yang memiliki rentang panjang gelombang antara 200-700 nm Rohman dan Gandjar, 2007.
2. Gugus yang mempengaruhi penyerapan radiasi elektromagnetik
Gugus kromofor merupakan suatu gugus atau atom dalam suatu senyawa organik yang mampu menyerap radiasi sinar UV. Disamping itu, dalam suatu
molekul organik terdapat suatu gugus auksokrom yang merupakan suatu gugus fungsional yang memiliki elektron bebas, seperti: -OH, -NH
2
, dan -OCH
3
. Terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor mampu menggeser pita
absorpsi sehingga panjang gelombang yang dihasilkan akan lebih besar. Ikatan terkonjugasi adalah ikatan rangkap yang berselang-seling dengan
ikatan tunggal dalam suatu struktur molekul senyawa. Adanya ikatan terkonjugasi dalam senyawa akan mempengaruhi panjang gelombang maksimalnya. Semakin
panjang ikatan terkonjugasinya, maka akan semakin besar panjang gelombang maksimalnya Rohman dan Gandjar, 2007.
C. Larutan Bufer
Larutan bufer sering dipakai dalam analisis seperti penggunaanya sebagai fase gerak dalam sistem KCKT. Jenis bufer paling sederhana terdiri atas suatu
asam atau basa lemah yang dikombinasikan dengan suatu asam atau basa konjugatnya Rohman dan Gandjar, 2007.
Larutan bufer bufer memiliki peranan penting dalam pemisahan senyawa asam ataupun basa dalam sistem KCKT. Penggunaan bufer dalam fase gerak
sistem KCKT akan memberikan suatu nilai pH yang relatif konstan sehingga
waktu retensi senyawa selama proses pemisahan menjadi lebih reprodusibel. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan larutan bufer pada fase
gerak sistem KCKT fase terbalik adalah nilai pKa asam lemah atau basa lemah, kapasitas bufer, kelarutan komponen bufer, absorbansi pada daerah UV, dan
stabilitas bufer Snyder dkk., 2010. Kapasitas bufer adalah kemampuan bufer untuk mempertahankan pH dan
tergantung pada nilai pKa asam lemah atau basa lemah, konsentrasi bufer, dan pH fase gerak. Asam lemah atau basa lemah yang menyusun bufer hendaknya
memiliki nilai pKa dalam rentang ±1,0 unit dari pH fase gerak yang diinginkan Snyder dkk., 2010.
Dalam sistem KCKT dengan detektor UV, penggunaan bufer dapat dikatakan ideal apabila memiliki absorban pada panjang gelombang di bawah
220 nm. Beberapa jenis bufer yang sering digunakan dalam sistem KCKT fase terbalik dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel I. Jenis bufer yang digunakan pada sistem KCKT fase terbalik Kazakevich and Lobrutto, 2007
D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 1. Definisi dan instrumen KCKT
Kromatografi cair kinerja tinggi adalah salah satu metode analisis untuk pemisahan suatu campuran senyawa kimia. Penggunaan pompa bertekanan tinggi
akan mengalirkan fase gerak ke dalam kolom sehingga akan terjadi pemisahan dengan cepat, terkontrol dan efektif. Baik buruknya pemisahan dipengaruhi oleh
kondisi eksperimental seperti kondisi kolom, kemurnian pelarut, suhu, kecepatan alir fase gerak, komposisi fase gerak, dan sebagainya Snyder dkk., 2010.
Pemisahan pada sistem kromatografi terjadi akibat adanya interaksi antara zat
analit dengan fase diam dan fase gerak yang kemudian akan menghasilkan perbedaan waktu migrasi dari zat analit Kazakevich and Lobrutto, 2007.
Ada dua macam jenis kromatografi cair kinerja tinggi dalam analisis, yaitu KCKT fase normal dan KCKT fase terbalik. KCKT fase normal adalah
KCKT yang menggunakan fase diam bersifat lebih polar dibandingkan dengan fase geraknya, sedangkan KCKT fase terbalik adalah KCKT yang menggunakan
fase diam bersifat lebih non-polar dibandingkan dengan fase geraknya Snyder dkk., 2010.
