Tinjauan Pustaka LANDASAN TEORI

commit to user 10 Berdasarkan penelitian terdahulu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai besarnya proporsi pengeluaran pangan dan konsumsi pangan rumah tangga petani di Kabupaten Kulon Progo yang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada penelitian Rachman dkk 2003 mempunyai rumah tangga rawan pangan cukup tinggi. Pendapatan yang rendah akan menuntut rumah tangga untuk mendahulukan pengeluaran untuk pangan khususnya pangan pokok. Berdasarkan penelitian- penelitian di atas, pengeluaran pangan merupakan pengeluaran terbesar dalam rumah tangga. Analisis proporsi pengeluaran pangan dalam rumah tangga petani penting untuk dilakukan karena merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga petani disamping analisis kecukupan konsumsi energi.

B. Tinjauan Pustaka

1. Konsumsi Pangan Menurut Suhardjo dalam Aritonang 2000, konsumsi pangan merupakan salah satu komponen dalam sistem pangan dan gizi. Oleh karena itu konsumsi pangan baik kuantitas maupun kualitas sangat ditentukan oleh produksi dan distribusi pangan serta faktor lainnya. Konsumsi pangan penting diperhatikan karena secara langsung akan menentukan status gizi. Konsumsi pangan berpengaruh pada status gizi seseorang. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu Almatsier, 2002. Bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan nabati dan bahan pangan asal hewan hewani. Bahan pangan nabati adalah bahan-bahan makanan yang berasal dari tanaman bisa berupa akar, batang, dahan, daun, bunga, buah atau beberapa bagian dari tanaman bahkan keseluruhannya atau bahan makanan yang diolah dari bahan dasar dari tanaman. Bahan pangan commit to user 11 hewani merupakan bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan atau olahan yang bahan dasarnya dari hasil hewan. Kedua bahan pangan ini memiliki karakteristik yang berbeda sehingga memerlukan penanganan dan pengolahan yang berbeda pula Suharyanto, 2009. Keragaan konsumsi pangan merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam sistem pangan dan gizi masyarakat. Istilah keragaan konsumsi pangan meliputi pola konsumsi pangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta berbagai faktor yang mempengaruhinya. Secara lebih rinci, yang dimaksud dengan keragaan konsumsi secara kuantitatif meliputi jumlah pangan yang dikonsumsi serta tingkat kemampuan penduduk untuk menjangkau pangan. Keragaan konsumsi pangan secara kualitatif meliputi jenis dan sumber pangan, kebiasaan makan, cara menyediakan dan memperoleh pangan guna menjamin kecukupan pangan penduduk Syarief, 1992. Penilaian pangan dari sisi kuantitas melihat volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung dalam bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal sebagai Angka Kecukupan Gizi AKG yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Untuk menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi TKE dan Tingkat Konsumsi Protein TKP. Beberapa kajian menunjukkan bahwa bila konsumsi energi dan protein terpenuhi sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka zat-zat lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan Anonim, 2008. M. K. Bennet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan yang padat energi yang berasal dari hidrat arang, terutama padi-padian. Apabila pendapatan meningkat, pola commit to user 12 konsumsi pangan akan lebih beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih mahal Soekirman, 2000. 2. Pengeluaran untuk Konsumsi Pengeluaran masyarakat terdiri dari pengeluaran pangan dan bukan pangan. Pengeluaran pangan merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat, dengan melihat pangsanya terhadap pengeluaran total. Semakin rendah pangsa pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik Ariani, 2004. Pengeluaran pangan terdiri dari padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, minuman alkohol, tembakau dan sirih. Sedangkan, pengeluaran non pangan terdiri dari perumahan, barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang tahan lama, pajak dan asuransi, keperluan pesta dan upacara BPS, 2009. Makanan merupakan kebutuhan manusia untuk tetap hidup, sehingga sebesar apapun pendapatan seseorang ia akan tetap berusaha untuk mendapatkan makanan yang memadai. Seseorang atau suatu rumah tangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, karena kebutuhan manusia akan makanan pada dasarnya memiliki titik jenuh. Bila secara kuantitas kebutuhan seseorang sudah terpenuhi, maka lazimnya ia akan mementingkan kualitas atau beralih pada pemenuhan kebutuhan bukan makanan. Dengan demikian ada kecenderungan semakin tinggi