HEA menunjukkan koloni berwarna coklat, pada media Xylose Lysine Dextro Agar
XLDA koloni yang tumbuh berwarna kuning, sedangkan pada media Bismuth Sulfit Agar
BSA koloni yang tumbuh berwarna kehijauan. Artinya koloni yang tumbuh pada media-media tersebut diduga bukan koloni Salmonella,
tetapi mikroba lain yang mampu tumbuh pada media tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku jeroan yang digunakan tidak terkontaminasi
Salmonella dan sanitasi pengolahan selama proses fermentasi dipraktekkan
dengan baik. Kemungkinan lain ketidakmampuan Salmonella tumbuh dalam media selektif adalah karena adanya garam tinggi 25 sebagai media dalam
proses fermentasi jeroan, dimana Salmonella adalah bakteri yang tidak tahan pada kondisi garam tinggi. Menurut Supardi dan Sukamto 1999 Salmonella dapat
dihambat pada konsentrasi garam ringan 6 dan pH di bawah 4,5. Lebih lanjut ditambahkan Jenie 2000 pengaruh garam selama fermentasi dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen seperti Clostridium botulinum dan Salmonella.
4.3. Karakteristik Bakasang pada Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi dan Lama Penyimpanan
Jeroan hasil fermentasi selanjutnya dilakukan pemasakan untuk dijadikan bakasang dan disimpan pada suhu kamar selama 90 hari 0, 30, 60, 90,
menggunakan bahan pengemas botol gelaskaca Pyrex 250 ml yang sudah disterilkan Lampiran 9. Sifat utama dari kemasan ini diantaranya tahan pecah,
tembus pandang dan jernih. Penyimpanan bakasang dilakukan selama 90 hari pada suhu kamar
dengan tujuan untuk mengetahui perubahan mutu secara kimia dan mikrobiologi terhadap bakasang dalam jangka waktu yang relatif lama. Pengujian dilakukan
setiap 30 hari penyimpanan, terhitung mulai 0, 30, 60 dan 90 hari. Analisis kimia dan mikrobiologi yang dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik
bakasang selama penyimpanan meliputi kadar air, protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba dan total kapang.
4.3.1. Kadar air Keawetan bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air.
Semakin rendah kadar air dalam bahan pangan diharapkan dapat memperpanjang masa simpannya. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan
bahan makanan terhadap serangan mikroba Winarno 1997. Hasil analisis kadar air bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Histogram rata-rata kadar air bakasang selama penyimpanan Nilai kadar air bakasang dipengaruhi secara nyata oleh lama fermentasi
dan lama penyimpanan, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh Lampiran 10a . Gambar 12 menunjukkan terjadi peningkatan kadar air selama
fermentasi dan selama penyimpanan. Uji lanjut Duncan Lampiran 10b menunjukkan bahwa pengaruh lama fermentasi 8 hari berbeda nyata dengan lama
fermentasi 2, 4 dan 6 hari. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi garam, terjadi hidrolisis enzimatis senyawa protein menjadi turunan yang lebih
sederhana. Selama fermentasi, akan terjadi perubahan secara biokimia yang ditandai
dengan penguraian komponen makro seperti protein, lemak dan karbohidrat akan diuraikan oleh mikroorganisme dan enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan
baku menjadi molekul yang lebih sederhana seperti peptida dan asam amino,
Lama fermentasi hari ke-
lipida dan glukosa yang menghasilkan dan melepaskan molekul air H
2
O Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993.