Sistem KCKT dapat diilustrasikan secara sistematik seperti pada Gambar 4 di bawah ini:
Gambar 4. Skema sistem KCKT Snyder dkk., 2010
Bagian-bagian dalam sistem KCKT fase terbalik, antara lain: a Kolom
Salah satu jenis kolom KCKT fase terbalik yang paling sering digunakan adalah kolom tipe C
18.
Kolom C
18
Gambar 5 tersusun oleh suatu penyangga silika gel SiO
2
dimana silika gel tersusun atas rantai -O-Si-O- dan pada bagian permukaan silika terdapat gugus-gugus hidroksil -OH, oleh karena itu silika gel
relatif bersifat polar. Pada KCKT fase terbalik, modifikasi silika gel dilakukan dengan menutup gugus silanol -SiOH dengan suatu bagian organik yang
umumnya adalah suatu hidrokarbon rantai panjang untuk menghilangkan gugus hidroksil melalui reaksi silanisasi. Semakin panjang rantai karbon yang diikatkan
pada silika maka akan semakin hidrofobik. Kebanyakan fase diam dengan penyusun silika memiliki rentang pH yang dapat ditoleransi, yaitu pH 2-7.
Apabila di bawah pH 2, maka akan terjadi hidrolisis yang menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan fase terikat dengan substrat silika. Apabila di atas
pH 7, maka substrat silika akan terdisolusi sebagian dalam fase gerak yang polar. Salah satu dampak yang terlihat adalah terbentuknya puncak yang asimetris pada
pH di atas 3 akibat adanya interaksi antara bentuk ion zat analit dengan residu silanol Kazakevich and Lobrutto, 2007.
Gambar 5. Struktur kolom C
18
Snyder dkk., 2010
b Fase gerak Fase gerak atau eluen tersusun atas campuran pelarut yang saling
bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam elusi zat analit dan resolusi dalam sistem KCKT. Daya elusi dan resolusi dipengaruhi oleh polaritas fase
gerak, polaritas fase diam, dan sifat komponen analit. Pada sistem KCKT fase terbalik, kemampuan elusi akan menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut
yang digunakan dalam fase gerak Rohman dan Gandjar, 2007.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan fase gerak adalah kompatibilitas pelarut yang digunakan, kelarutan analit dalam fase gerak, polaritas
fase gerak, transmisi cahaya, viskositas, stabilitas dan pH fase gerak Kazakevich and Lobrutto, 2007.
Kompatibilitas antar komponen fase gerak perlu diperhatikan supaya penyusun fase gerak dapat bercampur dengan baik. Campuran fase gerak harus
dapat digunakan untuk melarutkan analit dengan baik. Apabila analit tidak terlarut sempurna pada fase gerak yang digunakan, maka analit akan mengendap ketika
proses penginjekan dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah transmisi cahaya dari fase gerak. Transmisi cahaya akan berkaitan erat dengan detektor UV
yang digunakan. Setiap fase gerak memiliki UV-cutoff yang berbeda satu sama lain sehingga perlu diperhatikan ketika memilih komponen fase gerak. Perlu
dipastikan bahwa UV-cutoff pelarut fase gerak yang digunakan tidak mengganggu deteksi analit pada detektor UV. Viskositas fase gerak perlu diperhatikan pula
karena semakin besar viskosias fase gerak makan akan semakin besar tekanan dalam kolom sistem KCKT Kazakevich and Lobrutto, 2007.
Tingkat kepolaran fase gerak yang digunakan akan mempengaruhi elusi analit dalam sistem KCKT. Kepolaran campuran komponen penyusun fase gerak
dapat dilihat dari nilai indeks polaritasnya. Indeks polaritas fase gerak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini:
n φ
nP ...
φ 2P2
φ 1P1
camp P
+ +
+ =
5
Keterangan: P’camp = indeks polaritas campuran
P’n = indeks polaritas pelarut ke-n ɸ = fraksi volume pelarut
Gritter dkk., 1991.
