Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu

(1)

SELEKSI GENOTIPE TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN TAHUN 2001 – 2003

SEBAGAI PENGHASIL LATEKS DAN KAYU

SKRIPSI

TONI AKBAR 080307025

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SELEKSI GENOTIPE TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN TAHUN 2001 – 2003

SEBAGAI PENGHASIL LATEKS DAN KAYU

SKRIPSI

TONI AKBAR 080307025

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Penelitian : Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis

Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu

Nama : Toni Akbar

NIM : 080307025

Program Studi : Agroekoteknologi

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Emmy Harso Kardhinata, M.Sc Ir. Eva Sartini Bayu, M.P NIP: 195911181996031001 NIP: 196105061993032001

KetuaAnggota

Dra. Sekar Woelan, M.P NIK: 110 400 219 Pembimbing Lapangan


(4)

ABSTRACT

TONI AKBAR: Genotype selection of rubber plant (Hevea brasiliensis muell arg.) from crossing result 2001 – 2003 as latex and timber yielding. Supervised by Emmy Harso Kardhinata, Eva Sartini Bayu And Sekar Woelan.

The research has been done in ± 54 hsl.at Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Subdistrict Galang, District Deli Serdang North Sumatera Province. The research held in February 2012 until July 2012. The main of this research to get the best genotype based of characteristic yield potential of latex and timber yielding of crossing result 2001-2003. The result data is analyzed statistically parameter of girth, high plant, number of the first branch, the high of the first branch, bark thickness, number and diameter of latex vessel, the production of dry rubber (g/t/t) and timber yielding (m3/tree). The statistic test included mid value, maximum value, minimum value, range, class, interval, correlation and intensity 10 , 5%, and 1 % selection. There are 1013 rubber trees, they are nine years old.

Based on genotype selection as latex and timber yielding with a selection intensity of 10% there are 15 genotypes are 13/01/A, 86/02/B, 41/01/A, 331/01/A, 57/01/A, 577/01/A, 639/01/A, 45/02/B, 671/01/A, 239/01/A, 619/01/A, 160/01/A, 139/01/A, 195/01/A, and 423/01/A and selection intensity of 1% there are 3 genotypes are 139/01/A, 195/01/A, and 423/01/A.


(5)

ABSTRAK

TONI AKBAR: Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis muell arg.) dari Hasil Persilangan Tahun 2001 – 2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu. Dibimbing oleh Emmy Harso Kardhinata, Eva Sartini Bayu Dan Sekar Woelan.

Penelitian ini telah dilaksanakan di Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ±54 m dpl. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan genotipe terbaik berdasarkan karakteristik potensi produksi lateks dan kayu dari hasil persilangan tahun 2001-2003.Data hasil penelitian dianalisis secara statistik terhadap parameter lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang pertama, tinggi cabang pertama, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, produksi karet kering (g/p/s) dan produksi kayu (m3/pohon). Uji statistik yang dilakukan meliputi nilai tengah, nilai maksimum, nilai minimum, range, kelas, interval, korelasi dan seleksi pada intensitas 10%, 5% dan 1%. Tanaman karet yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 1013 pohon berumur 9 tahun.

Bedasarkan hasil seleksi genotipe sebagai penghasil lateks dan kayu dengan intensitas seleksi 10% terdapat 15 genotipe yaitu 13/01/A, 86/02/B, 41/01/A, 331/01/A, 57/01/A, 577/01/A, 639/01/A, 45/02/B, 671/01/A, 239/01/A, 619/01/A, 160/01/A, 139/01/A, 195/01/A, dan 423/01/Adan intensitas seleksi 1% terdapat 3 genotipe yaitu139/01/A, 195/01/A, dan 423/01/A.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di RS Petumbukan pada tanggal 19 Agustus 1990 dari ayah Junaidi dan Ibu Mintauli Samosir. Penulis merupakan putra ke empat dari empat bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lubuk Pakam dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memili program studi Pemuliaan Tanaman, Department Budidaya Pertanian.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Penelitian Sungei Putih – Pusat Penelitian Karet, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada bulan Juni – Juli 2011.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesempatan, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsiini dapat selesai tepat pada waktunya.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensisMuell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepadaBapakIr.

Emmy Harso Kardhinata., M.Sc., Ibu Ir. Eva Sartini Bayu, MP., dan Ibu Dra. Sekar Woelan, MP selaku dosen pembimbing saya yang telah

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada ayahanda Junaidi dan ibunda M. Samosir, serta kak Mega, Kak Tuti dan Bang Faisal, dan seluruh keluarga Besar Kakek Sarbini yang telah menjadi penyemangat dan penasihat selama masa perkuliahan. Terima kasih kepada semua teman-teman di Fakultas Pertanian, khususnya BDP 2008 (MILITAN) yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Kak Syarifah, Bang Sayurandi, Pak Surip, Bang Indra, Bang Andi, Bang Adi, Pak Andi, Syarul Saputra, Pak Karsono, Putra, Kak Fina, Bu Ana dan Pak Soleh yang telah banyak membantu penulis dilapangan maupun di laboratorium selama penelitian berlangsung, sehingga penelitian ini dapat terlaksana.


(8)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang memerlukan.

Medan, September 2012


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 3

3. Hipotesis Penelitian ... 3

4. Kegunaan Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Botani Tanaman ... 5

2. Pemuliaan Tanaman Karet ... 7

2.1 Tahapan Pemuliaan Tanaman ... 8

2.1.1 Persilangan ... 9

2.1.2 Seleksi Tanaman F1 ... 11

2.1.3 Pengujian Pendahuluan ... 13

2.1.4 Pengujian Lanjutan ... 13

2.1.5 Plot Promosi ... 14

2.1.6 Klon Karet Anjuran ... 14

3. Keragaman Genotipe dan Fenotipe ... 16

4. Kriteria Seleksi ... 17

4.1 Kriteria Seleksi Produksi Lateks ... 18

4.2 Kriteria Seleksi Produksi Kayu ... 19

III. METODE PENELITIAN 1. Tempat dan Waktu ... 22

2. Bahan dan Alat ... 22

3. Metode Penelitian ... 23

IV. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 25

1. Persiapan Areal ... 25

2. Sensus Tanaman ... 25

3. Membuat Batas Tinggi Penyadapan ... 26

4. Menggambar Bidang Sadap ... 26

5. Parameter Pengamatan ... 26

5.1 Lilit batang (cm) ... 26

5.2 Tinggi tanaman (m) ... 26

5.3 Jumlah cabang primer (cabang) ... 26

5.4 Tinggi cabang pertama (m) ... 27


(10)

5.6 Jumlah dan diameter pembuluh lateks... 27

5.7 Produksi lateks (g/p/s) ... 28

5.8 Kadar karet kering (g/p/s) ... 28

5.9 Produksi Kayu (m3/pohon) ... 28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Keragaan Projeni ... 30

2 Lilit Batang ... 32

3 Tinggi Tanaman ... 34

4 Jumlah Cabang Pertama ... 35

5 Tinggi Cabang Pertama ... 36

6 Tebal Kulit ... 37

7 Produksi Karet Kering ... 39

8 Produksi Kayu ... 41

9 Jumlah Pembuluh Lateks ... 43

10 Diameter Pembuluh Lateks ... 45

11 Studi Korelasi ... 47

11.1 Korelasi Produksi Karet Kering dengan Karakteristik pertumbuhan ... 47

11.2 Korelasi Produksi Kayu dengan Karakteristik Pertumbuhan ... 49

12 Seleksi Genotipe Penghasil Lateks-Kayu ... 51

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

1 Kesimpulan ... 53

2 Saran ... 53 VII. DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

NO Judul Hal.

1 Tetua Persilangan Program Pemuliaan Karet 1985-2005... 11

2 Nilai uji statistik dari berbagai parameter pada tanaman karet dari genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003... 31

3 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan lilit batang... 33

4 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tinggi tanaman... 34

5 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan jumlah cabang pertama... 35

6 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tinggi cabang pertama... 37

7 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tebal kulit... 38

8 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan produksi karet kering... 40

9 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan produksi kayu... 42

10 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan jumlah pembuluh lateks... 44

11 Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan diameter pembuluh lateks 46 12 Korelasi Karakter Agronomis Terhadap Produksi Karet Kering... 47

13 Korelasi Karakter Agronomis Terhadap Produksi Kayu... 49 14 Genotipe terseleksi (10%) terbaik berdasarkan potensi produksi

karet kering maupun kayu... 52

15 Genotipe terseleksi (1%) terbaik berdasarkan potensi produksi karet kering maupun kayu...


(12)

DAFTAR GAMBAR

NO Judul Hal.

1 Tahapan Kegiatan Pemuliaan Karet Dalam Satu Siklus Seleksi... 8 2 Penampilan populasi genotip hasil persilangan 2001 – 2003 di

Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih... 23

3 Bentuk grafik penyebaran frekwensi populasi untuk tiap parameter pengamatan...

24

4 Penampang tiga dimensi kulit karet... 27 5 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003

berdasarkan lilit batang...

32

6 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan tinggi tanaman...

33

7 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan jumlah cabang pertama...

34

8 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003

berdasarkan tinggi cabang pertama... 35 9 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003

berdasarkan tebal kulit... 37

10 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan produksi karet kering...

38

11 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan produksi kayu...

40

12 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan jumlah pembuluh lateks...

42

13 Garis yang terdapat pada sampel irisan kulit menunjukkan jumlah pembuluh lateks yang diamati dibawah mikroskop dengan

perbesaran 10 x 10... 42

14 Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan diameter pembuluh lateks.... ... ....

44

15 Lingkaran yang berwarna merah yang terdapat pada sampel kulit menunjukkan diameter pembuluh lateks yang diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40...

45

16 Genotipe terpilih berdasarkan produksi karet kering dan

produksikayu... 51


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

NO Judul Hal.

1 Kegiatan Pelaksanaan Penelitian Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensi Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih

58

2 Genotipe yang digunakan sebagai material pengujian hasil

persilangan tahun 2001-2003 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih

59

3 Peta Penanaman Tanaman F1 Hasil Persilangan 60 4 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan

data lilit batang (cm).

62 5 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan

data tinggi tanaman (m).

62

6 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data jumlah cabang pertama (cabang).

63

7 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data tinggi cabang pertama (m).

63

8 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data tebal kulit (mm).

64

9 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data produksi karet kering (g/p/s).

64

10 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data produksi kayu.

65

11 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data jumlah pembuluh lateks (pembuluh).

65

12 Distribusi pembagian kelas, interval dan frekwensi berdasarkan data diameter pembuluh lateks.

66

13 Data Pengamatan Berbagai Karakteristik Pada Tanaman F1 Hasil Persilangan 2001 – 2003

67

14 Foto Lahan Penelitian dan Supervisi 104 15 Genotipe – Genotipe Terseleksi 10% dan 1% sebagai Penghasil

Lateks-Kayu


(14)

ABSTRACT

TONI AKBAR: Genotype selection of rubber plant (Hevea brasiliensis muell arg.) from crossing result 2001 – 2003 as latex and timber yielding. Supervised by Emmy Harso Kardhinata, Eva Sartini Bayu And Sekar Woelan.

The research has been done in ± 54 hsl.at Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Subdistrict Galang, District Deli Serdang North Sumatera Province. The research held in February 2012 until July 2012. The main of this research to get the best genotype based of characteristic yield potential of latex and timber yielding of crossing result 2001-2003. The result data is analyzed statistically parameter of girth, high plant, number of the first branch, the high of the first branch, bark thickness, number and diameter of latex vessel, the production of dry rubber (g/t/t) and timber yielding (m3/tree). The statistic test included mid value, maximum value, minimum value, range, class, interval, correlation and intensity 10 , 5%, and 1 % selection. There are 1013 rubber trees, they are nine years old.

Based on genotype selection as latex and timber yielding with a selection intensity of 10% there are 15 genotypes are 13/01/A, 86/02/B, 41/01/A, 331/01/A, 57/01/A, 577/01/A, 639/01/A, 45/02/B, 671/01/A, 239/01/A, 619/01/A, 160/01/A, 139/01/A, 195/01/A, and 423/01/A and selection intensity of 1% there are 3 genotypes are 139/01/A, 195/01/A, and 423/01/A.


(15)

ABSTRAK

TONI AKBAR: Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis muell arg.) dari Hasil Persilangan Tahun 2001 – 2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu. Dibimbing oleh Emmy Harso Kardhinata, Eva Sartini Bayu Dan Sekar Woelan.

Penelitian ini telah dilaksanakan di Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ±54 m dpl. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan genotipe terbaik berdasarkan karakteristik potensi produksi lateks dan kayu dari hasil persilangan tahun 2001-2003.Data hasil penelitian dianalisis secara statistik terhadap parameter lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang pertama, tinggi cabang pertama, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, produksi karet kering (g/p/s) dan produksi kayu (m3/pohon). Uji statistik yang dilakukan meliputi nilai tengah, nilai maksimum, nilai minimum, range, kelas, interval, korelasi dan seleksi pada intensitas 10%, 5% dan 1%. Tanaman karet yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 1013 pohon berumur 9 tahun.

Bedasarkan hasil seleksi genotipe sebagai penghasil lateks dan kayu dengan intensitas seleksi 10% terdapat 15 genotipe yaitu 13/01/A, 86/02/B, 41/01/A, 331/01/A, 57/01/A, 577/01/A, 639/01/A, 45/02/B, 671/01/A, 239/01/A, 619/01/A, 160/01/A, 139/01/A, 195/01/A, dan 423/01/Adan intensitas seleksi 1% terdapat 3 genotipe yaitu139/01/A, 195/01/A, dan 423/01/A.


(16)

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Karet merupakan salah satu komoditi penting di Indonesia, baik sebagai sumber devisa, lapangan kerja maupun sumber pendapatan masyarakat. Pada saat ini, Indonesia merupakan negara terbesar kedua penghasil karet alam dunia (setelah Thailand), dengan luas areal 3,31 juta ha dan produksi 2,64 juta ton (2009). Kedepan, Indonesia mempunyai potensi besar menjadi negara penghasil karet nomor satu di dunia. Dalam rangka mewujudkan industri karet nasional yang memiliki daya saing maka perlu diambil langkah-langkah terkait dengan peningkatan produktivitas dan mutu, antara lain melalui peremajaan dan pengembangan areal secara terbatas dengan menggunakan klon unggul (Basyaruddin, 2009).

Produktivitas karet rakyat saat ini sekitar 700-900 kg/ha atau rata-rata sekitar 892 kg/ha. Produksi ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh perkebunan besar negara dan swasta, atau rata-rata produktivitas karet rakyat negara lain. Sebagai contoh produktivitas karet Malaysia telah mencapai 1100 kg/ha, India 1334 kg/ha, Vietnam 1385 kg/ha, dan Thailand 1600 kg/ha. Penggunaan tanaman klonal Indonesia sekitar 40%, sementara di Malaysia 90%, Thailand 95%, India 99%, bahkan di Vietnam mencapai 100% (Ditjenbun, 2008).

Disamping lateks, kayu karet dapat dimanfaatkan untuk beragam produk yang selama ini jadi keunggulan Indonesia mulai dari furniture, papan berkerapatan sedang (MDF), papan partikel, balok lamina, flooring sampai kayu lapis. Tanaman karet secara umum sudah dikenal masyarakat, sehingga tanaman


(17)

karet untuk pembangunan HTR (Hutan Tanaman Rakyat) bisa dimulai masyarakat (Kaban, 2009).

Rendahnya tingkat produktivitas karet rakyat antara lain disebabkan tanaman karet rakyat relatif tidak terpelihara, dan sebagian besar kebun menggunakan bibit semaian yang tidak terseleksi, dan luasnya areal perkebunan yang masih mempertahankan pohon yang sudah tua. Dengan mengingat keterbatasan dana peremajaan di tingkat petani maupun pemerintah maka perlu penggalian modal peremajaan melalui peningkatan nilai tambah dan pemanfaatan kayu karet tua hasil peremajaan. Jika kayu karet tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, akan diperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi yang dapat digunakan sebagai modal dalam peremajaan karet tua (Siagian, et al,. 2010).

Paradigma baru bahwa tanaman karet tidak hanya menghasilkan lateks tetapi juga diharapkan kayu karetnya, maka seleksi juga diarahkan kepada klon-klon yang berpotensi sebagai penghasil kayu. Sejak dari tahap awal seleksi sampai dengan pengujian klon, kedua peubah tersebut dievaluasi. Pada seleksi F1 yang merupakan tahap awal di dalam siklus pemuliaan tanaman karet, dimana hasil seleksi 10% akan dijadikan materi di pengujian pendahuluan dan 1% di pengujian plot promosi (Suhendry, 2002).

Kegiatan pemuliaan tanaman karet yang dilakukan secara terus menerus telah mampu menghasilkan klon-klon baru yang memiliki produksi nyata lebih

tinggi dari klon-klon sebelumnya. Sampai dengan seleksi siklus kedua, Azwar dan Suhendry (1992) menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan produksi dari 400-500 kg/ha/th menjadi 2000-2500 kg/ha/th. Klon-klon dari hasil seleksi generasi keempat dilaporkan telah memiliki potensi produksi 2500-4000


(18)

kg/ha/th (Azwar dan Suhendry, 1998). Hasil ini memberi petunjuk agar klon-klon terbaru tersebut sebaiknya segera dipergunakan dalam setiap kesempatan penanaman baru, sehingga secara bertahap klon-klon lama dapat digantikan (Suhendry et. al., 2001).

Seleksi klon berkembang setelah ditemukan teknik okulasi pada tahun 1916. Klon-klon primer yang diturunkan dari pohon induk (ortet) terpilih mampu mencapai produksi karet 55% lebih tinggi dari produksi tanaman semaian terpilih. Selama empat generasi pemuliaan karet di Indonesia, telah memperlihatkan kemajuan genetik yang besar. Pada saat ini, klon-klon generasi keempat mampu berproduksi enam kali lebih baik dari produksi semaian terpilih, dan masa tanaman belum menghasilkan dapat dipersingkat dari > 6 tahun menjadi 4 tahun (Aidi-Daslin, 2005).

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: Seleksi genotipe tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) hasil persilangan 2001 – 2003 sebagai penghasil lateks – kayu.

2. Tujuan Penelitian

Mendapatkan genotipe terbaik berdasarkan karakteristik potensi produksi lateks dan kayu dari hasil persilangan tahun 2001-2003.

3. Hipotesis Penelitian

a. Terseleksi 10 % genotipe terbaik sebagai materi genetik penghasil lateks-kayu yang akan digunakan dalam pengujian Pendahuluan.

b. Terseleksi 1 % genotipe terbaik sebagai materi genetik penghasil lateks-kayu yang akan digunakan dalam pengujian plot Promosi.


(19)

4. Kegunaan Penelitian

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan,sebagai materi genetik untuk pengujian lanjutan pada tahapan siklus pemuliaan tanaman karet.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Botani Tanaman

Menurut Kartasapoetra (1988) tanaman karet memiliki sistematika

sebagai berikut; Divisio : Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Class : Dicotyledoneae, Ordo : Euphorbiales, Family : Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Tanaman karet berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun berselang-seling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau dan memiliki panjang 3,5 – 30,0 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan

sisi bawah agak cerah, panjangnya 5 – 35 cm dan lebar 2,5 – 12,5 cm (Sianturi, 1996).

Buah jadi (fruit set) merupakan produk dari keberhasilan persilangan secara alami maupun secara buatan. Satu buah karet biasanya mengandung tiga butir biji tetapi kadang-kadang ada yang empat biji. Biji karet dilindungi oleh

epicarp (lapisan luar) dan endocarp (lapisan dalam). Epicarp berwarna hijau muda sedangkan endocarp berwarna putih pudar dan apabila buah telah masak fisiologis epicarp akan berwarna hijau tua dan endocarp akan mengeras dan

mengayu. Jika epicarp kering buah akan pecah dan melepaskan biji (Djikman, 1951).

Biji karet memiliki bentuk dan ukurannya bervariasi tergantung pada masing – masing tetua. Biasanya biji berbentuk bulat lonjong (ellips), panjang 14-25 mm dan berat rata-rata 3,5 gram sampai 6 gram. Bentuk permukaan perut


(21)

(ventral) biji agak rata dan punggung (dorsal) agak menonjol. Kulit biji biasanya keras, berkilat dan berwarna cokelat atau cokelat keabu-abuan dengan banyak batik (mosaik) pada permukaan punggung tetapi sedikit atau tidak ada pada bagian perut (Webster dan Baulkwill, 1989).

Bunga karet termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang berbentuk rangkaian (inflorecentia) yang tangkai utamanya (pedenculus) bercabang terdiri dari atas beberapa malai (panicula) yang berbentuk piramida atau kerucut (Djikman, 1951; Darjanto dan Satifah, 1982).

Batang dan kulit merupakan wadah dari produksi tanaman karet, dimana segala proses assimilasi yang terjadi di daun ditransfer ke dalam tubuh pohon untuk memproduksi lateks. Terbentuknya lateks di dalam batang berhubungan dengan besarnya pertumbuhan pohon (Indraty, 1987).

Penampang melintang batang pohon karet dimulai dari bagian tengah sampai lapisan terluar terdiri dari bagian kayu kambium, kulit lunak, kulit keras dan akhirnya lapisan gabus. Di dalam kulit lunak terdapat deretan pembuluh tapis yang vertikal mengandung karbohidrat hasil dari fotosintesa. Jumlah susunan pembuluh lateks bervariasi diantara klon dan bahkan dari pohon ke pohon. Hal ini dipengaruhi oleh umur tanaman, posisi kulit, tebal kulit, jenis pohon dan pertumbuhan batang tanaman(Ginting, 1990).


