Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang

tubuh bagian dalam untuk menguraimerubah komposisi kimiawi daging sehingga menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk.

4.2. Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang

Katsuwonus pelamis, Lin selama Proses Fermentasi Proses fermentasi dilakukan selama 8 hari pada suhu kamar dengan tujuan untuk mengetahui perubahan kimia dan mikrobiologi selama fermentasi berlangsung. Pengujian dilakukan setiap 2 hari lama fermentasi, terhitung mulai 0, 2, 4, 6 dan 8 hari. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui perubahan jeroan ikan cakalang selama proses fermentasi meliputi kadar air, protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba TPC, uji Salmonella dan Escherichia coli. 4.2.1. Kadar air Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, karena keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air yang dikandungnya. Kadar air bahan pangan juga berperan dalam menentukan kemampuan mikroba untuk tumbuh dan berkembang Winarno et al. 1993. Hasil analisis kadar air jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 7. Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda a, b, c menunjukkan hasil yang berbeda nyata p0,05 untuk faktor lama fermentasi Gambar 7. Histogram rata-rata kadar air jeroan selama proses fermentasi a ab bc c c Gambar 7 menunjukkan bahwa selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air secara nyata dari 75,87 menjadi 71,57 . Hasil analisis ragam Lampiran 4a menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air jeroan. Uji lanjut Duncan Lampiran 4b menunjukkan bahwa lama fermentasi pada 8 hari menghasilkan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan lama fermentasi 2 , 4 dan 6 hari. Rendahnya kadar air pada lama fermentasi 8 hari disebabkan oleh garam yang berdifusi ke dalam jaringan jeroan telah berpenetrasi secara sempurna sehingga kadar air mengalami penurunan seiring lamanya fermentasi. Penurunan nilai kadar air jeroan selama fermentasi diduga terkait adanya penambahan garam dalam konsentrasi tinggi 25 yang dapat mempengaruhi kesetimbangan dalam bahan menjadi terganggu. Garam merupakan elektrolit yang memiliki tekanan osmotik yang tinggi masuk ke jaringan sel dan mengakibatkan perubahan terhadap komponen jaringan, dimana garam dapat menarik air keluar dari jaringan tersebut sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami penurunan Rahayu et al. 1992. Ijong dan Ohta 1995 menambahkan bahwa selama fermentasi, penambahan garam kristal akan menurunkan kadar air dengan pesat dalam periode waktu tertentu. Garam yang masuk ke dalam jaringan akan menggantikan air bebas yang ada dalam dagingjeroan. Garam dapat mengawetkan tubuh ikan dengan cara mengeluarkan air dari tubuh ikan. 4.2.2. Kadar protein Protein merupakan suatu zat makanan yang paling penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh. Kadar protein dalam makanan merupakan suatu faktor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan tersendiri bagi konsumen Winarno et al. 1993. Hasil analisis kadar protein jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 8. Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama a menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p0,05 untuk faktor lama fermentasi Gambar 8. Histogram rata-rata kadar protein jeroan selama proses fermentasi Kecenderungan yang sama yaitu terjadi penurunan pada hasil analisis kadar protein selama fermentasi dari 51,63 bk pada awal menjadi 48 bk pada akhir fermentasi Gambar 8. Hasil analisis ragam Lampiran 5 menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak berpengaruh terhadap kadar protein jeroan. Penurunan nilai protein disebabkan oleh garam yang berdifusi kedalam jeroan dapat menguraikan komponen protein dalam bentuk yang lebih sederhana menjadi basa-basa menguap. Kimura et al. 2001 menyatakan bahwa selama proses fermentasi, garam yang masuk ke dalam jaringan sel ikan akan menimbulkan berbagai perubahan fisika dan kimia yang akan mengakibatkan pemecahan beberapa unsur seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa lebih sederhana oleh enzim yang terdapat dalam jeroan. Segera setelah penarikan air, protein dalam jaringan ikan akan terlepas dan larut ke dalam cairan garam. Selama fermentasi, garam mempunyai sifat dapat mengabsorpsi air dan protein dari jaringan daging sehingga