Indeks polaritas menunjukkan korelasinya dengan kepolaran suatu pelarut fase gerak. Semakin besar nilai indeks polaritasnya maka semakin polar
pelarut fase gerak yang digunakan Snyder dkk., 2010. Sebagian besar senyawa obat yang berada di pasaran dapat terionisasi
pada pH tertentu, sehingga diperlukan pengaturan pH pada fase gerak untuk mempertahankan kondisi pH fase gerak yang membawa analit agar analit tetap
dalam bentuk molekulnya sampai detektor. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penggunaan larutan bufer dalam komponen penyusun fase gerak. Hal
yang perlu diperhatikan ketika menggunakan bufer adalah tingkat kelarutan bufer dalam pelarut yang digunakan karena pemilihan jenis bufer yang salah akan
mengakibatkan mengendap atau terpisahnya komponen bufer dalam fase gerak Kazakevich and Lobrutto, 2007.
c Detektor Detektor yang digunakan untuk KCKT dapat digolongkan menjadi dua
golongan, yaitu golongan detektor universal dan golongan detektor spesifik mendeteksi analit secara spesifik dan selektif. Detektor UV merupakan salah satu
jenis detektor spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif sesuai panjang gelombang yang digunakan. Dasar detektor UV adalah
penyerapan radiasi UV pada kisaran panjang gelombang 200-400 nm oleh analit yang memiliki gugus kromofor pada strukturnya. Beberapa karakteristik detektor
adalah memiliki respon yang cepat dan reprodusibel terhadap analit, memiliki sensitifitas tinggi, stabil dalam pengoperasiannya dan signal yang dihasilkan
berbanding lurus dengan konsentrasi analit dalam sampel Rohman dan Gandjar, 2007.
2. Pemisahan yang optimal pada sistem KCKT
a. Bentuk puncak pemisahan asam askorbat. Bentuk puncak yang diharapkan adalah simetris. Parameter bentuk puncak adalah asymmetry
factor A
s
dan tailing factor T
f
. Nilai asymmetry factior A
s
dihitung pada 10 tinggi puncak. Perhitungan A
s
dapat dilakukan dengan persamaan yang tercantum pada Gambar 5. Apabila nilai A
s
= 1, maka dapat dikatakan puncak yang dihasilkan simetri. Akan tetapi, pada nilai
A
s
2 puncak juga masih dikatakan baik Snyder dkk., 2010. Tailing factor T
f
merupakan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Nilai T
f
= 1 menunjukkan bahwa puncak simetris, sedangkan nilai T
f
˃ 1 menunjukkan bahwa puncak mengalami tailing. Semakin besar nilai T
f
maka efisiensi kolom semakin menurun. Tailing factor T
f
dapat dihitung melalui persamaan yang tercantum pada Gambar 6 berikut:
Gambar 6. Perhitungan nilai A
s
dan nilai T
f
Snyder dkk., 2010
Pada saat migrasi, analit mengalami transfer antara fase diam atau fase gerak berkali-kali. Analit hanya dapat bergerak bila berada dalam fase gerak,
maka migrasi dalam kolom menjadi tidak teratur. Akibatnya, laju rata-rata analit relatif terhadap fase gerak sangat bervariasi dan menyebabkan pelebaran puncak
analit. Berdasarkan teori laju, pelebaran puncak analit disebabkan oleh 3 faktor
yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1 Difusi Eddy
Difusi Eddy merupakan aliran tidak teratur yang menyebabkan terjadinya pencampuran konvektif. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jarak yang harus
dilalui molekul yang satu dengan yang lain. Perbedaan jarak yang dilalui oleh molekul yang satu dengan yang lain disebabkan oleh perbedaan bentuk, ukuran
partikel pengisi kolom, cara pengisian kolom, dan diameter kolom. Perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan waktu elusi molekul-molekul dari kolom.
