Waham curiga adalah keyakinan seseorang yang berusaha merugikan atau mencederai dirinya sendiri atau orang lain, diucapkan berulang-ulang tapi tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan waham yang dialami pasien perilaku kekerasan adalah waham curiga, hal ini terbukti dari pernyataan pasien yang diungkapkan oleh partisipan.

3. Perasaan perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku kekerasan

Pasien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan kekerasan kepada siapa saja tak terkecuali perawat bahkan dapat merusak lingkungan sekitar (Nijman, Bowers, Oud, & Jansen, 2005). Pengalaman perawat dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan mengungkapkan tentang berbagai perasaan yang dialaminya. Berbagai macam perasaan yang muncul ketika perawat memberikan asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan dan perasaan itu dipengaruhi oleh bagaimana perilaku kekerasan yang diperlihatkan pasien. Dari hasil penelitian yang dilakukan wawancara terhadap lima partisipan menyatakan ada dua respon perasaan yang muncul yaitu perasaan negatif dan perasaan positif.


(57)

3.1Perasaan negatif

Kelima partisipan yang diwawancarai menyatakan perasaan-perasaan negatif mereka saat mereka baru-baru masuk kerja. Perasaan-perasaan negatif itu menimbulkan reaksi takut, stress dan cemas. Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010) kecemasan itu sendiri adalah suatu sinyal yang menyadarkan adanya peringatan bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman.

3.2Perasaan positif

Sementara itu selain timbulnya perasaan-perasaan negatif, empat dari lima partisipan yang dilakukan wawancara, menyatakan bahwa mereka juga mengalami perasaan-perasaan positif dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan tersebut. Hal ini tergambar dari ungkapan mereka yang menyatakan bahwa mereka merasa nyaman setelah bekerja selama beberapa bulan rumah sakit tersebut dan membuat mereka bertahan sampai bertahun-tahun dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien perilaku kekerasan. Juga ada ungkapan dari mereka yang menyatakan bahwa kendala yang mereka hadapi saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan kini sudah mereka katakan bahwa hal itu adalah hal yang biasa saja.

4. Penanganan / terapi yang perawat berikan terhadap pasien perilaku kekerasan


(58)

Riyadi dan Purwanto (2009) menyatakan pasien yang melakukan perilaku kekerasan biasanya memperlihatkan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa tindakan ataupun terapi untuk mengatasi tindakan perilaku kekrasan yang dilakukan oleh pasien. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap kelima partisipan ini, tindakan-tindakan yang dapat dilakukan seperti tindakan pengekangan fisik, membina hubungan terapeutik dan pemberian terapi (terapi obat-obatan, ECT dan TAK).

4.1Pengekangan fisik

Kelima partisipan yang dilakukan wawancara menyatakan tindakan atau penatalaksanaan yang dilakukan oleh perawat ketika pasien melakukan tindakan amuk atau pada saat perilaku kekerasan pasien kambuh adalah dengan melakukan fiksasi ataupun tindakan pengekangan fisik. Dari pernyataan partisipan tindakan pengekangan fisik tersebut mereka lakukan untuk menghindari terjadinya tindakan yang bisa membahayakan baik bagi diri perawat, pasien yang lain dan juga pasien itu sendiri. Fiksasi adalah pengekangan fisik dengan menggunakan alat manual untuk membatasi gerakan fisik pasien menggunakan manset, sprei pengekang atau rantai (Yosep, 2007). Fiksasi termasuk dalam salah satu strategi pengurungan yang merupakan rentang terkahir ataupun strategi ketiga menurut Yosep (2007). Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Arnetz dan Bengt (2001), menyatakan bahwa intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien perilaku kekerasan seperti pengekangan fisik atau isolasi tidak dipraktekkan lagi


(59)

di bangsal mereka. Pengekangan fisik atau fiksasi ini masih termasuk kedalam tindakan intervensi yang alami belum berdasarkan standar (Darsana, 2010).

4.2Perilaku perawat saat melakukan asuhan keperawatan

Dari hasil wawancara dengan kelima partisipan menyatakan bahwa perawat juga perlu melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri saat mereka melakukan pemberian asuhan keperawat pada pasien perilaku kekerasan. Tindakan perlindungan terhadap diri perawat dapat mereka lakukan dengan menjaga jarak dengan pasien. Berdasarkan hasil wawancara, jarak yang sebaiknya antara perawat dengan pasien perilaku kekerasan minimal adalah sejangkauan tangan dan posisi perawat tidak membelakangi perawat dan sebaiknya perawat yang berjalan dibelakang pasien, yang bertujuan untuk menghindari respon atau serangan tiba-tiba dari pasien. Selain dengan menjaga jarak, berdasarkan hasil wawancara tersebut, partisipan juga mengungkapkan bahwa cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan meminta bantuan dari petugas lainnya atau dari pasien-pasien lain yang sudah kooperatif, perawat tidak dibenarkan melakukan tindakan secara sendiri terutama saat menangani pasien perilaku kekerasan yang sudah kehilangan kendali (Sujono& Teguh, 2009).

4.3Membina hubungan terapeutik

Dari hasil wawancara yang dilakukan menyatakan empat dari lima partisipan tersebut menyatakan bahwa selain dengan melakukan tindakan pengekangan, tindakan lain yang dilakukan oleh perawat dalam menangani pasien perilaku


(60)

kekerasan adalah dengan membina hubungan tsaling percaya (hubungan terapeutik). Dalam membina hubungan saling percaya (hubungan terapeutik) perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah: Mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien (Sujono & Teguh, 2009). Dan juga melakukan komunikasi dengan strategi yang baik agar dapat membina hubungan saling percaya. Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku kekerasan bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan cara mengahakimi, bicara netral dan dengan cara konkrit, tunjukkan rasa hormat, hindari intensitas kontak mata langsung, demonstrasikan cara mengontrol situasi, fasilitasi pembicaraan klien dan dengarkan klien, jangan terburu-buru menginterpretasikan dan jangan buat janji yang tidak bisa ditepati (Yosep, 2007).

4.4Pemberian terapi

Empat dari lima partisipan menyatakan bahwa selain tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani pasien perilaku kekerasan adalah dengan melakukan pemberian terapi yaitu dengan pemberian obat-obatan, injeksi, ECT, TAK dan juga dengan mengajarkan personal hygene. Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan, obat-obatan yang biasa diberikan untuk pasien perilaku kekerasan adalah diazepam, CPZ, dan sikzonoat yang diberikan setiap 2 kali sebulan. Obat-obatan tersebut diberikan baik secara oral ataupun injeksi. ECT


(61)

adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang, terapi ini mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis pasien (Riyadi, 2009). Partisipan juga menyatakan bahwa pasien juga sering dilakukan TAK baik yang diberikan oleh perawat sendiri ataupun mahasiswa yang sedang PKL. Walaupun TAK ini dilakukan hanya pada pasien yang sudah kooperatif namun sangat berguna bagi pasien. Tidak lupa juga partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka juga mengajarkan personal hygene kepada pasien dan memberikan kegiatan kepada pasien untuk berpaling dari fokus terhadap rasa marahnya.

5. Kendala yang dialami perawat saat memberikan asuhan keperawatan pasien perilaku

Perawat dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan tersandung berbagai macam kesulitan/hambatan dalam melakukan pemberian asuhan keperawatan, baik dari faktor – faktor yang berasal dari perawat maupun dari lingkungan itu sendiri. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima pertisipan, menyatakan bahwa ada tiga hal yang utama yang menjadi kendala saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan. Ketiga hal tersebut adalah jadwal dinas perawat seorang diri, kurangnya fasilitas yang mendukung proses asuhan keperawatan dan tidak maunya pasien minum obat.