Hasil uji
Duncan Lampiran 10c menunjukkan bahwa lama
penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan ketiga lama penyimpanan 30
,
60 dan 90 hari. Lama penyimpanan 30 hari berbeda nyata dengan 90
hari, tetapi tidak berbeda nyata dengan 60 hari. Perbedaan ini diduga terkait dengan adanya laju
penguapan yang berbeda-beda selama penyimpanan bakasang pada suhu kamar. Hal ini didukung oleh pernyataan Ariningsih 1992; Gunadi 1991;
Huffman et al. 1996 meningkatnya kadar air selama penyimpanan suhu kamar disebabkan oleh adanya penyerapan air dari ruang penyimpanan kedalam bahan
pangan, dimana pada suhu ruang kelembabannya RH menjadi meningkat. 4.3.2. Kadar protein
Protein merupakan suatu zat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga berfungsi sebagai bahan
bakar dalam tubuh Winarno et al. 1993. Hasil analisis kadar protein bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Histogram rata-rata kadar protein bakasang selama penyimpanan Gambar 13 menunjukkan terjadi penurunan kadar protein bakasang
seiring dengan lamanya fermentasi dan lamanya penyimpanan. Hasil analisis
Lama fermentasi hari ke-
ragam menunjukkan bahwa lama fermentasi dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata, tetapi interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar
protein bakasang yang dihasilkan Lampiran 11a. Uji
lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kadar protein seluruh perlakuan jeroan pada lama fermentasi 2 hari berbeda nyata dengan ketiga perlakuan
4, 6 dan 8 hari Lampiran 11b. Hal ini ada hubungannya dengan penambahan
garam dan aktivitas mikroba proteolitik selama fermentasi, dimana pada fermentasi 2
hari, hidrolisis enzim dan pemecahan makromolekul yang ada pada jeroan belum terjadi secara nyata, dimana mikroba yang berperan dalam
fermentasi sebagai pengurai protein masih menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Selama proses fermentasi menggunakan garam, meresapnya garam ke dalam jaringan daging ikan akan menimbulkan berbagai perubahan fisiko-kimia
maupun mikrobiologi sehingga pemecahan makromolekul protein, lemak dan karbohidrat berubah menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim proteolitik
yang terdapat dalam jeroan Winarno et al. 1993; Hidayat et al. 2006. Hasil
uji Duncan
menunjukkan bahwa kadar protein selama penyimpanan bakasang pada 0, 30, 60 dan 90 hari berbeda nyata satu dengan
lainnya Lampiran 11c. Hal ini diduga karena proses pemasakan dan penyimpanan pada suhu ruang dapat mempengaruhi perubahan kandungan dalam
bahan pangan utamanya protein menjadi senyawa turunannya seperti peptida, oligopeptida dan asam amino.
Menurut Kimura
et al . 2001; Lopetcharat et al. 2001 pemasakan
perebusan, pengukusan dan pemanggangan serta penyimpanan dapat menyebabkan protein, peptida dan asam amino terurai menjadi komponen
turunannya yang mempunyai berat molekul rendah dan berkontribusi terhadap nilai flavor rasa dan aroma. Lebih lanjut ditambahkan oleh Lenah 1993
protein daging ikan akan terpecah menjadi miogen, miosin, aktomiosin, peptida dan asam amino pada saat pemasakan. Ajandouz et al. 2001 menyatakan bahwa
menurunnya gizi protein selama pengolahan dan pemasakan akibat suhu tinggi dapat menyebabkan penurunan kualitas protein, yaitu hilangnya residu asam
amino dan daya cerna.
4.3.3. Nilai pH Sifat keasaman dan kebasaan suatu bahan pangan dapat diukur dengan
nilai pH Surono 2004. Nilai pH juga merupakan salah satu faktor kimia yang sangat mempengaruhi keawetan bahan pangan karena berhubungan dengan
mikroba, dimana mikroba dapat hidup dan berkembang biak di dalam lingkungan dengan kondisi pH tertentu Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006.
Hasil analisis nilai pH bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Histogram rata-rata nilai pH bakasang selama penyimpanan Nilai pH bakasang selama penyimpanan 90 hari berada pada kisaran pH
5,73 sampai 6,23. Gambar 14 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai pH bakasang seiring dengan lamanya penyimpanan pada setiap lama fermentasi.