(22)

2. Pemuliaan Tanaman Karet

Program pemuliaan dan seleksi pada tanaman karet bertujuan untuk mendapatkan kombinasi genetik yang baik, sehingga diperoleh klon dengan potensi produksi dan sifat sekunder lainnya yang lebih baik dari pada klon yang sudah ada. Usaha ini harus dilakukan secara berkesinambungan dengan tahapan-tahapan pengujian pada tanaman karet. Selain itu, tindakan yang juga perlu dilakukan adalah evaluasi dari beberapa pengujian, sehingga dari beberapa hasil pengujian tersebut akan diperoleh klon anjuran yang lebih baik. Evaluasi ini juga penting untuk melihat perkembangan terakhir dari klon-klon yang sudah dianjurkan (Lasminingsih dan Situmorang, 1990).

Kemajuan pemuliaan tanaman karet dapat diukur dari pencapaian peningkatan potensi produksi dari klon-klon unggul baru yang dihasilkan, dibandingkan dengan klon sebelumnya. Selama empat generasi pemuliaan tanaman karet dari tahun 1910 sampai saat ini telah mencapai kemajuan yang pesat. Hal ini dapat diukur dari peningkatan potensi tanaman untuk menghasilkan lateks serta perbaikan sifat-sifat sekunder lainnya seperti pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap gangguan angin, respon terhadap stimulan, ketahanan terhadap kering alur sadap (KAS) dan perbaikan mutu lateks. Kegiatan pemuliaan dan seleksi karet di Indonesia telah berjalan selama empat generasi yang dimulai pada tahun 1910-1935 (generasi 1), tahun 1935-1960 (generasi 2), 1960-1985 (generasi 3) dan tahun 1985-2010 (generasi 4). Dari empat generasi yang sudah berjalan, terdapat kemajuan genetik yang besar yaitu adanya peningkatan rata-rata potensi produksi karet kering dari sekitar 500 kg/ha/th pada populasi awal berupa tanaman semaian terpilih menjadi 3000 kg/ha/th dan masa


(23)

tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat disingkat dari enam tahun menjadi empat tahun (Aidi-Daslin et.al., 2009).

2.1 Tahapan Pemuliaan Tanaman Karet

Adapun beberapa tahapan dalam pemuliaan tanaman karet dimulai dari persilangan, seleksi awal pada tanaman F1, pengujian pendahuluan, dan pengujian lanjutan/adaptasi bahan tanaman seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Tahun

Persilangan Buatan

Seleksi Turunan (F1)

Uji Pendahuluan

Uji

Lanjutan/Adaptasi Evaluasi &

Seleksi

Rekomendasi Klon Komersial Rekomendasi Klon

Harapan Uji Plot Promosi

Rekomendasi Klon Komersial Rekomendasi Klon

Harapan Seleksi Ulang

Skrining turunan terbaikSeleksi 1 % Seleksi 10%

0

2 – 3

5 -10

10 - 15

15-20

20-25

Gambar 1.Tahapan Kegiatan Pemuliaan Karet Dalam Satu Siklus Seleksi Evaluasi &

Seleksi Persilangan


(24)

2.1.1 Persilangan

Persilangan pada tanaman karet dapat terjadi secara alami dan buatan. Untuk terjadinya persilangan secara alami diperlukan penataan klon secara baik pada pertanaman yang khusus dirancang untuk itu. Kesulitan dalam pemanfaatan biji silang alami adalah disebabkan tidak ada kriteria yang dapat membedakan antara biji-biji hasil silang dalam dan silang luar (Woelan dan Azwar, 1990).

Persilangan buatan merupakan salah satu kegiatan perakitan genotipe unggul baru yang secara terus-menerus dilakukan untuk mendapatkan klon karet unggul dengan potensi produksi tinggi yang didukung karakter sekunder yang lebih baik. Kegiatan ini selain dititikberatkan untuk mendapatkan klon karet unggul penghasil lateks juga diharapkan sebagai penghasil kayu, sehingga materi persilangan yang harus digabungkan yaitu berasal dari populasi Wickham 1876 yang memiliki keunggulan hasil lateks tinggi dan PN IRRDB 1981 yang memiliki keunggulan pertumbuhan cepat dan jagur (Woelan dan Pasaribu, 2009).

Sumber genetik terbaik dari material Wickham yang memiliki potensi produksi tinggi dan sifat sekunder yang baik dipilih sebagai tetua dalam program persilangan buatan sejak tahun 1985. Tetua yang dipilih untuk persilangan buatan sebahagian besar berasal dari klon-klon sekunder dan tersier seperti BPM seri 100, PB seri 200, RRIC seri 100, seri F, FX dan IAN (Tabel 1). (Aidi-Daslin, 2005).

Setiap tahun program persilangan buatan yang ditargetkan antara 15.000 – 25.000 bunga betina yang dapat disilang, hanya realisasi sangat tergantung dari ketersediaan bunga dan sinkronisasi waktu pembungaan dari klon yang diprogramkan sebagai tetua pada saat itu (Woelan dan Pasaribu, 2009).


(25)

Biji-biji hasil persilangan buatan disebut “biji legitim”, karena kedua tetuanya diketahui dan dikendalikan dengan baik, sehingga kombinasi-kombinasi persilangan yang diinginkan dapat dirancang dan diatur lebih leluasa. Masalah utama dalam pembentukan keragaman genetik melalui persilangan buatan adalah rendahnya persentase buah jadi. Disamping itu, waktu pembungaan yang tidak serentak antara dua klon yang ingin disilangkan selalu menghambat keberhasilan pelaksanaan program persilangan (Woelan dan Azwar, 1990).

Dalam program persilangan tanaman karet, umumnya persentase buah jadi dikatakan rendah, hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dan lingkungan. Pengaruh genetik dapat dilihat dari adanya perbedaan kompatibilitas dari pasangan klon yang disilangkan. Dengan adanya faktor-faktor tersebut diatas, maka penyediaan bahan yang akan digunakan untuk seleksi dapat menghambat kemajuan penemuan klon unggul baru. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan metode seleksi yang dipercepat (Woelan dan Azwar, 1990).

Berdasarkan data penelitian yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Sungei Putih, dari 225.278 bunga betina yang disilangkan selama periode tahun 1985 s.d 2005, menghasilkan 6.794 buah jadi yaitu sebesar 3,0 % dari jumlah persilangan. Rendahnya persentase buah jadi pada persilangan karet disebabkan

beberapa hal yaitu, 1) adanya inkompatibilitas antara tetua jantan dan betina, 2) kebutuhan hormon tumbuh dalam endosperm, dan 3) faktor curah hujan dan

kelembaban yang menyebabkan meningkatnya serangan penyakit (Aidi-Daslin, 2005).


(26)

Tabel 1. merupakan daftar tetua-tetua yang sudah digunakan sebagai bahan persilangan buatan untuk program pemuliaan karet semenjak 1985-2005. Tabel 1 . Tetua Persilangan Program Pemuliaan Karet 1985-2005

Periode

Persilangan Betina Jantan

1985-1990 BPM 1, BPM 101, BPM 107, BPM 109, FX 25, F 4542, GT 1, IAN 873, LCB 870, LCB 1320, PB 86, PB 260, PR 305, RRIC 102, RRIC 110, RRIM 701, PR 107.

BPM 109, FX 25, FX 2784,FX 4037, IAN 717, RRIC 110, RRIM 717, RRIM 600, PB 86, LCB 1320, RRIC 100, RRIC 102.

1991-1995 BPM 24,BPM 101, BPM 107, BPM 109, FX 2784, GT 1, IAN 717, IAN 873, LCB 870, PB 5/51, PB 86, PB 260, RRIM 600, PR 300.

BPM 101, F 4542, FX 25, FX 4037, FX 2784, IAN 873, GX 2117, PB 260, PR 300, RRIC 102, RRIC 110, AVROS 427, LCB 870, PN 6, PN 7, PN 1505, PN 2662, 1996-2000 PB 5/51, PB 86, PB 260, PB

280, BPM 1, BPM 13, BPM 24, BPM 107, BPM 109, RRIC 100, RRIM 600, RRIM 712, IRR 111, IRR 208, IRR 209, IRR 212, IRR 216, IRR 220.

PB 5/51, PB 260, PB 255, RRIC 100, RRIC 110, IAN 873, F 4542, IRR 100, IRR 111, IRR 203, IRR 206, PN 7, 11, 20, 2190, 2217, 1429, 2508, 2509, 3964, 3966, 4312, 4335, 4343, 5828, 7108, 7115, 8537, 8991.

2001-2005 BPM 24, BPM 109, PM 10, RRIM 600, RRIM 921, RRII 105, PB 260, PB 330, PB 340, RRIC 100, RRIC 110, RRIC 130, RRIC 131, RRIC 133, IRR 42, IRR 105, IRR 111, IRR 118, IRR 200, IRR 203, IRR 219, IRR 220.

PB 260, PB 330, RRIC 110, RRIC 130, RRIC 131, RRIM 712, RRIM 901, RRII 105, IRR 5, IRR 42, IRR 105, IRR 107, IRR 111, IRR 118, IRR 200, IRR 220, PN 3508, 3758, 3760,4346,4369,5008,5009,5082, 5507,7684, 8537, 8985.

2.1.2 Seleksi Tanaman F1 (Genotipe)

Seleksi tanaman dilakukan pada tanaman F1 hasil persilangan ditanam di

Seedling Evaluation Trial (SET) dengan jarak tanam yang digunakan 2x2 m. Seleksi individu dilakukan berdasarkan potensi produksi dan sifat-sifat pertumbuhan. Potensi produksi diamati dengan menggunakan metode sadap HMM (Hamaker Morris Man), dengan sistem sadap ½ S d/3 pada ketinggian 50 cm (Woelan, 2008).


(27)

Metode Hamaker-Morris-Mann Test

Seleksi progeni dari hasil persilangan, didasarkan kepada beberapa sifat

penting yang meliputi a) potensi hasil lateks, b) pertumbuhan tanaman, c) ketahanan terhadap penyakit, dan d) beberapa karakteristik sekunder yang

menguntungkan. Untuk mempersingkat waktu seleksi, metode evaluasi yang diperkenalkan oleh Hamaker Moris Mann (Djikman, 1951) yaitu biji F1 disadap dengan sistem penyadapan ½ S d/3 pada ketinggian 50 cm dari pertautan okulasi. Seleksi pada populasi F1 dilakukan terhadap progeni-progeni yang memiliki potensi hasil dan sifat sekunder yang baik, dengan intensitas seleksi 1%. Progeni terpilih diperbanyak secara okulasi untuk material dalam pengujian plot promosi. Tahap berikutnya dipilih progeni-progeni terbaik dengan intensitas seleksi 10%, untuk material dalam pengujian pendahuluan klon (Aidi-Daslin, 2005).

Proses seleksi pada tanaman karet untuk mendapatkan klon unggul baru, sangat diperlukan variasi yang luas, baik itu mendatangkan plasma-plasma nutfah maupun persilangan dari genotipe-genotipe yang berkerabat jauh. Dengan demikian, seleksi tanaman karet merupakan bentuk kegiatan yang harus dilakukan secara bertahap, terperinci dan memerlukan waktu yang cukup lama (Woelan dan Azwar, 1990).


(28)

2.1.3 Pengujian Pendahuluan

Uji Pendahuluan (UP) merupakan tahap kedua dalam siklus pemuliaan tanaman karet. Pada tahap ini, genotipe-genotipe hasil persilangan yang telah diseleksi pada Seedling Evaluation Trial diuji dan diseleksi kembali pada UP dalam skala kecil (10-20 tanaman/genotipe) dengan jarak tanam 4 x 5 meter dalam satu baris tanaman. Dari UP ini nantinya akan diperoleh klon-klon unggul harapan dengan nama seri IRR (Indonesian Rubber Research). Evaluasi dan pengamatan pada UP umumnya lebih dititikberatkan untuk menemukan genotipe-genotipe yang pertumbuhannya jagur, berproduksi tinggi, dan memiliki sifat-sifat sekunder yang baik. Orientasi yang paling utama adalah klon karet penghasil lateks dengan target hasil lateks (karet kering) di atas 3000 kg/ha/tahun dan hasil kayu karet di atas 300 m3/ha/siklus (Suhendry, 2002).

2.1.4 Pengujian Lanjutan/Adaptasi

Pengujian lanjutan/adaptasi merupakan pengujian yang dilakukan untuk menguji klon harapan pada berbagai lingkungan. Berdasarkan pada analisis variansnya, akan diketahui ada tidaknya interaksi genotipe x lingkungan (g x e). Jika tidak terjadi interaksi g x e penentuan klon yang ideal sangat mudah untuk dilakukan, yaitu dengan memilih klon-klon harapan dengan rata-rata hasil yang lebih tinggi, namun apabila terjadi interaksi g x e, hasil tertinggi suatu klon pada suatu lingkungan tertentu belum tentu memberikan hasil yang tertinggi pula pada lingkungan yang berbeda (Aidi-daslin dan Sayurandi, 2006).

Pada tanaman karet disamping produksi, karakter agronomi sangat penting digunakan sebagai variabel seleksi untuk memilih klon-klon unggul. Respon sifat-sifat fenotipe ini pada interaksi g x e, berguna sebagai dasar dalam seleksi klon


(29)

untuk menghasilkan genotipe-genotipe apakah nanti sesuai ditanam dalam lingkungan yang luas atau hanya untuk lingkungan tertentu (Aidi-Daslin, 1986). 2.1.5 Pengujian Plot Promosi

Dalam kegiatan pemuliaan tanaman karet lamanya satu siklus tanaman karet merupakan kendala untuk dapat menghasilkan klon-klon unggul baru. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk mempersingkat siklus tanaman tersebut adalah dengan melakukan pengujian “Plot Promosi”. Pengujian Plot Promosi adalah pengujian yang dipercepat dengan memanfaatkan materi genetik hasil seleksi 1% pada tanaman seedling (Seedling Evaluation Trial = SET). Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan klon unggul baru melalui pengujian ini dapat dipersingkat menjadi 15-20 tahun (Woelan, 2005).

Pengujian Plot Promosi ini menggunakan rancangan percobaan ”Simple Latice Design”. Masing-masing plot terdiri dari 30-60 tanaman. Peubah yang diamati adalah lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, waktu buka sadap, persentase matang sadap, ketahanan terhadap penyakit daun, dan potensi produksi kayu (m3/pohon) (Woelan, 2005).

2.1.6 Klon Karet Anjuran

Klon anjuran komersial adalah klon unggul yang dianjurkan untuk pengembangan komersial yang menurut Undang-Undang No. 12 1992 disebut sebagai Benih Bina dan pelepasannya dilakukan secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri. Klon harapan adalah klon-klon yang pada pengujian pendahuluan terbukti memiliki sifat keunggulan lebih baik dari klon anjuran komersial pembanding, namun belum teruji secara luas. Klon harapan dianjurkan


(30)

masuk pengembangan skala terbatas oleh pekebun melalui kerjasama pengembangan dengan Pusat Penelitian (Woelan, 2008).

Klon penghasil lateks yaitu klon yang memiliki produksi lateks tinggi tetapi produksi kayunya rendah. Klon-klon seperti ini sangat sesuai dikembangkan untuk produksi lateks tetapi tidak sesuai untuk produksi kayu. Klonpenghasil lateks-kayu yaitu klon yang memiliki potensi hasil lateks tinggi dan produksi kayu tinggi yang dicirikan dengan pertumbuhan tanaman jagur dengan kayu log yang cukup tinggi. Klon-klon seperti ini sangat sesuai dikembangkan untuk produksi lateks dan kayu karet atau produksi kayunya saja (Sayurandi, 2009).

Berdasarkan rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 Agustus 2009 di Batam Provinsi Kepulauan Riau, maka rekomendasi bahan tanaman karet periode 2010-2014 disusun dengan memperhatikan kepentingan konsumen untuk mengembangkan agribisnis karet baik dari segi kebutuhan lateks maupun kayu. Rekomendasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok klon penghasil lateks, klon penghasil lateks-kayu dan benih anjuran untuk batang bawah, yang merupakan anjuran komersial untuk penanaman skala luas yang disebut sebagai benih bina, dengan komposisi anjuran sebagai berikut:

a. Klon penghasil lateks terdiri dari IRR 104, IRR 112, IRR118, IRR 120, BPM 24, PB 260, PB 230 dan PB 340.

b. Klon penghasil lateks-kayu terdiri dari IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107, IRR 119, dan RRIC 100.

c. Benih anjuran untuk batang bawah terdiri dari benih yang berasal dari tanaman monoklonal AVROS 2037, GT1, PB 260, RRIC 100, PB 330, dan BPM 24.


(31)

Klon-klon yang sudah dilepas seperti BPM 1, BPM 107, BPM 109, AVROS 2037, GT1, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, masih dapat digunakan dengan beberapa pertimbangan, antara lain dengan memperhatikan kepentingan pengguna untuk penanaman klon tersebut pada wilayah tertentu maupun kebutuhan lateks atau kayu untuk spesifikasi produk tertentu (Aidi-Daslin, et.al., 2009)

3. Keragaman Genotipe dan Fenotipe

Keragaman yang sering ditunjukkan oleh tanaman sering dikaitkan dengan aspek negatif. Hal ini sering tidak diperhatikan oleh peneliti yang menganggap bahwa susunan genetik dari bahan tanaman digunakan adalah sama karena berasal dari klon yang sama. Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari jenis tanaman yang sama. Jika ada dua jenis tanaman yang sama ditanam pada lingkungan yang berbeda dan timbul variasi yang sama dari kedua tanaman tersebut maka hal ini dapat disebabkan oleh genetik dari tanaman yang bersangkutan (Sitompul dan Guritno, 1995).

Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap program pemuliaan tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan, seperti semula dilakukan manusia, dengan cara melakukan introduksi sederhana dan tehnik seleksi atau dapat dimanfaatkan dalam program persilangan untuk mendapatkan kombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan dua individu yang mempunyai faktor lingkungan yang sama dapat diukur, maka perbedaan ini berasal dari genotipe kedua tanaman tersebut. Keragaman genetik menjadi perhatian umum para


(32)

pemulia tanaman, karena melalui pengelolaan yang tepat dapat menghasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).

Gen-gen tidak dapat menyebabkan berkembangnya karakter terkecuali jika mereka berada pada lingkungan yang sesuai dan sebaliknya tidak ada pengaruh terhadap perkembangan karakteristik dengan mengubah tingkat keadaan lingkungan terkecuali jika gen yang diperlukan ada. Keragaman yang diamati terhadap sifat-sifat yang terutama disebabkan oleh perbedaan gen yang dibawa oleh individu yang berlainan dan terhadap variabilitas di dalam sifat yang lain,

pertama-tama disebabkan oleh perbedaan lingkungan individu berada (Allard, 2005).

4. Kriteria Seleksi

Adanya perubahan paradigma berkebun karet dari menghasilkan lateks menjadi menghasilkan kayu dan lateks, menyebabkan kegiatan pemuliaan berupaya menghasilkan klon-klon unggul baru sebagai penghasil lateks maupun biomassa non lateks. Kemajuan pemuliaan selama empat siklus seleksi telah mampu menghasilkan klon karet unggul yang dapat dibagi kedalam tiga kategori yaitu: klon penghasil lateks: produksi karet kering > 3 ton/ha/thn, produksi kayu 150 – 200 m3/ha, klon penghasil lateks-kayu: produksi karet kering 2 – 2,5 ton/ha/thn, potensi kayu > 200 m3/ha, klon penghasil kayu: produksi karet kering 1,2 – 1,8 ton/ha/thn, potensi kayu > 300m3/ha (Aidi-Daslin, et.al. 2009).


(33)

4.1. Kriteria Seleksi Produksi Lateks

Sifat primer adalah potensi menghasilkan produksi tinggi. Sedangkan sifat yang langsung mempengaruhi rendah tinggi potensi hasil adalah sifat lateks. Sifat ini erat kaitannya dengan volume lateks dan yang dihasilkan pohon, berat kering lateks yang dapat dihasilkan tiap pohon (Rasjidin, 1989).

Lilit batang berkorelasi positif dengan potensi produksi yang dimiliki oleh masing-masing genotipe. Pertumbuhan lilit batang setiap tahun sebelum penyadapan berkisar antara 6,25 – 10,44 cm dengan nilai rata-rata 9,08 cm/thn. Pertambahan lilit batang sesudah tanaman menghasilkan (TM) disadap berkisar antara 1,82 – 4,64 cm/thn dengan nilai rata-rata 3,0 cm/thn. Dari hasil penelitian di kebun percobaan Sembawa, Sumatera Selatan, ternyata pertumbuhan lilit batang mencapai 3,36-4,64 cm/thn (Danimihardja, 1988).

Lilit batang hasil pengamatan terhadap genotipe dari hasil persilangan 1998/1999 menunjukkan keragaman yang tinggi dengan rata-rata 38,57 cm dengan kisaran 10,6-85,5 yang berarti ada segregasi antara turunan yang dihasilkan oleh masing-masing kombinasi (Woelan et.al., 2007).

