Analisis Peramalan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Bawang Merah di Indonesia

(1)

ANALISIS PERAMALAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMENGARUHI HARGA BAWANG MERAH DI

INDONESIA

DEBBIE MEGASARI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peramalan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Bawang Merah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Debbie Megasari


(4)

(5)

ABSTRAK

DEBBIE MEGASARI. Analisis Peramalan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Bawang Merah di Indonesia. Dibimbing oleh NOVINDRA.

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura dari subsektor tanaman bahan makanan yang penting bagi masyarakat Indonesia. Komoditas ini sering digunakan dalam konsumsi rumah tangga sebagai bumbu masakan, bahan pelengkap makanan, dan obat untuk penyakit tertentu. Saat ini permintaan bawang merah cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan makanan. Namun, komoditas ini seringkali mengalami fluktuasi harga yang cukup besar. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis perkembangan harga bawang merah di Indonesia dan kecenderungannya di masa mendatang; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data harga bawang merah di Indonesia bulan Juni 2009-Mei 2014, jumlah penawaran bawang merah di Indonesia, jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia, dan harga bawang merah internasional tahun 1993-2013. Model ARIMA digunakan untuk meramalkan harga bawang merah di masa mendatang dan model regresi linear berganda dengan metode estimasi Ordinary Least Square (OLS) digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi harga bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan harga yang meningkat dengan pola yang fluktuatif selama bulan Juni 2009 - Mei 2014 dan pada periode Juni 2014-Mei 2015 diprediksi harga bawang merah di Indonesia akan berfluktuasi dan cenderung meningkat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fluktuasi harga riil bawang merah di Indonesia adalah selisih jumlah penawaran bawang merah di Indonesia tahun t dengan t-1, lag jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia, selisih harga riil bawang merah internasional tahun t dengan t-1, dan lag harga riil bawang merah di Indonesia.


(6)

ABSTRACT

DEBBIE MEGASARI. Analysis of Forecasting Onion Price and The Factors that Affect Onion Price in Indonesia. Supervised by NOVINDRA.

Onion is one of horticultural commodity from food crops subsector which is important for Indonesian. That commodity is often used in household consumption as a seasoning, complementary food ingredients, and a cure for some diseases. Nowadays, demand for onion increase with the increases of population and the developing of food industry. However, onion price was often fluctuating. This study aim to (1) analyze the developing of onion prices in Indonesia and trends in the future; (2) analyze the factors that affect onion price in Indonesia. This study uses data of onion price in Indonesia from June 2009 - May 2014, total of onion supply in Indonesia, total of onion consumption in Indonesia, and international onion price in 1993-2013. ARIMA model is used to predict onion price in the future and multiple linear regression model with estimation method of Ordinary Least Square (OLS) is used to estimate factors that affect the price of onion. The results of this study showed a trend of rising prices with fluctuating pattern in June 2009 – Mei 2014 and in June 2014 - May 2015 predicted that price will fluctuate and tend to increase. The factors that affect onion real price in Indonesia are delta of onion supply in Indonesia, lag of onion consumption in Indonesia, delta of international onion real price and lag of onion real price in Indonesia.


(7)

ANALISIS PERAMALAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMENGARUHI HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

DEBBIE MEGASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

Judul Skripsi : Analisis Peramalan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Bawang Merah di Indonesia

Nama : Debbie Megasari

NIM : H44100104

Disetujui oleh

Novindra, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Papa (Rudy Wibowo), Mama (Yeni Maryani), dan adik (Amadea Maulina) serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moral dan materi kepada penulis.

2. Bapak Novindra, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan semangat, perhatian, bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Bonar. M. Sinaga, MA sebagai dosen penguji utama ujian akhir skripsi dan Prima Ghandi, SP, M.Si sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Badan Pusat Statistik RI, Kementerian Pertanian RI, Kementerian Perdagangan RI atas kerjasamanya dalam penyediaan data yang dibutuhkan oleh penulis.

5. Dr. Meti Ekayani, S. Hut, M. Sc sebagai dosen pembimbing akademik, atas bimbingan dan perhatiannya selama penulis menjalani kuliah.

6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB.

7. Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa penuh selama studi melalui jalur PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi).

8. Teman-teman sebimbingan (Miranti, Dian, Satria, Anggi, Dewi, Astari, dan Neng), teman-teman ESL 47 serta teman-teman CSS MoRA 47 (Fikri, Putri, Ii, Rizki, Ana, dll) yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah mendukung dan memotivasi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang terkait dan para pembaca.

Bogor, Januari 2015


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Bawang Merah ... 9

2.2. Fluktuasi Harga Bawang Merah ... 10

2.3. Kebijakan Terkait Bawang Merah ... 11

2.4. Penelitian Terdahulu ... 12

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 16

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 16

3.1.1. Teori Harga ... 16

3.1.2. Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) ... 19

3.1.3. Model Regresi Linear Berganda ... 21

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 22

IV. METODE PENELITIAN ... 24

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 24

4.2. Metode Analisis Data ... 24

4.3. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia dan Peramalannya di Masa Mendatang ... 24

4.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Bawang Merah ... 26

4.4.1. Perumusan Model ... 26

4.4.2. Metode Estimasi Model Regresi Linear Berganda ... 27

4.4.3. Metode Pengujian Model Regresi Linear Berganda ... 27

V. PERKEMBANGAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA DAN PERAMALANNYA DI MASA MENDATANG ... 34


(12)

5.1. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia ... 34

5.2. Peramalan Harga Bawang di Indonesia di Masa Mendatang ... 36

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA ... 43

VII.SIMPULAN DAN SARAN ... 48

7.1. Simpulan ... 48

7.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 50

LAMPIRAN ... 54

RIWAYAT HIDUP ... 62

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009-2013 di Indonesia ... 1

2. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2011 (Triliun Rupiah) ... 2

3. Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dari Subsektor Pertanian Tahun 2007-2011 (Triliun Rupiah) .. 3

4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Per Kapita Bawang Merah Tahun 2008-2012 ... 4

5. Persamaan dan Perbedaan Antara Penelitian Penulis dan Penelitian Terdahulu ... 15

6. Rata-Rata Laju Pertumbuhan Harga Bawang Merah Tahun 2010-2013 ... 34

7. Hasil Peramalan Harga Bawang Merah di Indonesia Model ARIMA (2, 1, 3) ... 41

8. Perbandingan Harga Bawang Merah Aktual dengan Harga Bawang Merah Hasil Peramalan ... 41

9. Hasil Estimasi Parameter dan Nilai Elastisitas Persamaan Harga Bawang Merah di Indonesia ... 44


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia Tahun

2009-2013 ... 5

2. Perkembangan Harga Bawang Merah Periode Januari-Desember Tahun 2013 ... 6

3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Bawang Merah di Indonesia Tahun 2009-2013 ... 7

4. Perkembangan Harga Bawang Merah Periode Januari-Desember Tahun 2012-2013 ... 11

5. Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan ... 17

6. Ilustrasi Perubahan Harga dari Sisi Penawaran ... 18

7. Kurva Keseimbangan Pasar ... 19

8. Bagan Alir Penelitian ... 23

9. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia Periode Juni 2009-Mei 2014 ... 35

10. Plot Harga Bawang Merah di Indonesia ... 36

11. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah ... 37

12. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah ... 37

13. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah setelah First Differencing ... 38

14. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Setelah FirstDifferencing ... 38

15. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah Setelah Second Differencing ... 39

16. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Setelah Second Differencing ... 39

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data Harga Bawang Merah di Indonesia Juni 2009-Mei 2014 ... 55

2. Data dan Sumber Data Model Harga Bawang Merah di Indonesia ... 55

3. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik untuk Harga Bawang Merah di Indonesia ... 56 4. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Harga Bawang


(14)

Merah di Indonesia ... 58 5. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi untuk Harga

Riil Bawang Merah di Indonesia ... 58 6. Uji Normalitas untuk Harga Riil Bawang Merah di Indonesia ... 59 7. Uji Autokorelasi untuk Harga Riil Bawang Merah di Indonesia ... 59 8. Uji Multikolinearitas untuk Harga Riil Bawang Merah di Indonesia . 60 9. Uji Heteroskedastisitas untuk Harga Riil Bawang


(15)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 1 bahwa sektor pertanian menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar selama kurun waktu 2009-2013 dan mencapai 38.068.254 orang pada tahun 2013.

Tabel 1. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009-2013 di Indonesia

Lapangan

Pekerjaan Utama 2009 2010 2011 2012 2013 Pertanian 41.611.840 41.494.941 39.328.915 38.882.134 38.068.254 Pertambangan dan

Penggalian 1.155.233 1.254.501 1.465.376 1.601.019 1.420.767 Industri 12.839.800 13.824.251 14.542.081 15.367.242 14.883.817 Listrik, Gas, dan

Air 223.054 234.070 239.636 248.927 250.945 Konstruksi 5.486.817 5.592.897 6 339.811 6.791.662 6.276.723 Perdagangan,

Rumah Makan dan Jasa Akomodasi

21.947.823 22.492.176 23.396.537 23.155.798 23.737.236

Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi

6.117.985 5.619.022 5.078.822 4.998.260 5.040.849

Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan

1.486.596 1.739.486 2.633.362 2.662.216 2.912.418

Jasa

Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan

14.001.515 15.956.423 16.645.859 17.100.896 18.213.032

Total 104.870.663 108.207.767 109.670.399 110.808.154 110.804.041

Sumber: BPS, 2014

Sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian yaitu sebesar 14,03% selama kurun waktu 2007-2011 (BPS, 2012).


(16)

Tabel 2. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2011 (Triliun Rupiah)

Lapangan

Usaha 2007 2008 2009 2010 2011

Rata-rata Kontribusi (%) Rata-rata laju pertum-buhan (%) 1. Pertanian 271,51 284,62 295,88 304,78 315,04 14,03 3,65

2.Pertambang an dan Penggalian

171,28 172,49 180,20 187,15 190,14 6,96 2,57

3. Industri

Pengolahan 538,08 557,76 570,10 597,13 633,78 27,61 4,00

4. Listrik, Gas

& Air Bersih 13,51 14,99 17,14 18,05 18,89 0,79 7,98

5. Konstruksi

121,81 131,01 140,27 150,02 159,12 6,69 6,46 6.Perdaganga

n, Hotel dan

Restoran 340,44 363,82 368,46 400,47 437,47 14,96 6,03 7.Pengangkut

an dan Komunikasi

142,33 165,91 192,19 217,98 241,30 9,15 12,35

8. Keuangan, Real Estate dan Jasa Perdagangan

183,66 198,79 209,16 221,02 236,15 9,99 6,09

9. Jasa-jasa 181,71 193,05 205,43 217,84 232,66 9,82 5,99 Total 1.964,33 2.082,44 2.178,83 2.314,44 2.464,55 Sumber: BPS, 2012

Sektor pertanian memiliki cabang-cabang sektor atau sub sektor yang membentuk sektor pertanian tersebut. Sub sektor tersebut adalah sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor tanaman perkebunan, sub sektor peternakan dan hasilnya, sub sektor kehutanan, dan sub sektor perikanan. Sub sektor tanaman bahan makanan merupakan sub sektor pertanian yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB sektor pertanian yaitu sebesar 49,65% selama kurun waktu 2007-2011. Data Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 3.


(17)

Tabel 3. Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dari Subsektor Pertanian Tahun 2007-2011 (Triliun Rupiah)

Subsektor 2007 2008 2009 2010 2011

Rata-rata kontribusi

(%)

Laju pertumbuhan

(%) Tanaman bahan

makanan 133,89 142,00 149,06 151,50 154,15 49,65 3,60 Perkebunan 43,19 44,78 45,56 47,15 49,26 15,63 3,35 Peternakan 34,22 35,43 36,65 38,21 40,04 12,54 4,00 Kehutanan 16,55 16,54 16,84 17,25 17,39 5,76 1,25 Perikanan 43,65 45,87 47,78 50,66 54,19 16,43 5,56 Total 271,50 284,62 295,89 304,77 315,03 100,00 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah)

Saat ini fluktuasi harga pada komoditas pertanian seringkali terjadi antar waktu karena pengaruh iklim dan cuaca serta perbedaan waktu tanam dan waktu panen. Fluktuasi harga juga dapat terjadi karena pengaruh lokasi dan wilayah produksi dan konsumsi. Menurut Anindita (2008), harga produk pertanian relatif fluktuatif karena produk pertanian mempunyai beberapa sifat, yaitu: (1) keadaan biologi di lingkungan pertanian, seperti hama, penyakit, dan iklim; (2) adanya

time lags ketika keputusan dalam menggunakan input dan menjual output; (3) keadaan pasar, khususnya struktur pasar; (4) dampak dari institusi, seperti Bulog dan komitmen perdagangan.

Fluktuasi harga yang sering terjadi pada komoditas pertanian dapat menimbulkan berbagai dampak. Bagi produsen, sulit untuk memprediksi bisnis baik dalam perhitungan rugi laba maupun manajemen risiko sehingga seringkali fluktuasi harga hanya menguntungkan para spekulan terutama para pedagang yang mampu mengelola stok secara baik dan cermat. Bagi konsumen, fluktuasi harga akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini dapat dapat menghambat masyarakat dalam mengkonsumsi produk pertanian sehingga kesejahteraan masyarakat akan berkurang.

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura dari sub sektor tanaman bahan makanan yang penting bagi masyarakat Indonesia. Bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat dan asam folat, kalsium, serta zat besi sehingga komoditas ini sering digunakan dalam konsumsi rumah tangga sebagai bumbu masakan, bahan pelengkap makanan, dan obat untuk penyakit tertentu. Saat ini permintaan akan bawang merah cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan makanan.


(18)

Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Per Kapita Bawang Merah Tahun 2008-2012

Tahun Produksi (Ton)

Laju Pertumbuhan

(%)

Konsumsi (Ton)

Laju Pertumbuhan

(%)

Selisih Produksi

dan Konsumsi 2008 853.615 - 632.885,20 - 220.729,80 2009 965.164 13,07 590.768,64 -6,65 374.395,36 2010 1.048.934 8,68 601.231,73 1,77 447.702,27 2011 893.124 -14,85 575.226,40 -4,33 317.897,60 2012 964.195 7,96 676.257,96 17,56 287.937,04 Rata-rata 945.006,40 2,97 615.273,99 1,67 329.732,41 Sumber: BPS dan Kementan, 2014 (diolah)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa adanya fluktuasi pada jumlah produksi dan konsumsi bawang merah di Indonesia selama tahun 2008-2012. Adanya peningkatan pada jumlah produksi dan konsumsi juga terjadi pada tahun 2011 ke tahun 2012 yaitu sebesar 7,96% pada jumlah produksi dan 17,56% pada jumlah konsumsi. Berdasarkan Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008-2012 konsumsi bawang merah dapat terpenuhi oleh produksi bawang merah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah selisih antara produksi dan konsumsi bawang merah yang mengalami surplus setiap tahunnya sehingga bawang merah mengalami excess supply pada periode tersebut.

Meskipun jumlah produksi bawang merah Indonesia dapat memenuhi konsumsi bawang merah di Indonesia, komoditas ini seringkali mengalami permasalahan dalam fluktuasi harga yang cukup besar. Harga bawang merah umumnya berfluktuasi secara musiman. Fluktuasi harga bawang merah di Indonesia dapat dipengaruhi oleh adanya ketidakseimbangan antara jumlah produksi dan konsumsi bawang merah di Indonesia dan harga bawang merah internasional (Kemendag, 2013).

Fluktuasi harga yang cukup besar pada bawang merah dapat memberikan dampak negatif bagi produsen maupun konsumen. Petani selaku produsen membutuhkan kepastian harga jual sebelum memutuskan untuk menanam bawang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian akibat jatuhnya harga jual. Bagi konsumen, kepastian harga sangat diperlukan untuk menghindari pengeluaran yang tinggi. Maka dengan adanya permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai peramalan harga bawang merah Indonesia di masa


(19)

mendatang serta faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya fluktuasi harga bawang merah.

1.2. Perumusan Masalah

Harga suatu komoditas terbentuk ketika penawaran dan permintaan berada dalam kondisi seimbang. Dengan asumsi, faktor-faktor yang mempengaruhi selain harga dianggap tetap atau ceteris paribus. Komoditas pertanian (termasuk bawang merah) umumnya merupakan barang inelastis dalam jangka pendek sehingga peningkatan harga yang terjadi pada komoditas ini tidak berpengaruh besar terhadap permintaan.

Bawang merah merupakan produk hortikultura yang memiliki peran yang cukup penting dan penggunaan yang luas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, bawang merah seringkali mengalami fluktuasi harga yang cukup besar. Fluktuasi harga yang terjadi pada bawang merah disebabkan oleh jumlah produksi yang tidak menentu akibat dari musim panen dan cuaca, komoditas yang bersifat perisable atau mudah rusak, serta penanganan yang belum optimal.

Sumber: BPS dan Kementan, 2014 (diolah)

Gambar 1. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia Tahun 2009-2013

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa adanya fluktuasi harga dari tahun ke tahun. Peningkatan harga bawang merah tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar Rp 34.141,18 per kilogram. Fluktuasi harga yang tajam terjadi sepanjang tahun 2013. Adanya peningkatan harga bawang merah tertinggi terjadi pada bulan

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

2009 2010 2011 2012 2013

Rp/k

g


(20)

Agustus yaitu mencapai Rp 60.549 per kilogram. Perkembangan harga bawang merah periode Januari-Desember pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Kementan dan Kemendag, 2014

Gambar 2. Perkembangan Harga Bawang Merah Periode Januari-Desember Tahun 2013

Fluktuasi harga yang terjadi jika dikaitkan dengan jumlah produksi dan konsumsi pada tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 3. Dilihat dari sisi produksi, adanya peningkatan jumlah produksi pada tahun 2010 tidak memberikan pengaruh besar terhadap harga bawang merah sedangkan pada tahun 2011-2013 adanya peningkatan dan penurunan jumlah produksi bawang merah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap harga bawang merah di Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyebutkan bahwa adanya peningkatan jumlah produksi sedangkan variabel lain dianggap tetap, ceteris paribus dapat mengakibatkan harga suatu barang atau jasa meningkat. Jika dilihat dari sisi konsumsi, adanya peningkatan maupun penurunan jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia pada tahun 2009-2013 tidak memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap harga bawang merah di Indonesia.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

Rp/k

g


(21)

Sumber: Kementan, 2013

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Bawang Merah di Indonesia Tahun 2009-2013

Dengan adanya produksi yang tidak menentu terkait dengan musim panen dan cuaca, distribusi impor, meningkatnya selera masyarakat terhadap bawang merah serta ulah spekulan yang dapat menyebabkan harga berfluktuasi maka diperlukan analisis mengenai perkembangan harga bawang merah serta peramalannya di masa yang akan datang sehingga dapat dilakukan analisis terhadap peramalannya. Setelah melakukan analisis fluktuasi harga bawang merah dan peramalannya di masa mendatang, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang akan dijawab dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perkembangan harga bawang merah di Indonesia dan peramalannya di masa mendatang?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis perkembangan harga bawang merah di Indonesia dan peramalannya di masa mendatang .

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

2009 2010 2011 2012 2013

produksi konsumsi


(22)

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini adalah:

1. Produk hortikultura yang menjadi objek penelitian adalah komoditas bawang merah dengan kode HS 0703.

2. Analisis peramalan harga bawang merah di Indonesia menggunakan data harga bawang merah bulanan di tingkat konsumen di Indonesia periode Juni 2009-Mei 2014.

3. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi harga bawang merah di Indonesia menggunakan data harga bawang merah tahunan di Indonesia, jumlah penawaran bawang merah di Indonesia, jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia, serta harga bawang merah internasional tahunan dari tahun 1993-2013.

4. Jumlah penawaran bawang merah di Indonesia diperoleh dari jumlah produksi ditambah jumlah impor dikurangi jumlah ekspor bawang merah Indonesia.

5. Harga internasional tahunan yang digunakan merupakan harga produsen di negara Thailand. Hal ini dikarenakan negara asal impor bawang merah Indonesia terbesar berasal dari Thailand (Kementan, 2013).


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bawang Merah

Bawang merah (Allium cepa) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai kandungan gizi dan senyawa yang tergolong zat non gizi serta enzim yang berfungsi untuk terapi, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh serta memiliki aroma khas yang digunakan untuk penyedap masakan (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2006). Bawang merah termasuk family Lilyceae yang berasal dari Asia Tengah dan menjadi salah satu tanaman komersial di berbagai dunia. Negara-negara produsen bawang merah antara lain Jepang, USA, Rumania, Italia, dan Meksiko (Rukmana, 1994).

Berdasarkan kedudukan tanaman dalam tata nama atau sistematika tumbuhan, bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 1994):

Divisio : Spermatophyta Sub division : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Liliaes (Liliflorae) Famili : Liliales

Genus : Allium

Spesies : Allium cepa L. (bawang bombay)

A. ascalonicum L. (bawang merah biasa)

Bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi ±1.100 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara antara 25º- 32ºC. Jenis tanah yang baik untuk bawang merah adalah tanah lempung berpasir atau lempung berdebu dengan derajat keasaman tanah (pH) antara 5.5-6,5. Bawang merah dapat diperbanyak dengan 2 cara, yaitu bahan tanaman berupa biji botani dan umbi bibit. Berdasarkan hasil penelitian di Balai Penelitian Hortikultura (Balithor) Lembang, daya hasil tanaman bawang merah dari biji mencapai 10-12.5 ton per hektar dan dipanen pada umur 80 hari setelah tanam. Sedangkan daya hasil tanaman bawang merah dari umbi utuh mencapai


(24)

antara 8-12.5 ton/hektar dan dipanen pada umur 80 hari setelah tanam (Rukmana, 1994).

Bawang merah merupakan komoditas yang bersifat perisable (mudah rusak dan tidak tahan lama) serta memiliki fluktuasi harga yang sangat tajam karena produksi bersifat musiman. Dilihat dari segi ekonomi, usaha bawang merah cukup menguntungkan serta mempunyai pasar yang cukup luas. Konsumsi bawang merah meningkat sebesar 5% setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2006). Musim panen (tanam) bawang merah di Indonesia saling melengkapi dengan negara lain sehingga kondisi ini dapat memberikan peluang masuknya bawang merah impor ke dalam negeri baik secara legal maupun illegal. Selain itu, dapat memberikan peluang ekspor bagi bawang merah dalam negeri bila konsumsi dan kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.

2.2. Fluktuasi Harga Bawang Merah

Bawang merah merupakan salah satu komoditas yang memiliki fluktuasi harga yang relatif tinggi. Fluktuasi harga terjadi sepanjang tahun dikarenakan keragaan harga bawang merah dipengaruhi oleh jumlah produksi dan konsumsi. Jumlah produksi ditentukan oleh cuaca dan musim panen sedangkan jumlah konsumsi ditentukan oleh jumlah penduduk, tingkat pendapatan, dan selera.

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa harga bawang merah mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2012 dan 2013. Adanya peningkatan harga yang terjadi dari tahun 2012 ke tahun 2013 juga dapat dilihat pada Gambar 3. Harga bawang merah pada tahun 2012 mengalami fluktuasi sepanjang tahun namun cenderung stabil sedangkan pada tahun 2013 harga bawang merah mengalami fluktuasi harga yang cukup tajam. Peningkatan harga pada tahun 2012 terjadi di bulan Mei dan Juni sedangkan pada tahun 2013 terjadi di bulan Maret, Juli, dan Agustus. Adanya tren yang berbeda pada dua tahun terakhir ini perlu dianalisis lebih dalam mengenai apa yang mempengaruhi peningkatan harga di tahun tersebut.


(25)

Sumber: Kementan, 2014

Gambar 4. Perkembangan Harga Bawang Merah Periode Januari-Desember Tahun 2012-2013

2.3. Kebijakan Terkait Bawang Merah

Bahan pangan merupakan kebutuhan dasar konsumsi masyarakat Indonesia. Kurangnya ketersediaan bahan pangan dan gejolak harga yang tidak wajar sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Bawang merah merupakan salah satu bahan pangan yang seringkali mengalami gejolak harga. Tingginya frekuensi gejolak terhadap ketersediaan dan harga bawang merah mengharuskan pemerintah melakukan intervensi pasar melalui perangkat-perangkat kebijakan yang dimiliki sehingga ketersediaan dan harga bawang merah terkendali pada tingkat fluktuasi yang wajar. Perangkat kebijakan dapat menyentuh produsen, konsumen, distribusi, ataupun tata niaganya yang diterbitkan pada berbagai hirarki peraturan, baik pusat maupun daerah.

Beberapa kebijakan yang menyangkut bawang merah antara lain adalah Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 30 tahun 2012 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Dalam kebijakan tersebut disebutkan bahwa impor produk hortikultura hanya dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan produk hortikultura di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Pada tahun 2013 kebijakan tersebut direvisi menjadi Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 47 tahun 2013 yang berisi bahwa untuk

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

Rp/k

g

2012 2013


(26)

importasi komoditas cabai dan bawang merah segar untuk konsumsi akan dilakukan dengan menggunakan harga referensi. Jika harga cabai dan bawang merah berada di bawah harga referensi, maka impor kedua komoditas tersebut ditunda sampai harga kembali mencapai harga referensi. Sebaliknya jika harga kedua komoditas tersebut telah melampaui harga referensi, maka akan dipertimbangkan untuk importasi guna memastikan pasokan di pasar. Harga referensi akan ditetapkan oleh tim pemantau harga produk hortikultura yang anggotanya dibentuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan terdiri dari unsur instansi terkait. Harga referensi bawang merah dan cabai dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh tim pemantau harga.

2.4. Penelitian Terdahulu

Susanti (2006) melakukan penelitian mengenai peramalan permintaan cabai merah di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) Jakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut deret waktu (time series) dan data primer. Hasil penelitian ini adalah: 1. Permintaan cabai merah di PIKJ berfluktuasi mengikuti suatu pola musiman tertentu karena tergantung pada jumlah pasokan dari daerah penghasil cabai merah, 2. Metode peramalan terbaik yang sesuai untuk memperkirakan permintaan cabai merah di masa mendatang di PIKJ adalah metode ARIMA atau Box Jenkins, 3. Harga rata-rata berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah di PIKJ.

Stato (2007) melakukan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga bawang merah dan peramalannya di PIKJ. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Fluktuasi harga bawang merah meningkat tiap tahunnya mengikuti pola musiman tertentu. Trend penurunan dan peningkatan harga bawang merah berkaitan dengan pola produksi bawang merah yang mengalami panen puncak pada bulan Juni hingga September dan mengalami masa kosong panen pada bulan Februari hingga bulan Mei, 2. Metode peramalan terbaik dan sesuai untuk meramalkan harga bawang merah di masa mendatang di PIKJ adalah metode ARIMA atau Box Jenkins, 3. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap fluktuasi harga bawang merah yaitu pasokan impor bawang merah, harga


(27)

impor bawang merah, dan harga pupuk. Dari ketiga faktor tersebut yang memberikan pengaruh paling besar terhadap fluktuasi harga bawang merah yaitu harga impor bawang merah, 3. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memperkecil fluktuasi harga bawang merah di PIKJ adalah dengan mengatur pola tanam antar wilayah sentra produksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang musim panennya cenderung bersamaan, memberikan pelatihan kepada petani untuk meningkatkan produksinya, melakukan pengawasan terhadap harga pupuk.

Miranti (2013) melakukan penelitian mengenai peramalan permintaan biodiesel dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan biodiesel di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Permintaan terhadap biodiesel di Indonesia akan semakin meningkat pada periode Juli 2013-Desember 2014. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan biodiesel adalah harga riil bulan (t-1) biodiesel, harga riil solar, nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS, dan pendapatan riil per kapita. Adapun faktor yang tidak berpengaruh adalah jumlah penjualan kendaraan diesel bulan (t-1).

Ariningsih dan Tentamia (2004) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan bawang merah di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika yang dirumuskan dalam bentuk persamaan simultan yang bersifat dinamik. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Produksi bawang merah di Jawa Tengah responsif terhadap perubahan harga pupuk tetapi tidak responsif terhadap perubahan harga bawang merah dan upah tenaga kerja. Produktivitas bawang merah tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk maupun harga output dan tenaga kerja. Luas areal bawang merah di luar Jawa Tengah tidak responsive terhadap perubahan harga bawang merah, harga pupuk, dan upah tenaga kerja, 2. Permintaan bawang merah dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk. Permintaan tidak responsive terhadap perubahan harga bawang merah dan pendapatan, 3. Produksi bawang merah berpengaruh terhadap volume ekspor bawang merah Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, 4. Harga bawang merah di tingkat produsen Jawa Tengah dan luar Jawa Tengah dipengaruhi oleh harga di tingkat konsumen Indonesia dengan respon yang bersifat inelastis.


(28)

Firdaus (2007) melakukan penelitian mengenai aplikasi peramalan harga pangan di beberapa kota di Indonesia. Hasil dari penelitian ini untuk bawang merah adalah: 1. Adanya perbedaan pola fluktuasi harga bawang merah di enam kota besar, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Denpasar. Hasil peramalan harga tertinggi dan harga terendah akan terjadi pada bulan yang berbeda. 2. Faktor-faktor yang memengaruhi harga bawang merah di enam kota besar di Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor harga di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) dan lag harga bawang merah. Kecuali untuk DKI Jakarta dipengaruhi juga oleh dummy hari besar keagamaan dan kota Surabaya dengan faktor harga produsen.

Irawan (2007) melakukan penelitian mengenai fluktuasi harga, tranmisi harga, dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Fluktuasi harga sayuran yang relatif dibandingkan harga buah disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen yang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu daerah produsen sayuran yang terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, lemahnya sinkronisasi produksi antara daerah produsen sayuran, serta terbatasnya sarana penyimpanan yang mampu mempertahankan kesegaran sayuran. 2. Transmisi harga sayuran relatif rendah dibanding buah san komoditas pangan lain yang disebabkan oleh adanya pasar sayuran yang bersifat monopsoni atau oligopsoni di tingkat petani.

Abdullah (2012) melakukan penelitian mengenai penggunaan model ARIMA untuk meramalkan harga jual koin emas batangan. Hasil dari penelitian ini adalah: model ARIMA adalah model yang paling tepat digunakan untuk meramalkan harga jual koin emas batangan. Hasil yang didapatkan dari menggunakan model ARIMA adalah harga jual koin emas batangan cenderung akan meningkat dari tahun ke tahun.

Jarret dan Kyper (2011) melakukan penelitian mengenai penggunaan model ARIMA dengan intervensi untuk meramalkan dan menganalisis harga pasar saham di China. Hasil dari penelitian ini adalah: model ARIMA adalah model yang paling tepat digunakan meramalkan indeks pasar saham di China. Hasil menunjukkan bahwa krisis keuangan global dapat mempengaruhi saham serta industri manufaktur.


(29)

Allen (1994) melakukan penelitian mengenai peramalan ekonomi pada komoditas pertanian. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa metode ARIMA adalah metode terbaik untuk meramalkan harga komoditas pertanian walaupun terdapat beberapa kasus model data yang didapatkan sangat mempengaruhi metode terbaik peramalan time series sehingga metode ARIMA belum tentu menjadi metode terbaik untuk meramalkan harga komoditas pertanian tertentu. Tabel 5. Persamaan dan Perbedaan Antara Penelitian Penulis dan Penelitian

Terdahulu

Sumber: Penulis (2014)

NO Penulis Persamaan Perbedaan

1 Susanti (2006) metode peramalan ARIMA dan menggunakan data sekunder

objek penelitian harga bawang merah di Indonesia

2 Stato (2007) objek penelitian bawang merah tujuan yaitu meramalkan harga bawang merah dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhinya di Indonesia

3 Miranti (2013) metode peramalan ARIMA dan menggunakan data sekunder.

objek penelitian bawang merah.

4 Ariningsih dan Tentamia (2004)

objek penelitian bawang merah dan tujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaannya.

metode menggunakan model regresi linear berganda.

5 Firdaus (2007) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi harga bawang merah dan meramalkan harga bawang merah di 6 kota besar di Indonesia.

menggunakan metode ARIMA dan objek penelitian hanya bawang merah.

6 Irawan (2007) Menganalisis fluktuasi harga sayuran termasuk bawang merah.

objek penelitian hanya bawang merah.

7 Abdullah (2012) Menggunakan metode ARIMA dalam melakukan peramalan.

objek penelitian bawang merah.

8 Jarret dan Kyper (2011)

Menggunakan metode ARIMA dalam melakukan peramalan.

objek penelitian bawang merah.

9 Allen (1994) Menggunakan metode ARIMA dalam melakukan peramalan

objek penelitian hanya bawang merah


(30)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai acuan alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori harga, metode Box Jenkins (ARIMA) metode analisis regresi linear berganda.

3.1.1. Teori Harga

Harga merupakan nilai dari suatu barang atau jasa yang terbentuk dari interaksi antara permintaan dan penawaran. Harga suatu komoditi dan kuantitas yang akan diminta berhubungan secara negatif, dengan faktor lain tetap sama atau

ceteris paribus. Semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi itu akan semakin besar, sebaliknya semakin tinggi harga semakin rendah jumlah yang diminta (Lipsey, 1995).

Permintaan suatu barang atau jasa menunjukkan adanya jumlah barang atau jasa yang diminta oleh konsumen kepada produsen pada suatu tingkat harga tertentu. Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi jumlah permintaan adalah harga barang tersebut, harga barang lain, jumlah penduduk, pendapatan, dan selera. Perubahan sepanjang kurva permintaan dapat disebabkan oleh salah satu variabel, yaitu perubahan harga barang tersebut yang menyebabkan pergeseran kuantitas atau jumlah barang atau jasa yang diminta yang menyebabkan pergeseran harga barang atau jasa. Pergeseran kurva permintaan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor selain harga barang atau jasa tersebut seperti harga barang lain, jumlah penduduk, pendapatan, dan selera. Pergeseran kurva permintaan menyebabkan perubahan satu variabel tidak diikuti oleh variabel lain. Misalnya, pergeseran kurva ke kanan akan menaikkan kuantitas atau jumlah permintaan atas suatu barang atau jasa tanpa harus diikuti penurunan tingkat harga, sebaliknya pergeseran kurva permintaan ke kiri akan menurunkan kuantitas atau jumlah permintaan atas suatu barang tanpa harus diikuti kenaikan tingkat harga. Ilustrasi mengenai perubahan harga komoditas pertanian dari sisi permintaan dapat dilihat pada Gambar 5.


(31)

Harga D1

D0 S

P1 E1

P0 E0

0 Q0 Q1 Jumlah

Sumber: Djojodipuro, 1991

Gambar 5. Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan Permintaan komoditas pertanian umumnya bersifat inelastis. Hal ini disebabkan oleh elastisitas pendapatan dari permintaan komoditas pertanian rendah, yaitu kenaikan pendapatan hanya menimbulkan kenaikan yang kecil atas permintaan. Komoditas pertanian merupakan komoditas penting yang digunakan setiap hari sehingga naik turunnya harga pada komoditas pertanian tidak berpengaruh cukup besar terhadap jumlah permintaan.

Penawaran suatu barang atau jasa menunjukkan adanya jumlah barang atau jasa yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen pada suatu tingkat harga tertentu. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi penawaran suatu barang atau jasa adalah harga barang tersebut, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak, dan subsidi. Perubahan sepanjang kurva penawaran disebabkan oleh salah satu variabel, yaitu perubahan harga komoditas di pasar yang menyebabkan pergeseran kuantitas atau jumlah barang yang ditawarkan produsen. Pergeseran kurva penawaran disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor selain harga barang atau jasa tersebut. Pergeseran kurva penawaran menyebabkan perubahan satu variabel tidak diikuti oleh variabel lain. Misalnya, pergeseran kurva ke kanan akan menaikkan kuantitas atau jumlah penawaran atas barang atau jasa tanpa harus diikuti kenaikan tingkat harga yang diharapkan, sebaliknya pergeseran kurva penawaran ke kiri akan menurunkan kuantitas atau jumlah penawaran atas suatu barang atau


(32)

jasa tanpa harus diikuti penurunan tingkat harga. Ilustrasi mengenai perubahan harga komoditas pertanian dari sisi penawaran dapat dilihat pada Gambar 6.

Harga

S1 S0

P1 E1

P0 E0

D

Jumlah

0 Q1 Q0

Sumber: Djojodipuro, 1991

Gambar 6. Ilustrasi Perubahan Harga dari Sisi Penawaran

Menurut Anindita (2008), produk pertanian memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk lainnya yaitu, keadaan biologi di lingkungan pertanian yang menyebabkan output pertanian bersifat musiman dan tidak kontinu, adanya

time lags, keadaan pasar khususnya struktur pasar yang menyebabkan semakin tidak menentunya harga di bidang pertanian, dan dampak dari institusi seperti pengurangan tarif.

Keseimbangan harga terjadi ketika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Jika pemerintah menetapkan harga di atas P1 maka akan terjadi kondisi disekuilibrium. Hal ini disebabkan karena harga ditentukan di atas P1 maka pembeli hanya bersedia membeli dalam jumlah yang lebih sedikit dari Q, sementara pada harga tersebut penjual akan memproduksi lebih besar dari Q. Kondisi ini mengakibatkan surplus produksi atau excess supply dalam pasar. Peraturan yang menentukan harga dibawah P1 akan mengakibatkan adanya kelangkaan (scarcity) kuantitas barang. Kondisi ini mengakibatkan surplus konsumsi atau excess demand dalam pasar. Kurva keseimbangan pasar dapat dilihat pada Gambar 7.


(33)

Harga

P2 S

E P1

P0 D

0

Q Jumlah

Sumber : Lipsey, 1995

Gambar 7. Kurva Keseimbangan Pasar Fungsi harga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pt = f(Qt, Ct, PIt, Pt-1) ………..(3.1) Keterangan:

Pt = Harga suatu komoditas pada periode t

Qt = Jumlah penawaran suatu komoditas pada periode t Ct = Jumlah permintaan suatu komoditas pada periode t PIt = Harga internasional suatu komoditas pada periode t Pt-1 = Lag harga suatu komoditas

3.1.2. Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)

Metode peramalan Box Jenkins adalah suatu metode yang sangat tepat untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan lainnya. Kerumitan itu terjadi karena terdapatnya variasi dari pola data yang ada sehingga diperlukan pendekatan untuk meramalkan data dengan pola yang rumit tersebut dengan menggunakan beberapa aturan yang relatif baik. Disamping itu, metode ini dapat dipergunakan untuk meramalkan data historis dengan kondisi yang sulit dimengerti pengaruhnya terhadap data secara teknis sehingga perlu diketahui dan dimengerti beberapa dasar teknis pengaplikasian metode ini.

Metode peramalan ini sebenarnya adalah cara pendekatan yang sangat umum dari peramalan deret waktu (time series). Alasan dikembangkannya metode


(34)

ini karena metode peramalan yang ada selalu mengasumsikan atau dibatasi hanya untuk macam-macam pola tertentu dari data. Metode Box Jenkins tidak membutuhkan adanya asumsi tentang suatu pola yang tetap. Pendekatan Box Jenkins ini mulai dengan mengadakan asumsi adanya pola percobaan atau tentatif yang disesuaikan dengan data historis sehingga kesalahan dapat diminimalisasikan.

Pendekatan Box Jenkins memberikan informasi secara eksplisit untuk memungkinkan peneliti memikirkan atau memutuskan apakah pola yang secara tentatif diasumsikan adalah tepat atau benar untuk kondisi dan situasi yang telah terjadi. Jika hal ini telah dilakukan, maka peramalan dapat langsung disusun dan jika tidak sesuai pola yang diasumsikan maka pendekatan Box Jenkins

memberikan lebih jauh tanda-tanda untuk mengidentifikasikan pola yang benar. Prosedur yang dilakukan berulang-ulang memungkinkan peneliti untuk sampai pada suatu model peramalan yang memberikan keoptimisan dalam ukuran pola dasar dan meminimumkan kemungkinan kesalahan.

Pendekatan Box Jenkins membagi masalah peramalan dalam tiga tahap yang didasarkan pada postulasi atas kelas yang umum dari model-model peramalan. Pada tahap pertama, suatu model tertentu dapat dimasukkan secara tentatif sebagai suatu metode peramalan yang sangat cocok untuk keadaan yang diidentifikasi. Tahap kedua, mencocokkan model tersebut untuk data historis yang tersedia dan melakukan suatu pengecekan untuk menetukan apakah model tersebut sudah cukup tepat. Jika tidak tepat, maka pendekatan ini kembali lagi ke tahap pertama dan suatu model alternatif diidentifikasikan. Bila suatu model sudah cukup tepat, hendaklah diisolasikan dan tahap ketiga dilakukan yaitu penyusunan ramalan untuk beberapa periode yang akan datang.

Pada dasarnya, terdapat dua model dari metode Box Jenkins yaitu model-model linear untuk deret yang statis dan model-model-model-model linear untuk deret yang tidak statis. Model-model linear untuk deret statis menggunakan teknik penyaringan untuk deret waktu yaitu model ARMA (Autoregressive-Moving Average) untuk suatu kumpulan data. Sedangkan model-model linear untuk deret yang tidak statis menggunakan model-model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) (Assauri, 1984).


(35)

Model ARIMA telah terbukti menjadi model peramalan jangka pendek yang terbaik untuk macam-macam deret waktu. Dalam banyak pengkajian, peramalan dengan model ARIMA sering mempunyai kemampuan pengerjaan atau penggunaan yang lebih luas dan lebih rumit dari sistem ekonometri untuk sejumlah deret ekonometri. Model ARIMA dapat disusun dengan data bulanan selama 2 tahun, akan tetapi hasil yang terbaik dapat dicapai bila digunakan sekurang-kurangnya data 5 sampai dengan 10 tahun sehingga dapat ditunjukkan dengan tepat adanya deret data dengan pengaruh musim yang kuat.

Keuntungan nyata dari model-model ARIMA adalah bahwa ramalan-ramalan yang dilakukan dapat dikembangkan untuk periode-periode yang sangat pendek. Lebih banyak waktu yang dipergunakan untuk memperoleh atau mendapatkan data yang berlaku daripada waktu untuk penyusunan modelnya. Menurut Hanke (1999), dalam praktek model ARIMA sering dipergunakan. Model Autoregressive (AR):

Yt= Ф0+ Ф1Yt-1+ Ф2Yt-2+ … + ФpYt-p+ εt .…….………(3.2) Model Moving Average (MA):

Yt = μ + ω1εt-1–ω2εt-2 - … - ωqεt-q ……....………..(3.3)

3.1.3. Model Regresi Linear Berganda

Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa hubungan antara satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel yang dijelaskan dengan satu atau lebih variabel lain yang disebut variabel bebas atau variabel penjelas. Model regresi linear berganda adalah model regresi dengan melibatkan penggunaan lebih dari satu variabel yang mungkin memengaruhi variabel tak bebas (Gujarati, 2006).

Metode yang yang paling sering digunakan untuk menaksir parameter dalam suatu model regresi linear berganda adalah metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square/OLS). Metode OLS paling sering digunakan bukan hanya karena mudah melainkan juga karena memiliki beberapa sifat teoritis yang kokoh yang dijelaskan dalam teorema Gauss-Markov. Teorema Gauss-Markov menyatakan bahwa berdasarkan asumsi-asumsi dari model regresi linear klasik, penaksir OLS memiliki varians yang terendah diantara penaksir-penaksir lainnya; dalam hal ini, penaksir OLS disebut sebagai penaksir tak bias linear terbaik (Best


(36)

Linear Unbiased Estimatory/BLUE). Untuk mencapai kondisi statistik yang baik, metode OLS akan menghasilkan pendugaan yang baik apabila asumsi-asumsi yang mendasarinya terpenuhi, antara lain:

1. Memiliki parameter-parameter yang bersifat linear dan model ini ditentukan secara tepat;

2. Faktor kesalahan mempunyai nilai rata-rata sebesar nol; 3. Tidak adanya autokorelasi dalam setiap variabel dalam model; 4. Asumsi homoskedastisitas atau penyebaran yang sama;

5. Tidak terdapat multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linear yang pasti antara variabel bebas; serta

6. Untuk pengujian hipotesis, faktor kesalahan mengikuti distribusi normal dengan rata-rata sebesar nol dan homoskedastisitas.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Bawang merah merupakan salah satu komoditas pertanian yang seringkali mengalami fluktuasi harga yang cukup besar sepanjang tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya produksi yang tidak menentu akibat dari musim panen dan cuaca, serta penanganan yang belum optimal, sedangkan jumlah konsumsi meningkat yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan makanan.

Fluktuasi harga bawang merah yang besar dapat memberikan dampak negatif bagi produsen maupun konsumen. Produsen membutuhkan kepastian harga jual sebelum memutuskan untuk menanam bawang. Bagi konsumen, kepastian harga sangat diperlukan untuk menghindari pengeluaran yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu peramalan terhadap harga bawang merah dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian akibat fluktuasi harga jual bawang merah yang besar.

Peramalan harga bawang merah di Indonesia menggunakan model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) atau Box Jenkins dengan membangun suatu model peramalan ARIMA. Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia dengan menggunakan model analisis regresi linear berganda. Dari hasil metode tersebut


(37)

dapat diketahui apa saja faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia.

Hasil dari penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai perkembangan harga bawang merah di Indonesia selama 12 bulan mendatang dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia. Dari informasi tersebut, pemerintah dapat membuat beberapa rekomendasi kebijakan yang sesuai untuk mengatasi berbagai permasalahan mengenai fluktuasi harga bawang merah di Indonesia. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber: Penulis, 2014

Gambar 8. Bagan Alir Penelitian

Produksi tidak menentu dan meningkatnya konsumsi bawang merah di Indonesia

Fluktuasi harga bawang merah di Indonesia

Analisis

perkembangan dan peramalan harga bawang merah di Indonesia (Model ARIMA dan metode deskriptif).

Analisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga bawang merah di Indonesia (model regresi linear berganda).

Informasi mengenai

perkembangan harga bawang merah dan faktor-faktor yang memengaruhinya


(38)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini membutuhkan data sekunder berupa data time series bulanan yaitu Juni 2009 – Mei 2014 serta data data time series tahunan dari tahun 1993-2013. Data sekunder yang dibutuhkan yaitu data harga bawang merah di tingkat konsumen Indonesia, jumlah produksi bawang merah Indonesia, jumlah konsumsi bawang merah Indonesia, harga bawang merah internasional. Data-data tersebut diperoleh dari instansi terkait, yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian RI, Kementerian Perdagangan RI, Knoema dan literatur lainnya.

4.2. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, metode peramalan time series ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), dan estimasi Ordinary Least Square (OLS). Metode analisis deskriptif digunakan dengan tabulasi data digunakan untuk menjawab tujuan pertama dengan menghitung laju harga bawang merah di Indonesia dengan menggunakan software Microsoft Excel 2010. Metode peramalan time series

ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) digunakan untuk menjawab tujuan pertama yaitu menganalisis kecenderungan harga bawang merah di masa mendatang dengan menggunakan software Minitab 14, dan metode estimasi OLS digunakan untuk menjawab tujuan kedua yaitu menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi harga bawang merah di Indonesia. Metode estimasi OLS menggunakan model ekonometrika yaitu model regresi linear berganda dengan menggunakan software E-views 6.

4.3. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia dan Peramalannya di Masa Mendatang

Tabulasi data dalam penelitian ini mencakup perkembangan harga bawang merah di Indonesia selama periode Juni 2009-Mei 2014. Nilai laju digunakan untuk menganalisa fenomena yang terjadi berdasarkan data harga bawang merah di Indonesia. Adapun rumus menghitung laju yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Laju Harga =


(39)

Keterangan:

Selisih harga = harga tahun/bulan sekarang (Xt) – harga tahun/bulan sebelumnya (Xt-1)

Metode ARIMA digunakan untuk memproyeksikan harga pada komoditas bawang merah di Indonesia hingga 12 bulan mendatang. Model ARIMA merupakan bagian dari analisis deret waktu satu ragam. Prosedur Box Jenkins terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1. Identifikasi. Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap tiga hal, yaitu terhadap pola data; apakah terdapat unsur musiman atau tidak. Kedua, identifikasi terhadap kestasioneran data. Ketiga, identifikasi terhadap pola atau perilaku ACF dan PACF.

2. Estimasi model. Pada tahap ini menggunakan cara trial by error

(mencoba-coba), yaitu menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih nilai-nilai tersebut yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa.

3. Evaluasi model. Setelah diperoleh persamaan untuk model tentatif, dilakukan uji diagnostik untuk menguji kedekatan model dengan data. Uji ini dilakukan dengan menguji nilai residual dan dengan menguji signifikansi dan hubungan-hubungan antara parameter. Jika ada hasil uji yang tidak dapat diterima atau tidak memenuhi syarat maka model harus diperbaiki dan langkah-langkah sebelumnya diulangi kembali.

4. Peramalan. Tahap terakhir adalah melakukan prediksi atau peramalan berdasarkan model yang terpilih. Nilai peramalan disediakan dalam output komputer. Model terbaik adalah model yang memiliki nilai kesalahan peramalan terkecil, yaitu model yang memiliki nilai MSE yang terkecil. Model ARIMA merupakan gabungan dari model Autoregressive (AR) dan

Moving Average (MA). Model ini akan membentuk ARIMA (p,d,q) dimana p

adalah ordo AR, d merupakan ordo dari integrasi dan q adalah ordo MA. Bentuk umum model ARMA (p,q) adalah:

Yt = Ф0 + Ф1Yt-1 + Ф2Yt-2 + … + ФpYt-p + εt – ω1 εt-1 – ω2 εt-2 - … - ωq εt-q

………(4.2)

Keterangan:


(40)

Yt-1, Yt-2, Yt-p = variabel time lag pada model autoregresif

Ф0, Ф1, Ф2, Фp = koefisien yang diestimasi pada model autoregresif

εt = error term pada bulan ke-t pada model autoregresif

ω1, ω2, ωq = koefisien yang diestimasi pada model moving average

εt-1, εt-2, εt-q = error dari time lag pada model moving average

4.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Bawang Merah 4.4.1. Perumusan Model

Analisis dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda. Hubungan antara harga bawang merah dengan faktor-faktor yang memengaruhinya perlu disederhanakan dalam suatu model regresi linear berganda. Model harga bawang merah yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah:

PBMt = β0 + β1 (QBMt - QBMt-1) + β2 CBMt-1 + β3 (PIBMt – PIBMt-1) +

β4 PBMt-1 + εu………(4.3) Tanda parameter estimasi yang diharapkan:

β1 < 0;

β2, β3 > 0; 0 < β4 < 1 Keterangan:

PBMt = Harga riil bawang merah di Indonesia pada tahun t (Rp/Kg)

(QBMt– QBMt-1) = Selisih jumlah penawaran bawang merah Indonesia pada tahun t dengan tahun t-1 (Ton) CBMt-1 = Lag jumlah konsumsi bawang merah Indonesia (Ton)

(PIBMt – PIBMt-1) = Selisih harga riil bawang merah internasional pada tahun t dengan t-1 (US$/Ton)

PBMt-1 = Lag harga riil bawang merah di Indonesia (Rp/Kg)

β0 = Intersep

β1, β2, β3,β4 = Parameter


(41)

4.4.2.Metode Estimasi Model Regresi Linear Berganda

Metode estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Ordinary Least Square. Estimasi dari model ini adalah peningkatan jumlah produksi bawang merah di Indonesia akan menyebabkan harga riil bawang merah di Indonesia menurun. Adapun peningkatan terhadap jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia dan harga riil bawang merah internasional akan menyebabkan harga riil bawang merah di Indonesia meningkat. Model dapat dikatakan baik jika hasil estimasi model regresi yang telah didapat kemudian diuji. Pengujian tersebut dilakukan melalui uji ekonomi, uji statistik, dan uji ekonometrika.

4.4.3. Metode Pengujian Model Regresi Linear Berganda

Model dapat dikatakan baik jika hasil estimasi model regresi yang telah didapat kemudian diuji. Pengujian tersebut dilakukan melalui uji ekonomi, uji statistik, dan uji ekonometrika.

A. Uji Ekonomi

Uji secara ekonomi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kriteria ekonomi yang mengacu pada arah dan besaran. Selain itu uji ini juga dilakukan berdasarkan tanda yang ada pada setiap variabel bebas dalam model pendugaan. Terdapat variabel yang memiliki tanda positif maupun tanda negatif. Tanda positif artinya penambahan satu satuan variabel independen akan meningkatkan harga bawang merah, sedangkan tanda negatif artinya penambahan satu satuan variabel independen akan mengurangi harga bawang merah. Variabel yang diduga memiliki tanda positif yaitu jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia, harga bawang merah internasional. Adapun variabel yang diduga memiliki tanda negatif adalah jumlah produksi bawang merah di Indonesia. Selain itu juga perlu melihat nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas digunakan untuk melihat derajat kepekaan variabel dependen pada suatu persamaan terhadap perubahan dari variabel independen. Nilai elastisitas jangka pendek (short run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld, 1998):

Esr (Yt , Xit) = βi ( ̅it)/( ̅t) ………..…..(4.4) Keterangan :

Esr (Yt , Xit) = Elastisitas jangka pendek variabel dependen Yt (PBMt) terhadap variabel independen Xit


(42)

βi = Parameter estimasi variabel independen ke-i (β1, β2, β3)

̅it = Nilai rata-rata variabel independen Xit

̅t = Nilai rata-rata variabel dependen Yt

t = jumlah observasi (tahun 1993 = 1, … , 2013 = 21)

Nilai elastisitas jangka panjang (long run) dapat diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :

Elr (Yt , Xit) =

………..…..(4.5)

Keterangan :

Elr (Yt , Xit) = Elastisitas jangka panjang variabel dependen Yt (PBMt) terhadap variabel independen Xit

β4 = Parameter estimasi dari lag-variabel dependen (PBMt-1). Kriteria uji :

1. Jika nilai eslatisitas lebih dari satu (E > 1) maka dikatakan elastis karena perubahan 1% variabel independen mengakibatkan perubahan variabel dependen lebih dari 1%.

2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1) maka dikatakan inelastis (tidak responsif) karena perubahan 1% variabel independen mengakibatkan perubahan variabel dependen kurang dari 1%.

B. Uji Statistik

Uji secara statistik ditentukan oleh teori statistik dan membantu evaluasi model secara statistika yang dapat dipercaya dari koefisien estimasi model. Uji statistik digunakan pada model penduga melalui uji-F, sedangkan parameter-parameter regresi dapat diuji melalui uji-t.

1. Uji-F

Berdasarkan metode estimasi OLS, pengujian ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statisticnya.

Hipotesis:

H0: β1 = β2 = β3 = β4 = 0


(43)

Jika seluruh parameter dugaan regresi sama dengan nol, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang linear antara variabel dependen dengan variabel independen.

Kriteria uji:

P-value> taraf nyata (α), maka terima H0 terdapat variabel bebas dalam model secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil bawang merah;

P-value < taraf nyata (α), maka tolak H0, terdapat variabel bebas dalam model yang secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil bawang merah

Apabila keputusan yang diperoleh adalah p-value < α dimana koefisien

regresi berada di luar daerah penerimaan H0, maka implikasinya adalah tolak H0. Artinya minimal ada salah satu dari variabel independen yang dapat mempengaruhi secara nyata terhadap variabel dependennya. Apabila didapatkan p-value > α, maka implikasinya terima H0 artinya variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya

2. Uji-t

Pengujian ini dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statisticnya. Hipotesis:

H0: β1 = 0; β3 = 0;

β2 = 0; β4 > 1 atau β4 < 0 H1: β1 < 0; β3 > 0;

β2 > 0; 0 < β4 < 1 Kriteria uji:

P-value > taraf nyata (α), maka terima H0, artinya variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil bawang merah;

P-value < taraf nyata (α), maka tolak H0, artinya variabel independen berpengaruh nyata terhadap harga riil bawang merah.

Apabila tolak H0, maka variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Sebaliknya, jika terima H0 maka variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independen.


(44)

3. Koefisien Determinasi ( R2)

Jika nilai koefisien determinasi mendekati 1, maka model yang digunakan semakin baik. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak keragaman variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen di dalam model. Rumus menghi tung koefisien determinasi (Juanda, 2009) adalah:

R2 =

JKR = ∑ ฀ JKT = ∑ ฀ Keterangan:

R2 = Koefisien determinasi JKR = Jumlah kuadrat regresi JKT = Jumlah kuadrat total

Ŷt = Nilai variabel dependen estimasi Yt = Nilai variabel dependen aktual

Ȳ = Nilai rata-rata variabel dependen

C. Uji Ekonometrika

Uji secara ekonometrika ditentukan oleh ilmu ekonometrika yang membantu mengevaluasi apakah asumsi dari metode ekonometrika terpenuhi atau tidak pada kasus-kasus tertentu. Uji ekonometrika dapat membantu untuk menetapkan apakah estimasi yang diinginkan memiliki properties, unbiasedness, consistency, dan lain-lain. Pada uji ekonometrika, akan menguji tentang asumsi dari metode pendugaan OLS antara lain: normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah residual telah menyebar secara normal atau tidak. Uji ini dapat menggunakan uji Jarque-Bera dengan melihat nilai probabilitasnya. Rumus uji Jarque-Jarque-Bera (JB) (Gujarati, 2006) adalah:

JB = ………... (4.6) Keterangan:


(45)

n = 21

S= koefisien Skewness K= koefisien Kurtosis

Hipotesis pada uji normalitas adalah sebagai berikut: H0 = error term terdistribusi normal

H1 = error term tidak terdistribusi normal Kriteria pengujian:

P-value uji JB > taraf nyata (α) maka terima H0, artinya error term terdistribusi normal;

P-value uji JB < taraf nyata (α) maka tolak H0, artinya error term tidak terdistribusi normal

Taraf nyata yang digunakan dalam pengujian ini sebesar 0,05 (5%)

2. Uji Multikolinearitas

Untuk menentukan masalah multikolinearitas dapat dilihat dari nilai

Variance Inflation Factor (VIF). Masalah multikolinearitas pada suatu model persamaan linear regresi berganda akan selalu ditemukan, tetapi ada yang serius dan ada yang tidak serius. Masalah multikolinearitas menjadi sangat serius jika nilai VIF lebih besar dari 10 sedangkan masalah multikolinearitas dianggap tidak serius jika nilai VIF lebih kecil sama dengan 10.

Gujarati (2006) menyatakan bahwa keberadaan multikolinearitas dapat diukur dengan VIF. Rumus VIF dapat dituliskan sebagai berikut:

VIFj =

, j = 1, 2, …, k ………..(4.7)

R2j ini adalah koefisien determinasi dari regresi variabel independen ke-j terhadap sisa variabel-variabel independen k-1. Untuk variabel independen dimana k = 2, maka r2j merupakan akar dari koefisien korelasi (r) mereka.

3. Uji Autokorelasi

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar estimasi parameter dalam model regresi linear berganda bersifat BLUE adalah autokorelasi yaitu cov (ui, uj) = 0, i ≠ j. Artinya tidak ada korelasi antara Ui dan Uj


(46)

untuk Ui dan Uj atau dapat dituliskan dengan E(Ui, Uj) = 0, i ≠ j. Asumsi ini mengandung arti nilai-nilai faktor gangguan U yang berurutan tidak tergantung secara temporer, yaitu gangguan yang terjadi pada satu titik observasi tidak berhubungan dengan faktor-faktor gangguan lainnya.

Autukorelasi dari metode OLS akan menghasilkan underestimated standart error parameter. Selanjutnya nilai statistik t dan F juga R2 cenderung menjadi overestimated, sehingga memberikan kesimpulan yang menyesatkan tentang arti statistik dan hasil dari koefisien parameter estimasi.

Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson yang didefinisikan sebagai berikut:

dw = ∑ ̂ ̂

̂ ………(4.8)

dimana ̂ adalah nilai sisa (residuals).

Nilai statistik dw sama dengan 2(1 – ρ). Dimana ρ adalah koefisien korelasi antara error episode waktu t dengan error periode waktu t – 1 yang didefinisikan sebagai:

ρ = ………..(4.9) Persamaan yang didalamnya terdapat variabel bedakala (lag endogenous variable) uji serial korelasi dengan menggunakan Durbin Watson tidak valid untuk digunakan (Pindyc dan Rubinfeld 1991 dalam Novindra 2011). Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistic DH (Durbin-h statistics). Persamaan berikut merupakan formula untuk memperoleh nilai DH atau hhitung (Durbin-h

statistics).

hhitung = √ ...(4.10) keterangan:

d = dw statistik n = 21, dan


(47)

Jika ditetapkan taraf nyata α = 5%, diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka disimpulkan persamaan tidak mengalami serial korelasi.

4. Uji Heteroskedastisitas

Uji ini digunakan untuk melihat varian residual apakah konstan atau tidak. Apabila varian residual konstan maka asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedatisitas adalah dengan menggunakan Uji White. Uji White

menggunakan residual kuadrat sebagai variabel dependen yang diregresikan terhadap variabel-variabel independennya.

Uji heteroskedastisitas hipotesisnya adalah:

H0= Var( i) = E( i2) = 2 = Homoskedastisitas H1= Var( i) = E( i2) = 2i = Heteroskedastisitas

Tahapan Uji White adalah sebagai berikut: 1. Jika diketahui model regresi sisaan berikut.

et2 = 1 + 2 Zt + vt

2. Hitung koefisien determinasi sebagai ukuran kebaikan suai (goodness of fit), R2.

3. Jika komponen sisaan homogen maka statistik-uji White

n (1) Keterangan :

n = 21

R2 = Koefisien determinasi X2 = Nilai variabel independen

Apabila dalam pengujian yang dilakukan, didapatkan nilai p-value

lebih besar dari alpha (α) lima persen maka implikasinya adalah terima H0 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas atau terpenuhinya asumsi homoskedastisitas pada model yang telah dibuat.


(48)

V. PERKEMBANGAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA DAN PERAMALANNYA DI MASA MENDATANG

5.1. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia

Perkembangan harga bawang merah di Indonesia dapat dijelaskan melalui laju pertumbuhan harga selama periode penelitian. Rata-rata pertumbuhan harga bawang merah pada tahun 2009-2014 memiliki nilai yang positif. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kecenderungan adanya peningkatan harga selama periode penelitian. Rata-rata pertumbuhan harga bawang merah di Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 9,301%. Hal ini terjadi karena pada tahun 2013 terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga harga bahan pokok termasuk bawang merah ikut meningkat (Kementan, 2013). Rata-rata pertumbuhan harga bawang merah di Indonesia terkecil terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar -4,142%. Pada tahun 2011-2012 jumlah impor bawang merah yang masuk ke Indonesia mengalami peningkatan sehingga harga bawang merah di Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang kecil pada tahun 2011.

Tabel 6. Rata-Rata Laju Pertumbuhan Harga Bawang Merah Tahun 2010-2013

Komoditas

Laju Pertumbuhan Harga (%)

2010 2011 2012 2013 2010-2013

Bawang Merah 5,093 -4,142 2,395 9,301 3,161

Sumber: Kementerian Pertanian RI, 2013 (diolah)

Selama periode Juni 2009-Mei 2014 harga bawang merah di Indonesia berfluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp 48.399. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 60.549/kg yang terjadi pada Agustus 2013. Hal ini dikarenakan adanya hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus 2013 sehingga permintaan bawang merah meningkat yang menyebabkan harga bawang merah juga ikut meningkat. Harga terendah adalah sebesar Rp 12.150/kg yang terjadi pada Oktober 2012. Hal ini dikarenakan pada tahun 2012 impor bawang merah di Indonesia mengalami peningkatan sehingga jumlah stok bawang merah di Indonesia meningkat yang menyebabkan harga


(49)

bawang merah menurun1. Perkembangan harga bawang merah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber: Kementerian Pertanian RI, 2013

Gambar 9. Perkembangan Harga Bawang Merah di Indonesia Periode Juni 2009-Mei 2014

Perkembangan harga bawang merah di Indonesia selama tahun 2009-2014 menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat dengan pola yang fluktuatif. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan harganya yang bernilai positif yaitu 3,161%. Peningkatan harga yang tinggi terjadi pada tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Juni 2013 sehingga harga bahan makanan khususnya bawang merah juga meningkat. Peningkatan harga yang terjadi di bulan-bulan tertentu diduga dipengaruhi oleh adanya hari raya yang memicu meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Selain itu, adanya dugaan spekulasi yang dilakukan oleh distributor dan pedagang besar juga menyebabkan adanya peningkatan harga pada bawang merah. Penurunan harga bawang merah di Indonesia di bulan-bulan tertentu disebabkan oleh impor yang dilakukan oleh pemerintah (Irfan, 2014).

1

Harga Bawang Anjlok, Petani Desak Impor Dilarang.

http://m.tempo.co/read/news/2012/01/24/090379344/Harga-Bawang -Anjlok-Petani-Desak-Impor-Dilarang. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2014

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000

H

ar

g

a (

R

p/

k

g


(50)

5.2. Peramalan Harga Bawang di Indonesia di Masa Mendatang

Dalam melakukan peramalan harga bawang merah di Indonesia di masa mendatang dilakukan peramalan time series yaitu dengan model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) menggunakan software Minitab 14. Peramalan time series menggunakan model ARIMA meliputi beberapa tahapan, yaitu identifikasi model, estimasi model, evaluasi model, dan peramalan. Sebelum semua tahapan tersebut dilakukan, data yang akan diramalkan harus dalam keadaan stasioner. Jika data belum stasioner pada tingkat level, maka perlu dilakukan proses pembedaan terlebih dahulu.

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 10. Plot Harga Bawang Merah di Indonesia

Pada tahap identifikasi model, plot data harga bawang merah di Indonesia menunjukkan bahwa data harga bawang merah memiliki pola trend. Hal tersebut menunjukkan bahwa data tidak stasioner pada level. Selain itu, grafik menunjukkan bahwa tidak membentuk pola yang sama atau berulang pada jangka waktu tertentu sehingga tidak ditemukan unsur musiman pada data harga bawang merah di Indonesia. Maka model peramalan yang cocok untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan model ARIMA.

Index H a r g a B a w a n g M e r a h 60 54 48 42 36 30 24 18 12 6 1 60000 50000 40000 30000 20000 10000


(51)

Setelah dibuat plot data untuk harga bawang merah, maka tahap selanjutnya adalah melihat bagaimana fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial pada data. Dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12 bahwa pada data harga bawang merah memiliki ciri adanya autokorelasi. Hal ini dapat ditunjukkan adanya garis bar biru pada lag 1 dan 2 pada fungsi autokorelasi dan lag 1 pada fungsi autokorelasi parsial yang melebihi garis warna merah sehingga perlu dilakukan proses

differencing sebelum diproses lebih jauh.

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 11. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 12. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah

Untuk langkah awal, angka d (differencing) atau integrasi dimulai dengan angka terkecil, yaitu 1. Hal ini sesuai dengan prinsip parsimony yang selalu berusaha untuk memilih model yang sederhana. Untuk harga bawang merah setelah dilakukan differencing pada angka 1 dapat dilihat pada Gambar 13. Garis

Lag A ut oc or re la ti on 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Autocorrelation Function for Harga Bawang Merah

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag Pa rt ia l A ut oc or re la tio n 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Partial Autocorrelation Function for Harga Bawang Merah


(52)

bar biru pad lag 1 pada fungsi autokorelasi masih keluar dari garis merah, begitupun pada fungsi autokorelasi parsialnya yang dapat dilihat pada Gambar 14.

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 13. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah setelah First Differencing

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 14. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Setelah FirstDifferencing

Setelah dilakukan first differencing untuk harga bawang merah, dapat diketahui bahwa data belum juga stasioner pada tingkat level sehingga perlu dilakukan second differencing. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat bahwa pada fungsi autokorelasi dan autokorelasi parsial setelah dilakukan second differencing, garis bar biru pada lag 1 masih keluar dan menjauhi garis merah sehingga diambil kesimpulan bahwa pada first differencing data sudah stasioner pada tingkat level.

Lag A ut oc or re la ti on 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Autocorrelation Function for C3

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag Pa rt ia l A ut oc or re la ti on 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Partial Autocorrelation Function for C3 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)


(53)

Hal ini dikarenakan dalam ARIMA, pemilihan model juga perlu mempertimbangkan faktor parsimoni. Parsimoni adalah konsep yang mengutamakan kesederhanaan dalam suatu model. Konsep tersebut menekankan lebih baik memilih model dengan parameter sedikit daripada parameter banyak, serta mengutamakan jumlah lag yang lebih sedikit (Santoso, 2009).

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 15. Fungsi Autokorelasi untuk Harga Bawang Merah Setelah

Second Differencing

Sumber: Data Sekunder, 2014 (diolah)

Gambar 16. Fungsi Autokorelasi Parsial untuk Harga Bawang Merah Setelah Second Differencing

Model peramalan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ARIMA (p, d, q). Penggunaan model ARIMA ditentukan oleh data yang tidak stasioner dan tidak ditemukannya pola musiman. Nilai p menunjukkan orde dari bagian AR (Autoregressive) atau autokorelasi, nilai d menunjukkan parameter

Lag A ut oc or re la ti on 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Autocorrelation Function for C5

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag Pa rt ia l A ut oc or re la tio n 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Partial Autocorrelation Function for C5


(1)

RESID(-1) -0.169936 0.493817 -0.344127 0.7363 RESID(-2) -0.033564 0.526068 -0.063801 0.9501

R-squared 0.009767 Mean dependent var 2.46E-12 Adjusted R-squared -0.447264 S.D. dependent var 3566.565 S.E. of regression 4290.659 Akaike info criterion 19.83549 Sum squared resid 2.39E+08 Schwarz criterion 20.18399 Log likelihood -191.3549 Hannan-Quinn criter. 19.90352 F-statistic 0.021370 Durbin-Watson stat 1.416697 Prob(F-statistic) 0.999938

Lampiran 8. Uji Multikolinearitas untuk Harga Riil Bawang Merah di

Indonesia

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients T Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1(Constant) -16275.875 5400.422 -3.014 .009

DQBM -.012 .008 -.182 -1.445 .169 .953 1.049 LCBM .048 .014 .651 3.459 .004 .424 2.357 DPIBM 5.171 5.806 .113 .891 .387 .943 1.060 LPBM .362 .273 .250 1.326 .205 .424 2.356 a. Dependent Variable: PBM

Lampiran 9. Uji Heteroskedastisitas untuk Harga Riil Bawang Merah di

Indonesia

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 4.599231 Prob. F(14,5) 0.0508 Obs*R-squared 18.55885 Prob. Chi-Square(14) 0.1825 Scaled explained SS 32.85236 Prob. Chi-Square(14) 0.0030

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 11/28/14 Time: 22:17 Sample: 1994 2013

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 7.62E+08 1.67E+08 4.561113 0.0061 DQBM 1898.342 609.7796 3.113161 0.0265


(2)

61

DQBM^2 -0.000711 0.000407 -1.745867 0.1413 DQBM*LCBM -0.004929 0.001386 -3.556941 0.0163 DQBM*DPIBM -0.257772 0.799290 -0.322501 0.7601 DQBM*LPBM 0.061534 0.019612 3.137616 0.0257 LCBM -3343.676 785.1217 -4.258799 0.0080 LCBM^2 0.003697 0.001019 3.628794 0.0151 LCBM*DPIBM 2.373746 0.768382 3.089279 0.0272 LCBM*LPBM -0.038742 0.041516 -0.933197 0.3936 DPIBM -1029715. 306865.6 -3.355590 0.0202 DPIBM^2 -215.1204 257.5241 -0.835341 0.4416 DPIBM*LPBM -8.855083 14.98031 -0.591115 0.5802 LPBM 17918.33 16160.92 1.108744 0.3180 LPBM^2 0.061825 0.357742 0.172820 0.8696

R-squared 0.927943 Mean dependent var 12084368 Adjusted R-squared 0.726182 S.D. dependent var 31104523 S.E. of regression 16276248 Akaike info criterion 36.16202 Sum squared resid 1.32E+15 Schwarz criterion 36.90882 Log likelihood -346.6202 Hannan-Quinn criter. 36.30780 F-statistic 4.599231 Durbin-Watson stat 1.753322 Prob(F-statistic) 0.050809


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 15 November 1991. Penulis

merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Rudy Wibowo dan

Yeni Maryani. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Islam

Muhammadiyah 47 Bekasi, lulus pada tahun 2004. Setelah itu penulis

melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Darunnajah Jakarta, lulus tahun

2007. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas

Darunnajah Jakarta dan lulus tahun 2010. Selama menempuh pendidikan

menengah, penulis juga menimba ilmu di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta.

Penulis diterima di Mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas

Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui program Beasiswa

Santri Berprestasi (PBSB) jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kementerian

Agama Republik Indonesia pada tahun 2010.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi penerima beasiswa

Kementerian Agama Republik Indonesia di IPB (CSS MoRA IPB) pada periode

2012/2013 sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia

(PSDM), serta kepanitian lainnya di CSS MoRA IPB. Selain itu, penulis juga aktif

dalam berbagai kegiatan baik menjadi peserta maupun panitia dari lingkup

departemen, fakultas, institut, maupun ekstra kampus.


(4)

(5)

(6)

1