Kisaran pH pada awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan dalam kondisi asam dan mendekati pH netral pH 7. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
nilai pH bakasang hanya dipengaruhi oleh lama penyimpanan, sedangkan lama fermentasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh Lampiran 12a. Uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan
lama penyimpanan 30 dan 90 hari, tetapi tidak berbeda dengan lama penyimpanan
60 hari. Lama penyimpanan 30 hari berbeda nyata dengan lama penyimpanan 60 dan 90 hari, sedangkan lama penyimpanan 60 hari berbeda nyata dengan lama
penyimpanan 90 hari Lampiran 12b.
Lama fermentasi hari ke-
Gambar 14 menunjukkan terjadi penurunan nilai pH pada awal penyimpanan dari setiap lama fermentasi. Penurunan nilai pH pada awal
penyimpanan disebabkan adanya aktivitas dari bakteri dan kapang penghasil asam selama proses fermentasi garam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kimura et al.
2001; Berna et al. 2005 selama fermentasi, nilai pH dipengaruhi oleh adanya bakteri halofilik yang menghasilkan metabolit asam seperti bakteri asam laktat
Lactobacillus acidophilus dan kapang Aspergillus niger.
Semakin tinggi penggunaan garam, bakteri asam laktat yang terbentuk semakin banyak dan semakin besar pula perubahannya terhadap nilai pH Surono
2004. Peningkatan nilai pH terjadi lagi setelah awal penyimpanan dan keadaan ini berkaitan dengan tingginya nilai total mikroba Gambar 16, dimana mikroba
tersebut mampu mendegradasi protein, peptida dan asam amino menjadi derivatnya yang bersifat volatil seperti ammonia, indol, H
2
S, merkaptan, fenol, kresol dan skatol Aurand et al. 1987; Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993.
Lebih lanjut Berna et al. 2005 menambahkan bahwa pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan dan peningkatan nilai pH berhubungan dengan
kandungan nitrogennya. 4.3.4. Kadar histamin
Sims 1992; Rawles et al. 1996; Lehana dan Olley 2000; McLauchlin et al. 2005 menyatakan histamin adalah senyawa biogenik amin
yang terdapat di dalam daging dan jaringan ikan yang dapat menyebabkan keracunan maupun alergi. Histamin dihasilkan dari perombakan histidin oleh
enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri. Pembentukan histamin dipengaruhi oleh faktor waktu, suhu, jenis bahan baku dan banyaknya
bakteri pembentuk histamin dalam daging dan jaringan ikan Taylor dan Alasalvar 2002 menambahkan bahwa histamin yang telah
dihasilkan bersifat tahan panas, walaupun ikan telah dimasak, dikalengkan atau dipanaskan sebelum dikonsumsi, histamin yang ada tidak dapat dihancurkan atau
dihilangkan. Nilai kadar histamin bakasang pada awal sampai akhir penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Histogram rata-rata kadar histamin bakasang selama penyimpanan Kadar histamin yang dihasilkan oleh bakasang selama penyimpanan
90 hari dari setiap lama fermentasi mengalami peningkatan. Hasil analisis ragam Lampiran 13a menunjukkan bahwa lama fermentasi, lama penyimpanan dan
interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar histamin bakasang. Uji lanjut Duncan Lampiran 13b menunjukkan bahwa interaksi
antara lama fermentasi 2 hari pada lama penyimpanan 0 hari F
2
P berbeda nyata
dengan lama fermentasi 6 hari pada lama penyimpanan 90 hari F
6
P , dan lama
fermentasi 8 hari pada lama penyimpanan 90 hari F
4
P
90
terhadap kadar histamin bakasang.
Kadar histamin mengalami peningkatan seiring dengan lamanya fermentasi dan lamanya penyimpanan meskipun nilainya masih relatif kecil yaitu
dari 18,59 ppm meningkat menjadi 64,20 ppm. Nilai-nilai tersebut masih aman karena berada di bawah standar yang ditetapkan oleh Ditjen P
2
HP DKP 2007 yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Adanya kandungan histamin
pada setiap lama fermentasi berkaitan dengan adanya bakteri yang mampu mendekarboksilasi asam amino histidin bebas menjadi histamin pada saat
penanganan sampai proses pengolahan jeroan fermentasi, dimana jeroan merupakan tempat akumulasinya bakteri pembusuk.
Lama fermentasi hari ke-
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yatsunami dan Echigo 1991; Yatsunami dan Echigo 1992 menunjukkan bahwa bakteri penghasil
histamin yang berhasil diisolasi dari produk fermentasi bergaram seperti kecap ikan adalah Staphylococcus, Vibrio, Escherichia dan Pseudomonas sp. Lebih
lanjut Kimura et al. 2001; Kung et al. 2005; Dissaraphong et al. 2006 menambahkan bahwa keberadaan senyawa biogenik amin dipengaruhi oleh
keberadaan dan kelimpahan dari asam amino bebas, keberadaan mikrooganisme yang mampu mendekarboksilasi asam amino dan kondisi pH serta suhu yang
memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memproduksi enzim. Hernandez et al. 1999; Gildberg dan Thongthai 2001; Kimura et al.
2001 bahwa bakteri penghasil histamin yang diisolasi dari produk fermentasi lebih banyak berasal dari bakteri asam laktat halofilik yang tahan terhadap garam
tinggi seperti Staphylococcus epidermidis, S. captitis dan Tetragenococcus muriaticus
, sedangkan Ishizuka et al. 1993; Leuschner at al. 1998 melaporkan pada fermentasi daging tuna yang disimpan pada suhu ruang dapat menghasilkan
senyawa histamin lebih didominasi oleh bakteri asam laktat khususnya Pediococcus acidilactid
. Pembentukan histamin selama fermentasi bisa disebabkan oleh
penangaan bahan baku yang tidak tepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno et al. 1993; Yongsawatdigul et al. 2004 tingginya jumlah histamin
dalam produk fermentasi disebabkan karena aktivitas senyawa biogenik amin dengan bahan mentah dan penanganan yang salah. Bahan mentah yang tidak
segar dan penanganan yang salah memberikan peluang tingginya aktivitas mikroba pengurai histidin menjadi histamin dalam makanan menjadi tinggi pula.
Peningkatan kadar histamin selama penyimpanan 90 hari diduga karena pengaruh suhu ruang penyimpanan dan aktivitas bakteri dekarboksilasi
pembentuk histamin, dimana bakteri pembentuk histamin lebih cepat tumbuh pada suhu tinggi daripada suhu rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan FDA 2001
bahwa batas suhu pertumbuhan bakteri pembentuk histamin pada daging dan jaringan ikan yaitu 4,4
C, sedangkan pada suhu penyimpanan 0 C hanya sedikit
pembentukan histamin. Lebih lanjut ditambahkan Lehana dan Olley 2000;
Suhu optimum yang mampu meningkatkan pembentukan histamin adalah pada suhu 27-28
C. Menurut
Keer et al
. 2002 suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25
C dan perkembangannya terjadi bila lebih dari suhu optimumnya. Dapkevicius et al. 2000 melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin paling
dominan dalam pasta ikan yang mampu mendegradasi histidin menjadi histamin adalah Lactobacillus sake.
