Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bencana alam berupa gempa bumi melanda wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05:54:00.0 WIB. Gempa Gempa dengan kekuatan 5,9 Skala Richter dan pusat gempa berada di laut 37,2 km selatan Yogyakarta dengan posisi 8 LS – 110.31 BT dan kedalaman 11,8 km Berita Gempa Bumi No: 66NSCV2006, BMG. Gempa menyisakan kerusakan yang parah pada aspek fisik dan non-fisik. Akibat utama yang ditimbulkan gempa bumi adalah hancurnya bangunan-bangunan karena goncangan tanah. Jatuhnya korban jiwa biasanya karena tertimpa reruntuhan bangunan, terkena longsor dan kebakaran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2006. Para korban gempa banyak yang mengalami kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan barang-barang pribadi yang berharga dan mengalami luka fisik Vivinne, dalam Bencana dan Kita, 2006. Hasil dari pendataan Seksi Bina Program Dinas Kesehatan DIY pemda-diy.go.id, 2010 mencatat 891 orang penderita cacat tubuh permanen akibat cedera gempa sehingga menempati urutan tertinggi dibandingkan penderita cacat yang lain. Salah satu kecacatan permanen dan yang paling parah adalah cedera sumsum tulang belakang atau paraplegia. Cedera ini biasanya diakibatkan oleh kecelakaan yang memutuskan atau sangat merusak urat saraf pusat di leher atau punggung Werner, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kondisi kecacatan paraplegia ini termasuk dalam kategori kecacatan yang parah karena mereka tidak mampu lagi untuk bisa berjalan kembali, kaki menjadi layuh yang berakibat terhambatnya mobilitas gerakan. Werner 2002 mengatakan bahwa ciri-ciri khusus paraplegia adalah penderita merasakan hilangnya gerakan terkendali dan daya rasa di tungkai, panggul dan sebagian batang tubuh mungkin berpengaruh. Semakin tinggi letak cedera, semakin banyak yang terpengaruh. Penderita mengalami kehilangan kontrol urine dan usus besar sebagian bahkan menyeluruh. Selain itu, penderita mengalami spastisitas atau kejang-kejang otot serta tungkainya lemas dan lunglai. Kondisi dimana sebelumnya mereka sehat secara fisik dan mampu melakukan banyak aktivitas menjadi lumpuh, mobilitas terganggu dan berakibat pada munculnya masalah terhadap mental mereka seperti merasa tidak berdaya, cemas, takut, dan marah karena tidak bisa menerima kondisi kecacatannya tersebut Sharma, 2005. Hal tersebut dipertegas oleh Dianawati 2005 menjadi cacat diartikan oleh sebagian besar orang adalah menjadi orang yang gagal dan tidak mampu. Paraplegia termasuk dalam kategori penyakit akut yang dapat mengakibatkan penderita mengalami gangguan psikologis Kinshi, Robinson and Kosier, 2001, mereka menjadi sulit untuk bisa menerima kondisi dirinya karena menjadi cacat. Hal tersebut bisa disebabkan karena tingkat kesembuhan yang dialami penderita paraplegia sangat kecil dan penyakit ini bersifat permanen. Hal tersebut dikuatkan oleh Suhartono 1976 berpendapat bahwa mereka yang mengalami kecacatan bukan dari sejak kecil akan sulit untuk menrima diri. Kompleksnya masalah penerimaan akan kondisi fisik yang dialami oleh penderita paraplegia seperti terhambatnya mobilitas, gangguan saluran pencernaan, gangguan s aluran kemih O‟Connor, dkk, 2004 hingga masalah fungsi seksual Stien, 1999 berakibat pada munculnya gejala psikologis seperti depresi, kurang percaya diri, malu, kecewa, menjadi pemurung hingga perubahan perilaku Brown, 1999. Hal tersebut akan memperkuat seseorang untuk menolak atau bahkan acuh tak acuh akan kondisi dirinya yang sekarang, atau berpikir kurang realistis. Masalah Penerimaan akan kondisi fisik diri pada penderita paraplegia harus didukung dengan kemampuan untuk mengenal dan mengetahui kondisi fisik diri, hal tersebut akan memunculkan penerimaan akan dirinya Jung, dalam Schultz, 1991. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rubin Gardner, 2002 yaitu suatu sikap yang mencerminkan adanya rasa senang sehubungan dengan kenyataan yang ada sehingga individu memiliki emosi yang spontan, fleksibel dalam menghadapi perasaannya, disertai sikap dan perilaku yang wajar, tidak dibuat-buat dan tanpa ada yang disembunyikan. Penerimaan diri merupakan suatu sikap akan kepuasan terhadap diri akan perubahan yang terjadi pada kondisi fisiknya Chaplin, 1999. Rasa puas yang diikuti rasa bangga, percaya diri akan kondisi diri yang dapat meningkatkan penerimaan diri yang positif pada dirinya. Menurut Perls dalam Schultz, 1991 orang yang sehat secara psikologis memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap diri mereka siapa dan apa. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Penerimaan akan kondisi fisik diri penderita paraplegia yang diakibatkan karena gempa, tidak begitu saja muncul, memerlukan waktu dan proses yang lama terlebih karena kecacatannya tersebut bukan dari kecil atau lahir. Seiring dengan munculnya penerimaan akan kondisi fisik diri yang menimpa penderita paraplegia dipengaruhi pula oleh dukungan, bantuan, maupun pendampingan dari pihak diluar diri yaitu anggota keluarga, masyarakat dan lembaga yang dipersiapkan untuk membantu para korban bencana penderita paraplegia. Dukungan maupun pendampingan dari keluarga sangat dibutuhkan bagi mereka penderita paraplegia dikarenakan kondisi mereka yang memang membutuhkan bantuan dari pihak luar. Keluarga yang mendampingipun harus mengetahui bagaimana merawat dan mengetahui kebutuhan dari penderita paraplegia . Perawatan secara fisik saja tidak cukup untuk membuat penderita paraplegia dapat menerima kondisi fisik kecacatannya, memerlukan bantuan dan pendampingan dari pihak lain yang memang dipersiapkan untuk membantu secara psikologis dalam menangani masalah psikologis penderita paraplegia dalam upaya untuk memaksimalkan kemampuan diri. Pendampingan di dalam keluarga adalah upaya untuk mendampingi penderita kecacatan supaya mereka dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Keluarga mengambil peran yang penting untuk kesembuhan penderitanya, namun setiap keluarga memiliki sifat dan perlakuan yang berbeda, jika dalam proses pendampingan ternyata kurang tepat maka akan berakibat buruk pada perkembangan fisik dan mental si penderita. Banyak kasus penyandang cacat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang dalam kesehariannya kurang mendapat dukungan dari orang sekitarnya maupun keluarganya karena dianggap tidak mampu Affrida, 2007. Jenis bantuan lain yang juga berpengaruh terhadap kesembuhan dan kehidupan penyandang cacat paraplegia adalah berupa bantuan fisik, yang dapat berupa rumah atau bangunan, sarana kesehatan, dana atau uang, pemberian alat bantu kecacatan hingga dalam wujud perawatan kesehatan. Kenyataan yang ada dilapangan banyaknya bantuan fisik yang diberikan oleh pihak pemerintah, donatur, lembaga sosial baik dari dalam maupun luar negeri, namun terkadang bantuan secara fisik tidak banyak membantu, hal tersebut dikarenakan permasalahan yang dihadapi penderita kecacatan paraplegia sangat kompleks. Selain permasalahan secara fisik, mereka juga mengalami permasalahan secara psikologis, salah satunya adalah penerimaan akan kondisi fisik diri. Bantuan yang diberikan bukan berupa bantuan fisik adalah bantuan non- fisik yang salah satunya berupa pendampingan secara psikologis. Pendampingan adalah salah satu jenis layanan psikologis Wiryasaputra, 2006, yang hanya bisa diberikan oleh mereka yang sudah dipersiapkan atau memiliki pengetahuan untuk mendampingi para korban akibat bencana alam. Pendampingan diberikan supaya orang yang didampingi dapat sembuh, berdaya dan berfungsi pnuh untuk mencukupi kebutuhannya secara mandiri. Tujuan pendampingan psikologis ini adalah membantu seseorang yang berada dalam keadaan krisis. Krisis yang dimaksud adalah kondisi seseorang yang sedang dalam masa-masa sulit yang berakibat pada kegoncangan batin karena terkait oleh karena menderita suatu penyakit, sakit yang berkepanjangan, bencana alam, tidak ada harapan, putus, depresi dan stress dalam kehidupan sehari-hari Thomas, dalam Wiryasaputra, 2006. Selain itu, pendampingan psikologis juga bertujuan untuk menyembuhkan, menopang, membimbing, memperbaiki hubungan dan mendayagunakan individu untuk kehidupan yang lebih baik. Proses pendampingan psikologis ini diberikan oleh para tenaga ahli yang sudah dipersiapkan untuk keadaan darurat melalui suatu program rehabilitasi. Program rehabilitasi tersebut adalah program yang didalamnya terdapat serangkaian kegiatan seperti perawatan luka, sosialisasi dan pemberian alat bantu maupun pendampingan psikologis. Rehabilitasi berarti proses mempercepat sosialisasi atau berfungsi secara wajar dari keadaan sebelumnya Latipun, 2001. Rehabilitasi memiliki tujuan untuk mengembalikan persepsi dan emosi sehingga para korban dapat memandang dirinya yang ada lebih positif dan dapat berbuat lebih tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki. Rehabilitasi ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang disiapkan dan ahli dalam bidangnya. Proses ini diberikan oleh suatu lembaga yang bergeak juga dalam bidang rehabilitasi, yaitu Pusat Reahabilitasi Yakkum, kepada penyandang cacat paraplegia korban gempa. Pusat Rehabilitasi Yakkum PRY adalah salah satu lembaga non- pemerintah yang memberi pelayanan terhadap orang-orang cacat. Visi dan misi dari PRY adalah merehabilitasi para penyandang cacat agar mereka bisa mandiri dan hidup secara normal di masyarakat. Lembaga ini juga turut ikut ambil bagian dalam proses pemulihan pasca gempa di Bantul. Pelayanan yang diberikan meliputi assesment medis, perawatan luka, pemberian terapi yaitu Fisioterapi dan Okupasi Terapi. Selain itu, PRY mempunyai program pendampingan psikologi dari unit Psikososial. Bantuan dan pelayanan yang diberikan PRY meliputi bantuan fisik dan non-fisik dengan melibatkan dan diawasi oleh para ahli dibidangnya. Tidak hanya pada bantuan fisik saja yang diberikan kepada korban gempa Bantul, namun bantuan lain yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan diri secara mental yaitu berupa bantuan psikologis. Pendampingan secara psikologis ini menjadi salah satu program yang dilakukan oleh PRY yang diberikan kepada semua korban gempa, terutama mereka yang mengalami luka atau kecacatan yang ringan maupun parah, yang sementara ataupun permanen, salah satunya adalah penderita paraplegia. Penerimaan akan kondisi fisik diri bagi penderita paraplegia adalah salah satu yang utama yang harus dilakukan sebagai proses pemulihan diri, yaitu untuk menumbuhkan dan mengembangkan mental bagi penderitanya. Hal tersebut menjadi topik dalam penelitian ini, yaitu melihat perbedaan penerimaan kondisi fisik diri penderita paraplegia korban gempa antara yang mendapatkan pendampingan dengan penderita paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Rumusan Masalah