Tebal kulit mempunyai hubungan langsung dengan potensi produksi dengan koefesien korelasi mencapai 0,826. Diharapkan genotipe-genotipe yang mempunyai tebal kulit yang tinggi maka memiliki produksi yang tinggi juga. Pertumbuhan tebal kulit sangat dipengaruhi oleh klon dan faktor lingkungan. Pada umumnya kulit yang tebal untuk terjadi luka ketika penyadapan lebih kecil. Klon AVROS 2037, mempunyai kulit yang tebal dan pada umumnya terwaris pada keturunannya. Pertumbuhan kulit pulihan pada tiap tahunnya berkisar antara


(34)

1 - 1,9 mm. Dengan demikian setelah 5 tahun kemudian kulit pulihan sudah dapat disadap kembali (Danimihardja, 1988).

Tebal kulit merupakan kriteria yang cukup penting di dalam melakukan identifikasi suatu klon yang mempunyai keunggulan di dalam produksi lateks tinggi. Potensi produksi tinggi mempunyai korelasi yang positif dengan tebal kulit (Woelan, et.al., 2001).

Jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit batang berpengaruh nyata terhadap hasil karet. Artinya bahwa apabila ada peningkatan komponen hasil lateks maka hasil lateks akan lebih tinggi (Woelan et.al., 2001).

Kadar Karet Kering (KKK) Lateks menunjukkan keseimbangan regenarasi lateks antar sadap. KKK yang rendah menunjukkan terlalu rapatnya frekuensi sadapan sehingga tidak memberikan waktu yang cukup bagi tanaman untuk melakukan sintesis sepenuhnya terhadap lateks yang dipanen. KKK bisa juga sebagai petunjuk bahwa eksploitasi terlalu berat sehingga terkuras semua cadangan karbohidrat dalam jaringan kulit maupun kayu. Solusinya dapat berupa

penurunan frekuensi sadap dan atau penurunan aplikasi stimulasi (Kuswanhadi, et. al., 2009).

4.2. Kriteria Seleksi Produksi Kayu

Kayu karet dapat dibuat menjadi kayu gergajian atau kayu lapis, sedangkan limbahnya atau kayu sisa yang berukuran lebih kecil dapat dibuat papan partikel, papan semen, papan serat dan arang. Saat ini kayu karet banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri mebel karena warna dan serat


(35)

kayunya sangat menarik, kayunya mudah digergaji, dibengkokkan dipaku dan diketam (Azwar,1990).

Adapun parameter yang mempengaruhi perhitungan produksi kayu karet adalah lilit batang, tinggi tanaman, dan percabangan pohon karet.

Menurut Wan Razali Mohd et al (1983) bahwa volume kayu karet seangat ditentukan oleh besaran lilit batang dan tinggi tanaman, semakin besar lilit batang dan tinggi tanaman maka volume kayu karet yang dihasilkan semakin besar dan sebaliknya semakin kecil lilit batang dan ketinggian tanaman maka volume kayu yang dihasilkan semakin kecil. Demikian halnya dengan semakin tinggi cabang primer dan tebal kulit maka kayu log yang dihasilkan semakin besar.

Peubah pertumbuhan tanaman yang berhubungan dengan potensi kayu adalah lilit batang dan panjang log bebas cabang. Lilit batang selain berhubungan dengan hasil lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan. Namun tidak ada korelasi antara lilit batang dengan panjang log pada setiap umur tanaman. Oleh karena volume kayu log diduga melalui subsitusi lilit batang dan panjang log, maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi (Suhendry, 2002).

Pertumbuhan tanaman yang jagur ditandai dengan ukuran lilit batang menjelang penyadapan dan selanjutnya. Perkembangan lilit batang sangat dipengaruhi oleh penyadapan. Selama masa penyadapan pertumbuhan pohon mengalami tekanan sebagai akibat penyadapan. Tiap klon memperlihatkan reaksi

tersendiri terhadap lilit batang dalam masa penyadapan (Suhaimi dan Lubis, 1984).


(36)

Tinggi tanaman diukur untuk mengetahui volume kayu per pohon. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan bambu berskala yang dilakukan dari permukaan tanah hingga ke titik tumbuh. Tinggi percabangan tanaman diukur guna untuk mengestimasi volume kayu log. Volume kayu log nantinya akan diestimasi dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Wan Razali et al. (1983) dan salah satu variabel yang diukur untuk itu adalah tinggi batang bebas cabang (Siagian, et.al., 2005).

Untuk mencari suatu genotipe yang memiliki keunggulan pada sifat produksi dan kayu sekaligus tampaknya sulit ditemukan. Genotipe yang memiliki potensi kayu besar umumnya menghasilkan lateks yang rendah, begitu juga dengan genotipe yang berproduksi tinggi cenderung memiliki potensi kayu yang rendah dengan lilit batang yang lebih kecil (Suhendry, et.al., 2001).


(37)

III. METODE PENELITIAN 1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ± 54 m dpl pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012.

2. Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang digunakan dalam peneletian ini adalah tanaman karet hasil persilangan 2001-2003 berumur 9 tahun sebanyak 1013 genotipe yang dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Gambar 2.Genotipe-genotipe tersebut ditanam dengan jarak 2 m x 2 m pada Kebun Pegujian Seedling Evaluation Trial (SET) dengan total luas areal 0,7 Ha dengan menggunakan metode sadap Hammaker-Morris-Man. Bahan- bahan kimia yang digunakan adalah gliserin, aquadest, KOH, HNO3, Sudan III, aseton dan alkohol 70%, dan bahan-bahan lain yang

mendukung penelitian ini.

Alat yang digunakan adalah pisau sadap biasa dan batu asah, tali, kawat, talang, mangkok, mal bidang sadap, label, spidol, timbangan, alat- alat tulis dan alat lain yang diperlukan seperti meteran kain, pisau silet, mikroskop, kuadri, bas sampler.


(38)

Gambar 2. Penampilan populasi genotipe hasil persilangan 2001 – 2003 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih

3. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap: nilai tengah (median), rata-rata (mean), modus, simpangan baku, koefesien keragaman (KK), kisaran maksimum dan minimum untuk semua parameter pengamatan yaitu lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang primer, tinggi cabang pertama, tebal kulit, jumlah dan diameter pembuluh lateks, produksi lateks dan produksi kayu.


(39)

Penampilan individu tanaman dalam populasi untuk tiap parameter pengamatan digambarkan dalam bentuk grafik penyebaran frekwensi sebagai berikut:

Gambar 3. Bentuk grafik penyebaran frekwensi populasi untuk tiap parameter pengamatan

Distribusi penyebaran populasi untuk setiap parameter pengamatan dapat diuji berdasarkan dari kriteria nilai kemiringan, yaitu:

Nilai Kemiringan = x − modus simpangan baku

atau kemiringan = 3(x −Median ) simpangan baku

Dikatakan model positif jika kemiringan positif, maka kurva menjulur ke sebelah kiri, maka harga rata-rata hitung lebih daripada modus dan selisihnya adalah positif, dan model negatif jika kemiringan negatif, maka kurva menjulur ke sebelah kanan,maka modus lebih daripadaharga rata-rata hitung dan selisihnya adalah negatif, serta simetrik jika kemiringan sama dengan nol.

Karena populasi semaian dianggap mempunyai penyebaran binomial, maka intensitas seleksi adalah persentase luas dari bagian kurva penyebaran normal yang nilai x ( = parameter) lebih besar dari Z (= nilai X dalam simpangan

Frekwensi Tanaman

Ukuran pengamatan

X Y


(40)

baku ). Untuk intensitas seleksi 10%, 5% dan 1% nilai Z > 1000 sampel adalah masing-masing 1,28 : 1,64 : 2,32.

Selanjutnya batas nilai terpilih (X) dapat ditentukan dari rumus:

=

X−X

Sd

Dimana Z = 1,28 : 1,64 : 2,32 masing-masing untuk intensitas seleksi 10 %,5 % dan 1 %.

x = Batas minimum untuk parameter yang diseleksi X = Rata-rata parameter seleksi

Sd = Simpangan baku

Menurut Sudjana (1989), untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan produksi, maka diuji berdasarkan analisa korelasi sebagai berikut:

Untuk menentukan tanaman unggul digunakan kriteria seleksi berdasarkan produksi lateks, pertambahan lilit batang dan jumlah pembuluh lateks serta sifat sekunder lainnya.

nΣxiyi – (Σxi)(Σyi)

{nΣxi2 – (Σxi)2}{nΣyi2- (Σyi)2


(41)

IV. PELAKSANAAN PENELITIAN 4.1. Persiapan Areal

Membersihkan areal dari gulma-gulma dan rumput lainnya agar mudah melakukan kegiatan penelitian.

4.2. Sensus Tanaman

Untuk mengetahui jumlah dan kondisi seluruh populasi tanaman di lapangan, dilakukan sensus tanaman dengan cara menomori seluruh tanaman. 4.3. Membuat Batas Tinggi Penyadapan

Untuk menentukan batas tinggi bidang sadap, terlebih dahulu dibuat batas tinggi penyadapan. Batas tinggi penyadapan ini dibuat dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Batas tinggi penyadapan ini dibuat dengan menggunakan spidol atau cat.

4.4. Menggambar Bidang Sadap

Menggambar bidang sadap dilakukan dengan menggunakan mal sadap. Sudut yang dibuat dari 30o, kemudian dipasang talang dan mangkok untuk menampung lateks.

4.5. Parameter Pengamatan 4.5.1 Lilit Batang (cm)

Pengukuran lilit batang dilakukan dengan menggunakan alat meteran atau menggunakan alat pita ukur. Pengukuran lilit batang dilakukan pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah.


(42)

4.5.2 Tinggi Tanaman (m)

Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan alat bantu berupa galah bambu berskala. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ke titik tumbuh ujung.

4.5.3 Jumlah Cabang Primer (cabang)

Jumlah cabang primer diamati secara visual yang terdapat pada batang utama dari semua tanaman yang merupakan objek pengamatan.

4.5.4 Tinggi Cabang Pertama (m)

Ketinggian cabang pertama diukur dengan menggunakan alat ukur berskala, yang diukur dari permukaan tanah sampai ke titik pangkal cabang pertama.

4.5.5 Tebal Kulit (mm)

Pengukuran tebal kulit dilakukan dengan menggunakan kuadri. Pengukuran dilakukan pada ketinggian 50 cm di atas permukaan tanah.

4.5.6 Jumlah dan Diameter Pembuluh Lateks

Pengamatan jumlah dan diameter pembuluh lateks dilakukan dengan mengambil kulit dari lapangan, kemudian kulit diawetkan dalam larutan formalin acetid acid (FAA), setelah itu direndam dalam larutan KOH selama 1 jam. Kemudian dicuci dengan aquadest selama 5 menit. Setelah itu direndam dalam larutan HNO3 selama 2 jam, dan dicuci dengan aquadest selama 5 menit.