4.3.5. Total mikrobaTotal Plate Count TPC Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba,
kegiatan enzim dan perubahan kimia. Mikroba merupakan penyebab utama kerusakan bahan pangan. Adanya pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan
dapat menyebabkan kerusakan dan kemunduran yang ditandai adanya perubahan- perubahan seperti penampakan, bau, rasa, tekstur, serta terbentuknya komponen-
komponen yang bersifat racun. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba menyebabkan bahan pangan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan berbahaya
bagi kesehatan Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006. Log total mikroba yang dihasilkan pada bakasang berkisar 4,33
3,74 x 10
3
Cfug pada awal penyimpanan menjadi log 8,34 2,17 x 10
6
Cfug pada akhir penyimpanan Gambar 16. Mengacu pada standar yang ditetapkan
SNI 01-2718-1996 bahwa batas maksimum TPC untuk produk petis udang adalah 10
5
Cfug. Artinya nilai TPC pada akhir penyimpanan sudah melebihi standar yang ditetapkan. Hasil analisis ragam Lampiran 14a menunjukkan bahwa lama
fermentasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap log total mikroba bakasang.
Hasil uji
Duncan menunjukkan bahwa lama fermentasi 2 hari berbeda
nyata dengan lama fermentasi 4, 6 dan 8 hari Lampiran 14b. Selama proses fermentasi terjadi peningkatan total mikroba Gambar 16. Hal ini berkaitan
dengan karakteristik bahan baku jeroan, dimana mikroflora alami banyak ditemukan di dalamnya, selain itu pengaruh penambahan garam tinggi 25
mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan sebaliknya merangsang pertumbuhan mikroba tertentu untuk berperan selama proses fermentasi. Hasil
uji log total mikroba pada bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Histogram rata-rata log total mikroba bakasang selama penyimpanan Semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin memicu
pertumbuhan beberapa mikroorganisme seperti bakteri asam laktat, beberapa bakteri golongan halofilik tahan terhadap garam dan kapang yang bersifat
halofilik Ilyas 1993; Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yatsunami dan Takenaka 1994; Chaiyanan et al. 1999
menunjukkan bahwa jenis bakteri halofilik dan halotoleran yang berhasil diidentifikasi oleh antara lain Staphylococcus dan Halobacterium pada daging
sardin yang difermentasi dengan beras. Kimura et al. 2001 berhasil mengidentifikasi Tetragenococcus muriaticus dan T. halophillus pada produk
petis, sedangkan Tsai et al. 2007 berhasil mengidentifikasi Corynebacterium dan Micrococcus pada produk kecap, pasta ikan dan pasta udang.
Uji lanjut
Duncan Lampiran 14c terhadap lama penyimpanan
menunjukkan bahwa bakasang pada lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan bakasang pada lama penyimpanan 30, 60 dan 90 hari. Pada awal
penyimpanan 0 hari, pertumbuhan mikroba berada dalam fase lag adaptasi, dimana mikroba belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa
volume. Pada fase tersebut, mikroba lebih banyak melakukan adaptasi dengan lingkungan, selanjutnya pada lama penyimpanan 30 hari sampai akhir
Lama fermentasi hari ke-
penyimpanan 90 hari, log total mikroba secara tajam mengalami lonjakan jumlah sel, dimana ketersediaan nutrisi dan oksigen masih cukup untuk
dimanfaatkan oleh mikroba. Tingginya kandungan log total mikroba pada lama penyimpanan 30, 60 dan 90 hari diduga oleh berkembangnya bakteri termofilik
yang tahan pada suhu tinggi ketika jeroan dimasak dan beberapa mikroba yang tahan terhadap suhu ruang pada saat penyimpanan bakasang.
Bakteri yang tahan pada suhu pemasakan adalah golongan bakteri penghasil spora seperti Clostridium dan Bacillus Winarno et al. 1993; Supardi
dan Sukamto 1999. Lebih lanjut Jenie et al. 2000 menambahkan bahwa proses pemanasan dapat mengubah tidak hanya komposisi kimia makanan tetapi
juga strukturnya dengan melunakkan jaringan, melepaskan atau mengikat air, menghancurkan atau membentuk suspensi koloidal, gel atau emulsi dan
mengubah kemampuan penetrasi makanan terhadap air dan oksigen. Protein dapat terdenaturasi sehingga lebih mudah digunakan oleh sebagian
mikroorganisme. Pati atau protein dapat tergelatinasi melepaskan air dan menjadi lebih mudah terdekomposisi. Sifat-sifat makanan tersebut akan
dimanfaatkan oleh mikroba dan menentukan jumlah dan jenis mikroba yang akan tumbuh.