pendapatan seseorang semakin berkurang persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan. Oleh karena itu commit to user 13 komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejaheraan ekonomi penduduk, dengan asumsi bahwa penurunan persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran merupakan gambaran membaiknya tingkat perekonomian penduduk Aritonang, 2000. Perbedaan tingkat pendapatan menimbulkan perbedaan-perbedaan pola distribusi pendapatan, termasuk pola konsumsi rumah tangga dan penguasaan modal bukan tanah. Sebagai contoh, rumah tangga petani kecil atau buruh tani, karena pendapatannya relatif kecil untuk konsumsi rumah tangga hanya mampu membeli kebutuhan pokok saja, misalnya beras dan lauk-pauk sekedarnya. Sedangkan petani bertanah luas, karena pendapatannya besar disamping mampu membeli barang-barang konsumsi pokok rumah tangga, juga mampu membeli kebutuhan barang-barang kebutuhan sekunder, seperti barang perlengkapan rumah tangga, alat transportasi, alat-alat hiburan dan masih mempunyai sisa untuk ditabung atau diinvestasikan dalam barang-barang modal. Barang-barang modal tersebut dapat berupa tanah, traktor atau modal untuk usaha di luar usaha sektor pertanian Djiwandi, 2002. Peningkatan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan dapat menjadi indikator menurunnya kesejahteraan penduduk dan meluasnya kemiskinan karena dalam kondisi pendapatan yang terbatas. Dalam kondisi yang terbatas, seseorang akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan dan sebagian besar pendapatan dibelanjakan untuk konsumsi makanan Marwanti, 2002. Menurut Badan Pusat Statistik, berdasarkan data pengeluaran keluarga dapat diungkapkan tentang pola konsumsi keluarga dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Semakin tinggi pendapatan, maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran pangan ke pengeluaran non pangan. Pada umumnya keluarga akan mengalokasikan setiap pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu, yakni berupa pangan. commit to user 14 Apabila kebutuhan dasar tersebut sudah terpenuhi, maka keluarga akan mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan non pangan Rahmawati dkk, 1999. Tingkat konsumsi pangan kaitanya dengan pendapatan dapat dibagi menjadi 3 yaitu: a. Initial stage dari pada tingkat konsumsi pangan. Makanan yang dibeli semata-mata hanya untuk mengatasi rasa lapar. Makanan yang dikonsumsi hanya kalori, dan biasanya hanya berupa bahan-bahan karbohidrat saja. Dalam hal ini kualitas pangan hampir tidak terpikirkan. Karakteristik tingkat ini, ada korelasi erat antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan. Jika pendapatan naik, maka tingkat konsumsi pangan akan naik. b. Marginal stage daripada konsumsi pangan. Pada tingkat ini korelasi antara tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi pangan tidak linear, artinya kenaikan pendapatan tidak memberi reaksi yang proporsional terhadap tingkat konsumsi pangan. c. Stable stage daripada tingkat konsumsi pangan. Pada tingkat ini kenaikan pendapatan tidak memberikan respon terhadap kenaikan konsumsi pangan. Pada tingkat ini ada kecenderungan mengkonsumsi pangan secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan gizi Handajani, 1994. Keterkaitan pendapatan dan ketahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin mengecil. Sebaliknya, bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat Soekirman, 2000. 3. Ketahanan Pangan Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam commit to user 15 jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi berikut : a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tamanan, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, dengan pengertian bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman menurut kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dengan pengertian bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan setiap saat dan merata di seluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mdah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Soetrisno, 2005. Menurut Suhardjo dalam Ilham dan Bonar 2008 ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain : 1 tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan. 2 penurunan produksi pangan, 3 tingkat persediaan pangan dirumah tangga, 4 proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, 5 fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, 6 perubahan kehidupan sosial, seperti migrasi, menjualmenggadaikan asset, 7 keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan serta 8 status gizi.

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah