Gambaran Umum Kubis .1 Perkembangan Produksi Kubis

V. GAMBARAN UMUM Dalam bab ini dikemukakan mengenai gambaran umum kubis dan bawang merah di Indonesia, yang meliputi perkembangan luas areal panen, produksi, perkembangan konsumsi, dan aspek pemasaran. 5.1 Gambaran Umum Kubis 5.1.1 Perkembangan Produksi Kubis Sebelum dibudidayakan, kubis tumbuh liar di sepanjang Pantai Laut Tengah, Inggris, Denmark, dan pantai barat Perancis sebelah utara. Kubis telah dikenal manusia sejak tahun 2.500 – 2.000 sebelum masehi. Orang Mesir dan Yunani Kuno sangat memuja dan memuliakan tanaman kubis. Tanaman ini mulai dibudidayakan di Eropa sekitar abad ke-9 Masehi dan kemudian mulai ditanam di Amerika ketika para imigran Eropa menetap di benua tersebut. Pada abad ke 16 dan 17, kubis mulai ditanam di Indonesia. Pada abad tersebut orang Eropa mulai berdagang dan menetap di Indonesia. Sekarang, penanaman kubis sebagai komoditas sayuran telah tersebar luas hampir di seluruh Indonesia kecuali DKI Jakarta, Riau, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan. Jenis kubis yang lazim ditanam di Indonesia, antara lain kubis kol, kubis bunga, brokoli, kubis tunas, kubis rabi, dan kale. Pada umumnya kubis hanya baik jika ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian antara 1.000 – 3.000 m dpl. Adapun syarat penting untuk dipenuhi agar kubis tumbuh dengan baik yaitu tanahnya gembur, tidak becek, bersarang, mengandung bahan organik serta suhu udaranya rendah dan lembap. Syarat lainnya pH tanah antara 6 – 7 karena ada salah satu jenis kubis yaitu kubis bunga yang sangat peka terhadap pH rendah. Waktu tanam kubis yang baik adalah pada awal musim hujan atau awal musim kemarau. Perkembangan luas areal panen kubis di Indonesia selama 8 tahun terakhir tahun 2000-2007 terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan yang semakin menurun. Selama periode tersebut luas panen kubis di Indonesia menurun rata- rata 1,03 persen per tahun dimana pada tahun 2000 luas panen kubis adalah 66.914 hektar yang kemudian pada tahun 2007 menjadi 60.711 hektar lihat Tabel 6. Penurunan luas areal yang terjadi cukup mengkhawatirkan karena hasil panen 49 banyak dirintangi oleh gangguan atau hambatan sehingga hasil panen pada umumnya di bawah prediksi saat tanam. Salah satu diantaranya berkurangnya hasil sayuran di Indonesia akibat adanya serangan hama yang dapat mengakibatkan gagal panen mencapai 50 sampai 100 persen 3 . Tabel 6 . Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis di Indonesia, Tahun 2000 – 2007 Tahun Luas Panen ha Produksi ton Produktivitas tonha Perkembangan Luas Panen Produksi Produktivitas 2000 66.914 1.336.410 19,97 - - - 2001 59.207 1.205.404 20,36 -11,52 - 9,80 1,95 2002 60.235 1.232.843 20,47 1,74 2,28 0,54 2003 64.520 1.348.433 20,90 7,11 9,38 2,10 2004 68.029 1.432.814 21,06 5,44 6,26 0,77 2005 57.765 1.292.984 22,38 -15,09 -9,76 6,27 2006 57.732 1.267.745 21,96 -0,06 -1,95 -1,88 2007 60.711 1.288.738 21,28 5,16 1,66 -3,1 Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura 2008 Produksi kubis di Indonesia dari tahun ke tahun juga mengalami fluktuasi dengan trend yang cenderung menurun. Selama periode tahun 2000 – 2007 pertumbuhan produksi kubis menurun rata-rata sebesar 0,28 persen per tahun, dimana pada tahun 2000 mencapai 1.336.410 ton dan pada tahun 2007 menjadi sebesar 1.288.738 ton. Penurunan produksi ini lebih dipengaruhi oleh terjadinya penurunan luas areal panen dibandingkan dengan pengaruh produktivitasnya lihat pada Tabel 6. Daerah sentra produksi kubis di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 2007 luas areal panen kubis di Pulau Jawa adalah 40.471 hektar atau sekitar 66,66 persen dari areal panen di Indonesia. Kontribusi Pulau Jawa dalam produksi kubis cukup besar yaitu 847.806 ton atau sekitar 65,79 persen dari produksi nasional. Jumlah produksi ini sebanding dengan luas areal panen kubis di Pulau Jawa. Namun, produktivitas kubis di Pulau Jawa yakni sebesar 20,95 ton per hektar masih lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas kubis di Pulau 3 S i Nugrohati da Kasumbogo Untung. op.cit. Hlm 7 50 Sumatera khususnya Sumatera Barat yang dapat mencapai 24,21 ton per ha. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

5.1.2 Perkembangan Konsumsi Kubis

Daun kubis segar rasanya renyah dan garing sehingga dapat dimakan sebagai lalap mentah dan matang, campuran salad, disayur, atau dibuat urap. Kubis segar mengandung banyak vitamin A, beberapa B, C, dan E. Kandungan vitamin C cukup tinggi untuk mencegah skorbut sariawan akut. Mineral yang banyak dikandung adalah kalium, kalsium, fosfor, natrium, dan besi. Kubis segar juga mengandung sejumlah senyawa yang merangsang pembentukan glutation, zat yang diperlukan untuk menonaktifkan zat beracun dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, kubis dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. Tabel 7 menunjukkan tingkat konsumsi kubis di Indonesia. Tabel 7 . Perkembangan Konsumsi Kubis di Indonesia, Periode Tahun 2003-2007 Tahun Penduduk x1000 orang Konsumsi Perkapita kgth Totalth ton 1 2 3 = 1 x 2 2003 215.276 1,87 402.566,12 2004 216.382 2,03 439.255,46 2005 219.852 2,03 446.299,56 2006 222.747 1,82 405.399,54 2007 225.642 1,87 421.950,54 Sumber : Susenas, BPS dan Ditjen Hortikultura 2008 Perkembangan konsumsi kubis per kapita di Indonesia selama kurun waktu 2003-2007 relatif tetap dengan konsumsi berkisar antara 1,82 kgtahun – 2,03 kgtahun. Namun jika dilihat dari jumlah total konsumsi kubis di Indonesia terlihat bahwa jumlah konsumsi kubis mengalami fluktuasi setiap tahunnya dimana pada tahun 2003 hingga 2005 konsumsi terhadap komoditas kubis cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 10,86 persen. Meskipun pada tahun 2004 hingga 2005 konsumsi per kapita terhadap kubis relatif tetap. Sementara itu pada tahun 2006, konsumsi total terhadap 51 komoditas kubis mengalami penurunan yang cukup besar sebesar 9,16 persen dan baru mengalami peningkatan kembali pada tahun 2007 yakni sebesar 4,08 persen. Hal ini disebabkan dari meningkatnya jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk ini merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi pengembangan komoditas kubis.

5.1.3 Aspek Pemasaran Komoditas Kubis

Berdasarkan penelitian Agustian et al. 2005 dalam laporan akhir “Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya terhadap Kinerja Usaha Komoditas Sayuran dan Buah”, dijelaskan mengenai tujuan dan pertimbangan pemasaran kubis dari petani hingga konsumen Gambar 9. Pada jalur pemasaran komoditas kubis di lokasi penelitian Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan Kabupaten Karo, petani melakukan pemasaran kubis cukup bervariasi yaitu melalui pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar atau Bandar. Pedagang pengumpul desa di ketiga lokasi penelitian mempunyai kaki tangan yang dikenal dengan sebutan “penyiar” di Kabupaten Garut dan “agen” di Kabupaten Karo, yang bertugas memberikan informasi mengenai petani yang akan panen dan berapa jumlah produk yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa alur pemasaran komoditas kubis dari petani ke konsumen akhir cukup panjang. Hal ini tentunya akan sangat terpengaruh oleh adanya perbedaan selisih harga yang ada untuk mendorong penjualan tersebut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desapenyiaragen. Pedagang pengumpul tingkat kecamatan atau kabupaten selanjutnya dapat menjual ke pedagang di pasar tradisional yaitu pasar induk Pasar Induk Caringin, Gedebage, Kramat Jati, Cibitung, Tanah Tinggi, Bogor, sedangkan untuk pedagang besar jangkauan pemasarannya dapat langsung ke pasar induk, atau ke supplier dengan memperhatikan “γK” yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Sementara itu, pola pemasaran kubis dari petani ke pedagang di Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut : a. Petani umumnya menjual langsung kepada pedagang di lahan untuk menaksir produksi dan dilakukan tawar menawar harga yang disebut dengan pola lelang. Penjualan berlangsung beberapa hari sebelum panen dilakukan. 52 b. Petani terikat untuk menjual langsung ke pedagang yang telah memberi pinjaman modal. Pola ini umum terjadi pada pedagang yang memasok kubis ke Batam, untuk seterusnya di ekspor ke Malaysia dan Singapura. c. Petani menjual ke pasar terdekat. Pada pola ini petani memanen dan mengangkut sendiri kubisnya ke pasar terdekat. Petani yang memilih pola ini biasanya petani yang produksinya sedikit, maksimal satu ton. Sistem penjualan yang dilakukan sebagian besar petani di ketiga lokasi penelitian adalah dengan cara tebasan dan sebagian lagi dengan cara ditimbang. Penjualan dengan sistem tebasan yang dilakukan petani dimaksudkan untuk menghindari pengeluaran biaya panen dan pasca panen serta biaya-biaya lainnya yang meliputi biaya pemasaran dan biaya kompensasi penyusutan. Sementara itu, penjualan dengan sistem satuan atau timbangan mengharuskan petani melakukan kegiatan panen dan pasca panen dan hasil yang dijual pun berupa kubis segar dimana penjualan didasarkan pada bobot timbangan kubis dan harga yang berlaku saat itu. Alasan petani melakukan penjualan ke padagang yang menjadi tujuan pemasarannya secara dominan adalah karena faktor harga. Harga yang lebih tinggi menjadi daya tarik petani untuk menjual produknya ke salah satu pedagang. Namun ada juga petani yang menjual hasil produksinya kepada pedagang karena memberikan pinjaman modal usahataninya. Selama ini komoditas kubis dipasarkan dalam bentuk utuh, segar dan dijual hanya dalam satu kualitas. Setelah dari petani, dilakukan pembersihan “kopek” oleh pedagang, kemudian dilakukan pemilahan kubis yang besar dan kecil. Hal ini dilakukan untuk mencegah pembusukan dan berpengaruh terhadap harga jual di tingkat pedagang. 54 Gambar 9 . Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo, 2005 Sumber : Agustian et al. 2005 Petani Pedagang BesarBandar Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul KecamatanKabupaten Pedagang Luar JawaLuar Negeri Pedagang Antar Pulau Supplier PI. Caringin PI. Tanah Tinggi PI. Kramatjati Pedagang Eceran dari luar daerah Supermarket Konsumen PI. Bitung 53 54 5.2 Gambaran Umum Bawang Merah 5.2.1 Perkembangan Produksi Bawang Merah