4.3.6. Total kapang Pertumbuhan dan aktivitas mikroba seperti kapang merupakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Pertumbuhan kapang membutuhkan kondisi fisik tertentu seperti kelembaban, temperatur, pH, nutrisi
dan oksigen Rahyu et al. 1992; Winarno et al. 1993. Hasil analisis total kapang terhadap bakasang menunjukkan terjadi
peningkatan dari log 3,28 1,93 x 10
2
Cfug pada awal penyimpanan menjadi log 8,39 2,49 x 10
6
Cfug pada akhir penyimpanan Gambar 17. Total kapang pada bakasang dipengaruhi secara nyata oleh lama fermentasi, lama penyimpanan dan
interaksi keduanya Lampiran 15a. Hasil analisis log total kapang pada bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Histogram rata-rata log total kapang bakasang selama penyimpanan Uji
lanjut Duncan
Lampiran 15b menunjukkan bahwa interaksi antara bakasang hasil lama fermentasi 2 hari pada penyimpanan 0 hari F
2
P berbeda
nyata dengan bakasang lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 90 hari F
8
P
90
. Perbedaan ini diduga pengaruh suhu selama fermentasi dan selama penyimpanan
pada suhu kamar, dimana pada suhu tersebut kapang dapat tumbuh dengan baik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang antara lain
suhu, kebutuhan oksigen dan kebutuhan nutrisi. Kapang dapat tumbuh baik pada suhu kamar, dimana suhu optimum pertumbuhannya sekitar 25-35
C, tetapi beberapa dapat tumbuh baik pada suhu 35-37
C atau lebih tinggi seperti Aspergillus
. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu 2,0-8,5, tetapi biasanya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH
rendah. Kebanyakan kapang memproduksi enzim hidrolitik, misalnya amilase, pektinase, proteinase dan lipase sehinga dapat tumbuh baik pada makanan yang
mengandung pati, pektin, protein dan lemak Hidayat et al. 2006. Penyimpanan bakasang pada suhu kamar menunjukkan terjadi
peningkatan pada awal sampai pada 30 hari penyimpanan Gambar 17. Hal ini diduga bahwa sokongan nutrisi pada lingkungan masih memadai lagi sehingga
akhirnya terjadi peningkatan jumlah. Penurunan jumlah
sel terjadi
pada penyimpanan 60 hari dan meningkat kembali pada penyimpanan 90 hari. Hal ini
diduga, pada penyimpanan 60 hari sel mengalami fase stasioner, dimana sokongan
Lama fermentasi hari ke-
nutrisi pada lingkungan sudah tidak memadai lagi dan aktivitas metabolit anti-kapang masih terjadi sehingga kemerosotan jumlah sel pun terjadi akibat
banyak sel yang sudah tidak mendapatkan nutrisi lagi dan akhirnya pada titik ekstrim menyebabkan terjadinya penurunan total kapang.
Tiga penyebab utama terjadinya penurunan jumlah total kapang pada fase tersebut yaitu ketidaktersediaan nutrisi, penumpukan senyawa metabolit
penghambat dan kekurangan ruang gerak Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al.
2006. Peningkatan log total kapang terjadi kembali pada lama penyimpanan 90 hari. Hal ini diduga bahwa aktivitas senyawa metabolit anti-
kapang tidak reaktif lagi serta komponen organik utamanya protein akan semakin terdegradasi menjadi senyawa turunannya seperti peptida dan asam amino yang
akan dimanfaatkan oleh kapang maupun mikroba lainnya dalam periode tertentu sehingga mengalami peningkatan.
4.4. Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Skoring