Kemudian direndam dalam alkohol, dan setelah itu kulit diiris secara vertikal dan horizontal. Irisan kulit direndam dalam larutan Sudan III sampai kulit merah. Kemudian diletakkan pada object glass yang telah ditetesi dengan glyserin,


(43)

dan ditutup dengan deck glass, lalu diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40.

Gambar 4. Penampang tiga dimensi kulit karet 4.5.7 Produksi Lateks (gram/pohon/sadap = g/p/s)

Untuk mengamati produksi lateks dilakukan menyadap pohon karet dengan pisau biasa dengan ketinggian 50 cm di atas permukaan tanah. Pohon yang disadap adalah pohon yang memiliki lilit batang lebih besar dari 20 cm. Sistem penyadapan yang digunakan adalah 1/2S d/3.

Lateks yang telah mengalir ditampung dengan menggunakan mangkok. Setiap hari sadap lateks dibekukan di dalam mangkok dengan menggunakan asam cuka. Lateks yang telah dibekukan (lum) dicucuk dengan kawat dan kemudian diberi label nomor genotipe pada masing-masing lum. Lateks yang telah dibekukan (lum) dikering anginkan selama 21 hari, kemudian ditimbang.

4.5.8 Kadar karet kering (KKK)

Lum basah diambil dari lapangan kemudian ditimbang untuk mendapatkan

berat basah, dan kemudian lum tersebut dikering anginkan selama 21 hari untuk Rumus yang digunakan : KKK = x 100%

`

Berat Karet Kering Berat Basah


(44)

4.5.9 Produksi Kayu (m3/pohon)

Menurut Wan Razali et.al., (1983) untuk mendapatkan hasil pengukuran produksi kayu m3/ pohon dapat menggunakan rumus :

V= 3,14������������ � 0,01 6,28 �

2


(45)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keragaan Projeni

Hasil analisis secara statistik sederhana menunjukkan adanya keragaman diantara individu yang dihasilkan, hal ini telah disajikan pada Tabel 2. Keragaman yang tertinggi ditemukan pada potensi produksi karet kering (KK=99,028%), diikuti oleh produksi kayu (KK=74,984%), jumlah cabang pertama (KK=66,21%), tinggi cabang pertama (KK=39,55%), lilit batang (KK=32,06%), jumlah pembuluh lateks (KK=25,272%), tebal kulit (KK=18,62%), tinggi tanaman (KK=17,44%), dan diameter pembuluh lateks (KK=11,84%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Woelan (2005) yang menyatakan bahwa keragaman yang terjadi pada karakter produksi disebabkan oleh banyaknya komponen yang mempengaruhi yaitu tebal kulit, lilit batang, jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks.


(46)

Tabel 2. Nilai uji statistik dari berbagai parameter pada tanaman karet dari genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 Statistik LB

(cm)

TT

(m) JCP

TCP (m)

TK (mm)

JPL (pembuluh)

DPL (mµ)

Prod, karet (g/p/s)

Prod, Kayu (m3/phn)

Mean 51,30 12,03 1,67 6,56 4,16 5,40 27,57 4,65 0,15

Median 50 12,5 1 7 4 5 26,875 3,028 0,124

Mode 38 13 1 10 4 5 25,625 1,6 0,346

Standard Deviation 16,450 2,098 1,106 2,594 0,774 1,366 3,266 4,606 0,112 Koefesien Keragaman 32.06% 17.44% 66.21% 39.55% 18.61% 25.272% 11.84% 99.028% 74.984% Koefesien

Kemiringan 0,4875 -0,7714 2,0922 -0,2816 0,2116 0,9639 0,5611 2,8370 1,2829

Range 93,5 14,1 6 13 6 10,5 26,875 41,2 0,7095

Minimum 21 3,4 1 0,5 2 2 14,375 0,8 0,00702

Maximum 114,5 17,5 7 13,5 8 12,5 41,25 42 0,7165

Kelas 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Interval 9,35 1,41 0,6 1,3 0,6 1,05 2,6875 4,12 0,07095

Keterangan:

LB = Lilit Batang JPL = Jumlah Pembuluh Lateks TT = Tinggi Tanaman DPL = Diameter Pembuluh Lateks JCP = Jumlah Cabang Pertama Prod. Karet = Produksi Karet Kering TCP = Tinggi Cabang Pertama Prod. Kayu = Produksi Kayu


(47)

97 184

205 206

150 100

45 19

6 1

0 50 100 150 200 250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F

RE

K

W

E

NSI

KELAS

2. Lilit Batang

Pola penyebaran genotipe berdasarkan lilit batang dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar 0,4875 yang berarti ukuran lilit batang cenderung lebih banyak yang berukuran sedang (Gambar 5). Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 13.

Gambar 5. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan lilit batang.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata lilit batang adalah 51,30 cm dengan kisaran 21–114,5 cm. Sedangkan nilai koefesien keragaman sebesar 32,06% berarti populasi semaian mempunyai keragaman yang tinggi. Hal ini menunjukkan adanya segregasi yang terjadi pada genotipe hasil persilangan 2001-2003. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Woelan et. al. (2007) yang menyatakan bahwa lilit batang hasil pengamatan terhadap genotipe dari hasil persilangan 1998-1999 menunjukkan keragaman yang tinggi dengan rata-rata 38,57 cm dengan kisaran 10,6-85,5 cm yang berarti ada segregasi antara turunan yang dihasilkan oleh masing-masing kombinasi.


(48)

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan lilit batang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan lilit batang.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 116 72,36 – 114,5 cm

1% 16 89,47 – 114,5 cm

Genotipe-genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 373/02/B, 316/02/B, 514/02/B, 353/02/B,423/01/A, 119/02/B, 327/02/B, 339/02/B, 160/01/A, 527/02/B, 132/01/A, 137/01/A, 195/01/A, 742/01/A, 330/02/B dan 473/02/B(Lampiran 13), dengan nilai terbesar adalah 114,5 cm pada genotipe 373/02/B dan terendah adalah 89,8 cm pada genotipe 473/02/B, dan sebagian besar dari genotipe tersebut berasal dari persilangan alami, dan genotipe yang berasal dari persilangan buatan adalah genotipe 119/02/B yang merupakan hasil dari kombinasi RRIC 100 x IRR 42. Dimana Klon RRIC 100 (induk betina) merupakan klon penghasil lateks-kayu, dengan pertumbuhan lilit batang 12,5 cm/th pada masa TBM, dan 4,6 cm/th pada masa TM, dan memiliki produksi 1,9 ton/ha/th. Sedangkan klon IRR 42 (induk jantan) merupakan klon penghasil lateks-kayu, dengan pertumbuhan lilit batang 12,5 cm/th pada masa TBM, dan 3,9 cm/th pada masa TM dengan produksi 1,5 ton/ha/th, dan sifat-sifat dari kedua induk diwariskan kepada turunannya.

3. Tinggi Tanaman

Pola penyebaran genotipe berdasarkan tinggi tanaman dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar-0,7714 yang artinya bahwa sebagian besar genotipe mempunyai tinggi tanaman yang relatif tinggi (Gambar 6). Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 13.


(49)

3 11 23 76 85 154 403 179 73 6 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F RE K W E NSI KELAS

Gambar 6. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan tinggi tanaman.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata tinggi tanaman adalah 12,03 m dengan kisaran 3,4 -17,5 m. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 17,44% yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman yang rendah. Diduga perbedaan tinggi tanaman ini akibat adanya perbedaan susunan genetik dari masing-masing genotipe. Hal ini sesuai denganSitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari jenis tanaman yang sama.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tinggi tanaman disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tinggi tanaman.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 79 14,71 – 17,5 m

1% 5 16,89 – 17,5 m

Genotipe-genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 113/01/A, 478/01/A, 308/01/A, 316/02/B dan 317/02/B (Lampiran 13). Dengan nilai tertinggi adalah 17,5 m pada genotipe 113/01/A dan


(50)

632

211

0 96

42

0 15 0 12 5

0 100 200 300 400 500 600 700

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F RE K W E NSI KELAS

nilai terendah 17 m pada 317/02/B. Dan genotipe-genotipe tersebut berasal dari persilangan alami.

4. Jumlah Cabang Pertama

Pola penyebaran genotipe berdasarkan jumlah cabang pertama dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar 2,092 yang artinya bahwa sebagian besar genotipe mempunyai tinggi tanaman yang relatif kecil (Gambar 7). Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 13.

Gambar 7. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan jumlah cabang pertama.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah cabang

pertama adalah 1,67 cabang dengan kisaran 1 – 7 cabang. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 66,21% yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman yang tinggi.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan lilit batang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan jumlah cabang pertama.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 170 3,08 – 7


(51)

47

85 93

147 197

150 166 121

4 3

0 50 100 150 200 250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F

RE

K

UE

NSI

KELAS

Genotipe yang memiliki jumlah cabang pertama terbanyak adalah No.Reg 465/01/A yang merupakan genotipe yang berasal dari biji illegitim (persilangan alami), sedangkan dari segregan biji legitim (persilangan buatan) adalah No. Reg 120/02/B yaitu hasil kombinasi IAN 873 x PN 3760 (Lampiran 13).

5. Tinggi Cabang Pertama

Pola penyebaran genotipe berdasarkan tinggi cabang pertamadapat dilihat dari nilai koefesien kemiringan yaitu sebesar -0,2816 yang artinya bahwa penyebarannya adalah normal (Gambar 8. Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 13.

Gambar 8. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan tinggi cabang pertama.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata tinggi cabang pertama adalah 6,56 m dengan kisaran 0,5 – 13,5 m. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 39,55% yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman sedang. Tinggi cabang pertama dan lilit batang berguna untuk menghitung volume log kayu bebas cabang. Hal ini sesuai dengan Suhendry (2002) yang menyatakan bahwa peubah pertumbuhan tanaman yang berhubungan dengan potensi kayu adalah lilit batang dan panjang log bebas cabang. Lilit batang


(52)

13

130 157 255

391

50

11 4 1 1

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F RE K UE NSI KELAS

selain berhubungan dengan hasil lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan,maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tinggi cabang pertama disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tinggi cabang pertama.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 128 9,88 – 13,5 m

1% 1 12,58 – 13,5 m

Genotipe terbaik 1% tersebut adalah genotipe bernomor registrasi 302/01/A yang merupakan genotipe yang berasal dari persilangan alami.

6. Tebal Kulit

Pola penyebaran genotipe berdasarkan tebal kulit dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringan nya yaitu sebesar 0,2116 yang artinya bahwa penyebarannya adalah normal (Gambar 9).Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 13.

Gambar 9. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan tebal kulit.


(53)

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata tebal kulit adalah 4,16 mm dengan kisaran 2 - 8 mm. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 18,61% yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman rendah.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tebal kulit disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan tebal kulit.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 235 5,1 – 8 mm

1% 17 5,9 – 8 mm

Genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 499/01/A, 205/01/A, 100/01/A, 545/01/A, 738/01/A, 651/01/A, 3/01/A, 127/01/A, 65/01/A, 537/01/A, 694/01/A, 398/01/A, 567/01/A, 754/01/A, 579/01/A, 642/01/A dan 763/01/A(Lampiran 13), dengan tebal kulit maksimum 8 mm dan minimum 6 mm, dan sebagian besar dari genotipe tersebut berasal dari persilangan alami, dan salah satu genotipe yang berasal dari persilangan buatan adalah genotipe 100/01/A yang merupakan hasil dari kombinasi RRIM 600 x RRIC 100.Dimana klon RRIM 600 (induk betina) memiliki pertumbumhan lilit batang yang jagur pada masa TBM, maupun pada masa TM, dan memiliki produksi 1,3 ton/ha/th. Sedangkan klon RRIC 100 (induk jantan) merupakan klon penghasil lateks-kayu, dengan pertumbuhan lilit batang 12,5 cm/th pada masa TBM, dan 4,6 cm/th pada masa TM, memiliki produksi 1,9 ton/ha/th dan resisten terhadap penyakit Corynespora, Oidium, Collectrichum.

7. Produksi Karet Kering

Pola penyebaran genotipe berdasarkan produksi karet kering dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar 2,837 yang artinya


(54)

696

188 81

22 13 6 2 3 1 1

0 100 200 300 400 500 600 700 800

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F

RE

K

UE

NSI

KELAS

bahwasebagian besar genotipe memiliki produksi karet kering yang kecil (Gambar 10).Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 13.

Gambar 10. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan produksi karet kering.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata produksi karet kering adalah 4,65 g/p/s dengan kisaran 0,8 – 42 g/p/s. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 99,028 % yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman yang sangat tinggi. Keragaman ini terjadi karena produksi karet kering dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu genetik, lilit batang, tebal kulit, jumlah dan diameter pembuluh lateks dan lingkungan. Hal ini telah dikemukakan Woelan

et.al. (2007), menyatakan bahwa karakter produksi langsung berhubungan dengan tebal kulit, jumlah pembuluh dan diameter pembuluh lateks dan lilit batang.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan produksi karet kering disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan produksi karet kering.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 86 10,54 – 42 g/p/s

1% 34 15,33 - 42 g/p/s

Genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 33/01/A, 283/02/B, 296/01/A, 712/01/A, 736/01/A, 331/01/A, 109/02/B,


(55)

331 292

207

98 100

150 200 250 300 350

F

RE

K

UE

NSI

26/02/B, 26/01/A, 63/01/A, 527/02/B, 525/02/B, 114/02/B, 742/01/A, 222/01/A, 261/02/B, 694/01/A, 4/01/A, 10/01/A, 3/01/A, 11/01/A, 423/01/A, 45/02/B, 57/01/A, 220/01/A, 644/01/A, 41/01/A, 250/02/B, 577/01/A, 73/01/A, 29/02/B, 367/02/B, 90/02/B, dan 639/01/A(Lampiran 13). Dengan produksi karet tertinggi sebesar 42 g/p/s pada genotipe 33/01/A dan terendah sebesar 15,5 g/p/s pada genotipe 639/01/A. Dan sebagian besar dari genotipe tersebut berasal dari persilangan alami, dan salah satu genotipe yang berasal dari persilangan buatan adalah genotipe 33/01/A yang merupakan hasil dari kombinasi BPM 24 x AVROS 427. Dimana klon BPM 24 (induk betina) merupakan tipe penghasil lateks dengan pertumbuhan 11 cm /th pada masa TBM dan pada masa TM 3,8 cm/th dengan tebal kulit murni 7 mm dan dengan potensi produksi 2ton/ha/th. Dan AVROS 427 (induk jantan) yang memiliki pertumbuhan yang baik pada masa TBM dan TM, dan sifat-sifat ini diturunkan pada keturunannya.

8. Produksi Kayu

Pola penyebaran genotipe berdasarkan produksi kayu dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar 1,282yang artinya bahwa sebagian besar genotipe memiliki produksi karet kering yang kecil (Gambar 11). Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran10 dan 13.


(56)

Gambar 11. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan produksi kayu.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata produksi kayu adalah 0,15 m3/phn dengan kisaran 0,00702 – 0,7165 m3/phn. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 74,984 % yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman yang tinggi. Keragaman ini dipengaruhi oleh lilit batang, tinggi tanaman dan percabangan kayu yang masing-masing juga memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Suhendry (2002) yang menyatakanpeubah pertumbuhan tanaman yang berhubungan dengan potensi kayu adalah lilit batang dan panjang log bebas cabang. Maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan produksi kayu disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan produksi kayu.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 132 0,29 – 0,71 m3/phn

1% 34 0,41– 0,71 m3/phn

Genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 423/01/A, 316/02/B, 195/01/A, 160/01/A, 137/01/A, 225/02/B, 410/01/A, 308/01/A, 526/01/A, 776/01/A, 21/01/A, 158/02/B, 791/01/A, 239/02/B, 762/01/A, 275/02/B, 297/01/A, 139/01/A, 721/01/A, 422/02/B,


(57)

28 184

308 260

139

58

21 8

6 1

0 50 100 150 200 250 300 350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

F

RE

K

W

E

NSI

KELAS

154/01/A, 611/01/A, 530/01/A, 66/02/B, 747/01/A, 15/02/B, 420/02/B, 13/02/B, 509/01/A, 133/01/A, 456/01/A, 428/01/A, dan 484/02/B(Lampiran 13). Dengan produksi kayu tertinggi sebesar 0,7116 m3/p pada genotipe 423/01/A dan terendah sebesar 0,4054 m3/p pada genotipe 484/02/B.Dan sebagian besar dari genotipe tersebut berasal dari persilangan alami, dan salah satu genotipe yang berasal dari persilangan buatan adalah genotipe 21/01/A yang merupakan hasil dari kombinasi IAN 873 x AVROS 427.

9. Jumlah Pembuluh Lateks

Pola penyebaran genotipe berdasarkan jumlah pembuluh lateks dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar0,963 yang artinya bahwa sebagian besar genotipe memiliki jumlah pembuluh yang sedikit (Gambar 12). Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 13.

Gambar 12. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan jumlah pembuluh lateks.


(58)

Gambar 13. Jumlah pembuluh lateks yang diamati dibawah mikroskop perbesaran 10 x 10.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah pembuluh lateks adalah 5,40 pembuluh dengan kisaran 2 – 12,5 pembuluh. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 25,27% yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman tinggi. Pengamatan pada pembuluh lateks berfungsi untuk mengetahui potensi produksi lateks. Hal ini sesuai dengan Woelan, et.al. (2001) yang menyatakan pengamatan anatomi kulit dilakukan terhadap jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks baik terhadap kulit murni maupun kulit pulihan.Diharapkan dengan banyaknya jumlah pembuluh lateks, produksi akan semakin tinggi.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan jumlah pembuluh lateks disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan jumlah pembuluh lateks.

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 94 7,15 - 13 pembuluh

1% 22 8,57 - 13 pembuluh

Genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 736/01/A, 33/01/A, 10/01/A, 37/01/A, 26/01/A, 648/01/A, 521/01/A,


(59)

171 411

203 162 150

200 250 300 350 400 450

F

RE

K

UE

NSI

649/01/A, 121/01/A, 68/01/A, 71/01/A, 41/01/A, 73/01/A, 664/01/A, 392/02/B, 712/01/A, 694/01/A, 28/01/A, 535/01/A, 355/01/A, 253/02/B, dan 414/02/B(Lampiran 13),dengan jumlah pembuluh lateks maksimum 13 pembuluh pada 736/01/A dan minimum 9 pembuluh pada 414/02/B. Dan sebagian besar dari genotipe tersebut berasal dari persilangan alami, dan salah satu genotipe yang berasal dari persilangan buatan adalah genotipe 33/01/A yang merupakan hasil dari kombinasi BPM 24 x AVROS 427. Dimana Klon BPM 24 (induk betina) merupakan klon penghasil lateks, dengan pertumbuhan lilit batang 42,6 cm/4th pada masa TBM, dan 3,8 cm/th pada masa TM, dan memiliki produksi 2 ton/ha/th. Sedangkan klon AVROS 427 (induk jantan) memiliki pertumbuhan yang baik pada masa TBM maupun TM. Dengan produksi lateks yang cukup baik. 10. Diameter Pembuluh Lateks

Pola penyebaran genotipe berdasarkan diameter pembuluh lateks dapat dilihat dari nilai koefesien kemiringannya yaitu sebesar 0,561 yang artinya bahwapenyebaran diameter pembuluh lateks masih normal (Gambar 14). Distribusi kelas dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13.


(60)

Gambar 14. Pola penyebaran genotipe hasil persilangan tahun 2001 - 2003 berdasarkan diameter pembuluh lateks.

Gambar 15. Diameter pembuluh lateks yang diamati dibawah mikroskop perbesaran 10 x 40.

Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa rata-rata diameter pembuluh lateks adalah 27,57 mµ dengan kisaran 14,375 – 41,25 mµ. Sedangkan nilai koefesien keragamannya sebesar 11,84% yang berarti populasi semaian mempunyai keragaman rendah.

Jumlah genotipe terseleksi berdasarkan diameter pembuluh lateks disajikan pada Tabel 11.


(61)

Seleksi Jumlah Genotipe Batas

10% 132 31,75 - 41,25 mµ

1% 17 35,15 - 41,25 mµ

Genotipe terbaik 1% tersebut diantaranya adalah genotipe bernomor registrasi 545/02/B, 381/02/B, 468/02/B, 439/01/A, 448/02/B, 482/02/B, 530/02/B, 475/01/A, 58/02/B, 321/02/B, 345/02/B, 392/02/B, 180/02/B, 516/02/B, 163/01/A, 24/02/B, dan 141/02/B (Lampiran 13), dengan diameter pembuluh terbesar dengan 41,25 mµ pada genotipe 545/02/B dan terkecil pada genotipe 141/02/B dengan 35,63 mµ. Dan sebagian besar dari genotipe tersebut berasal dari persilangan alami, dan salah satu genotipe yang berasal dari persilangan buatan adalah genotipe 58/02/B yang merupakan hasil dari kombinasi RRIM 600 x PB 260. Dimana klon RRIM 600 (induk betina) memiliki pertumbuhan lilit batang yang jagur pada masa TBM maupun pada masa TM, dan memiliki produksi 1,3 ton/ha/th. Sedangkan klon PB 260 (induk jantan) memiliki pertumbuhan yang jagur pada masa TBM yaitu sebesar 12,5 cm/th dan pada masa TM 4,3 cm/th, dengan ketebalan kulit murni 6,3 mm dan mempunyai produksi 2,1 ton/ha/th dengan sifat-sifat sekunder tertentu yang juga baik, diantaranya resisten terhadap penyakit daun Corynespora, jamur upas dan Oidium.