protein dalam bentuk makromolekul akan terurai menjadi derivatnya seperti peptida, asam amino dan komponen lainnya yang mempunyai berat molekul rendah Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993. a a a a a 4.2.3. Nilai pH Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman dan kebasaan suatu bahan, dimana pH menunjukkan suatu konsentrasi ion hidrogen yang terdapat di dalam larutan. Nilai pH juga merupakan salah satu faktor fisiko-kimia yang sangat mempengaruhi keawetan bahan makanan. Mikroba dapat hidup dan berkembang biak di dalam lingkungan dengan suatu kondisi pH tertentu Rahayu et al. 1992. Hasil analisis nilai pH jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 9. Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama a menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p0,05 untuk faktor lama fermentasi Gambar 9. Histogram rata-rata nilai pH jeroan selama proses fermentasi Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai pH jeroan selama proses fermentasi mengalami peningkatan dari 5,66 pada awal menjadi 5,83 pada akhir fermentasi, tetapi kisaran nilai tersebut masih dalam kondisi asam Gambar 9. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH jeroan ikan cakalang Lampiran 6. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi garam yang digunakan sebesar 25 mampu merangsang beberapa mikroba halofilik, halotoleran dan beberapa bakteri asam laktat untuk tumbuh dan berkembang biak. Selama proses fermentasi, beberapa bakteri asam laktat seperti Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus biovardiacetylactis dapat menyebabkan a a a a a pH menjadi asam Surono 2004. Lebih lanjut Peralta et al. 1996; Shimoda et al. 1996; Fukami et al. 2002; Berna et al. 2005 menambahkan bahwa senyawa yang berperan selama proses fermentasi termasuk asam, karbonil, senyawa nitrogen, komponen sulfur yang dapat memberikan kontribusi terhadap aroma dan bau asam. Hasil penelitian Kiline et al. 2006 menjelaskan bahwa dalam proses fermentasi ikan sardin selama 57 hari pada suhu kamar menunjukkan peningkatan nilai pH dan TPC selama fermentasi hari ke-0 sampai hari ke-22 dan mengalami penurunan setelah fermentasi pada hari ke-22. Peningkatan nilai pH tersebut dipengaruhi oleh aktivitas enzim autolisis dan degradasi mikroba pembentuk asam laktat dalam jaringan daging. Berna et al. 2005 melaporkan pada fermentasi Plaa-som produk petis ikan yang berasal dari Thailand terjadi peningkatan nilai pH secara signifikan pada setiap pengamatan lama fermentasi 5, 12, 19 dan 25 hari. Hal ini disebabkan oleh degradasi enzim dan bakteri penghasil asam dan bakteri halofilik lainnya. 4.2.4. Kadar histamin Rawles et al . 1996; Lehana dan Olley 2000; McLauchlin et al. 2005 menyatakan bahwa histamin adalah senyawa biogenik amin hasil dekarboksilasi asam amino histidin dan aktivitas mikroba pembentuk histamin yang umumnya terdapat dalam jaringan ikan dan seafood lainnya yang dapat memberikan efek keracunan dan alergi. Paleologos et al.2004; Kung et al.2005; Dissaraphong et al. 2006; Jiang et al. 2007 menambahkan, keberadaan histamin dalam jumlah besar pada ikan-ikan golongan scombroid dapat menyebabkan pembusukan, keracunan, bahkan kematian. Ikan-ikan tersebut diantaranya adalah skipjack tuna , mackerel, yellowfin, bluefin dan tuna albacore. Hasil analisis kadar histamin jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 10. Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama a menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p0,05 untuk faktor lama fermentasi Gambar 10. Histogram rata-rata kadar histamin jeroan selama proses fermentasi Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar histamin selama proses fermentasi Gambar 10 meskipun demikian nilai tersebut masih dalam batas aman berdasarkan batas maksimum nilai yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP 2007 yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Peningkatan kadar histamin berkaitan dengan jumlah mikroba khususnya bakteri yang tahan pada garam tinggi dan kondisi pH asam yang mampu mengurai asam amino histidin menjadi histamin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin jeroan yang dihasilkan Lampiran 7. Leuschner et al. 1998 menyatakan bahwa bakteri asam laktat dan halofilik khususnya Pediococcus acidilactid, Halobacterium dan Staphylococcus sangat potensial dalam fermentasi makanan untuk membentuk histamin. Lebih lanjut Rawles et al. 1996; McLauchlin et al. 2005 menambahkan bahwa jumlah histamin yang dikandung oleh daging ikan dan bagiannya seperti jeroan dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tersebut. Taylor dan Behling 1982; Tsai et al. 2007 berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri pembentuk histamin yang paling banyak yaitu dari golongan Enterobacter sp., Klebsiella pneumonia dan Proteus morganii. Lehane dan Olley a a a a a 2000; FDA 2001 menyatakan bahwa suhu optimum yang mampu meningkatkan pembentukan histamin adalah pada suhu 27-28 C. Hasil penelitian Jiang et al. 2007 pada Yu-lu produk fermentasi ikan dari China yang difermentasi menggunakan garam 30 selama 187 hari, terjadi peningkatan histamin pada hari ke-60 2 bulan fermentasi. Peningkatan kandungan histamin tersebut berkorelasi dengan adanya mikroba pembentuk enzim histidin dekarboksilase dalam jumlah yang banyak seperti Staphylococcus pasteur dan Bacillus meganterium. Beberapa bakteri pembentuk enzim histidin dekarboksilase umumnya lebih banyak terdapat pada jaringan otot, insang dan jeroan diantaranya adalah Hafnia sp., E. coli, Clostridium sp. dan Enterobacter sp. Astawan et al. 1993. 4.2.5. Total mikroba Total Plate Count TPC Di dalam tubuh ikan banyak mengandung bakteri yang terkonsentrasi pada permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Setelah ikan mati, bagian ini merupakan pusat konsentrasi mikroba pengurai dan pembusuk yang akan menyebar dan berpenetrasi ke daging ikan melalui permukaan kulit yang luka untuk menguraimerubah komposisi kimiawi daging sehingga ikan menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk Rahayu et al. 1992; Hadiwiyoto 1993. Selama fermentasi jeroan, terjadi peningkatan log total mikroba dari 4,29 4,17 x 10 4 Cfug menjadi log 5,15 1,42 x 10 5 Cfug. Peningkatan jumlah mikroba bisa disebabkan oleh kesesuaiannya medium tempat tumbuhnya seperti kandungan nutrisi, pH dan suhu. Selain itu fungsi garam disamping sebagai pemberi citarasa, garam juga mampu menekan beberapa mikroba pembusuk dan merangsang mikroba tertentu seperti mikroba golongan halofilik atau halotoleran untuk tumbuh dan berkembang sesuai periode waktu tertentu. Hasil analisis log total mikroba jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 11. Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda a, b menunjukkan hasil yang berbeda nyata p0,05 untuk faktor lama fermentasi Gambar 11. Histogram rata-rata log total mikroba jeroan selama fermentasi Hasil analisis ragam Lampiran 8a menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh terhadap log total mikroba jeroan yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan Lampiran 8b menunjukkan bahwa log total mikroba pada lama fermentasi 0 hari berbeda nyata dengan 2, 4, 6 dan 8 hari. Fermentasi pada 0 hari menunjukkan nilai terendah 4,28 atau 4,17 x 10 3 Cfug diduga mikroba baru melakukan adaptasi dengan lingkungannya fase lag. Fase lag atau fase adaptasi adalah fase dimana mikroba belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa volume, sintesis enzim, protein dan peningkatan aktivitas metabolisme Supardi dan Sukamto 1999. Peningkatan log total mikroba terjadi lagi sampai akhir fermentasi 8 hari, diduga bahwa kondisi mikroba yang telah melalui fase eksponensial fase log, dimana mikroba melakukan pembelahan secara biner dengan jumlah kelipatan dalam periode tertentu serta beberapa mikroba yang mampu tahan garam dapat berkembang selama fermentasi. Fase log adalah fase dimana terjadi lonjakan peningkatan jumlah biomassa sel, ketersediaan nutrisi dan oksigen yang masih cukup untuk dimanfaatkan oleh mikroba, sehingga bisa diketahui seberapa b a a a a besar terjadi pertumbuhan secara optimal dan tingkatan produktivitas biomassa sel Supardi dan Sukamto 1999. Chaiyanan et al . 1999; Paludan et al. 2002; Berna et al. 2005; Killine et al. 2006 menambahkan bahwa semakin tinggi konsentrasi garam, semakin tinggi pula jumlah bakteri asam laktat dan bakteri halofilik. Lebih lanjut Ichimura et al. 2003 menambahkan bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Keberhasilan dari proses fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan substrat, jenis mikroba dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut Winarno et al. 1993; Hidayat et al. 2006. 4.2.6. Escherichia coli Mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator sanitasi dalam pengolahan makanan adalah mikroorganisme yang umum terdapat dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan Suhartono et al. 1995; Fardiaz 1993. E. coli merupakan bakteri Gram negatif, bersifat motil, tidak membentuk spora dan bersifat anaerobik fakultatif Hariyadi 2003. Hasil uji E. coli secara kualitatif pada media selektif Lauryl Tryptose Broth LTB setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 C, menunjukkan bahwa selama proses fermentasi jeroan dari awal hingga akhir fermentasi 8 hari masih menunjukkan batas aman karena nilai Most Probably Number MPN yang dihasilkan 3 atau 0 negatif. Batas MPN E. coli untuk ikan segar adalah 0 SNI 1-2729-1992. Hasil pada tabung pengenceran 3 tabung seri tidak menunjukkan adanya kekeruhan dan pembentukan gas dalam tabung Durham menandakan bahwa mikroba mampu memfermentasi gas, sehingga uji penegasan coliform atau E. coli tidak dapat dilanjutkan sampai uji morfologi dan uji biokimia. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi jeroan menggunakan garam tinggi 25 dapat merangsang pertumbuhan bakteri baik dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri jahat patogen seperti E. coli dan Salmonella. Hal ini didukung oleh pernyataan Supardi dan Sukamto 1999; BPOM 2002; Jiang et al. 2007; bahwa selama fermentasi berlangsung, garam akan merangsang beberapa pertumbuhan bakteri baik seperti Bifidobacterium bifidium, Bifidobacterium infantis yang mampu melindungi makanan dari serangan Salmonella dan E.coli. Kemungkinan lain E. coli tidak dapat tumbuh bisa diduga bahwa air pencucian dan peralatan yang digunakan selama penanganan dan pengolahan jeroan bersih dan tidak tercemari oleh E. coli. Menurut Moehyi 1992 E. coli dapat tumbuh di dalam bahan baku, peralatan yang digunakan, air pencuci maupun pekerja selama pengolahan yang tidak bersih dan sehat. Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan diberi disinfektan untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan, penyimpanan maupun saat penyajian, karena peralatan dapur seperti alat pemotong, talenan dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi makanan Purnawijayanti 2001. 4.2.7. Salmonella Salmonella merupakan salah satu mikroba yang paling banyak mencemari bahan pangan. Salmonella memiliki sifat tidak tahan garam, tidak tahan panas dan perlakuan penggaraman pada bahan pangan dapat membunuh mikroba ini Supardi dan Sukamto 1999. Salmonella umumnya ditemukan pada ikan, telur, daging, bahan pangan mentah, peralatan dapur, air dan tanah. Penyebab utama kontaminasi Salmonella adalah kurangnya sanitasi dan higiene selama penanganan. Bahaya keamanan pangan yang ditimbulkan oleh Salmonella berupa gangguan pencernaan dan demam tinggi. Gejala lain berupa mual, muntah-muntah dan muntaber Forsythe dan Hayes 1998. Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae, berbentuk batang, Gram negatif tanpa spora, anaerobik fakultatif, memiliki flagella peritrikous, dapat membentuk H 2 S dan menggunakan sitrat sebagai sumber karbon Supardi dan Sukamto 1999. Hasil uji kualitatif Salmonella terhadap jeroan ikan cakalang selama fermentasi pada 0 sampai 8 hari menunjukkan hasil negatif, dimana pada media pengkayaan Hectone Enteric Agar HEA menunjukkan koloni berwarna coklat, pada media Xylose Lysine Dextro Agar XLDA koloni yang tumbuh berwarna kuning, sedangkan pada media Bismuth Sulfit Agar BSA koloni yang tumbuh berwarna kehijauan. Artinya koloni yang tumbuh pada media-media tersebut diduga bukan koloni Salmonella, tetapi mikroba lain yang mampu tumbuh pada media tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku jeroan yang digunakan tidak terkontaminasi Salmonella dan sanitasi pengolahan selama proses fermentasi dipraktekkan dengan baik. Kemungkinan lain ketidakmampuan Salmonella tumbuh dalam media selektif adalah karena adanya garam tinggi 25 sebagai media dalam proses fermentasi jeroan, dimana Salmonella adalah bakteri yang tidak tahan pada kondisi garam tinggi. Menurut Supardi dan Sukamto 1999 Salmonella dapat dihambat pada konsentrasi garam ringan 6 dan pH di bawah 4,5. Lebih lanjut ditambahkan Jenie 2000 pengaruh garam selama fermentasi dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Clostridium botulinum dan Salmonella.

4.3. Karakteristik Bakasang pada Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi dan Lama Penyimpanan