Suatu molekul solut dapat bergerak melalui kolom dekat dinding kolom yang memiliki kerapatan kemas partikel fase diam yang rendah, sehingga molekul
tersebut dengan cepat akan terelusi. Berbeda dengan molekul solut yang melalui bagian tengah kolom yang memiliki kerapatan kemas partikel fase diam yang
tinggi, solut akan terelusi dengan kecepatan yang lebih rendah. Hal inilah yang menyebabkan pelebaran puncak untuk tiap analit. Cara memperkecil efek ini
adalah menggunakan fase diam yang memiliki partikel berdiameter kecil, diameter kolom kecil, pengemasan kolom yang rapat dan homogen Rohman dan
Gandjar, 2007.
2 Difusi longitudinal Analit ketika berada dalam fase gerak melewati fase diam menyebar ke
segala arah secara difusi, baik dengan arah yang sama maupun berlawanan dengan aliran fase gerak sehingga akan menghasilkan bentuk puncak yang melebar
simetris. Difusi longitudinal merupakan efek dari gerakan random molekul analit dalam fase gerak karena adanya perbedaan konsentrasi. Ketika melintasi kolom,
molekul-molekul akan berdifusi menyebar ke segala arah. Difusi ini dapat terjadi di sepanjang kolom, baik pada fase gerak maupun fase diam. Akibatnya bentuk
puncak analit yang semula sempit, dengan adanya difusi ke dalam fase gerak di sekelilingnya, akan melebarkan profil puncak. Efek ini dapat diperkecil dengan
menggunakan fase gerak yang bobot jenisnya lebih tinggi dengan kecepatan linier aliran ditingkatkan Rohman dan Gandjar, 2007.
3 Transfer massa Pengaruh transfer massa ini terjadi antara fase diam dengan fase gerak.
Proses transfer massa tidak terjadi secara instan melainkan terjadi secara lambat dalam hal kinetikanya. Fase gerak mengalir secara terus menerus mengakibatkan
distribusi kesetimbangan analit dalam fase diam dan fase gerak tidak pernah ada. Konsentrasi analit pada fase diam yang tertinggal sebenarnya lebih sedikit
dibandingkan dengan konsentrasi analit pada fase gerak sehingga akan terbentuknya pelebaran puncak Rohman dan Gandjar, 2007.
Beberapa penyebab terjadinya puncak asimetris antara lain: 1 Konsentrasi analit terlalu besar yang membuat fase gerak tidak mampu
membawa analit dengan sempurna sehingga akan terbentuk tailing pada puncak yang dihasilkan.
2 Adanya interaksi yang kuat antara analit dengan fase diam sehingga analit sulit terelusi dari kolom dan membuat terbentuknya tailing pada puncak.
3 Terdapat kontaminan dalam sampel sehingga akan muncul suatu puncak didepan puncak analit yang membuat terbentuknya fronting pada puncak
Rohman dan Gandjar, 2007. b. Waktu retensi t
R
. Waktu retensi merupakan waktu yang dibutuhkan suatu analit untuk melewati kolom. Waktu retensi t
R
dan faktor retensi k’ dihubungkan dengan persamaan:
t
R
= t
M
l + k’ 6
t
M
merupakan waktu yang dibutuhkan analit yang tidak tertahan untuk melewati kolom. Analit yang tidak tertahan akan bermigrasi melewati
kolom dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan fase gerak, sehingga nilai faktor retensinya adalah nol t
R
= t
M
. Analit yang mempunyai nilai k’ 0 akan tertahan secara proporsional dan menghasilkan waktu retensi
yang lebih besar daripada t
M
Gandjar dan Rohman, 2007. c. Resolusi R
s
. Resolusi adalah indikator pemisahan dua puncak yang berdekatan. Pemisahan yang baik adalah pemisahan yang menghasilkan nilai
R
s
≥ 1,5. Hubungan antara waktu retensi analit t
R
dengan lebar puncak W dinyatakan dalam persamaan berikut:
W 0,5W
t t
Rs
1 2
R1 R2
+ −
=
7
Dimana : t
R1
dan t
R2
= waktu retensi komponen W
1
dan W
2
= lebar alas puncak komponen Snyder dkk., 2010.
d. Efisiensi kolom. Salah satu yang menjadi tolok ukur efisiensi kolom adalah jumlah lempeng N yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis. Efisiensi
kolom akan berpengaruh pada waktu retensi analit. Semakin tinggi jumlah lempeng teoritis maka semakin baik pula efisiensi kolom Snyder dkk.,
2010. Nilai Height Equivalent Theoritical Plate HETP merupakan tolok
ukur efisiensi kolom, dimana HETP dapat dihitung melalui persamaan berikut:
N L
HETP =
8
Dimana : L = panjang kolom N = jumlah lempeng
dimana nilai N merupakan bilangan lempeng teoritik dan dapat dihitung dengan persamaan berikut:
2 h
2 1
R
W t
x 5,54
N ⎟⎟
⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎜ ⎝
⎛ =
9
Dimana : tR = waktu retensi analit
h 2
1
W
= lebar puncak pada posisi setengah tinggi puncak
Nilai HETP berbanding terbalik dengan jumlah lempeng teoritis N. Dengan begitu, semakin tinggi nilai N makan semakin kecil nilai HETP dan
semakin efisien kolom yang digunakan Snyder dkk., 2010.
E. Landasan Teori
Asam askorbat merupakan salah satu senyawa yang digunakan sebagai agen pemutih kulit. Jumlah asam askorbat dalam produk pemutih kulit perlu untuk
dipastikan kebenarannya dengan klaim label agar konsumen tidak dirugikan. Sifat asam askorbat yang mudah terdegradasi oleh paparan cahaya, peningkatan suhu,
peningkatan pH, oksigen dan katalis logam merupakan salah satu penyebab ketidaksesuaian jumlah asam askorbat dalam produk dengan klaim label. Dalam
penelitian ini, asam askorbat yang akan diteliti berada dalam sampel larutan injeksi obat pemutih kulit.
KCKT dapat digunakan untuk melakukan pemisahan asam askorbat dari sampel larutan injeksi obat pemutih kulit. Pemisahan yang dilakukan dengan
KCKT merupakan pemisahan yang berdasarkan tingkat kepolaran dan interaksi analit dengan fase gerak dan fase diam pada metode KCKT ini. Analit yang sudah
dipisahkan dengan KCKT akan dideteksi oleh detektor UV karena asam askorbat memberikan absorban pada panjang gelombang UV. Asam askorbat memiliki
gugus kromofor dan auksokrom pada struktur sebagai syarat senyawa yang dapat dideteksi dengan detektor UV. Nilai
1 1cm
E asam askorbat adalah 556a pada pelarut
asam, λ 243 nm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa senyawa asam askorbat cukup sensitif dan dapat dideteksi dengan detektor UV. Nilai absorbtivitas molar
asam askorbat adalah 9791,15 M
-1
. cm
-1
. Nilai tersebut menunjukkan bahwa asam askorbat akan mengalami transisi
π π
→ . Jenis transisi ini merupakan transisi
yang cocok untuk analisis pada rentang panjang gelombang antara 200-400 nm dan dapat diaplikasikan pada spektrofotometer.
Sistem KCKT fase terbalik yang optimal diperlukan untuk melakukan penetapan kadar asam askorbat dalam sediaan larutan injeksi obat pemutih kulit,
sehingga di penelitian ini dilakukan optimasi sistem KCKT fase terbalik untuk mendapatkan metode KCKT fase terbalik yang mampu memisahkan asam
askorbat dari matriks sampel secara optimal. Variabel yang akan dioptimasi dalam penelitian ini adalah komposisi dan kecepatan alir fase gerak. Variasi
perbandingan fase gerak dan kecepatan alir fase gerak dilakukan untuk melihat perbandingan berapa yang akan memberikan pemisahan optimal. Parameter
optimasi yang harus dipenuhi adalah bentuk puncak, nilai resolusi antara puncak asam askorbat dengan puncak terdekat senyawa lain, nilai koefisien variansi dari
nilai resolusi antara puncak asam askorbat dengan puncak terdekat senyawa lain, tailing factor, HETP, area under curve AUC dan waktu retensi asam askorbat.
F. Hipotesis