(62)

11. Studi Korelasi

11.1. Korelasi Produksi Karet Kering dengan Karakteristik Pertumbuhan Hasil analisis korelasi antar karakter agronomis terhadap produksi karet kering disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Korelasi Karakter Agronomis Terhadap Produksi Karet Kering Karakter Lilit

Batang Tebal Kulit

Jumlah Pembuluh

Lateks

Diameter Pembuluh

Lateks

Produksi Karet Kering Lilit

Batang 1 0.277 0.235 0.133 0.533

Tebal Kulit 1 0.142 -0.014 0.163

Jumlah Pembuluh Lateks

1 0.118 0.371

Diameter Pembuluh Lateks

1 0.066

Produksi Karet Kering

1

Produksi Karet Kering dengan Lilit Batang

Dari data studi korelasi antar karakteristik pertumbuhan pada tanaman F1 (Tabel 12), dapat dilihat bahwa korelasi antara produksi karet kering dengan lilit batang memiliki korelasi yang kuat yaitu sebesar 0,533. Dengan demikian, lilit batang mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil produksi. Hal ini sesuai hasil penelitian Woelan et.al. (2007) menunjukkan bahwa lilit batang berkorelasi

positif dengan produksi yang dimiliki oleh masing-masing genotipe yaitu r = 0,56.


(63)

Produksi Karet Kering dengan Tebal Kulit

Dari data studi korelasi antar karakteristik pertumbuhan pada tanaman F1 (Tabel 12), dapat dilihat bahwa korelasi antara produksi karet kering dengan tebal kulit memiliki korelasi yang sangat lemah yaitu sebesar 0,163. Hal ini sesuai dengan literatur Woelan et.al. (2001) yang menyatakan bahwatebal kulit merupakan kriteria yang cukup penting di dalam melakukan identifikasi suatu klon yang mempunyai keunggulan di dalam produksi lateks tinggi. Potensi produksi tinggi mempunyai korelasi yang positif dengan tebal kulit.

Produksi Karet Kering dengan Jumlah Pembuluh Lateks

Dari data studi korelasi antar karakteristik pertumbuhan pada tanaman F1 (Tabel 12), dapat dilihat bahwa korelasi antara produksi karet kering dengan jumlah pembuluh lateks merupakan memiliki korelasi yang cukup kuat yaitu sebesar 0,3173. Yang berarti bahwa jumlah pembuluh lateks juga mempengaruhi produksi karet kering, apabila jumlah pembuluh lateks banyak maka produksi karet kering juga akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Woelan et.al. (2007) yang menyatakan bahwa jumlah pembuluh lateks mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan potensi produksi. Hubungan antara pembuluh dengan potensi produksi yaitu sebesar r=0,86.

Produksi Karet Kering dengan Diameter Pembuluh Lateks

Dari data studi korelasi antar karakteristik pertumbuhan pada tanaman F1 (Tabel 12), dapat dilihat bahwa korelasi antara produksi karet kering dengan diameter pembuluh lateks memiliki korelasi yang sangat lemah yaitu sebesar 0.066. Hal ini sesuai dengan Woelan et. al (2004) yang menyatakan jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit batang


(64)

berpengaruh nyata terhadap hasil karet. Artinya bahwa apabila ada peningkatan komponen hasil lateks maka hasil lateks akan lebih tinggi.

11.2. Korelasi Produksi Kayu dengan Karakteristik Pertumbuhan

Hasil analisis korelasi antar karakter agronomis terhadap produksi kayu disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Korelasi Karakter Agronomis Terhadap Produksi Kayu Karakter Tinggi

Tanaman

Jumlah Cabang

Tinggi Cabang Pertama

Lilit Batang

Produksi Kayu Tinggi

Tanaman 1 -0.101 0.288 0.718 0.614

Jumlah

Cabang 1 0.259 -0.087 0.102

Tinggi Cabang Pertama

1 0.018 0.607

Lilit

Batang 1 0.718

Produksi

Kayu 1

Korelasi Produksi Kayu dengan Karakteristik Pertumbuhan

Produksi kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang dan tinggi percabangan.

Produksi Kayu dengan Lilit Batang

Dari data studi korelasi antar karakteristik pertumbuhan pada tanaman F1 (Tabel 13), dapat dilihat bahwa korelasi antara produksi kayu dengan lilit batang memiliki korelasi yang kuat yaitu sebesar 0,718. Dengan demikian lilit batang memberikan pengaruh sangat besar terhadap produksi kayu. Hal ini sesuai dengan Suhendry (2002) yang menyatakan bahwa lilit batang selain berhubungan dengan hasil lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan, maka kondisi


(65)

ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi.

Produksi Kayu dengan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang dan Tinggi Cabang Pertama

Dari data studi korelasi antar karakteristik pertumbuhan pada tanaman F1 (Tabel 13), dapat dilihat bahwa korelasi antara produksi kayu dengan tinggi tanaman dan tinggi cabang pertamak, keduanya memiliki korelasi yang kuat terhadap produksi kayu yaitu masing-masing sebesar 0,614 dan 0,607. Pengukuran ini berguna untuk mengestimasi volume kayu log, karena kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi. Hal iniSiagian et.al (2005) yang menyatakan tinggi percabangan tanaman diukur guna untuk mengestimasi volume kayu log. Volume kayu log nantinya akan diestimasi dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Wan Razali et al. (1983) dan salah satu variabel yang diukur untuk itu adalah tinggi batang bebas cabang.


(66)

13. Seleksi Genotipe Penghasil Lateks-Kayu

Seleksi individu dilakukan terhadap individu-individu yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil lateks dan kayu dengan intensitas seleksi 10% dan 1%, hal ini disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Sebaran dua arah antara volume kayu (m3/phn) dengan produksi karet kering

Pada Gambar 16 dapat dilihat beberapa individu yang terseleksi berdasarkan dua karakter yaitu produksi karet kering dan produksi kayu dengan intensitas seleksi terbaik 10% dan 1%, dan genotipe-genotipe terseleksi tersebut masing-masing disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15.

Seleksi 1 %

Seleksi 10 %

= Rata-Rata = Seleksi 10% = Seleksi 1%


(67)

Tabel 14. Genotipe terseleksi (10%) terbaik berdasarkan potensi produksi karet kering dan kayu.

No. Genotipe Produksi Kayu Produksi Karet Kering 13/01/A 0,284 m3/p 14,92 g/p/s 86//02/B 0,296 m3/p 14,19 g/p/s 41/01/A 0,368 m3/p 16,85 g/p/s 331/01/A 0,302 m3/p 29,30 g/p/s 57/01/A 0,358 m3/p 18,04 g/p/s 577/01/A 0,309 m3/p 16,74 g/p/s 639/01/A 0,299 m3/p 15,54 g/p/s 45/02/B 0,301 m3/p 18,09 g/p/s 671/01/A 0,326 m3/p 12,05 g/p/s 239/01/A 0,371 m3/p 11,83 g/p/s 619/01/A 0,364 m3/p 12,22 g/p/s 160/01/A 0,610 m3/p 11,76 g/p/s 139/01/A 0,452 m3/p 14,80 g/p/s 195/01/A 0,659 m3/p 14,69 g/p/s 423/01/A 0,710 m3/p 18,62 g/p/s

Tabel 15. Genotipe terseleksi (1%) terbaik berdasarkan potensi produksi karet kering dan kayu.

No. Genotipe Produksi Kayu Produksi Karet Kering 139/01/A 0,452 m3/p 14,80 g/p/s 195/01/A 0,659 m3/p 14,69 g/p/s 423/01/A 0,710 m3/p 18,62 g/p/s

Dari jumlah genotipe terpilih dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan genotipe yang memiliki keunggulan pada sifat produksi karet kering dan kayu sekaligus tampaknya sulit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suhendry et.al. (2001) yang

menyatakan bahwa untuk mencari genotipe yang memiliki keunggulan pada sifat

produksi lateks dan kayu sekaligus tampaknya sulit ditemukan. Genotipe yang memiliki potensi kayu besar umumnya menghasilkan lateks yang rendah, begitu juga dengan genotipe yang berproduksi tinggi cenderung memiliki potensi kayu yang rendah dengan lilit batang yang lebih kecil.


(68)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

a. Dari hasil seleksi genotipe sebagai penghasil lateks dan kayu dengan intensitas seleksi 10% terdapat 15 genotipe yaitu 13/01/A, 86/02/B, 41/01/A, 331/01/A, 57/01/A, 577/01/A, 639/01/A, 45/02/B, 671/01/A, 239/01/A, 619/01/A, 160/01/A, 139/01/A, 195/01/A, dan 423/01/A

b. Dari hasil seleksi genotipe sebagai penghasil lateks dan kayu dengan intensitas seleksi 1% terdapat 3 genotipe yaitu139/01/A, 195/01/A, dan 423/01/A.

2. Saran

Sebaiknya genotipe-genotipe yang terseleksi 10% dan 1% digunakan dalam pengujian selanjutnya dalam siklus pemuliaan tanaman karet, dan genotipe-genotipe yang tidak terseleksi sebagai penghasil lateks-kayu tetap digunakan sebagai bahan pengujian selanjutnya karena genotipe – genotipe tersebut memiliki potensi sebagai penghasil lateks atau penghasil kayu.


(1)

diamati di mikroskop, (13) hasil pengamatan diameter pembuluh lateks, (14) hasil pengamatan jumlah pembuluh lateks


(2)

(6) (5) (4) (2) (3) (1)

5. Pengamatan Produksi Karet Kering

Keterangan Gambar:

(1). Penyadapan ½ S d/3 selama 3 bulan dan dilakukan pada ketinggian 50 cm, (2) pemberian cuka yang bertujuan untuk membekukan lateks, (3) pengutipan lum dengan menggunakan kawat dan diberi label nomor pohon, (4) lum dijemur


(3)

Lampiran 15. Genotipe – Genotipe Terseleksi 10% dan 1% sebagai Penghasil Lateks-Kayu

13/01/A 41/01/A


(4)

139/01/A 160/01/A


(5)

423/01/A 577/01/A


(6)

639/01/A 619/01/A


Dokumen yang terkait

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

9 88 81

Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu

2 55 78

Respons Morfologi Benih Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Tanpa Cangkang terhadap Pemberian PEG 6000 dalam Penyimpanan pada Dua Masa Pengeringan

2 90 58

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet Terhadap Penyakit Corynespora cassiicola dan Colletotrichum gloeosporioides di Kebun Entres Sei Putih

1 85 68

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

0 23 84

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu

0 0 56

II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Botani Tanaman - Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu

0 1 17

Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu

0 0 13