(62)

5.1Jadwal dinas seorang diri

Dua dari lima partisipan yang diwawancarai menyatakan bahwa yang menjadi kendala saat mereka memberikan asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan adalah ketika mereka dinas seorang diri, yaitu pada sore dan malam hari. Partisipan menyatakan kesulitan saat menjalani dinas sore dan dinas malam terutama dengan pasien yang mengalami tindakan amuk. Mereka kesulitan karena melakukan seorang diri, untuk itu mereka secara kreatif meminta bantuan dari pasien-pasien yang sudah kooperatif saat menangani pasien amuk tersebut. Karena untuk meminta bantuan dari rekan kerja juga kemungkinan sulit karena perawat yang lainnya juga sedang bertugas. Partisipan juga menyatakan bahwa hal ini juga di perburuk dengan kurang aktifnya security ataupun petugas keamanan. Mereka kesulitan untuk mencari security atau petugas keamanan ketika pasien menagalami perilaku amuk.

5.2Kurangnya fasilitas

Kurangnya fasilitas kesehatan yang dapat membantu proses asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan juga di ungkapkan oleh tiga dari lima partisipan yang di wawancarai. Kurangnya fasilitas kesehatan yang diungkapkan oleh partisipan dapat berupa kurangnya sumber daya manusia yang ada untuk melakukan pengamanan dan kurangnya peralatan-peralatan yang digunakan untuk membantu proses intervensi keperawatan. Berdasarkan pernyataan yang diberikan oleh partisipan, terdapat kekurangan pada alat-alatfiksasi serta tidak terdapatnya ruang isolasi. Padahal menurut partisipan, pasien perilaku kekerasan


(63)

membutuhkan sebuah ruangan untuk menagamankan pasien perilaku kekerasan tersebut agar tidak membahayakan bagi pasien-pasien lain yang seruangan dengan pasien tersebut, terlebih bagi pasien sendiri. Untuk kurangnya sumber daya manusianya juga diungkapkan oleh partisipan bahwa perawat sulit untuk mencari tim keamanan (security) pada saat perawat melakukan asuhan keperawatan seorang diri.

5.3Perilaku pasien

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima partisipan, dua diantaranya menyatakan bahwa ada beberapa pasien yang sudah tidak mau minum obat. Sehingga para perawat mencari berbagai cara untuk memberikan obat termasuk dengan melarutkan obat yang sudah di haluskan terlebih dulu dengan air dan kemudian memberikan pada pasien dengan menggunakan spuit dan diberikan kepada pasien. Partisipan juga menyatakan bahwa pasien harus mendapatkan terapi obat tersebut.


(1)

Lampiran 7

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Mahda Chresginova Malau Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 28 November 1992 Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Platina IV Lingkungan X, Gg. Malau No.2, Kelurahan Titipapan, Kecamatan Medan Deli Riwayat Pendidikan :

1. SDN 066661 MEDAN (1998-2004)

2. SMP NEGERI 33 MEDAN (2004-2007) 3. SMA NEGERI 12 MEDAN (2007-2010)

4. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara (2010-Sekarang)


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Perilaku Caring Perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

17 144 75

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Ny. W DENGAN PERILAKU KEKERASANDIRUANG SRIKANDI Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. W Dengan Perilaku Kekerasan Diruang Srikandi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

0 5 15

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Ny. J DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SUMBADRA Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. J Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sumbadra Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

0 1 14

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Ny. J DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SUMBADRA Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. J Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sumbadra Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

0 0 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DENGAN PERILAKU KEKERASAN, DI RUANG AYODYA ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DENGAN PERILAKU KEKERASAN, DI RUANG AYODYA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA.

0 0 11

PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DENGAN PERILAKU KEKERASAN, DI RUANG AYODYA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA.

0 0 8

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Ny. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Ny. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN DI RSJD SURAKARTA.

0 0 10

ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN

1 2 10

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN JIWA DENGA

0 1 22

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep perawat jiwa - Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan

0 0 15