Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya

2.2. Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan biologis oleh enzim atau mikroorganisme pembusuk, sehingga memerlukan penanganan yang khusus untuk mempertahankan mutunya. Ikan sebagai bahan mentah yang cepat mengalami pembusukan, maka perlu diterapkan teknik penanganan yang baik meliputi waktu penanganan, temperatur dan kebersihan Astawan et al. 1993; Soenardi 2005. Mutu kesegaran ikan dinilai berdasarkan sejauh mana ikan tersebut masih segar Syah 2004. Ikan segar merupakan ikan yang baru saja ditangkap belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu tidak berubah serta tidak mengalami kerusakan SNI 01-2729-1992. Nilai kesegaran ikan ditentukan oleh kondisi tempat penangkapan, metode penangkapan dan penanganan yang dilakukan terhadap ikan. Nilai kesegaran ikan menunjukkan mutu ikan tersebut. Tingkat mutu ikan ditentukan oleh kenormalan semua variabel sensori yang meliputi penampakan, tekstur dan bau. Semua variabel sensori ini memiliki hubungan dengan sifat fisiko-kimia ikan Botta 1994. Menurut Yunizal dan Wibowo 1998 untuk mengenali segar tidaknya ikan dapat dilakukan pengamatan visual terhadap penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang dan adanya lendir, meraba adanya lendir dan kelenturan ikan, menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan mencium bau ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisiko-kimia dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya bermuara pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah pre-rigor, rigormortis, autolisis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh. Lendir yang dilepaskan tersebut sebagian besar terdiri dari glukomukoprotein Rahayu et al. 1992. Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar adenosin triphosphate ATP dan keratin fosfat seperti halnya pada reaksi glikolisis Eskin 1990. Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan FAO 1995. Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Setelah itu, ikan memasuki tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Fase rigormortis dianggap penting, karena pada fase ini belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan segar Eskin 1990. Rigormortis merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada daging ikan segera setelah ikan mati, ditunjukkan oleh perubahan kreatin fosfat menjadi ATP dan dimulai pada saat kandungan ATP mulai berkurang. Senyawa ATP terus terdegradasi dan tingkat rigormortis sempurna terjadi pada saat konsentrasinya mencapai 1 µmolg Mazzarano-Manzano et al. 2000. Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak dan lentur kembali. Keadaan ini berlangsung selama 1–7 jam sesaat setelah ikan mati. Nilai pH ikan pada fase ini sekitar 6–7 Eskin 1990. Tahapan kemunduran mutu ikan Sakaguchi 1990 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tahapan kemunduran mutu ikan Parameter Tahapan kemunduran mutu ikan Pre-rigor Rigormortis Post-rigor Pembusukan Penampakan umum Cerah dengan kilauan metalik Kilau menurun Warna memudar atau pucat Kondisi permukaan Bersih dan transparan Keruh, opaq seperti susu Tebal, lengket, kelabu Warna insang Merah cerah atau merah segar Merah kecoklatan Coklat atau kelabu Bau insang Bau segar Asam atau anyir Sangat asam Resistensi daging Lembut dan elastis Keras dan elastis Elastisitas menurun Lunak dan lembek Penampakan daging Semi transparan Keruh Sumber: Sakaguchi 1990 Marioka et al. 1999 menjelaskan bahwa kondisi post-rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya. Proses autolisis akan menyebabkan penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu peptida, asam amino dan amonia yang akan meningkatkan nilai pH daging ikan. Autolisis ditandai dengan adanya senyawa amonia, yang pada tahap sebelumnya tidak dihasilkan pada jaringan tubuh ikan FAO 1995. Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan oleh aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat, sebab pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah Clucas dan Ward 1996.

2.3. Mikrobiologi Ikan Segar